(Terinspirasi dari kisah nyata ....)
“Sejak melahirkan, istriku jadi kasar banget. Ibu, kakak, dan orang rumah sampai jadi enggak betah di rumah.” Angga menghela napas dalam, demi meredam rasa lelahnya. Ia mengeluarkan satu bungkus rokok dari saku belakang celana bahan panjang warna hitamnya, kemudian mengambil satu batang rokoknya dari sana.
Di sebelah Angga, Fajar yang merupakan sesama pegawai bank swasta tempat Angga bekerja, tersenyum geli. Pria yang kiranya berusia di pertengahan kepala tiga itu menepuk-nepuk bahu kanan Angga, kemudian duduk di bangku besi, tepat sebelah Angga duduk. Mereka tengah menikmati waktu istirahat mereka di taman depan bank sembari melepas lelah, menjadikan rokok sebagai salah satu pelipur lara di tengah terik mentari yang membuat siang ini benar-benar panas.
“Mungkin itu semacam bawaan suasana habis lahiran. Istri kamu ingin diperhatikan lebih dari sebelumnya karena dia merasa sudah kasih kamu anak.” Fajar tersenyum geli cenderung mengejek.
“Padahal kan sudah jadi kodratnya istri kasih kita anak, ngapain juga dia malah terkesan menuntut imbalan lebih? Toh sebagai suami, kita juga sudah capek kerja cari nafkah. Kalau mereka saja mengeluh dan meminta imbalan lebih untuk hal yang sudah menjadi kodrat mereka, harusnya kita juga punya hak lebih karena kita laki-laki, kan?” lanjut Fajar dengan entengnya. Ia mengambil satu batang rokok dari bungkus milik Angga, kemudian menyalakannya menggunakan korek yang masih milik Angga.
Angga yang memang sedang butuh teman cerita lengkap dengan saran, menatap saksama lawan bicaranya. Ia menyimak dengan sangat serius saran dari pria berkemeja lengan panjang warna putih tersebut.
Setelah sampai menghisap rokoknya, membuat asap pekat keluar dari kedua lubang hidung dan juga mulutnya, Fajar yang sadar Angga menunggu lanjutan saran darinya, berkata, “Nanti kamu bilang gini saja, kalau dia banyak ulah, kamu bakalan talak dia. Kamu bakalan ceraikan dia. Dijamin, pasti istrimu langsung takut!” yakinnya yang kemudian juga berkata, “Dulu, istriku juga gitu. Sekarang nurut dia, takut banget ke aku. Nanti kamu coba begitu juga. Memangnya istri bisa apa sih, tanpa suami sampai mereka banyak ulah dan berani ke kita?” Ia tertawa bangga.
Bodohnya, tanpa memikirkan apa yang sebenarnya dialami oleh sang istri, Angga yang merasa hidupnya sudah sangat melelahkan, setuju. Angga merasa apa yang dikatakan Fajar, masuk akal. Padahal di sebuah kontrakan tak jauh dari bank, di kontrakan padat penduduk dan jauh dari kata mewah, Dwi Arum Safitri yang akrab disapa Arum, dan tak lain merupakan istri Angga, tengah meringis pedih mendapati darah nifasnya sudah sampai menghiasi kedua kaki bagian dalam.
Arum menoleh ke sekitar. Di kontrakan kecil tersebut, ia sampai tidak bisa membedakan mana tumpukan pakaian kotor maupun pakaian bersih karena beberapa anak kecil dan itu anak dari mbak suaminya, malah menggunakannya untuk bermain ria. Semua pakaian yang jumlahnya tidak sedikit dan sampai menggunung, bercampur menjadi satu termasuk dengan pakaian bayi yang dipenuhi ee. Otomatis semuanya menjadi kotor dan tentu saja, semua itu akan menjadi pekerjaan Arum karena begitulah tugasnya sebagai menantu yang harus selalu mengabdi melebihi seorang babu. Malahan ketika babu sampai mendapat imbalan sekaligus bayaran pasti, tidak dengan dirinya yang sekadar ucapan terima kasih pun, tidak pernah mendapatkannya.
Padahal di sebelah anak-anak tersebut dan merupakan ruang tengah berhias sebuah televisi yang selama dua puluh empat jam selalu menyala, Sumini sang ibu mertua, dan juga Anggun sang putri dan merupakan kakak perempuan Angga, tengah asyik menonton sinetron sambil menghabiskan satu kaleng besar keripik singkong yang keduanya beli tanpa sedikit pun membaginya kepada Arum. Namun jangankan memberi, menawarinya saja, keduanya tidak.
Tak ada yang melerai tingkah anak-anak berusia empat belas tahun, dua belas tahun, sepuluh tahun, dan juga lima tahun tersebut dan semuanya merupakan anak laki-laki dari Anggun, anak pertama ibu Sumini.
Pyaarrr ....
Sebuah gelas dan piring yang ada di bagian pinggir meja kebersamaan Anggun dan ibu Sumini pecah karena kesibukan anak-anak Anggun bermain. Lalu, apa yang terjadi?
“ARUMMMM, INI DIBERSIIN ... CEPAT!” teriak ibu Sumini benar-benar emosi.
