Kehidupan yang mulanya tenang setelah sekian lama mengadaptasikan berubah menjadi kelam semenjak perintah dari orang tuanya mengudara mengusik telinga. Keputusan untuk meninggalkan masa suram seakan terhempas begitu saja kala suara dengan mimik memohon layang diucapkan yang tak mampu untuk terhindarkan.
Wanita bersurai pirang yang sedang berdiri dibalkon sembari menikmati udara sore Los Angeles yang berlukiskan langit senja, pun membentangkan tangan itu tengah memasarahkan nasibnya kembali ke tanah kelahirannya—Indonesia.
Mungkin jika diingat sudah seminggu perintah dari ibu dan ayahnya mampir lewat ponsel milik Rosé, walaupun ia mengatakan iya dan sudah mengurus kepindahannya namun, hatinya masih sangat bimbang dan gelisah untuk alasan yang selama ini dipendamnya.
Masih terngiang-ngiang diingatan Rosé bagaimana dia memutuskan pilihan dengan bijak dan penuh pemikiran untuk meninggalkan seseorang secara sepihak lima tahun lalu dengan alasan tidak mau membuat kecewa. Ia sangat ketakutan dan tidak siap apabila takdir tidak sengaja membuatnya bertemu dengannya lagi.
Dengan nafas beratnya, Rosé melangkahkan torsonya dengan lemah menuju sofa didalam kamarnya, ia mengambil ponselnya terlebih dahulu di atas nakas sebelum mendudukkan diri dengan manis. Mengetuk-ngetukkan jari lentik tangan kanannya di pipi sembari berpangku tangan, lantas tangan kirinya mencari sebuah kontak pada ponsel untuk di hubungi secepatnya.
"Halo Jam, apartemen sudah siap 'kan?" ucapnya lemah saat benda kotak plasma itu menempel di daun telinga.
“Sudah beres, kenapa sih harus tinggal di apartemen segala, Rosé? Suara dibalik ponsel itu mengisyaratkan protes, terdengar dari vokal yang melengking dan bentakan keputusasaan.”
Rosé tersenyum tipis sebelum menanggapi, "Hanya ingin."
“Gue nggak mau tahu ya, seumpama tante Dara tanya-tanya ke gue, gue nggak ikut tanggung jawab.”
"Deal, masalah mommy biar gue yang urus, besok langsung jemput aja di bandara."
Oke.
...****************...
"Bang, semuanya sudah beres 'kan?" tanya pemuda bernama Vee Kanesh Bellamy sambil mengutak-atik sendok pada makanan yang sudah terbubuh berserakan di atas piring.
Joan Barel Sandiaga sebagai pelaku yang ditanya pun menarik atensinya untuk segera menjawab tapi, bibir tebalnya itu masih membuka menutup karena deretan putih dalam mulutnya masih sibuk mengunyah makanan yang menurutnya jauh lebih penting.
"Sudah, hari senen mereka mulai bekerja disini," jawabnya segera setelah menelan benda-benda yang sudah hancur dalam kuasa giginya.
Sambil menyantap sisa makan siangnya calon CEO muda Bellamy itu mengetuk-ngetuk benda persegi panjang hitam nan cerdas yang sebagian banyak orang sudah pasti memilikinya. Pikirannya terpaut akan sesuatu hal yang tak pasti, menelusuk otaknya paling dalam yang seakan siap untuk meledak kapan saja. Hatinya gundah akan kepastian pemilik hati yang sudah lama hilang hingga akhirnya telah tergantikan oleh sosok manis nan sabar diluar batas.
Kebetulan sekali, nama sosok yang dipikirkannya muncul dilayar pipih hitam yang sedari tadi asik dijadikan mainan oleh Vee, dengan senang hati, lelaki menawan itu menggeser tanda hijau untuk menjawab, "Halo sayang, ada apa?" tanyanya langsung, setelah itu terlihat guratan di dahi Vee sejenak. "Makan malam? Oke nanti aku jemput sepulang dari kantor."
