''Selamat datang ya Bu Zulaikha dan Pak Radit, semoga kalian betah tinggal di desa ini.'' Pak RT berkata dengan begitu ramah, aku menyuguhkan teh hangat beserta kue kering di atas meja di depan Mas Radit dan Pak RT, sebagai cemilan teman ngobrol mereka. Suamiku dan Pak RT duduk di kursi yang ada di teras depan rumah, aku berulangkali menawarkan agar Pak RT masuk ke dalam rumah, duduk di ruang tamu saja, tapi beliau selalu menolak, katanya ngobrol di luar jauh lebih nyaman dan katanya juga, ia tidak akan lama bertamu di rumah kami. Rumah yang baru sehari kami tempati.
''Iya, Pak. Insya Allah kami akan betah. Desa ini terasa begitu adem udaranya, dengan pohon-pohon yang tumbuh dengan rindang mengelilingi rumah, membuat suasana terasa begitu adem dan nyaman. Istri saya sangat suka sama tempat-tempat asri seperti ini.'' Mas Radit membalas ucapan Pak RT sambil menyeruput teh yang aku suguhkan, dan aku mengangguk kecil, sebagai tanda kalau aku setuju sama apa yang di katakan oleh suamiku. Aku duduk di bawah, di atas anak tangga teras rumah dengan menghadap ke samping, tatapan mataku fokus melihat ke rumah yang ada di samping rumah kami, rumah tak berpenghuni, aku melihat ke arah jendela rumah, entah kenapa rasa-rasanya aku seperti melihat seseorang tengah berdiri di dekat jendela, dan orang itu seperti tengah memperhatikan aku juga. Berulangkali aku mengucek mataku, untuk memastikan kalau aku sedang tidak salah lihat. Kadang sosok orang yang berdiri di jendela itu terlihat, dan kadang tidak, hingga aku bingung sendiri karenanya.
''Dek, kamu kenapa?'' pertanyaan dari Mas Radit berhasil mengalihkan perhatian ku, hingga aku tidak memperhatikan rumah itu lagi.
''Mas, itu, aku seperti tengah melihat orang sedang berdiri di dekat jendela rumah besar itu,'' jawab ku sambil menunjuk kearah rumah bertingkat tak terawat.
''Mana ada, Dek. Kamu jangan ngawur gitu,'' sanggah Mas Radit.
''Tapi ....,'' ucapan ku menggantung, aku melihat ke arah jendela lagi, dan ternyata memang tidak ada apa-apa di sana. Yang terlihat hanya tirai berwarna putih yang tergantung di jendela.
''Iya Bu Zulaikha, lagian rumah itu sudah dari beberapa tahun tidak di huni,'' timpal Pak RT.
''Sayang sekali, ya, Pak. Padahal rumah nya begitu bagus dan besar, bertingkat pula.'' Ucap Mas Radit.
''Iya. Tapi kami warga setempat tidak tahu pasti siapa pemilik rumah besar itu. Karena waktu penghuni rumah itu masih tinggal di rumah itu, mereka tidak mau berbaur sama warga setempat, mereka itu tertutup.'' Jelas Pak RT.
''Emang sebelum pindah mereka tidak melakukan pendataan Pak?'' tanyaku penasaran.
''Mereka itu orang berduit, jadi mereka bertindak semau mereka. Waktu itu saya belum menjabat sebagai Pak RT. Tapi Pak Yanto lah yang menjadi RT waktu itu, tapi sayangnya Pak Yanto sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu.''
''Innalillahiwainnaillahirrojiun.'' Aku dan Mas Radit berucap bersamaan.
''Ya sudah kalau begitu saya pamit dulu, ya. Kalau ada apa-apa dan butuh bantuan, kalian temui saja saya dirumah.''
''Baik Pak.'' Jawabku dan suamiku bersamaan.
Pak RT berlalu pulang ke rumahnya dengan mengendarai sepeda motor, karena jarak antara rumah yang di tempati nya dan jarak rumah baru kami lumayan jauh. Rumah kami berada di ujung desa, terpencil dari rumah-rumah warga lain dan bertetanggaan dengan rumah besar dan megah tapi tak berpenghuni.
Selepas kepulangan Pak RT, Mas Radit juga pamit masuk ke dalam rumah, katanya ia ingin melihat Putra kami yang tengah tidur di kamarnya.