Arum yang masih berdiri di ambang pintu dapur, menghela napas pelan. Seperti itu, dan selalu begitu. Bukannya menegur dan memberi anak-anak arahan selaku penyebab keributan, keluarga sang suami termasuk anak-anak Anggun, selalu saja menjadikan Arum sebagai olok-olokan.
“Bentar, Bu. Aku mau ganti dulu,” ucap Arum masih berusaha bersabar. Darah nifasnya masih sangat deras karena ia terlalu kelelahan. Ini hari pertama dari ia melahirkan. Namun jangankan mendapatkan ketenangan, sekadar istirahat cukup termasuk makan cukup saja tidak Arum dapatkan. Padahal dokter sudah wanti-wanti, setelah melahirkan ia harus istirahat cukup lebih dari biasanya. Namun pada kenyataannya, lagi-lagi Arum harus kerja rodi.
Kedua kaki Arum sudah terasa sangat pegal sekaligus panas. Arum dapati, kedua kakinya sudah kembali tawaran dan besarnya tiga kali lipat dari ukuran kakinya ketika normal. Bayangkan saja, baru melahirkan, selain harus mengurus segala sesuatunya sendiri, ia tetap wajib mengurus keperluan keluarga sang suami. Benar-benar tak hanya mengenai membereskan rumah yang tentu saja tidak pernah ada beresnya meski kontrakan mereka tinggal terbilang kecil. Tak semata karena penghuninya saja satu RT, tetapi juga kenyataan penghuni yang semuanya serba mewajibkan Arum untuk melayani.
“BENTAR-BENTAR GIMANA? DARI TADI NGAPAIN SAJA? MASAK ENGGAK BERES-BERES! KAMU MAU BIKIN KAMI KELAPARAN?! CUCI GERABAH SAMA CUCI BAJU JUGA ENGGAK KELAR-KELAR. SENGAJA DILAMAIN BIAR TETANGGA PADA KASIHAN LIHATNYA?” bentak ibu Sumini murka sembari terus memenuhi mulutnya dengan keripik singkong rasa balado. Namun karena ulahnya juga, wanita bertubuh gendut dan berkulit gelap tersebut menjadi tersedak.
Lantas, apa yang terjadi? Dengan santainya, Anggun yang tubuhnya sudah makin melar bahkan akibat kesibukannya makan, hingga ia harus menggunakan dua kursi sekaligus untuk sekadar duduk, berkata, “Rum, ... cepat ambilin Ibu minum. Enggak ngotak kamu, tahu mertua keselek gitu, tetap saja diem kayak patung!”
Arum menggeleng tak habis pikir, “Kalau yang kayak aku Mbak bilang enggak ngotak, kayak patung, ... yang kayak Mbak dan sekadar cebok saja masih minta bantuan aku buat cebokin, apa? Raksasa pemalas?! Stres berat memang keluarga ini!”
Terlalu lelah karena selama lima tahun mengabdi terus diperlakukan layaknya tawanan perang, kali ini Arum sungguh memberontak. Tak peduli meski ulahnya itu membuat batuk ibu Sumini makin menjadi-jadi. Termasuk Anggun yang sampai membanting gelas minumnya karena Arum tak kunjung mendengarkannya apalagi menunaikan perintahnya mengambilkan minum. Padahal jika niat, tanpa harus membuang waktu apalagi menciptakan keributan, Anggun sangat bisa mengambilkan sang ibu minum.
“Dafa, ambilin nenek minum!” teriak Anggun tetap asyik duduk sambil menonton sinetron dan menghabiskan keripik singkongnya.
“Enggak mau ah, capek. Mamah saja yang ambil kenapa? Apa itu suruh bibi Arum saja. Biasanya juga begitu,” balas Dafa anak Anggun yang berusia empat belas tahun dan memiliki tubuh bongsor layaknya Anggun.
“Capek kepalamu! Memangnya dari tadi kamu habis ngapain, bilang capek?!” Anggun murka dan sampai menatap Dafa yang ada di teras sana.
“Lha, memangnya mata Mamah enggak lihat? Mamah tuh, kerjanya makan terus! Dasar pemalas!” balas Dafa tak kalah keras kepala dari sang mamah.
Perkara mengambilkan minum saja sudah langsung membuat rumah sangat heboh. Telinga Arum sampai panas mendengar keadaan rumah yang lebih mirip neraka. Karena meski kenyataan tersebut sudah menjadi hal biasa dan sudah mewarnai keseharian Arum ketika dirinya tak jualan di warung makan, tetap saja Arum yang normal merasa sangat tidak nyaman. Arum merasa sangat stres, tapi lagi-lagi masih mengalah. Arum mengambilkan air minum untuk sang mertua, tanpa jadi membersihkan darah nifasnya.
Parahnya, Cantik—anak Anggun yang masih bayi dan usianya baru satu bulan, tak hentinya menangis akibat keributan tadi. Hingga tangis tersebut menular kepada Aidan putra Arum. Namun lagi-lagi, Arum yang mengalah. Arum mengambil sang putra, mengembannya dan membawanya ke dapur untuk mengurus sederet pekerjaan yang sudah ke sekian kalinya Arum kerjakan dalam hari ini. Kali ini menjadi ronde ketiga Arum masak lantaran keluarga sang suaminya terus saja lapar. Padahal, Arum sudah memasak dalam porsi super banyak lantaran keluarga suaminya memang sangat gampang lapar dan porsinya tak kaleng-kaleng.