Setelah berbicara sejenak, Vee mematikan ponselnya lalu menaruhnya di meja, melanjutkan aktifitas pengisian energi yang akan masuk pada lambung tak kasat mata yang berada dalam perutnya. Kedua pria berbeda usia itu masih berkecamuk dengan makanan masing-masing, duduk berhadapan dalam ruangan kerja milik Vee.
Sebenarnya bisa saja mereka makan di kantin dengan tenang, tapi sayangnya itu tidak akan pernah terjadi, paras tampan mereka sudah pasti akan menjadi sorotan mata, semua yang memandang sudah pasti akan terbuai, bukannya mengada ada, tapi itu nyata adanya.
Pernah sekali mereka makan bersama dan apa yang terjadi setelahnya benar-benar diluar dugaan, bukannya cepat menghabiskan makanan, mereka sibuk memandangi dan mencoba mengerumuni, sudah pasti sangat mengganggu bukan? Tidak ingin sombong, tetapi waktu istirahat makan bukankah lebih baik digunakan untuk makan, pengisian energi itu sangat penting.
"Bukanya orang yang akan pindah itu temanmu sendiri, Vee?" pertanyaan dari pria yang selalu menyebut dirinya world wide handsome itu menghentikan kunyahan Vee.
"Iya bang, dia temanku waktu SMP dulu."
"Lalu, kau juga kenal satu orang lagi yang akan ikut pindah kesini?"
"Aku tidak tau bang, kan semuanya bang Niko yang ngurus." Joan pun hanya mengangguk tanda paham setelah itu meminum segelas air putih setelah rutinitas makan siangnya sudah selesai.
"Sena mengajakmu makan malam?"
Sumpah demi apapun sebenarnya Vee tidak ingin mendengar pertanyaan Joan kali ini, ia tidak menghindar, hanya bosan dengan penuturan selanjutnya yang kerap sekali mampir di indra rungunya.
"Jangan mengabaikan Sena, Vee."
Benar seratus persen dugaan Vee, penuturan-itu-lagi, ia sama sekali tidak menghindar, menurutnya. Vee terlalu sibuk untuk belajar memimpin perusahaan yang sebentar lagi akan diserahkan seutuhnya padanya karena sang kakak Niko Andrian Bellamy ingin bebas berkelana entah kemana.
"Aku sibuk bang, percayalah, kali ini akan aku tepati untuk menemaninya makan malam," tuturnya yang berhasil membuat Joan menarik kedua ujung bibirnya, lega.
"Apa kau sudah mencintai Sena, Vee?"
Damn. Vee mengumpat salam hati tak menyangka akan ada pertanyaan semacam itu. Ia hanya berharap mulutnya saat ini dijahit penuh agar tidak bisa lagi menjawab pertanyaan sakral yang terlontar dari bibir montok seorang Joan Barel Sandiaga. Tapi sayangnya semua itu hanya andai saja.
"Cin-cinta, bang," jawab Vee meragu.
Joan menyadari ada suatu kebohongan dari kata yang terlontar dari mulut Vee, tapi ia tidak mau ikut terlalu dalam atas drama percintaan yang telah tercipta dari satu tahun lalu, perjodohan tepatnya
"Baiklah, jangan lupa tepat waktu menjemput kekasihmu."
"Tunangan bang, bukan kekasih"
Memang benar adanya jika mereka sudah bertunangan sejak satu tahun lalu, Vee tidak mau menyebut Sena sebagai kekasihnya, dia akan lebih senang Sena disebut tunangannya. Menurutnya, arti dari kata kekasih itu bukan suatu hubungan seperti yang dilakoninya bersama Sena.
Joan yang tersenyum simpul pun tahu betul akan reaksi sepupunya saat mendengar penuturan tentang kata kekasih untuknya, dia hanya ingin menggoda saja. Sejatinya kedua orang tua Vee memutuskan untuk menjodohkan putranya bukan tanpa alasan.
