Hari ini Lisa begitu bersemangat karena kedatangan teman sekamar barunya. Sudah cukup lama dia sendirian di kamar ini karena teman sekamarnya yang dulu telah lama pindah.
Apalagi akhir-akhir ini Lisa merasa teman-temannya sedang menjauhinya. Entah bagaimana awalnya dimulai. Yang Lisa ingat, teman sekelasnya terus berkata jika mereka takut berada di dekatnya. Mereka mengatakan bahwa Lisa seperti pembawa sial bagi mereka.
Rumor itu bukannya tanpa dasar. Karena pada kenyataannya semua laki-laki yang berpacaran dengannya akhir-akhir ini, tiba-tiba saja sering mendapatkan musibah dan jatuh sakit.
Padahal sebelumnya Lisa tidak pernah mengalami hal seperti ini. Hubungan Lisa dengan pacarnya selalu berjalan baik jika saja mereka tak mengkhianatinya. Dasar para laki-laki sialan itu.
"Spadaaaa... " Lisa menengok ke arah pintu yang sudah dibuka. Terlihat seorang gadis nyentrik dengan beberapa aksesoris bling bling di kedua pergelangan tangannya tengah berdiri di ambang pintu.
Gadis itu menjatuhkan koper yang sebelumnya masih digenggamnya erat. "Astaga, dewa..." Tiba-tiba saja gadis itu bersujud di depan Lisa. Membuat Lisa mematung tak bisa bereaksi maupun berkata-kata.
Lisa pikir gadis itu akan berdiri jika dia membiarkannya beberapa saat, tapi nyatanya dia tak kunjung bangkit. Padahal gadis itu beberapa kali mengintip Lisa dari bawah sujudnya.
"A-apa keningmu tidak sakit? Kamu tidak ingin berdiri?" Tanyanya perlahan sambil mendekat ke arah gadis yang sepertinya akan menjadi teman sekamarnya.
"Astaga, seorang dewa tengah berbicara kepadaku. Sungguh aku pasti akan sangat diberkati."
Lisa menengok kebelakang. Mencari-cari siapa yang dimaksud gadis itu sebagai dewa. Apa jangan-jangan disekitar sini ada hantu? Apa selama ini kamarnya berhantu? Jangan-jangan hantu itu yang membuatnya memiliki aura kesialan.
"Kamu bisa melihat hantu? Apa di kamar ini ada hantu?"
Mendengar pertanyaan yang cukup aneh, gadis itu perlahan berdiri dan menatap Lisa dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Kamu manusia?"
Lisa menatap teman sekamarnya bingung? Apa dia tampak seperti bukan manusia dimatanya?
"Tentu saja. Apa aku terlihat bukan seperti manusia? Kupikir dilihat dari segi manapun aku terlihat sangat manusia."
"Kamu benar-benar manusia." Ucap gadis itu sambil bertepuk senang.
"Perkenalkan, namaku Jeslyn. Mulai sekarang aku juga akan menjadi penghuni kamar ini, jadi mohon bantuannya."
Lisa menerima uluran tangan Jennie. "Aku Lisa. Aku yang akan menjadi teman sekamarnu."
Jeslyn mengangguk mengerti. Entah kenapa Lisa merasa Jeslyn begitu senang saat ini.
"Energimu begitu luar biasa. Bagaimana bisa manusia memiliki energi sebesar ini? Aku pikir tadi kamu dewa yang sedang beristirahat di kamar ini."
"Energi?"
"Iya energi." Jennie menggandeng tangan Lisa untuk diajaknya duduk di tepi tempat tidur. Entah kenapa dia seperti selalu siap akan hal ini.
"Jadi, manusia itu mempunyai energi di dalam dirinya dan energi setiap manusia selalu berbeda-beda, tergantung bagaimana mereka menjalani hidup dalam kesehariannya. Tingkat suatu energi bisa dilihat dari warna mereka..."
"Kebanyakan manusia hanya memiliki energi berwarna hijau, itu adalah energi alam, energi murni yang dimiliki setiap orang. Yang kedua memiliki warna kuning, kebanyakan dimiliki oleh orang yang memiliki gaya hidup sehat seperti menjaga pola makan, tidur dan olah raga. Ketiga warna oranye, orang yang memiliki energi ini biasanya memiliki keahlian tertentu seperti IQ tinggi diluar nalar manusia, atau tubuh sekuat baja yang seperti tak akan tergores benda tajam. Mungkin kita bisa mengambil contoh mereka biasanya orang-orang yang berada di dalam pasukan khusus militer. Yang keempat berwarna jingga, pemilik energi ini agak..." Jeslyn memutar jari telunjuk si samping pelipisnya.