“Bi, masaknya cepetan, aku lapar!”
“Bi Arum, aku haus, ambilin minum!”
“Bi, baju sekolahku sudah disetrika, belum? Besok buat upacara ke kecamatan! Awas lho kalau belum disetrika juga, aku laporkan Bibi ke Paman Angga!”
“Rum, cepat dikit kenapa? Kamu beneran lagi masak apa malah bengong kayak sapi ompong sih?!” bentak ibu Sumini. Wanita itu tidak ingat, andai bukan karena Arum yang memberinya minum, nyawanya sudah tamat.
Tetangga bilang, Arum tidak normal karena masih bisa bertahan di tengah keadaan keluarga sang suami yang jauh dari manusiawi. Namun, tidak dengan Angga yang berdalih, Arum menjadi pribadi kasar bahkan pembangkang hanya karena semenjak melahirkan, beberapa pekerjaan tidak langsung bisa Arum lakukan. Padahal alasan Arum begitu, termasuk Arum yang sengaja libur tidak jualan di warung karena memang ada bayi merah yang harus lebih dulu Arum utamakan. Bayi merah yang sudah sangat Arum damba kehadirannya.
Belum genap dua hari karena Arum baru melahirkan kemarin pagi, tapi Arum sudah mendapatkan kritik pedas dari keluarga sang suami. Sebutan parasit pemalas, lulusan SMP dan mantan ART sekaligus mantan TKW belagu. Semua sebutan itu menjadi makin kerap menyertai makian keluarga sang suami kepadanya.
Hanya saja, Angga teramat menyayangi sekaligus memanjakan keluarganya, hingga yang ada, keluarganya menjadi tidak tahu diri. Apa-apa cukup minta dan wajib ada sekaligus dilayani. Angga akan sangat marah jika Arum sampai membuat keluarganya kesal bahkan sekadar tak senang.
Demi anak dan juga keutuhan rumah tangganya, Arum yang selalu berdoa agar suaminya berubah, menjadikannya maupun Aidan sebagai prioritas, masih akan bersabar sekaligus bertahan.
***
(Dalam cerita ini ada penyebutan bahasa daerahnya, bahasa Jawa khususnya Cilacap, tapi sebisa mungkin saya kasih keterangan juga. Kalian juga bisa tanya di kolom komentar kalau memang belum tahu juga. Jadi tolong yang enggak suka cukup stop baca jangan jahat langsung kasih bintang 1 yah 🙏)
Benar-benar melelahkan, tapi sampai sore menjelang petang hingga akhirnya Angga pulang, belum ada pekerjaan yang benar-benar Arum selesaikan. Wanita itu baru beres mencuci tiga ember besar pakaian keluarga suaminya. Semuanya Arum cuci menggunakan tangan demi menghemat pengeluaran untuk tagihan listrik, meski di sana ada mesin cuci.
Dari pintu dapur, Arum melongok kebersamaan sang suami dan keluarga pria itu. Seperti biasa, bukan Arum atau Aidan yang akan Angga cari, tetapi keluarganya. Kerap Arum berpikir, adanya dirinya di sana hanya dimanfaatkan untuk mengurus sekaligus meringankan beban hidup Angga sekeluarga. Terlebih, semacam oleh-oleh makanan pun tidak pernah Angga sisakan untuk Arum. Semuanya langsung disikat habis oleh keluarga suaminya yang hobi makan tapi malas bekerja bahkan sekadar membersihkan diri. Aroma tak sedap karena mereka lama tidak mandi, sampai kerap membuat Arum mual saking baunya meski Arum sudah tidak dalam fase mengidam. Selain itu, Angga juga tidak pernah meminta pihak keluarga termasuk anak-anak dari Anggun, untuk menghormati Arum.
Seperti biasa, Anggun, ibu Sumini, dan juga anak-anak Anggun akan mengadukan kinerja Arum seharian ini. Dan masih tetap seperti biasa, tetap tidak ada yang merasa puas dan mengecap Arum sebagai pemalas. Arum sudah terlalu hafal, dan ia memilih abai. Sudah terlalu lelah dan akan makin lelah andai ia menunda pekerjaan yang tidak pernah ada beresnya. Di sebelah kanannya, wastafel sudah penuh piring sekaligus gerabah kotor. Kedua wajan di kompor sudah bersih tanpa isi bahkan sekadar kuah beberapa tetes. Sementara di lantai, gelas dan poci termasuk panci nasi sudah kosong tanpa isi. Padahal, perut Arum sudah berulang kali bunyi karena dari pagi dan mau sampai pagi lagi, ia belum makan. Arum hanya mengganjal perutnya dengan meminum air putih sebanyak mungkin yang malah membuatnya kembung, terlebih berulang kali mencuci juga membuatnya kedinginan.