Sejak tujuh tahun belakangan, Vee seperti orang berjalan tanpa nyawa, untung saja dia berparas tampan jadi orang-orang masih saja suka memandanginya bahkan memujanya.
Sena terlihat sangat sabar dan telaten menghadapi Vee, tanpa henti memberikan perhatian padaanya sehingga membuat pribadi Vee sedikit berubah dan mulai tersenyum lagi.
"Ambilah cuti hari senen, jadi kau bisa istirahat untuk tiga hari ke depan," Joan memberi saran.
Bukan ungkapan semata, Joan kawatir pada Vee, karena pria itu termasuk orang yang gila kerja, jarang juga dia mengambil cuti, tapi kali ini Joan benar-benar harus memaksa agar Vee mau mengambil cuti.
"Aku tidak mau bang!!!" tolak Vee.
Joan menghembuskan nafasnya dengan kasar, memang sepupunya itu harus diancam agar mau menurut, apa Vee kira Joan tidak mempersiapkan sesuatu untuknya.
Joan mengeluarkan amplop putih dari dalam sakunya yang tertengger jelas sedari tadi tanpa disadari oleh Vee, menaruh pada sandaran kotak beratap kaca lalu menggeser sampai tepat di depan tangan Vee yang terlipat sempurna di atasnya.
Mata Vee sontak membulat sempurna sembari bergantian memandangi amplop dan wajah si pelaku utama. "Apa-apaan kau ini, bang!!" pekiknya bergemuruh memenuhi ruangan.
Tidak habis pikir dengan ancaman yang diberikan Joan. Sungguh luar biasa, seorang Boss tidak berkutik karena karyawan ingin mengundurkan diri, hanya Joan yang bisa melakukan.
Joan bukan hanya karyawan biasa, dia termasuk pemegang kendali dalam menjalankan perusahaan, tanpanya Vee tidak akan bisa apa-apa, selain itu, Joan sudah menjadi panutan bagi Vee meskipun terkadang omelan yang keluar dari mulut Joan melebihi emak-emak yang rebutan diskonan 50% + 20% di mall.
Dengan kedua tangan melipat di dada, Joan menjawab dengan mudahnya. "Terserah kau saja, pilih yang mana."
Vee mengambil surat itu lalu merobeknya, membuang asal di ruang kerjanya sehingga berserakan di lantai, "Aku ambil cuti, aku akan tidur tiga hari ini di apartemen, jangan sampai kau menggangguku, sudah 'kan!!!"
Joan tersenyum bangga akhirnya bisa mengalahkan boss besarnya, tidak dipungkiri dirinya juga sangat memperhatikan Vee, kesehatan pria itu sangatlah penting, Joan tidak akan pernah membiarkan Vee untuk memforsir dirinya sendiri untuk bekerja terlalu keras.
"Oksigenmu sangat cantik hari ini, Vee." presensi Vee langsung berbalik memandang meja kebesarannya yang berhiaskan bunga mawar yang diselimuti vas kaca berwarna senada dengan batang mawar, hijau.
Vee tersenyum teduh, senyuman yang hanya ditunjukkan apabila matanya sudah terfokus pada bunga cantik yang selalu dia sebut sebagai oksigen.
Baginya hidup tanpa dikelilingi bunga mawar bisa membuatnya mati. Orang-orang menertawakan penuturan yang Vee katakan. Tapi setelah melihat bahwa itu adalah serius maka orang-orang mulai mempercayai, walaupun aneh.
"Aku selalu merawatnya."
Vee berjalan lalu membelai kelopak bunga yang sedang merekah segar. "Aku tidak bisa hidup tanpanya, walaupun kapan saja dia bisa menyakitiku," ucapnya nanar sembari mengusap darah yang keluar dari ujung jari telunjukknya yang dengan sengaja ditusukkan pada duri bunga kesayangnnya, secantik-cantiknya bunga mawar masih tetap saja berduri bukan.
...****************...