"Aku menyebutnya sedikit gila, mereka pintar, tubuh sekuat baja, pokoknya gabungan dari semua warna sebelumnya. Kebanyakan mereka sedikit memiliki sifat psikopat. Sebenarnya aku belum pernah bertemu dengan pemilik energi ini. Yang kelima berwarna merah muda, keenam berwarna merah menyala dan ketujuh berwarna merah gelap. Ketiga warna terakhir bahkan aku tidak pernah membayangkan akan ada manusia yang memilikinya. Hanya para dewa-dewa yang memiliki warna energi ini."
"Lalu bagaimana dengan warna energiku?" Tanya Lisa penasaran.
"Cukup mengesankan dan sangat tak terduga energimu berwarna merah gelap. Maka dari itu aku sangat ketakutan tadi."
"Apa ini yang membuatku jadi sial?"
"Sial? Tidak mungkin, yang ada energi ini akan selalu melindungimu."
"Tapi akhir-akhir ini saat aku memiliki pacar, mereka pasti akan mendapatkan sial."
"Akhir-akhir ini? Berarti sebelumnya tidak pernah terjadi?" Lisa mengangguk mengiyakan.
Jeslyn tampak menimang sejenak. Tentu ada alasan kenapa tiba-tiba saja Lisa mendapatkan energi sebesar ini. "Apa jangan-jangan kamu baru saja bertemu dengan dewa? Benar, tidak salah lagi."
"Mana mungkin, aku bahkan tidak bisa melihat mereka."
"Sebenarnya dewa tak selalu kasat mata. Kadang mereka akan berubah bentuk menjadi seekor hewan tertentu jika ingin manusia dapat melihat mereka. Dalam hal ini biasanya mereka ingin meminta bantuan pada manusia."
Sedikit mengingat, sepertinya beberapa minggu terakhir tidak ada hal yang istimewa. Tunggu, dia merasa kesialan ini terjadi setelah setelah ujian semester selesai. Saat itu Lisa dan teman-temannya pergi ke hutan belakang gedung sekolah. Lisa menjentikkan jari.
"Aku tahu! Aku pernah menolong seekor ular hitam kecil yang terluka di hutan. Karena kasihan dan kupikir dia tampak lucu , jadi aku membawanya pulang."
Walaupun saat itu teman-temannya bersikeras meminta Lisa untuk meninggalkan ular itu. Karena mereka tak tahu ular itu berbisa atau tidak. Tapi Lisa tetap bersikeras membawanya pulang, karena memiliki sepasang telinga di atas kepalanya. Dia bahkan sempat merawat dan memberi makan ular kecil itu selama tujuh hari.
"Tidak salah lagi. Pasti ular itu jelmaan dari dewa dan kamu telah diberkati karena menolongnya. Irinya..."
"Apanya yang mau diirikan? Aku bahkan dihindari semua teman sekelasku gara-gara ini."
"Itu karena mereka bodoh. Dengar ya, energi ini itu sangat istimewa. Aku akan memberitahumu satu rahasia. Aku sebenarnya bisa melihat hantu."
Lisa tampak tak terkejut dengan rahasia milik Jeslyn. "Aku tahu."
"Bukan begitu, dengarkan dulu sampai habis. Karena aku bisa melihat mereka.. mereka selalu saja mengekoriku di sepanjang jalan. Bahkan sebelum aku kesini sudah tak terhitung berapa banyaknya mereka yang mengikutiku. Tapi.. setelah aku berada tak jauh dari bangunan ini tiba-tiba saja mereka menghilang. Mereka tidak berani mendekat karena energimu. Jadi secara tidak langsung kamu telah menyelamatkanku."
"Jika memang begitu, lalu kenapa pacarku selalu jatuh sakit setelah berpacaran denganku?"
"Apa kalian berciuman?"
Mata Lisa melotot tak percaya mendengar pertanyaan frontal Jeslyn. "T-tentu saja. Siapa orang yang berpacaran tanpa melakukan ciuman?"
"Pantas saja. Itu karena mereka tidak kuat menampung energi yang kamu salurkan melalui ciuman."