“Mas Angga, tolong itu Aidan nangis. Aku masih jemur pakaian. Lagian mau magrib juga, pamali kalau bayi enggak dijaga,” ucap Arum dan kali ini sengaja berseru agar sang suami dengar lantaran sampai sekarang, televisi di ruang tengah masih menyala dan memang disetel dengan suara keras. Meski karena kenyataan tersebut pula, jahitan bekasnya melahirkan terasa makin ngilu.
Padahal, Angga sekeluarga tahu di kamar depan sebelah ruang tengah kebersamaan mereka, bayi merah itu masih tidur dan tengah ditinggal mengerjakan segala sesuatunya. Andaipun harus kembali Arum yang mengurus, tentu pekerjaan yang tengah Arum urus akan makin tidak beres-beres.
“Jadi istri, suami baru pulang bukannya disiapin minum apa makan, malah nyuruh-nyuruh! Ceraikan saja kenapa, sih, Ngga! Istri enggak guna begitu! Tamatan SMP dan mantan TKW ya gitu, enggak tahu sopan santun. Yang ada belagu sama malu-maluin!” ucap ibu Sumini.
Arum yang awalnya tengah menjemur pakaian anak-anak Anggun menggunakan hanger, refleks terdiam bersama darahnya yang seolah didihkan. Tak hanya dadanya yang terasa terbakar, tapi juga sekujur tubuh sekaligus kehidupannya. Emosi, dan Anggun sungguh tidak tahan. Sigap ia mendekat, melempar pakaian setengah basah di tangan kanannya, ke meja kebersamaan di sana. Semuanya tampak syok sekaligus marah, tak terima pada apa yang baru saja Arum lakukan dan sampai mengenai sisa martabak cokelat keju yang tadi sedang disantap rakus.
Yang membuat Arum kecewa hingga kali ini ia tak kuasa menahan air matanya, sang suami tetap tak sedikit pun tampak iba. Sang suami tetap asyik memangku Cantik, padahal di dalam kamar mereka yang ada di sebelah, Aidan sudah menangis kejer.
“Aku yakin kalian enggak budek. Aku yakin kalian dengar tangisan Aidan. Mas, Aidan itu anak kamu! Aidan beneran anak kamu, bukan anak siluman! Jadi tolong, jangan sampai anak kamu juga kamu kasih, kasih sayang sisa karena Aidan bukan anak yatim!”
“Dari kemarin aku belum istirahat apalagi tidur. Urus bayi, urus kalian, urus rumah ini yang enggak ada selesainya dan aku sampai belum makan blas! Tubuhku meriang parah, udah enggak enak banget rasanya!”
“Hargai dikit kenapa? Kalian beneran manusia, kan, bukan binataang apalagi siluman? Heran, sama bayi, masih darah daging kalian kok perhitungan. Ngakunya berpendidikan dan selalu ngatain aku miskin, enggak berpendidikan bahkan parasit rumah tangga kalian!”
“Jangan hanya karena selama ini aku diam, jangan karena aku bisa kerja dan mengurus semuanya tanpa mengeluh kepada kalian, kalian khususnya Mas sebagai suami, sama sekali enggak peduli apalagi menghargai!”
“Di rumah ini aku kerja sendiri. Cuci pakaian, masak, sapu-sapu dan beres-beres yang enggak cukup diulang tiga kali dalam sehari! ... budak saja enggak gini. Saat jadi TKW saja enggak begini. Di zaman kompeni pun enggak sekeji ini.”
“Beneran enggak ada yang bantu, lho. Malahan aku disuruh-suruh, ... aku dibentak-bentak, mirip binataang yang melakukan kesalahan. Enggak hanya dibentak oleh yang dewasa, tapi juga oleh anak-anak Mbak yang masih bayi! Padahal aku yakin, Mbak Anggun yang punya asma masih bisa beraktivitas dengan leluasa apalagi kalau niat! Di dunia ini bukan hanya Mbak Anggun yang sakit asma. Di luar sana masih banyak. Di luar sana beneran banyak yang asma tapi masih bisa kerja. Masih bisa merawat anak bahkan merawat diri sendiri. Lha, Mbak ... sekadar makan saja harus aku siapkan, aku suguhkan.”
“Di dunia ini enggak ada yang enggak bisa. Yang enggak bisa ya cuma alasan karena emang dasarnya pemalas! Andaipun Mbak Anggun enggak bisa kerja berat, bukan berarti Mbak enggak ngapa-ngapain, sama sekali enggak mau capek. Dari bayi sampai semua anak Mbak termasuk Mbak, aku yang urus. Aku yang mandiin. Nanti jangan-jangan, urusan suami juga harus aku yang urus bahkan muasin? Miris!”
“Kalau memang sekadar urus anak saja enggak bisa bahkan sepertinya memang enggak mau, ya jangan bikin anak! Kita ini orang kecil, miskin, Mas Angga bukan Raffi Ahmad yang bisa kasih kalian kehidupan bak sultan karena kalau Mas Angga enggak kerja, kalian pasti kekurangan, MESKI MBAK ANGGUN BUKAN JANDA!”
“Kebangetan banget. Masa iya, makan saja ngabis-ngabisin, sekadar ambil minum apa makan sendiri enggak mampu? Enggak punya hati kalian ini. Enggak berperasaan. Kenapa? Mau bilang aku parasit rumah tangga hanya karena semenjak Mas Angga menikahiku, Mas Angga harus menafkahiku?”