Joseph Putra Dirgantara atau yang biasa di sapa dengan sebutan Kuda sedang memujit-mijit pelipisnya, pening sekali yang dirasakan saat ini, belum lagi masalah sahabatnya yang sangat tambah memusingkan kepalanya.
Joseph memandang sebuah photo yang ada diatas meja kerjanya yang berlapiskan bingkai silver dengan sendu, benda kecil itu sudah menjadi temannya sejak lima tahun yang lalu karena kepindahannya yang memang harus dilakukan, wajib baginya.
Sebuah kebetulan atau memang Dewi Fortuna yang sedang berpihak pada Joseph saat ini, kabar gembira datang disaat atensinya memandang ponsel yang terletak tepat di sebelah buku sketsa miliknya.
Rosé:
Joseph, maaf terlambat ngasih tahu lo, gue mutusin buat pulang besok.
Sumpah demi apapun, Joseph saat ini telah memanjatkan syukur yang sangat luar biasa, biar saja dibilang berlebihan, tapi keputusan sahabatnya itu akan memperlancar rencana yang dari sejak dulu terlintas dipikirannya.
Joseph:
Pastiin lo baik-baik di Indonesia, Rosé, segera kabari gue kalau udah nyampek, jaga diri.
Joseph tersenyum tipis seraya menyandarkan tubuhnya di kursi kerja, perasaan lega menghampirinya seketika setelah membalas pesan dari Rosé.
Saling berpesanpun telah berakhir, meninggalkan Joseph sendiri dalam keheningan. Pikirannya menjelajah kemana-mana, memikirkan bagaimana semuanya akan dimulai.
"Meji, pastikan semua yang ada disini kau urus dengan benar, aku akan sibuk di Indonesia beberapa bulan ini," perintahnya melalui telepon duduk yang selalu mangkir di meja kerjanya.
“Kapan anda akan pergi, Sir?”
"Dua minggu lagi, aku akan mulai sibuk hari ini, jadi aku serahkan padamu untuk urusan butik," titah Joseph lagi.
“Saya pastikan beres, Sir.”
Joseph meletakkan telepon duduknya, memutar kursi menghadap belakang bertatapan langsung dengan jendela yang terbuka menampilkan pemandangan luar Los Angeles yang tiba-tiba menghangat.
"Aku harus memikirkan cara dan alasan yang tepat untuk pulang ke Indonesia."
Cuaca Kota yang kerap sekali disebut metropolitan itu sore ini terlihat sangat cerah, secerah senyuman merekah pada sosok wanita semampai yang baru saja keluar dari tempat berkumpulnya para burung bermesin yang biasa disebut Airport.
Wanita berkebangsaan Australia-Indonesia ini baru saja bertolak dari Amerika ke Indonesia atau tepatnya Jakarta untuk memenuhi tuntutan dari orang tuanya untuk segera pulang, pasalnya sudah terlalu lama Rosé meninggalkan Negara kelahirannya, dan hal ini adalah yang paling membuat Rosé tertekan.
Dengan langkah tergopoh walaupun hanya menyeret satu benda kotak beroda, Rosé yang berpawakan kurus ramping bak artis K-Pop masa kini, akhirnya menemukan sosok pria yang memang sudah diwajibkan untuk menyusulnya di tempat ini.
"Rosé!" Pria seksi berkulit bening, sebening air yang turun langsung dari gunung itu pun melambaikan tangan ke arahnya sembari menyebut nama sedikit keras.
Seperti menemukan oksigen yang mampu membuatnya hidup kembali, Rosé sungguh bahagia luar biasa bisa bertemu dengan orang yang biasa dipanggilnya 'kurcaci' itu, ya walaupun baru dua minggu mereka berpisah, karena pria bernama James itu bertolak ke Indonesia dua minggu lebih dulu karena ada urusan yang harus diselesaikan.