"Jadi bagaimana ini? Apa aku selamanya tidak akan bisa berciuman lagi? Lalu apa aku nanti tidak bisa menikah dan memiliki suami? Aku tidak mau melajang seumur hidup!!!"
"Tenang.. santai.. rileks.. tarik nafas buang, tarik nafas buang." Lisa melakukan apa yang diperintahkan Jeslyn padanya. Menarik dan membuang nafas secara berkala.
"Seharusnya tidak apa jika orang itu memiliki energi di tingkat keempat. Lebih jelasnya akan aku tanyakan kepada ibuku nanti jika kamu mau."
"Tunggu dulu! Bukannya kamu bilang tadi pemilik energi jingga itu seorang psikopat?! Kamu gila! Aku lebih memilih melajang seumur hidup daripada harus memiliki pacar seorang psikopat."
"Aku hanya mengatakan apa yang ibuku katakan. Kenapa kamu jadi marah-marah?"
Lisa langsung mematung. Persetan dengan energi dewa. Apa istimewanya jika tak ada hal bagus yang terjadi padanya.
#
Setelah adanya Jeslyn, kini kehidupan Lisa tak terasa pahit seperti sebelum-sebelumnya. Dia jadi memiliki teman sebangku, bahkan beberapa teman sekelasnya sudah berani mulai mengajaknya mengobrol.
Tentu saja semua itu berkat social butterfly Jeslyn yang membuat semua orang akan tertuju padanya. Jennie tak pernah gagal menjadi yang paling dominan saat teman-temannya mulai mengobrol.
Kelas hari ini berakhir cukup larut karena wali kelasnya memberikan beberapa lembar pertanyaan tentang masa depan mereka. Belum lagi hari ini Jeslyn ada piket kelas, jadi Lisa harus menunggu Jeslyn selesai sampai akhirnya langit mulai gelap ditambah hujan deras.
Tidak hanya Lisa yang bersyukur dengan kehadiran Jeslyn, tapi begitu pun sebaliknya. Jeslyn merasa bersyukur saat Lisa selalu berada di dekatnya, karena tidak akan ada hantu yang berani mendekatinya lagi.
Apalagi sekolah ini begitu ketat yang mengharuskan Jeslyn untuk melepas semua gelang jimat dari ibunya. Membuat Jeslyn jadi lebih mudah untuk diikuti ataupun dirasuki tubuhnya.
Mereka berdua bejalan saling berhimpitan, padahal keduanya memiliki payung masing-masing. Sebenarnya bukan keduanya, melainkan Lisa yang selalu menghimpit ke arah Jeslyn. Jeslyn benar-benar tak mengerti sebenarnya siapa disini yang bisa melihat hantu.
Karena selalu saja Lisa yang ketakutan saat berada di kegelapan seperti sekarang. Membuat Jeslyn harus mengalah untuk tidur dengan lampu menyala agar saat Lisa terbangun ditengah malam dia tidak akan merinding ketakutan.
"Astaga!!! Tuhan!!!!!" Lisa yang sudah ketakutan setengah mati karena gelap, tiba-tiba saja merasakan tangan yang meraih kakinya. Membuatnya berteriak histeris bahkan sampai mengalahkan bunyi petir yang bersamaan terdengar saat dia berteriak.
"Jeslyn... Hiks... Tolong ada hantu..." Lisa mengkerut sambil memejamkan mata. Seluruh badannya lemas tak bertenaga. Seakan tangan itu menghisap semua energinya.
Payung Lisa sudah entah terbuang kemana. Sekarang kini hujan membasahi seluruh tubuhnya dengan posisi terjerembab di rumput.
Tentu saja Jeslyn cukup terkejut mendengar teriakkan Lisa. Dia sempat mematung beberapa detik sebelum akhirnya sadar jika tangan yang memegang kaki Lisa bukanlah tangan hantu.
"Lisa lihat! Ini manusia, bukan hantu." Jeslyn menepuk bahu Lisa agar teman sekamarnya itu sadar dan melihat sendiri kalau itu tangan manusia. Perlahan Lisa menyipitkan matanya untuk mengintip kebenaran dari perkataan Jeslyn.