“Jangan ngawur! Suami memang sudah kewajibannya menafkahi istri. Istri dan anak nomor satu setelah suami itu memenuhi dirinya sendiri. Sisanya termasuk orang tua, apalagi saudara, ya sebisanya. Uang kan memang harus dicari, enggak cuma nodong, minta dan wajib ada!”
Arum kian meraung-raung di tengah air matanya yang berjatuhan. “Ya Tuhan, aku ini istri, ... aku ini menantu, aku ipar di rumah ini tapi aku diperlakukan seperti ini! Budak saja masih dikasih belas kasih, ini aku yang sampai ikut jadi tulang punggung bahkan ibaratnya keset orang miskin yang gaya hidupnya enggak kaleng-kaleng bikin kebanting, gini banget!”
Beberapa tetangga berdatangan, melongok khawatir dari pintu yang memang masih dibiarkan terbuka sempurna. Kenyataan tersebut membuat Angga dan keluarganya terusik.
“Ada apa, Rum? Ya ampun ... kamu belum beres juga beres-beresnya?” tegur ibu-ibu berjilbab kuning.
Ada tiga ibu-ibu yang datang dan ketiganya kompak berkerudung karena jam segini, biasanya warga setempat bersiap untuk salat magrib di masjid.
Angga berdiri dengan kasar kemudian menyerahkan Cantik kepada Anggun yang duduk di kursi kayu di sebelahnya. Kakak perempuan yang sekadar bernapas saja terdengar sangat ngos-ngosan, selain tubuhnya yang gampang berkeringat dan memang memiliki tubuh tiga kali lipat lebih besar darinya itu menunduk sedih tanpa perlawanan. Anggun menimang Cantik penuh sayang hingga kenyataan tersebut membuat Angga merasa sangat marah kepada Arum. Angga menatap marah Arum yang baginya sudah sangat dan memang makin keterlaluan.
Arum kembali meringis pedih karena sejago itu Anggun jika bersandiwara mengelabuhi Angga. Benar-benar serigala berbulu gembel! Sengaja membuat Arum makin bobrok di mata Angga. “Lihat betapa jagonya Mbak Anggun berakting, ... Dian Sastro saja kalah!”
Mendengar itu, ketiga ibu-ibu tadi langsung mengadu mengenai kelakuan Anggun dan keluarga Angga kepada Angga. Mereka semua kasar kepada Arum.”
“Kalian semua itu pemalas! Tubuh sudah bengkak melebihi gajah, obesitas itu termasuk sama anak-anaknya! Mana tiap waktu berisik, kayak yang punya kuping cuma kalian! Si ibu Sumini lagi, sudah tua tapi enggak bisa didik dan malah bikin bobrok!” ucap ibu-ibu berjilbab kuning tadi dan langsung dibenarkan oleh kedua rekannya.
Angga yang tak mau masalah makin melebar, sengaja menutup pintu dan mengusir ketiga ibu-ibu tadi dengan agak paksa. Ia sampai mengunci pintunya.
“Sekarang aku tanya. Berapa sih, uang Mas yang dimakan aku? Ayo kita hitung-hitungan. Gaji Mas empat juta empat ratus. Dua juta buat Mbak Anggun karena kata Mas, sudah menjadi kewajiban Mas. Karena meski Mas bukan anak pertama, bagi Mas yang merasa menjadi penganti ayah sekaligus menjadi kepala keluarga, saudara perempuan akan menjadi tanggung jawab Mas sampai Mas mati! Makanya Mas kasih dua juta ke Mbak tiap bulannya karena Mbak punya banyak anak dan juga banyak kebutuhan!”
Demi meredam rasa sesak di dadanya, Arum sengaja menjeda ucapannya. Ia menghela napas dalam, kemudian kembali berkata sambil menatap Angga yang sudah berdiri di hadapannya, penuh kepedihan, “Lalu, delapan ratus ribu untuk Ibu, lima ratus ribu untuk Andika, tujuh ratus ribu untuk bayar kontrakan, dua ratus ribu untuk bayar listrik. Sisanya masih sering Mas minta buat beli bensin dan rokok, sedangkan dengan sisa uang itu, kalian mewajibkanku menyiapkan makanan lengkap di dapur dan tiap harinya bisa habis di atas seratus ribu!”
“Cukup, Rum. Kamu selancang ini!” tegas Angga murka. Tangan kanannya sudah gemetaran dan sudah sangat ingin menampar Arum.
“Aku belum selesai bicara Mas!” sergah Arum masih belum bisa menyudahi tangisnya, tak kalah keras dari tangis Aidan. Kendati demikian, tak sedikit pun ibu Sumini tergerak menghampiri sekaligus menenangkan Aidan hingga Arum mendorong Angga dari hadapannya kemudian melangkah cepat menghampiri Aidan.