Tak membuang waktu lama, Rosé langsung saja berlari dan menubruk tubuh kekar milik James untuk dipeluk, walaupun pendek untuk ukuran pria, tetap saja dia adalah pria yang cukup tinggi 174 cm dengan perawakan luar biasa menawan.
"Ayo pulang," ajak Rosé setelah melepaskan pelukannya, tak mau mengukur lebih lama.
"Apartemen atau rumah?"
"So pasti, apartemen, masih perlu lo tanya?" Pasalnya Rosé sudah meneritahu James bukan? Bahkan untuk Apartemen itu sendiri James lah yang berusaha mencari.
James berdiri tegap, melipatkan kedua tagannya di dada, menatap intens manik mata wanita yang ada di depannya, tersangka yang ditatap pun jadi bingung seakan akan bertanya kenapa-lo-natap-gue-sampai-segitunya?
"Kenapa lo natap gue gitu banget sih, Jam?" tanya Rosé akhirnya, wanita itu memundurkan langkah kebelakang walau hanya sejengkal karena tak kuasa menahan tatapan membunuh dari pria berwajah imut bak bayi tapi menakutkan secara bersamaan.
Bukannya menjawab, James lebih memilih untuk menjerat jemari Rosé dengan miliknya, menggiringnya menuju mobil yang siap membawa mereka kemana saja.
James mengangkat koper yang sedari tadi diseret Rosé, memasukkannya ke bagasi mobil, setidaknya roda koper akan beristirahat sejenak untuk tidak berputar putar di lantai. Sedangkan Rosé sendiri memilih masuk duluan meninggalkan James ke dalam mobil dan duduk di kursi sebelah kemudi dimana nanti James sendiri yang akan menjadi supirnya.
Keheninganpun terjadi di dalamnya, James tidak suka suasana seperti ini, Rosé pun juga bingung dengan perilaku sepupunya yang sejak tadi mendiamkannya, padahal Rosé sangat rindu sekali.
"Kenapa nggak pulang ke rumah dulu sih Rosé?" tanya James akhirnya. Rosé hanya diam kalut akan pikirannya sendiri, masih terngiang-ngiang di kepala atas perkataan terakhir dari sang Ibu.
Kau harus pulang Rosé!
Kata-kata sesimpel itulah yang membuat Rosé berfirasat buruk, seolah-olah dia akan terjebak dan kembali ke masa lalu yang berhasil mengobrak-abrik kehidupannya, membawa kesedihan yang terlampau menyakitkan hingga membuatnya jera dan putus asa.
Bagi Rosé, perkataan itu lebih dari sebuah ancaman mengingat usia Rosé yang tidak muda lagi dan tidak memiliki pasangan, ia tidak mau lagi melihat kenyataan pahit yang menolak ketidak berdayaan atas kelemahan yang dimilikinya, jujur Rosé tidak siap mengecewakan orang lain, atau Rosé sendirilah yang sebenarnya tak bisa menerima pria lain dalam hidupnya secara tidak sadar.
Mungkinkah firasat itu akan benar-benar terjadi? Maksudnya, Rosé berdirasat akan ada pertemuan yang membuatnya sakit hati setelah sampai di Negara ini.
"Bisa nggak lo nggak usah banyak tanya dan kita langsung pergi ke apartemen saja!!" pinta Rosé kelewat datar dan mengabaikan pertanyaan James.
James tidak habis pikir dengan wanita yang berada di sampingnya, sudah tujuh tahun meninggalkan Indonesia bukannya pulang ke rumah menuntaskan rindu kepada orang tua dan kakak satu-satunya, Rosé lebih memilih untuk tinggal sendiri di apartemen, sangat tidak wajar.
"Dasar keras kepala, lo pikir susah gitu buat bang Candra cuma buat nyari keberadaan lo doang? Lihat noh di dibelakang, dua curut suruhan abang lo." James memutar kepalanya kebelakang, Rosé pun mengukiti arahan dari sepupunya itu.