Ternyata benar itu adalah tangan seorang laki-laki yang ingin meminta tolong pada mereka. Melihat laki-laki itu bersimbah darah membuat Jeslyn bergidik ngeri dan hampir kabur saking ketakutannya, tapi dia tak jadi kabur saat melihat Lisa dengan luar biasanya malah memilih mengambil payungnya kembali dan menghampiri laki-laki itu.
#
Setelah susah payah kedua wanita berbadan ramping itu membopong tubuh besar si laki-laki, akhirnya mereka sampai di tempat yang laki-laki itu tunjukkan. Jelas mereka menuruti perkataannya karena tak mungkin membawanya ke asrama.
Awalnya mereka ingin menelepon ambulan, tapi dia bersikeras menolak dan menyuruh mereka pergi jika tidak ingin membantu. Dasar laki-laki kurang ajar. Jika Lisa tidak memiliki rasa belas kasih yang luas, mungkin dia akan membiarkan laki-laki itu terguyur hujan di luaran sana.
Perlahan mereka mulai membawa masuk si laki-laki ke dalam ruangan di gedung belakang sekolah. Susah payah keduanya mencari tombol lampu karena ruangan itu begitu gelap. Namun setelah lampu menyala, betapa terkejutnya mereka dengan ruangan ini. Ruangan seukuran kamar itu bisa dibilang markas yang mengagumkan. Bagaimana bisa tak ada seorangpun yang tahu tentang tempat ini.
Jeslyn mulai mencari kotak obat dan Lisa bertugas mengganti pakaian si laki-laki karena pakaian itu sudah basah kuyup dan bukan hal baik untuk lukanya. Tentu saja pembagian tugas ini disepakati setelah perdebatan kecil mereka. Memang semuanya untuk kebaikan, tapi siapa wanita yang mau melucuti pakaian laki-laki di tengah malam seperti sekarang ini.
Karena tangan laki-laki ini terus menekan lukanya, maka Lisa terpaksa menggunting pakaian olahraga yang dia kenakan agar lebih mudah. Susah payah Lisa berusaha untuk menatap ke arah bagian atas tubuh si laki-laki saat berganti melepas pakaian bagian bawahnya. Sedikit sulit memang, tapi mau bagaimana lagi. Entah kenapa, semakin dilihat, Lisa semakin merasa laki-laki ini sangat familiar di matanya. Apa karena mereka satu sekolah? Mungkin saja Lisa pernah berpapasan dengannya disuatu tempat.
Setelah semua pakaian laki-laki ini sudah terlepas, Lisa mulai membasuh tubuh dan lukanya dengan air bersih sebelum memberikannya pakaian. Sementara dia menyelimuti bagian bawah tubuh si laki-laki agar dia tetap hangat.
Perlahan Lisa mengangkat tangan yang sedari tadi menekan bagian pinggang si laki-laki yang terluka. Saat tangan itu terangkat darah segar mulai kembali keluar. Refleks Lisa langsung menekannya dengan telapak tangannya sendiri. Padahal dia ingin membersihkan lukanya, tapi siapa sangka luka ini cukup parah. Bahkan mungkin sebenarnya harus dijahit.
"Mana kotak obatnya?!" Tanya Lisa yang tak kunjung melihat Jeslyn kembali.
"Aku sudah menemukan kotak obatnya, tapi kamu tahu cara memakainya? Aku tidak pernah mengobati dengan antiseptik."
"Biar aku yang melakukannya."
Jeslyn buru-buru memberikan kotak obat itu pada Lisa. Dia terkejut saat kini tangan Lisa berlumuran darah milik si laki-laki.
"Apa lukanya cukup serius? Dia tidak akan mati, kan?" Tanya Jeslyn khawatir.
"Semoga aja dia nggak mati." Bersyukur saat Lisa mengangkat tangannya luka itu sedikit tertutup dan darahnya juga tak lagi mengucur. Tentu saja Lisa bingung betapa cepatnya luka itu membaik. Tapi hal itu tak berlangsung lama.
Lisa menggeleng kecil dan mulai membersihkan luka dengan alkohol dan memberikan antiseptik sebelum membalut luka itu dengan kasa. Jeslyn menatap Lisa penuh kagum saat kain itu dibalut dengan baik.
"Kamu pandai melakukannya." Puji Jeslyn.
"Aku pernah melakukannya beberapa kali."
Setelah luka itu berhasil diobati, tak lupa Lisa membasuh tangan si laki-laki yang sebelumnya penuh darah. Bahkan dibeberapa bagian darah itu sudah mulai mengering.