Kini tinggal aku sendiri di teras rumah, lagi-lagi tatapan ku tertuju ke rumah besar itu, entah kenapa bulu kudukku jadi merinding menatap rumah itu. Rumah yang tumbuhan merambat sudah menjalar hingga ke lantai dua. Aku sebenarnya merasa tidak nyaman karena harus bertetanggaan dengan rumah besar tersebut, tapi apa mau di kata, karena di desa yang baru kami singgahi tidak ada rumah lain lagi selain rumah yang kami tempati sekarang. Karena suatu tugas dan bentuk pengabdian nya, terpaksa aku harus mengikuti kemana saja suamiku pergi, termasuk pindah ke desa terpencil, karena suamiku akan menjadi kepala sekolah di sekolah dasar yang ada di desa ini.
Bersambung.
Malam harinya, Mas Radit pamit keluar, ia akan pergi ke rumah Pak Rt, karena katanya ada beberapa berkas yang harus ia urus dengan segera di sana, karena besok pagi ia akan mulai masuk ke sekolah dasar, dan katanya lagi, ada salah satu guru yang sedang menunggu diri nya di rumah Pak RT, guru yang akan memberikan Mas Radit beberapa masukkan dan penjelasan mengenai sekolah baru yang akan Mas Radit pimpin.
Aku di rumah dengan di temani putra semata wayang ku, putra ku yang baru menginjak usia lima tahun. Namanya Aqeel, anakku tumbuh sehat dengan tubuh nya yang bongsor dan pipi nya yang chubby. Aqeel sungguh menggemaskan, membuat aku ingin terus menciumi nya. Tadi sebelum Mas Radit berangkat, aku sudah berpesan kepadanya agar ia tidak lama di rumah Pak Rt. Mas Radit pun mengatakan kalau semua urusannya sudah selesai, maka dirinya akan segera pulang.
"Sayang, mainannya Mama bereskan sekarang, ya. Aqeel udahan dulu mainnya, setelah ini Aqeel bobok, karena sekarang udah jam sembilan malam, sudah waktu anak Mama bobok." Kataku lembut seraya mengelus pucuk kepala putraku dengan penuh kasih sayang.
"Iya, Ma." Aqeel menyahut ucapan ku seraya mengangguk kecil.
Aku dan Aqeel duduk di atas tikar di ruang keluarga yang tak terlalu besar. Aqeel begitu asyik dengan mainan robot-robotan dan mobil-mobilannya, sedangkan aku begitu asyik menonton televisi. Di rumah yang baru kami tempati ini, kami membawa sebuah televisi berukuran sedang sebagai hiburan untuk kami selama kami berada di rumah. Untungnya di desa ini listrik sudah masuk, jadi, kami tidak merasa begitu kesepian di rumah, karena ada televisi dan ponsel sebagai hiburan.
Aku memasukkan satu persatu mainan Aqeel ke dalam keranjang khusus tempat menaruh mainan. Aqeel membantu aku memasukkan mainan ke dalam keranjang, ah ... putranya memang anak yang pintar.
Mas Radit masih belum pulang, jujur, hanya tinggal berdua bersama putra ku di rumah yang masih terasa asing ini membuat aku sedikit takut, apalagi di samping kiri kanannya tidak ada tetangga sama sekali.
Saat mainan Aqeel sudah selesai kami masukkan ke dalam keranjang, kami ingin beranjak menuju tempat tidur, tapi tiba-tiba saja listrik padam, dan semua lampu yang ada di rumah kami tak ada yang menyala, hal itu membuat aku dan Aqeel kaget, bahkan Aqeel berteriak kecil untuk mengekspresikan ketakutan nya. Aku merasa begitu panik, apakah di desa ini memang sering terjadi pemadaman listrik? pikirku bertanya-tanya di dalam hati.
Aku berjalan dengan langkah kaki pelan, dengan Aqeel berada di gendongan aku, pelukan Aqeel terasa kuat mencengkram tubuh ku. Aku berjalan meraba-raba menuju rak televisi, karena tadi aku meletakkan ponsel ku di atas rak televisi. Aku ingin mengambil ponsel untuk membantu sebagai alat penerang, selain itu karena aku ingin menghubungi Mas Radit. Aku sungguh merasa takut sekarang, apalagi tiba-tiba suara pintu belakang terdengar terbuka. Aku merasa gemetaran. Tapi karena mengingat putra ku yang tengah aku gendong, aku tetap berusaha untuk menghalau rasa takut itu, sebagai seorang ibu, aku harus bisa melindungi putra ku dalam kondisi dan situasi apapun.