Rosé mengerutkan bibirnya tidak terima atas penuturan James yang seolah-olah mengancam keberadaannya. Tapi memang benar, dua curut yang sedang mengikuti Rosé dan James adalah suruhan Candra kakak kandung Rosé. Kemanapun Rosé pergi, dua laki-laki itu juga ikut, tapi tidak hanya itu saja, masih banyak yang mengikuti Rosé tanpa sepengetahuannya.
"Apa lo nggak mikirin om Toby kalau lo kabur? Bahkan, bokap lo nggak pernah absen sebulan sekali nengok lo ke Amerika Rosé!!" James sedikit meninggikan suaranya.
"Pokoknya gue nggak mau tau, Jam," Rosé tetap pada pendiriaannya yang memang sangat sulit untuk dirobohkan, James tau betul itu.
"Alyne." panggil James melemah.
Jika James sudah memanggil Rosé dengan begitu, artinya James sudah diambang kesabaran menghadapi keras kepalannya, Rosé perlu siaga untuk mengeluarkan jurus andalannya. Rosé menundukkan kepalanya seraya memainkan jari-jari tangannya, James yang tau itu memandang Rosé sebentar lalu fokus menyetir lagi.
"Jam, tolong gue sekali ini aja, kalau memang firasat yang gue rasain nggak terbukti, gue akan siap tinggal di rumah." Rosé memelas dengan segala kemampuan yang ia punya. Setidaknya kebohongan Rosé kali ini disetujui oleh James, karena pada dasarnya Rosé memang tidak berniat tinggal dengan orang tua, Rosé akan tinggal sendirian, titik.
James paling tidak bisa melihat Rosé yang sedang memelas seperti ini, ia sangat tahu jika Rosé benar-benar serius. Dengan sekali anggukan, James menandakan perse-tujuan. Semudah itulah James termakan rayuan Rosé. Tapi jujur, Rosé tidak benar-benar merayu untuk kali ini, ia sungguhan atas kegundahan yang terpendam semenjak perintah orang tuanya waktu lalu, meskioun Rosé tidak mengelak ia sedikit licik untuk itu.
Untuk memecah keheningan yang terlampau dingin setelah perbincangan yang menguras emosi, akhirnya Rosé mencoba untuk membuka suara. "James, kenapa lo nggak kerja di perusahaan om Jack aja?" tanya Rosé asal.
James menarik seulas senyuman. "Lo juga, kenapa nggak kerja bareng bang Candra, kurang kerjaan banget."
Keduanya lantas tertawa menyadari kebodohan mereka, sudah menjadi kebiasaan antara James dan Rosé, keluarga mereka memang sangat kaya dan mempunyai perusahaan yang bisa dibilang salah satu perusahaan terbesar di Indonesia, tapi mereka berdua memilih jalan masing-masing untuk masa depan dan tentunya sangat di setujui oleh keluarganya.
Akhirnya James dan Rosé sudah sampai di depan gedung apartemen megah yang akan ditinggali oleh Rosé. James mengambil koper milik Rosé yang ada dibagasi mobil.
"Rosé, itu tempat kita kerja." Ucap James saat ia sudah berdiri di samping Rosé.
Telunjuk pendek James menunjuk ke arah kanan menuju bangunan yang sangat besar dan tinggi bertuliskan 'Hospital of Jakarta' yang tidak jauh dari tempat mereka, lalu setelahnya pria itu menunjuk gedung yang ada dihadapannya, karena saking tingginya kepala Rosé sampai menengadah menghadap langit. "Ini gedung apartemen lo," imbuhnya memberitahu.
James dan Rosé adalah seorang Dokter, mereka sudah lulus menempuh pendidikan Dokter Umum lalu melanjutkan ke Dokter Spesialis, James mengambil Spesialis Tulang, sedangkan Rosé memilih untuk menjadi Dokter Spesialis Anak.
Rosé takjub. "Waah itu tempat kita kerja, Jam?" tanya Rosé yang masih belum percaya sambil menunjuk gedung rumah sakit.
