Bab 1. Bapak kenapa
Siang ini udara terasa panas, pukul dua siang tepat Soya keluar dari kelas, setelah berbicara dengan beberapa temannya dengan bergegas Soya berjalan menuju gerbang sekolah.
Langkah Soya terhenti sejenak saat melihat beberapa teman masih berkumpul dan bergurau, "Hai, saya pulang dulu!" ujar Soya sembari menyapa beberapa teman yang lewat.
Melewati pos satpam Soya sedikit melambatkan langkah kakinya, "siang Pak!" sapa Soya pada pak satpam sembari berjalan perlahan. Sepanjang perjalanan pulang Soya tersenyum gembira saat melangkah meninggalkan gerbang sekolah. Senyum Soya tak kunjung hilang saat Soya mengingat hasil ujian tengah semester yang baru di lakukan beberapa hari, membuat Soya sedikit berbangga diri. "Alhamdulillah, Soya tak mendapat remidi," gumanya sembari berjalan di trotoar dan sesekali mengangguk dan tersenyum membalas beberapa sapaan teman-temannya. Pulang sekolah dengan berjalan kaki membuat kesenangan tersendiri untuk Soya, meskipun jarak antara sekolah dan rumah kurang lebih satu kilometer.
Soya terus melangkah hingga Soya tiba di gang menuju rumahnya. Udara yang panas membuat Soya harus mencari tempat yang teduh berjalan di bawah pohon yang rindang.
Namun, langkah Soya tiba-tiba terhenti saat beberapa langkah sebelum memasuki rumah.
Soya terkejut saat melihat banyak orang yang berkerumun di depan rumah. "Ada apa? Kenapa begitu banyak orang berkumpul di rumah?" tanya Soya pada dirinya sendiri.
Soya tanpa menunggu lama, sudah berlari menuju rumah dan menerobos kerumunan warga, "permisi, ada apa?" tanya Soya masuk dengan paksa dalam rumah.
Tubuh Soya seketika merosot lemah dan terduduk di lantai saat menatap sang bapak tak berdaya di ranjang. "Kenapa Bapak dan apa yang terjadi?" tanya Soya sembari menangis.
Sementara sang Ibu hanya duduk terdiam menatap sang suami dan menangis tanpa suara. "Bu, kenapa Bapak?" tanya Soya.
"Bu Warti sesaat memadang Soya dan langsung memeluk Soya dengan tangisnya.
"Bapak-Bapak kamu Soya, Bapak ...,"belum selesai Bu Warti bercerita, tangis Bu Warti kini kembali pecah tergugu dalam pelukan anak gadisnya.
Hingga beberapa ibu tetangga berusaha menenangkan Bu Warti. Soya akhirnya sedikit merapat ke arah Bapaknya. "Astafirullah, Bapak. Bapak kenapa? Apa yang terjadi Pak?" tanya Soya dengan menangis.
Soya kini hanya bisa memandang tubuh bapak yang tak berdaya, berbaring di ranjang dengan tubuh lemah, perlahan satu persatu warga mulai berangsur pergi meninggalkan Soya dan Bu Warti. Pak Kadir hanya bisa menatap dua wanita yang kini tengah menangis meratapi dirinya yang hanya bisa berbaring di atas ranjang. Tak banyak yang Pak Kadir katakan hanya napasnya saja yang terdengar begitu berat.
"Bu, apa yang terjadi?" tanya Soya pada akhirnya dengan pelan.
"Entalah Soya, Bapak pulang di antar para tetangga dengan keadaan lemah seperti ini.
Ada yang bilang Bapak kamu habis di hajar oleh beberapa orang dan kakinya!" tangis Bu Warti kembali pecah, Bu Warti tak menyangka jika ini akan terjadi pada suaminya.
Soya seketika mengerutkan keningnya, menatap lekat pada sang bapak. Soya seakan tersadar dengan apa yang terjadi. Sejenak Soya mengikis air matanya, menatap ke arah sang Bapak curiga. "Bapak! Bapak tak sedang membuat ulah lagi kan? Bapak tak sedang mabuk atau Bapak kalah berjudi?" tanya Soya menyelidik.
Mendengar ucapan Soya seakan Bu Warti baru menyadari apa yang terjadi. Tangis Bu Warti seketika mereda dan ikut mendekat. "Pak! Apa benar yang Soya katakan, apalagi yang Bapak lakukan," ujar Bu Warti geram sembari mengikis air mata. Pak Kadir kembali terdiam, saat dua wanita di depannya bertanya dengan curiga. Pak Kadir hanya bisa meringis kesakitan merasakan tubuh dan kakinya saat di gerakkan. Namun tak satu kata pun muncul dari bibir Pak Kadir.