Tak lupa Lisa memakaikan laki-laki itu baju. Beruntung ada sebuah kemeja di lemari baju. Jadi dia tak begitu kesusahan saat memakainya. Untuk bagian bawah Lisa akan membiarkannya saja tertutup selimut, sepertinya begitu lebih baik.
"Sebaiknya kita juga ganti baju." Ucap Lisa menyarankan karena baju mereka juga lumayan basah. Tentu Jeslyn menyetujui hal itu.
Mereka juga memutuskan untuk mencari makan karena sudah cukup larut dan perut mereka belum terisi. Sepertinya kantin jam segini masih buka. Semoga mereka tepat waktu saat berada disana.
#
Mereka tertawa gembira mengingat bagaimana mereka menyetop penjaga kantin saat akan menutup pintu. Beruntungnya mereka datang tepat waktu. Walaupun mereka harus puas hanya dengan semangkuk ramyun. Setidaknya mereka tidak harus kelaparan malam ini.
"Hey, apa tidak apa-apa orang sakit kita beri makan mie goreng?" Tanya Jeslyn saat dalam perjalanan menuju ke tempat si laki-laki berada.
Bersyukur sekarang hujan sudah reda. Jadi mereka tak harus bersusah payah membawa ramyun ini dengan tangan lain yang memegang payung.
"Mana aku tahu. Mungkin lebih baik daripada perutnya kosong."
"Benar juga."
Akhirnya mereka sampai dan menyalakan lampu tempat itu. Tapi terkejutnya mereka saat tahu bahwa laki-laki itu sudah menghilang.
"Kemana perginya?" Tanya Jeslyn penasaran.
"Mana aku tahu? Aku kan dari tadi terus bersamamu."
"Hey.. apa ada orang. Kita orang yang telah menolongmu. Kita juga membawa mie goreng untukmu." Ucap Jeslyn berkeliling mencari si laki-laki, tapi tak ada tanda-tanda dia masih di sini.
"Dia bukan hantu, kan? Sebaiknya kita kembali ke asrama." Usul Lisa kemudian. Kini rasa takut kembali menyerangnya.
Jeslyn memutar bola tak percaya mendengar pertanyaan Lisa. Sudah jelas-jelas dia yang mengobati, bahkan juga mengganti pakaian laki-laki itu sendiri. Bisa-bisanya dia masih berpikir kalau laki-laki itu hantu.
"Kamu kan sudah lihat sendiri kita menyeretnya sampai kesini. Lagian mana ada hantu berdarah."
"Udah, aku nggak mau tahu. Pokoknya kita kembali ke asrama aja."
"Terus ini mie gorengnya gimana?"
"Kamu aja yang makan. Aku mau pergi." Ucap Lisa buru-buru meninggalkan tempat itu.
"Eh, tunggu!"
#
Sedari perjalanan mereka kembali ke asrama. Entah kenapa Jeslyn merasa ada yang mengganjal. Seperti dia harusnya mengatakan sesuatu yang penting pada Lisa, tapi dia tak tahu apa itu.
"Oh iya!!!" Jeslyn menepuk tangan sambil berteriak.
"Oh Astaga dragon! Kamu ngapain sih teriak-teriak." Lisa mengelus dadanya karena kaget.
"Lis, kamu harus tahu..." Jeslyn mengguncang tubuh Lisa kuat-kuat.
"Apaan?" Sedangkan yang diguncang hanya pasrah tanpa perlawanan sedikitpun.
"Laki-laki yang kita tolong tadi.. energinya jingga, dia jingga, Lis..."
"Hah? Berarti kita baru aja nolong psikopat?"
Jeslyn melepas tangannya yang berada di bahu Lisa dan berpindah memegang kedua pipinya. "Bukan itu maksudku. Intinya.. kamu terselamatkan. Kamu nggak akan jadi lajang seumur hidup."
"Tapi katamu yang punya energi jingga itu psikopat? Aku nggak mau ah punya suami psikopat."
"Sebenarnya kemarin aku udah tanya perihal ini ke ibuku. Maksud ibuku, dia hanya pernah bertemu sekali dengan orang yang memiliki energi jingga dan sayangnya dia seorang psikopat, tapi itu nggak bisa jadi patokan. Katanya belum tentu semua pemilik energi jingga seorang psikopat. Contohnya kamu, setauku juga belum ada manusia yang memiliki energi sebesar dirimu. Bahkan kamu juga bukan dewa."