“Jangan lupa, alasan rumah dan tanah kalian kejual bukan gara-gara aku. Rumah dan tanah kalian dijual buat biaya pengobatan alm. Bapak. Terus sisanya buat kuliah Dika, buat modal usaha mas Supri suami Mbak Anggun. Buat beli motor Dika dan mas Supri juga. Terus sisanya buat sesar mbak Anggun! Jadi tolong, mulai sekarang berhenti mengecapku sebagai parasit rumah tangga!” Tak tanggung-tanggung, Arum sengaja membanting pintu kamarnya dalam menutup sekaligus menguncinya.
Angga menggeleng tak habis pikir melihat ulah istrinya. Kemudian, ia melihat keluarganya yang detik itu juga menjadi murung termasuk anak-anak anggun. Kenyataan tersebut membuat benaknya mendadak dihiasi saran Fajar. Talak dan ancaman perceraian. Kedua hal tersebut diyakini Fajar bahkan Angga bisa membuat seorang istri yang bagi mereka tidak bisa apa-apa tanpa suami, menjadi pribadi penurut.
“Kalau kamu enggak suka, kamu cukup bilang karena kapan pun kamu bilang, aku siap melepaskan kamu. Kita beneran akan selesai. Aku talak kamu kalau kamu berulah lagi!” tegas Angga, tapi ia hanya mampu melakukannya dalam hati. Sebab pada kenyataannya, ia juga sangat menyayangi Arum. Tentu saja, hadirnya Aidan juga menjadi alasan kuat untuk mereka baik-baik saja. Karenanya, dengan nada suara lemah jauh berbeda drastis dari sebelumnya, ia berkata, “Rum, ... buka. Aku minta maaf.” Ia berdiri loyo di depan pintu kamarnya tanpa tahu, ibu dan kakaknya yang ada di belakangnya, memelotot sempurna.
Di dalam kamar, Arum yang sudah memangku sekaligus menimang Aidan, berkata, “Sekarang katakan kepadaku, ... salahku di mana, Mas? Apa kurangku ke Mas dan keluarga ini? Mas mau aku jadi istri penurut dan cukup diam kayak Mbak Mas? Ya Alloh, Mas ... saking maunya aku begitu. Saking bahagianya kalau aku bisa jadi begitu. Aku memang bisa melakukan itu, tapi andai aku melakukannya, yang ada raga sama pikiran Mas remuk karena siang malam kerja dan juga harus tetap urus rumah beserta isinya. Mungkin sekarang Mas masih bisa karena Mas masih sehat. Nanti, kalau Mas sakit, terlebih kita enggak mungkin selamanya sehat, mau jadi apa keluarga ini?”
“Dasar wong gemblung! Istri gila, bisa-bisanya doain suami sakit bahkan mati!” teriak ibu Sumini yang detik itu juga terbatuk-batuk.
Di tengah tangis Aidan yang sampai dihiasi jeritan, Arum yang masih menatap putranya itu langsung tersenyum keji. Di luar, terdengar Angga yang langsung menegur sang mamah. Dengan suara pelan, Angga meminta ibu Sumini untuk diam.
“Memangnya keluarga ini bisa apa tanpa aku? Jangan lupa, buat makan sehari-hari saja, kalau bukan dari hasil warungku, keluarga ini kelaparan karena untuk urusan makanan dan iuran, semuanya murni dari uang sisa penghasilan Mas Angga dan sisanya uang warungku. Harusnya kalian berterima kasih lho, ke aku. Harusnya kalian bersyukur dan sadar diri, yang parasit rumah tangga itu aku apa KALIAN!”
“Sudah, Rum ... buka pintunya.” Angga masih membujuk.
“Caramu begitu enggak akan mengubah apalagi memperbaiki keadaan, Mas. Mau sampai kapan, kamu begini? Mau sampai kapan, kita begini? Kalau cara Mas terus begitu, dan Aidan pun juga hanya dapat kasih sayang sisa dari Mas, mulai sekarang aku mau udahan saja. Mulai sekarang aku mau pisah saja, Mas. Begitu jauh lebih akan membuatku memanjakan Aidan. Daripada di sini, sudah capek setengah mati dan Aidan juga enggak keurus. Waktuku habis buat urus keluarga Mas yang lebih cocok jadi pemain sinetron.” Arum mantap dengan keputusannya.
Angga kebingungan dan terlalu syok dengan keputusan Arum. “Ya Alloh, Rum, sudah aku minta maaf.”
“Kalau Angga nikah, yang urus keluarga ini siapa, Mah? Urus biaya rumah sakit bapak, urus biaya sekolah Dika. Urus keperluan sehari-hari? Termasuk ... jatah bulanan buat aku. Jangan-jangan, nanti istrinya Angga malah menguasai semua gaji sekaligus Angganya?”
“Kamu tenang saja. Nanti kita sama-sama urus dan menyumpah Angga agar dia tanggung jawab ke kita, daripada dia salah pilih istri. Lagian si Arum tadi, dia dari keluarga miskin dan dia pun bekas TKW, kan? Tadi si uwa yang jodohin Angga sama Arum, bilangnya gitu, kan?”
“Bentar, Mah ... disumpah bagaimana? Angga disumpah kita, biar dia tetap urus kita, dan dia bisa bikin istrinya tunduk ke kita? Benar sih, Mah. Daripada tuh istrinya jadi parasit rumah tangga keluarga kita. Lagian kan kita sama-sama tahu, Angga orangnya baik banget enggak pernah perhitungan.”