Soya yang tadi merasa iba kini berubah menjadi amarah, Soya hanya bisa menahan rasa geram di hatinya. "Bapak! Bapak selalu begitu, Bapak sungguh keterlaluan, Bapak masih saja berjudi dan mabuk, Soya malu Pak! Bapak, masih belum puas Bapak menyiksa Ibu dengan mabuk dan berjudi!" ujar Soya sembari duduk di kursi.
Pak Kadir kini hanya bisa terdiam, wajah lebam dan kaki yang luka dan mengeluarkan darah semakin membuat Soya meradang. "Argh! Bapak selalu saja membuat ulah," ujar Soya geram sembari masuk dalam kamarnya.
Di dalam kamar Soya hanya duduk diam, Soya tak menyangka jika sang bapak masih juga belum berubah dari tabiat buruknya, sesaat Soya menghela napas dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar. "Huff ... "Guman Soya lirih sembari menuju almari dan tak berapa lama Soya sudah mengganti bajunya.
Siang ini suasana rumah sedikit berbeda, bapak yang selalu pulang malam dan entah apa yang Bapak lakukan di luar sana, kini hanya bisa terbaring lemah di atas ranjang dengan tubuh lemah. Keluar dari kamar Soya sesaat melihat ke arah Bapaknya dan kemudian Soya hanya bisa menggeleng tak percaya. Langkah Soya kini menuju dapur, melihat sang ibu hanya duduk termenung sembari memegang baskom.
"Bu!" sapa Soya lirih.
"Soya!" jawab ibu sembari mengikis air matanya.
"Bu, sudah. Soya tak ingin melihat Ibu menangis lagi, kini Bapak sudah kena batunya dan semoga setelah kejadian ini Bapak bisa sadar," ujar Soya sembari menuang air putih dan kemudian Soya meminumnya hingga tandas.
Bu Warti hanya bisa menghela napas saat mendengar ucapan Soya, sejenak ibu tersenyum menatap Soya dan memeluk Soya erat. "Terima kasih, beruntung Ibu memiliki anak seperti Soya, meskipun Soya tahu bagaimana tabiat Bapak, tetapi Soya masih mau menerima keburukan Bapak," tutur Bu Warti lirih sembari mengusap wajah Soya.
"Agh, sudahlah Bu! Ibu, jangan membesarkan ucapan Ibu, kenyataan ini juga yang membuat Soya berpikir positif, sekarang sebaiknya Ibu di rumah saja biar Soya yang mengambil kue basah dan menjajakannya," ujar Soya sembari mencium tangan Bu Warti.
Soya segera melangkah begitu saja hingga panggilan sang Ibu membuat Soya berhenti.
"Soya!" panggil Bu warti.
"Ya, Bu!" jawab Soya sembari menghentikan langkahnya, "ada apa?" tanya Soya penasaran.
Soya yang penasaran akhirnya berjalan mendekat, "ada apa? Jangan buat Soya bingung Bu," jawab Soya pelan.
"Agh. enggak, hati-hati," ujar Bu Warti pada akhirnya.
"Ibu yakin, tidak memerlukan atau membutuhkan sesuatu?" tanya Soya lirih.
"Berangkat saja Soya, Ibu tidak memerlukan apa-apa, nanti akan semakin sore," ujar Bu Warti pelan.
Soya hanya mendengus kesal saat sang Ibu hanya membuat Soya bingung dan penasaran. "Soya berangkat Bu!" pamit Soya lagi.
Soya hanya melihat sekilas ke arah sang Bapak yang terbaring, Soya seketika mendengus kesal saat melihat sang Bapak terlelap dengan nyaman. "Ash, selalu seperti ini," guman Soya kesal sembari menutup pintu kamar dan berlalu pergi.
Bab 2. Semakin sulit
Bu Warti hanya bisa menatap kepergian Soya hingga terdengar suara pintu di tutup Bu Warti baru berdiri dan masuk dalam kamar.
Bu Warti hanya menghela napas berat, menatap laki-laki yang terbaring lemah dengan wajah sembab dan kaki yang masih mengeluarkan darah. Bu Warti sejenak memeriksa luka sang suami dan seketika Bu Warti menghentikan gerakan tangannya saat melihat sang suami meringis kesakitan.
"Beruntung masih ada orang yang baik dan mau menolong," tutur Bu Warti dan sekali lagi menghela napas.