"Benar juga. Apa sebaiknya kita cari tahu dulu. Barangkali dia juga bernasib sama sepertiku. Mendapat energi besar dari dewa lainnya."
"Yup, benar sekali."
"Tapi gimana caranya? Kita bahkan nggak tahu nama dan kelasnya."
"Setidaknya dia anak sekolah ini. Kita bisa mencarinya bersama-sama."
"Tapi gimana kalau dia psikopat beneran? Kamu lihat sendiri tadi dia berlumuran darah."
"Kamu baru mikir itu sekarang? Aku tadi bahkan sudah mau lari saking ketakutannya, tapi kamu malah datang buat bantuin dia."
"Ya.. karena aku tadi kasihan. Kalau kita tinggal trus nanti dia mati gimana?"
Jeslyn hanya menepuk jidatnya. Tak mengerti sama sekali jalan pikiran Lisa.
#
Lisa kembali dari kantor guru setelah menyerahkan buku tugas dari semua siswa dikelasnya tepat pada jam istirahat makan siang.
Entah kenapa harus dirinya yang menjadi pesuruh para guru yang mengajar di kelasnya. Apa jangan-jangan wajahnya sangat suruh-able, jadi beliau-beliau ini tak sungkan jika harus meminta bantuannya.
"Hahhh..." Lisa membuang nafas panjang.
Tak jauh darinya, Lisa melihat Dimas, mantan pacarnya yang kini sudah terlihat menggandeng wanita lain. Padahal dirinya saja belum sepenuhnya move on, tapi lihat apa yang dilakukan buaya cap kadal buntung itu.
"Awas!!!" Seseorang tengah berteriak. Lisa refleks menatap apa yang terjadi, ternyata sebuah bola basket tengah mengarah kepadanya.
"Agh!" Tak. Tanpa berkedip Lisa melihat tangan seseorang menahan bola itu tepat sebelum mengenai wajahnya.
Lisa melirik ke arah si pemilik tangan. Sengaja dia melirik name tag si laki-laki yang telah menolongnya, namanya Juna. Lisa juga melihat Juna tengah memakai hand badge OSIS. Juna melempar kembali bola itu kepada para siswa yang berada di lapangan.
"Lain kali kalau main lebih hati-hati. Jangan sampai melukai orang lain."
Beberapa siswa di lapangan tampak mengangguk dan mengatakan penyesalannya pada Lisa karena hampir melukainya. Lisa hanya bisa tersenyum ramah sambil mengatakan dia baik-baik saja.
Belum sempat Lisa berterima kasih pada Juna, dia sudah pergi jauh meninggalkannya bersama seorang perempuan yang sepertinya juga salah satu anggota OSIS. Ada perasaan mengganjal di hati Lisa soal Juna. Entah apa itu, dia tidak begitu yakin.
"Lisaaaa!!" Lisa melihat Jeslyn berlari dari kejauhan.
Setelah berada di depannya, dia langsung menarik nafas dalam-dalam mengambil pasokan oksigen. Setelah cukup tenang mulutnya kembali bersuara. "Kok kamu biarin dia pergi?!"
"Hah? Siapa?"
"Itu.. yang tadi, dia si jingga."
"Hah?!"
Lisa kembali melihat tempat dimana Juna berjalan, tapi kini keberadaannya sudah menghilang dari jarak pandangnya.
"Kamu yakin?" Jeslyn mengangguk yakin.
"Pantesan bibirnya familiar."
Jeslyn menatap Lisa sanksi. Kedua tangannya dia lipat di depan dada. "Kenapa kamu fokusnya malah ke bibir sih?"
Lisa kelabakan mendengar pertanyaan dari Jeslyn. "Eh.. anu, itu karena tinggi mataku kan pas sama letak bibirnya. Habisnya model rambutnya beda, sama sekarang dia juga pakai kacamata. Jadi yang mirip cuma bagian bibir, hehe... Udah, ayo buru ke kantin."
Lisa langsung menggandeng tangan Jennie. Mengalihkan pembicaraan dan semoga saja Jeslyn bisa teralihkan dengan mudah.
"Tapi kamu nggak ngejar dia?"
"Nanti aja. Lagian aku tahu siapa dia. Dia Juna, anggota OSIS juga, jadi nggak susah nyarinya. Sebaiknya kita isi perut dulu. Nanti aja kita cari tahu siapa dia."