Setelah meraba-raba ponsel ku di atas rak televisi, akhirnya aku menemukan benda pipih milikku itu. Aku menyalakan nya dengan cepat, dan suara pintu belakang masih terdengar di buka tutup dengan keras. Siapa pelakunya? Terkena hembusan angin kah? Tapi itu sungguh tak mungkin, karena sore tadi aku sudah mengunci pintu itu dengan baik.
Tiba-tiba aku jadi kepikiran sama rumah besar yang berada tepat di sebelah rumah yang kami tempati sekarang, entahlah, aku merasa ada sesuatu di rumah itu. Sesuatu yang tidak tahu apa.
Aku membawa Aqeel memasuki kamar, aku sungguh tak peduli dengan suara pintu belakang. Yang aku inginkan sekarang adalah aku segera tiba di kamar, lalu aku akan mengunci diri ku dan Aqeel di dalam kamar, sungguh suasana terasa begitu mencekam menurut ku. Apalagi suara desauan dedaunan yang terkena hembusan angin di luar begitu jelas terdengar, membuat aku merasa semakin ketakutan.
Untungnya tidak ada gangguan yang berarti saat aku berjalan menuju kamar, setelah sampai di dalam kamar, aku menguncinya cepat dari dalam, lalu aku dan Aqeel berbaring di atas tempat tidur, tidak lupa aku menyelimuti tubuhku dan Aqeel dengan selimut tebal. Aqeel masih setia memeluk tubuh ku.
Jari-jari ku bergerak lincah di atas layar ponsel, aku mencari kontak suami ku, entahlah rasanya begitu sulit bagi ku untuk menemukan kontak suamiku, biasanya tidak begini, mungkin karena kini aku melakukan nya dalam keadaan takut dan tangan gemetar.
"Aqeel bisa baca ayat pendek, 'kan?'' tanyaku berusaha mengusir rasa takutku.
''Bisa, Ma. Aqeel bisa baca surah Al Fatihah, Al ikhlas, An-Nas dan Al Falaq.'' Jawab Aqeel dengan suara yang begitu lirih. Ia menenggelamkan wajah nya di dadaku.
''Ya udah, Aqeel baca surah-surah itu, ya, Nak. Jangan sampai putus.'' Pinta ku lembut. Derajat manusia lebih tinggi dari mahluk apapun di muka bumi ini, jadi aku tidak boleh lemah dan takut. Aku harus berusaha untuk melawan gangguan yang datang kepada kami.
''Iya, Ma.'' Jawab Aqeel.
Setelah beberapa saat akhirnya aku berhasil menghubungi suamiku, satu kali panggilan tidak terangkat, dua kali panggilan pun tetap tidak di angkat, hingga panggilan ketiga, aku bernafas lega, karena suamiku mengangkat panggilan dari ku.
"Hallo Mas,'' ucapku cepat dengan tarikan nafas terasa berat. Sungguh aku sudah tidak sabar lagi ingin menceritakan kepada suamiku kalau rumah yang kami tempati sekarang ada yang tidak beres.
''Kamu, kamu adalah wanita yang telah aku pilih untuk menemani aku selanjutnya. Kikikikikik ....," aku menjatuhkan ponsel yang ada di pegangan ku dengan begitu saja saat aku mendengar suara serak dan berat yang menjawab ucapan ku. Kemana Mas Radit? Kenapa malah orang lain yang menjawab panggilan dari ku. Dan tadi itu siapa? Aku benar-benar takut, aku mohon jangan ganggu aku, aku hanya ingin hidup dengan tenang. Suara lengkingan tadi telah berhasil membuat jantung ku berdetak lebih cepat, dan juga, aku merasa air mata telah keluar dari mataku. Aku mendengar Aqeel masih tetap membaca ayat pendek dengan pasih dengan suaranya yang lirih. Akupun ikutan membaca ayat-ayat pendek dengan mata aku pejamkan, sungguh aku tidak ingin melihat penampakan apapun di rumah ini. Aku juga meminta agar putra ku juga menutup matanya, karena terkadang karena mata, kita bisa binasa.