Suara adzan magrib sudah terdengar berkali-kali Bu Warti berdiri di depan pintu dengan sesekali melongokkan kepala ke arah jalan. Perasaan khawatir mulai menghantui Bu Warti saat Soya anak gadisnya tak kunjung pulang. Hingga teriakan Pak Kadir dari dalam kamar yang terus merancau memanggil nama Bu Warti.
Bu Warti dengan geram masuk dalam kamar.
"Pak. Kenapa Bapak terus saja berteriak. Apa Bapak tidak dengar jika masih adzan magrib!" ujar Bu Warti geram.
"Bu, Bapak haus. Kepala Bapak juga pusing," ujar Pak Kadir menghiba. Bu Warti yang tadinya geram kini sedikit meredakan ucapannya. "Lain kali jangan berteriak Pak!" tutur Bu Warti sembari berlalu dari kamar dan menuju dapur.
Bu Warti yang sedang mengambil gelas seketika terkejut saat mendengar teriakan dari luar.
"Kadir!" panggil seseorang yang berteriak memanggil hingga berulangkali sembari menggedor pintu rumah.
Bu Warti seketika meletakkan gelas yang di ambilnya dan berjalan sedikit tergesa, Bu Warti membuka pintu. Bu Warti menatap dengan heran laki-laki yang berdiri di depannya. "Anda siapa?" tanya Bu Warti ragu.
"Mana Kadir, laki-laki pengecut itu! Beruntung sekali Kadir masih hidup. Oh, rupanya pelajaran yang saya berikan masih kurang," ujar laki-laki ini sembari berdiri di depan pintu dengan tatapan nyalang. Tolong sampaikan pada Kadir, lekas kembalikan uang satu juta saya plus bunga," ujar laki-laki ini keras sembari berlalu pergi.
Bu Warti kini hanya bisa terdiam, lidahnya sejak tadi sudah kelu saat laki-laki tadi terus berteriak marah dan memaki. Bu Warti dengan tubuh gemetar menutup pintu dan berjalan menghampiri suaminya. Seketika tangis Bu Warti pecah dan tergugu di depan suaminya.
Pak Kadir yang sedari tadi mendengarkan percakapan sang istri dengan laki-laki di depan hanya bisa menatap sendu saat melihat sang istri menangis.
"Maafkan saya Warti," ujar Pak Kadir lirih.
"Pak, saya salah apa? Hingga Bapak, menyiksa batin Warti dan Soya, selama ini Warti tak pernah menuntut apapun," ujar Bu Warti di sela-sela isaknya.
Malam menjelang isya, menjadi malam yang begitu menyesakkan. Kadir hanya menatap wajah sang istri, hanya terlihat sorot mata Pak Kadir yang meredup penuh penyesalan.
"Bu. Bapak haus, tolong ambilkan minum," seru Pak Kadir lirih. Bu Warti seketika mengikis air matanya, Bu Warti yang masih geram dengan ulah sang suami kini hanya bisa mendengus kesal sembari menuju dapur. Membawa segelas air putih dan menyerahkan begitu saja pada sang suami. "Bu, bagaimana aku bisa minum jika tidur begini?" tanya Pak Kadir dan di jawab Bu Warti dengan kasar.
"Bapak selalu merepotkan!" ujar Bu Warti sembari mengangkat tubuh sang suami dengan kasar.
"Pelan-pelan Bu, lihat kaki Bapak kembali mengeluarkan darah," ujar Pak Kadir sembari meringis kesakitan.
Bu Warti seketika sadar akan sikap kasarnya dan segera melihat kaki Pak Kadir, "astafirullah," guman Bu Warti lirih sembari memberikan air putih pada sang suami.
"Bapak tidur saja, Ibu mau mencari Soya," ujar Bu Warti sembari keluar dari kamar setelah meletakkan gelas di meja.
Namun, langkah Bu Warti terhenti di ruang tamu saat melihat Soya duduk dengan termenung. "Soya, kamu sudah pulang?" tanya Bu Warti lega.
Soya hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Bagaimana jualan sore ini?" tanya Bu Warti lirih. "Alhamdulillah jualan habis Bu, tetapi ... "ucapan Soya, terhenti begitu saja sembari menangis.
"Bu, uang hasil jualan kue di minta teman Bapak untuk membayar hutang Bapak dan Bapak masih menyisahkan hutang sebesar dua ratus ribu," tutur Soya di tengah isaknya.
Mendengar ucapan Soya Bu Warti kembali menghela napas dalam-dalam, tanpa banyak bicara Bu Warti langsung memeluk Soya erat seakan memberi ketenangan pada anak gadisnya. Hingga cukup lama Soya, menangis, "lalu, untuk makan kita esok bagaimana Bu!" ujar Soya pelan.