"Bukan cuma anggota, tapi dia juga ketua Osis." Jelas Jeslyn.
Lisa menatap Jeslyn tak percaya, bagaimana bisa Jeslyn lebih tahu sekolah ini daripada dia? Sebenarnya yang anak baru disini itu Jeslyn atau Lisa?
"Tahu darimana? Berarti dia kakak kelas dong?"
Jeslyn menggeleng. "Bukan. Dia seangkatan sama kita, tapi udah ditunjuk jadi ketua OSIS pas semester dua."
Lisa membulatkan bibirnya seperti huruf 'O' besar. Berarti hal itu baru saja terjadi.
"Gimana sih? Kok aku lebih tahu dari kamu?"
Lisa mengangkat kedua bahunya. Bahkan dia juga tak mengerti dengan dirinya sendiri kenapa bisa tak tahu apapun.
#
Sepulang sekolah mereka memutuskan untuk pergi ke ruang OSIS. Sebenarnya pagi tadi, saat mereka belum tahu kalau yang mereka selamatkan kemarin Juna, Lisa dan Jeslyn mampir ke ruangan semalam.
Seperti sihir, kamar yang mereka gunakan untuk menolong kemarin tiba-tiba saja berubah menjadi gudang dalam semalam. Semua barang di sana sudah tak ada dan diganti dengan barang-barang sekolah yang tak terpakai.
Tapi setelah mengetahui bahwa laki-laki itu adalah Juna mereka tak terlalu terkejut. Mengingat Juna cukup berperan penting di sekolah. Tentu merubah kamar menjadi sebuah gudang bukanlah hal yang sulit.
"Hey, ada apa dengan kelas itu? Kenapa suasananya serem banget?" Tanya Lisa bingung.
Jeslyn melihat kelas yang dimaksud Lisa. "Itu kayaknya kelas khusus. Isinya para murid yang selalu jadi 10 besar di sekolah ini."
"Kenapa nggak ada guru yang ngajar?"
"Setahuku yang ngajar kelas ini itu Juna."
Lisa menatap Jennie aneh. Mana ada murid mengajar murid juga?
"Nggak percaya? Tunggu aja sampai kelas selesai. Pasti Juna masuk ke kelas ini. Makanya kelas ini deket ruang OSIS, soalnya biar dia mudah ngurus dua-duanya."
"Dia sepintar itu?"
Jeslyn mengangguk mengiyakan. "Kalau dipikir-pikir nggak kaget sih kenapa dia punya energi jingga. Kemampuannya aja udah hampir mustahil dimiliki orang biasa, apalagi seusianya. Kata Yessi, Juna juga master taekwondo.
Lisa mengangguk mengerti. Lagi-lagi Jeslyn hanya bisa menggeleng tak paham bisa-bisanya Lisa yang lebih lama bersekolah disini tak tahu sama sekali tentang sekitarnya.
"Itu dia." Lirih Lisa saat melihat Juna keluar dari ruang OSIS dan benar saja apa kata Jeslyn, dia beralih masuk ke kelas yang penuh anak jenius tadi. Juna terlihat tampak mengajar di kelas itu.
"Hsss.. hsss.." Tiba-tiba Lisa mengendus bau busuk yang entah dari mana datangnya.
"Jes.. kok tiba-tiba ada bau busuk ya?"
"Maaf, Lis.. aku kentut. Maaf banget, sepertinya kamu harus ngelanjutin ini sendiri. Udah darurat!!" Lalu Jeslyn berlari pergi mencari kamar mandi. Meninggalkan Lisa yang menatap kepergian Jeslyn dengan kesal.
Tak berselang lama, kelas kecil itu akhirnya dibubarkan. Tentu saja Lisa langsung bergegas mengikuti Juna lagi, walaupun sebenarnya dia tak begitu yakin apa guna dari mengikuti Juna.
Karena langkah Juna yang lebih lebar darinya, Lisa bersusah payah untuk tak tertinggal begitu jauh. Bahkan setelah Juna berbelok dia mulai sedikit berlari, tapi masih saja tak mendapati Juna dimanapun.
"Kamu mengikutiku?" Suara seorang laki-laki tiba-tiba saja berada di belakang Lisa. Bisa dipastikan bahwa laki-laki itu adalah Juna. Mati dia! Bagaimana ini?
#
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!