"Nggak percayaan banget sih?" James sampai tidak habis pikir, padahal di kontrak kerja tertulis dengan jelas. "Bukannya di kontrak sudah dituliskan dengan jelas nama Rumah Sakit-nya?"
Rosé merotasikan bola matanya sebelum menyanggah, "Bukan itu yang gue maksud James, gue suka aja deket banget dari apartemen, gue bisa jalan kaki dong buat berangkat!"
"Lo yakin jalan kaki?" tanyanya dengan mata memincing ragu.
"Tentu dong."
"Itu cuma kelihatannya aja deket Rosé, tetep lo bakalan capek kalau jalan kaki. Lagian mobil udah gue siapkan di lobby apartemen lo."
James melihat jam tangan yang selalu bertengger di tangan kanannya "Rosé maaf, gue nggak bisa nganter lo ke dalam, lo masuk sendiri, unit apartemen lo ada di lantai 5 nomer 32 B, gue ada urusan, sangat mendesak kali ini."
"Oke, gue keatas sendiri, orang cuma bawa barang ini doang," jawab Rosé sembari melihat koper yang siap diseretnya kembali.
"Bunga mawar gue mana, Jam?" tanya Rosé lagi, wanita itu tidak akan pernah lupa akan bunga mawar yang selalu menjadi teman semasa hidupnya.
James terkekeh lalu membuka pintu mobil bagian belakang, mengambil bunga mawar yang terkulai dengan indahnya. "Ini, gue nggak pernah lupa sama anak-anak lo, besok sore gue udah pesenin bunga mawar buat dekorasi apartemen, petugasnya bakal ngubungin lo langsung, tungguin." James menyerahkan bunga mawar itu pada Rosé.
"Terimakasih James sayang." Rosé memeluk James sebelum akhirnya melenggang memasuki gedung apartemen.
...****************...
Dera tersenyum getir sembari menatap nanar bunga-bunga yang masih diguyuri air olehnya, sambil menerawang dan berandai-andai suatu hari sang pembawa virus yang berhasil menularkan kecintaannya pada Bunga Mawar kembali lagi dan muncul dihadapannya.
"Lihat saja nanti kalau kau kembali, mommy akan menghukummu nak." ucapnya walaupun dalam hatinya menghukum itu berbeda arti, mencoba selalu percaya bahwa yang ditunggunya akan kembali lagi.
Suara derapan langkah begitu jelas menelusuk telinga Dera, sontak saja wanita paruh baya itu menoleh kemana atensinya mendapat perhatian. Senyum mengembang begitu ditemukan sosok pria yang masih dianggap sebagai bayi walaupun terlalu besar untuk bisa disebut bayi lagi.
Niko memeluk Ibu tercintanya. "Mah, aku kangen," ucapnya.
"Ada apa denganmu, Ko?" tanyanya seraya mengusap punggung gagah anak sulungnya.
Niko menimbang-nimbang apa yang akan disampailan kepada ibunya, merasa bimbang terlebih takut merepotkan. Tapi Niko merasa ibunya tidak akan merasa keberatan untuk permintaannya kali ini. Dengan keberanian dan tekad demi masa depan orang lain, pria itu pun berdoa di dalam hatinya sebelum mengatakannya.
"Mah, apa boleh Niko merepotkan mama?" tanyanya seraya menuntun ibunya untuk duduk di kursi teras belakang rumah.
"Apa maksudmu, Ko? Nggak usah berbelit-belut ah." jujur Dera memang bingung menanggapi pertanyaan anaknya, tidak biasanya Niko seperti ini.
"Mah, bagaimana cara Mama bisa menerima Hana?" tanya Niko ragu-ragu, oh ayolah pria itu takut pertanyaanya membuat sang ibu marah.
Ya benar saja, Dera melepaskan genggaman tangan putranya hingga menepis, raut mukanya berubah masam. "Jangan bilang ini ada hubungannya dengan Hana yang tidak bisa hamil? Benar?"