Tidak lama setelah itu, aku merasa selimut yang menutupi tubuh kami ada yang menarik nya, aku pun tidak mau kalah, aku juga ikut menarik selimut dengan tetap membaca ayat-ayat pendek. Kita lihat, siapa yang menyerah, aku atau kamu mahluk menyedihkan.
Bersambung.
Aku pulang jam sebelas malam, begitu sampai di depan rumah, aku merasa heran kenapa lampu di rumah kami mati, sedangkan di rumah tetangga yang aku lewati di jalan tadi semuanya pada hidup. Aku masuk ke dalam rumah dengan mengucap salam dan mengetuk pintu, setelah mencoba beberapa kali tidak ada jawaban dari dalam, akhirnya aku membuka pintu dengan kunci cadangan yang aku bawa. Mungkin Zulaikha sudah tidur, pikirku.
Begitu pintu sudah terbuka, aku masuk ke dalam rumah, tapi sebelum itu, aku mengambil kursi yang ada di teras rumah, lalu aku mengecek ampere listrik yang ada di dekat pintu utama, dan benar saja, ternyata tombol ampere bergeser menjadi tombol off. Aku pun menggeser tombol ke posisi on, dan setelah itu lampu menyala kembali. Aku tersenyum lega karenanya. Setelah itu aku melanjutkan langkah kaki ku masuk ke dalam rumah, aku langsung saja menuju kamar, karena terlalu lama duduk di rumah Pak RT tadi, membuat punggung ku sedikit pegal, rasanya aku ingin segera merebahkan tubuh di atas kasur di samping istri ku.
Begitu sampai di dalam kamar, aku melihat istri dan anakku tidak ada di dalam kamar kami, dan tempat tidur juga terlihat berantakan dengan sprai dan selimut yang berjatuhan ke lantai, aku sungguh heran melihat kekacauan yang terjadi di rumah yang baru kami tempati, entah kenapa perasaan ku jadi tidak enak. Aku lalu berjalan menuju kamar putra ku, dan sama saja, aku tetap tidak menemukan keberadaan dua orang yang begitu berarti di dalam hidup ku.
Aku berteriak panik memanggil anak dan istriku, aku berjalan ke depan dan kebelakang dengan langkah kaki lebar, begitu tiba di belakang, aku melihat pintu belakang terbuka lebar. Akupun lalu memanggil istri dan anakku dengan suara sengaja aku keras kan. Suasana di belakang rumah terasa menyeramkan, apalagi rimbunnya pohon bambu yang tumbuh subur di belakang rumah semakin membuat bulu kudukku merinding. Ah, mana mungkin Zulaikha keluar malam-malam dengan membawa putra kami yang masih kecil, tapi kalau di pikir-pikir aneh juga, ke mana perginya Zulaikha dan anak kami malam-malam begini? Dan kenapa pintu belakang terbuka lebar.
Karena tidak ada tetangga samping rumah kami, membuat aku begitu kebingungan harus bertanya kepada siapa. Aku tidak tahu harus mencari istri dan anakku kemana, desa dan tempat ini masih terasa begitu asing untukku.
Aku ingin menutup pintu belakang, aku akan melaporkan kehilangan anak dan istriku kepada Pak RT dan warga setempat, aku tidak mungkin mencari keberadaan ku sendiri, karena aku benar-benar tidak tahu anak dan istri ku berada di mana.
Saat aku akan menutup pintu belakang, aku tidak sengaja melihat bayangan putih terbang di dekat pucuk pohon bambu, aku mengucek mataku beberapa kali untuk memastikan kalau aku tidak salah lihat, dan benar saja setelah itu aku tidak melihat apa-apa lagi. Mungkin aku hanya berhalusinasi saja, karena merasa begitu takut, membuat aku berpikiran yang aneh.
Aku berjalan menuju motorku yang ada di depan teras, tapi saat aku akan menaiki motorku, aku mendengar suara teriakan seseorang dari rumah besar tak berpenghuni yang ada di sebelah rumah kami. Aku melihat ke arah rumah itu, rumah itu tampak sangat menyeramkan.
Bersambung.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!