Obrolan tersebut merupakan obrolan antara Anggun dan ibu Sumini, di masa lalu, ketika Angga membawa Arum untuk pertama kalinya datang berkunjung ke rumah mereka, setelah Arum dilamar. Kedatangan Arum ke sana semacam untuk munjung atau mengirimi calon mertuanya makanan. Namun, kenyataan Anggun dan ibu Sumini yang berbincang seperti itu ketika Arum izin ke kamar mandi sementara Angga yang sempat mengantar Arum, memilih pergi ke pekarangan belakang rumah untuk merokok, sukses membuat Arum tercengang.
Ragu, itulah yang Arum rasakan saat itu. Terlebih sejak awal pertemuan saja, Anggun dan ibu Sumini terus menyikapinya dengan ketus. Saat itu, baik Anggun dan ibu Sumini tidak segendut sekarang, selain keduanya yang masih bisa beraktivitas layaknya manusia pada kebanyakan. Bukan seperti sekarang yang sekadar ambil minum saja sibuk menyuruh dan apa-apa serba ingin dilayani oleh Arum.
Tentunya, Arum langsung menyikapi kenyataan tersebut dengan serius. Arum bahkan sampai mengutarakan hal tersebut kepada keluarganya. Namun, apa yang Arum dapatkan?
“Kamu yah Rum, udah jangan bikin malu! Kamu itu sudah tua. Ibarat kelapa kamu ini kelapa kiring. Jadi tolong jangan pilih-pilih. Kasihan adikmu udah dilamar lama, masa harus menunggu lagi, gara-gara kamu belum menikah. Lagian, kamu sudah menikah. Berani kamu sampai mengembalikan lamaran Angga, itu sama saja kamu mateni—membunuh Ibu!” semprot ibu Rusmini selaku mamah Arum.
“Kamu kalau mau ngapa-ngapain mbok dipikir dulu, Rum. Hubungan kamu dan Angga ini menyangkut keluarga besar. Sana sini sudah capek cariin jodoh buat kamu. Tetangga juga sudah heboh karena kamu sudah terlalu sering menolak lamaran. Jangan bikin malu lagi!” ucap Seno, yang tak lain kakak Arum.
Sementara Widy adik Arum yang sudah dilamar lama, hanya diam meski wanita muda yang usianya hanya terpaut tiga tahun lebih muda dari Arum, tak hentinya menatap Arum dengan lirikan sinis.
“Kalau Widy mau menikah ya menikah saja, enggak apa-apa. Sementara aku, aku akan ke Hongkong lagi buat kerja daripada di sini, aku hanya bikin malu keluarga,” balas Arum saat itu menyikapi dengan setegar sekaligus sesabar mungkin sebab keluarganya memang tak kalah kejam dari keluarga Angga.
Bertahun-tahun bekerja dan hasilnya nyata, dari untuk menyekolahkan Seno dan Widy, sampai merenovasi rumah menjadi gedong, bahkan beberapa petak sawah sampai terbeli, kenyataan Arum yang belum menikah, sementara selama itu Arum sudah terlalu sering menolak lamaran, seolah menjadi borok tersendiri untuk keluarganya. Pernikahan Arum menjadi satu-satunya hal yang harus Arum lakukan demi menyudahi borok sekaligus aib keluarga akibat status Arum. Upaya Arum menolak gagal bahkan Arum dianggap sebagai anak durhaka andai Arum nekat kabur meski kaburnya Arum untuk kembali bekerja yang hasilnya Arum berikan kepada keluarganya, membuat mereka merasakan kehidupan layak.
Arum si anak malang yang dilarang melanjutkan sekolah hanya karena selain tidak ada biaya, Arum juga merupakan wanita yang bagi ibu Rusmini hanya akan menghabiskan waktunya di dapur, menjadi ibu rumah tangga yang mengabdi kepada keluarga, tetap dipaksa menikah dengan Angga. Hingga Arum tak memiliki pilihan lain, dan ketika satu minggu dari pernikahan Arum nekat pulang karena sudah langsung diperlakukan layaknya budak oleh keluarga Angga, yang ada Arum malah diusir. Arum dianggap membuat malu. Tak ada tempat di rumah orang tua Arum, meski yang membuat rumah mereka menjadi gedong juga masih karena jerih payah Arum. Juga, tak ada pembelaan dari Seno maupun Widy walau selama Arum bekerja menjadi ART baik di dalam negeri maupun di luar negeri, sebagian uang Arum juga dipakai untuk biaya sekolah, biaya hidup, termasuk alasan Seno dan Widy bisa merasakan enaknya hidup berkecukupan bahkan mewah.
Kenyataan semua itu juga yang membuat Arum merasa sendiri. Di keluarga sendiri dimusuhi, di keluarga suami lebih-lebih. Kini, masih berderai air mata, Arum yang masih mengunci diri di kamar, masih mengabaikan bujuk rayu Angga. Sementara di sekitar angga, anak-anak Anggun sudah sibuk merengek kelaparan. Kenyataan yang juga membuat Angga meminta Arum untuk keluar.