"Maaf Mah, Niko nggak bermaksud membahasnnya."
Dera menghembuskan nafasnya untuk mendinginkan otakknya yang tadi sempat memanas, tidak tega sebenarnya melihat bayi besarnya mendadak murung dan merasa bersalah seperti itu.
"Nak, dengarkan Mama." pandangan Dera lurus kedepan, mendengar penuturan tegas dari ibunya, sontak membuat Niko mendongakkan kepalnya, serius mendengarkan.
"Bagi mama, memiliki keluarga yang bahagia sudah cukup, melihat kau dan Hana sehat saja itu lebih dari cukup, yang lebih menderita itu kalian bukan mama, Tuhan sudah mengatur semuanya, mama bisa apa kalau sudah seperti ini, lagipula mama masih memiliki bayi besar sepertimu dan bayi kecil Vee bukan, kau tidak usah memikirkan hal aneh-aneh lagi," ucapnya diakhiri dengan senyuman seraya memandang wajah putranya.
Dera memang ibu yang bijaksana, dimana banyak sekali mertua yang memandang sebelah mata pada menantu mereka yang mengalami kemandulan, tapi tidak dengan dirinya, seolah menepis semua anggapan bahwa semua mertua itu jahat, ia sangat menyayangi menantu satu-satunya yang bahkan tidak bisa memberikan keturunan untuk putranya Niko. Hal yang patut disyukuri bagi Hana.
"Terimakasih ma.....ma Niko butuh bantuan mama." seorang Niko Andrian Bellamy yang tidak pernah minta apapun ataupun memohon pada ibunya, namun hari ini, detik ini membuat Dera seperti dibutuhkan oleh anaknya.
"Apapun, katakanlah." ucapnya antusias.
"Mah, apa mama ingat dengan gadis muda seorang dokter dari Amerika yang dulu pernah Niko ceritakan pada mama?" Niko mencoba mengingatkan.
Menelusuk kedalam otaknya untuk mengutak-atik potongan-potongan ingatan seraya mengrenyitkan dahi seolah-olah berpikir keras. Dera telah mampu mengingat setelah kumpulan ingatannya berjejer jadi satu.
"Apa gadis muda yang mendonorkan tulang sumsumnya untukmu, tapi sayang mama belum sempat bertemu dan mengucapkan terimakasih padanya," sesal Dera setelah mengingat gadis yang telah menyelamatkan anaknya itu.
"Nah, sebagai ucapan terimakasih bolehkan dia tinggal bersama mama dan Hana di Jakarta?" tanya Niko.
Tidak taukah Niko bahwa ibu tercintanya itu mencoba mengartikan apa yang barusan diucapkannya, Dera seakan tidak percaya akan permintaan putranya yang menurutnya sangat konyol.
"Apa kau akan berpoligami, Ko?" Terlontarlah pertanyaan yang sedari tadi melayang-layang butuh asupan jawaban.
Tawa Niko menggema begitu saja, ternyata ibunya salah mengira atas permintaannya. "Enggak, ma. Astaga, itu tidak akan pernah terjadi, nanti Niko ceritakan kalau dia setuju atas usulanku," jelasnya yang di angguki oleh Dera.
Belum puas akan jawaban anaknya, sebagai wanita, pasti Dera akan merasakan ganjil bila ada di posisi Hana menantunya. "Apa Hana tahu tentang ini?" tanyanya.
"Tentu saja ma, asal mama tahu, ini semua ide Hana!!" jawab Niko santai.
"Benarkah?"
Niko pun mengangguk seraya tersenyum puas. Dera dibuat penasaran oleh anaknya yang satu ini, rencana macam apa yang sedang anak dan menantunya lakukan?
"Jadi kapan mama pindah ke Jakarta?"
"Mama tunggu Sena kesini dulu, mungkin dua minggu lagi kesana bareng dia."
Dera memang akan pindah ke Jakarta lagi setelah tugasnya di Bandung sebagai dokter rumah sakit cabang selesai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!