“Mereka kan punya Mamah. Bapaknya sebentar lagi juga pulang. Sekarang aku disuruh siapin makan anak-anak, setelah itu tinggal urusin suaminya juga. Dikiranya aku gundik apa.” Arum sudah mengemasi semua pakaiannya dan juga pakaian Aidan ke dalam ransel jinjing. Ia siap pergi dari sana andai Angga tetap tidak mau bersikap tegas.
“Aku mau kerja lagi, Rum. Bata-bata yang sudah dibuat harus segera dibakar karena yang pesan sudah nagih!” seru Angga.
Lelah, Arum memilih tidur. Untuk pertama kalinya ia abai kepada Angga. Bahkan gedoran keras yang menghiasi pintu kamarnya, tetap Arum abaikan.
***
“Suami baru pulang kerja, dibuatkan kopi apa bagaimana!”
Suara tersebut Arum kenali sebagai suara Supri. Arum baru saja terbangun dan itu pun karena Aidan menangis. Perutnya masih keroncongan, tapi ia dengan sigap menyumpalkan sumber ASI sebelah kanannya kepada Aidan, dengan sangat hati-hati. Kini, sambil tetap bungkam, Arum menyimak obrolan di luar sana. Obrolan antara Anggun dan sang suami yang memang tidur di kamar sebelah, kamar belakang yang Arum tempati.
Di kontrakan kecil itu memang hanya ada dua kamar, sebuah dapur tidak begitu luas dan bersebelahan dengan kamar mandi, juga sebuah ruang keluarga yang juga merangkap sebagai ruang tamu dan keberadaannya ada di depan kamar Anggun dan Arum. Di ruang tamu tersebut, ibu Sumini tidur bersama ketiga anak Anggun yang besar. Jika Dika pulang, Dika juga akan tidur di sana. Bisa kalian bayangkan bagaimana sumpeknya keadaan di sana karena tiga keluarga ditampung menjadi satu.
Sebenarnya, dari awal Angga sudah menawari Anggun dan keluarganya termasuk ibu Sumini, untuk mengontrak sendiri. Namun dengan banyak dalih sekaligus drama, mereka terus meramaikan rumah tangga Arum dan Angga. Termasuk suami Anggun, pria itu juga seolah tak punya urat malu karena masih saja membiarkan keluarga kecilnya menjadi parasit di rumah tangga adik iparnya. Sudah setiap bulan digaji, makan dan tempat tinggal juga masih menumpang.
“Capek banget ih Mas,” ucap Anggun.
Arum masih bisa mendengarnya dengan jelas walau suara televisi masih menghiasi ruang keluarga, dan benar-benar berisik.
“Secapek-capeknya kamu kan masih capek aku, Dek. Aku kerja seharian lho.”
“Ih, Mas sudah malam kok ngajak ribut. Beneran lho, aku capek banget. Sudah sana bangunin Arum saja, biasanya juga begitu. Minta buatkan kopi ke Arum.”
“Arum sudah tidur, Dek. Lagian kan yang istri aku, kamu.”
“Sudah sana bangunin aja si Arum. Gedor pintunya yang keras biar telinganya dengar!”
Mendengar itu, Arum menggeleng tak habis pikir. Mau digedor sampai tangan kalian lepas, kali ini aku tetap enggak peduli! Batinnya.
Namun, Supri tak sampai membangunkan Arum walau tak lama setelah itu, aroma kopi hitam tercium begitu harum. Arum yakin pria itu lebih memilih membuat kopi sendiri daripada membangunkannya. Namun, ada sisi lain dari sosok Supri yang sampai sekarang Arum sembunyikan. Sisi lain yang juga membuat Arum jijik hingga Arum memilih menjaga jarak dari pria itu.
***
Paginya, Arum sengaja bangun pagi-pagi. Ia merebus air untuk mandi, setelah ia juga memasak nasi dan membuat sayur bening lengkap dengan merebus tiga butir telur sekaligus. Arum sengaja memboyong semua makannya ke kamar. Ia makan kenyang di kamar, memberi Aidan ASI, dan terakhir Arum memutuskan untuk mandi. Di sebelah Aidan, Angga masih tidur. Sekitar pukul dua pagi pria itu pulang. Karena selain bekerja di bank, Angga juga memiliki pekerjaan tambahan yaitu membuat batu bata. Namun tetap saja hasilnya masih untuk Anggun sekeluarga.
Kadang, Arum merasa sangat kasihan kepada suaminya. Namun karena semua arahan agar sang suami berhenti memanjakan keluarganya malah membuat keributan di antara mereka, Arum sudah tidak bisa berkomentar. Kini saja, sembilan puluh tujuh persen, Arum sudah mantap untuk bercerai. Ia ikhlas Angga menjadi sapi perah keluarga tanpa mau ikut campur lagi.
Tak lama setelah Arum keluar dari kamar dan membawa handuk sekaligus pakaian ganti, dari balik pintu kamar Anggun, Supri langsung beraksi. Layaknya maling yang melakukan segala sesuatunya dengan hati-hati, Supri berjalan mengendap menyusul Arum.
Mumpung semuanya masih pada tidur apalagi semenjak lahiran, Arum jadi makin cantik! Batin Supri sangat bersemangat.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!