Bu Warti hanya bisa terdiam dan sehari ini saja Bu Warti hanya mengisi perutnya dengan segelas air.
"Soya. Besok kita jual kue sama-sama, tak apa besok pasti akan ada rezeki yang lain dan Ibu akan jualan dari pagi, Soya sekolah saja," tutur Bu Warti lirih sembari menatap jauh ke depan.
"Andaikan Bapak kamu tak segila itu, mungkin keadaan kita tak begini," ujar Bu Warti pelan.
"Soya," panggil Bu Warti lirih.
"Tadi ... "ucapan Bu Warti terhenti saat datang seorang laki-laki membuka pintu dengan kasar. "Mana suami kamu Warti, ingat dia punya hutang lima ratus ribu dan hari ini sudah jatuh tempo," ujar laki-laki ini sembari duduk di kursi ruang tamu begitu saja.
"Maaf, Pak! Suami saya sedang sakit, tolong beri kelonggaran pada saya," ujar Bu Warti memohon.
"Hah, kelonggaran apalagi. Kau tahu ini sudah enam bulan Warti dan uang itu juga di gunakan suami kamu untuk berjudi," ujar laki-laki ini marah.
Bu warti kini hanya diam, dadanya semakin sesak. "Pak beri kami waktu," ujar Bu Warti sekali lagi.
"Ash. Kau dan suami kamu sama saja!" ujar laki-laki ini sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan sesaat senyum laki-laki ini terkembang, "ah, itu saja sebagai pembayaran hutang suami kamu," ujar laki-laki ini sembari menuju sepeda montor milik Bu Warti.
"Pak, jangan seperti ini! Meskipun sepeda ini buntut, tetapi masih saya gunakan untuk jualan kue dan harganya juga masih di atas lima ratus ribu," ujar Bu Warti.
"Argh, kau! Ambil lagi jika kau sudah melunasi hutang kamu," ujar laki-laki ini sembari mengeluarkan motor yang di parkir di ruang tamu.
Soya dan Bu Warti hanya menatap dengan tangisnya. Soya segera berlari ke kamar sang Bapak dengan amarah yang meluap. Soya seketika menatap tajam ke arah sang Bapak penuh dengan ke bencian. "Argh! Percuma Soya marah dengan Bapak dan perlu Bapak ingat, Soya tak akan berbelas kasihan dengan Bapak. Asal Bapak tahu mulai sekarang Bapak harus bisa merawat sakit Bapak sendiri," ujar Soya sembari berlalu dari kamar Bapaknya.
Malam ini Soya hanya bisa menangis sendiri di kamar, belum lagi sakit hati yang Soya rasakan. Hingga Soya mendengar teriakan keras dari seorang wanita.
Bab 3. Apalagi
"Argh ...! Apalagi ini," ujar Soya sembari berdiri dan melangkah menuju ruang tamu.
Soya sedikit terkejut saat melihat wanita ini sudah mendorong sang Ibu.
"Tante!" teriak Soya tak terima.
Wanita yang Soya sebut sebagai Tante, langsung tersenyum sinis menatap Soya. "Hah! Anak ingusan, jangan ikut campur, ini urusan orang tua dan kamu harus tahu, saya kemari menagih hutang," ujar wanita ini keras.
Soya semakin meradang saat wanita ini kembali berteriak, "Tante! Jika Tante mau menagih hutang, langsung saja pada yang bersangkutan, silahkan! Orang yang meminjam uang Tante ada di kamar dan jangan sekali-kali Tante menghina Ibu saya," ujar Soya emosi.
"Kenapa Tante diam, masuk saja," ujar Soya lagi.
Wanita ini hanya tersenyum sinis sembari menatap ke seluruh ruangan ruang tamu, "mungkin Televisi ini cukup untuk membayar hutang suami kamu Warti," ujar Wanita ini lagi.
Bu Warti, seketika melotot marah saat wanita itu mendekat ke arah Televisi.
"Saya mohon jangan itu, televisi itu milik Soya! Soya mendapatkan itu dengan susah payah," ujar Bu Warti berusaha menghalangi wanita ini.
Soya melihat sang ibu mengiba, membuat Soya semakin geram, " Ibu, jangan bersikap seperti itu dan untuk Tante, andaikan Televisi itu bisa melunasi hutang Bapak, bawa saja. Namun, perlu Tante ketauhi jika Tante masih terus menagih hutang, sungguh Tante akan berurusan dengan Soya," ujar Soya marah.
Tante ini hanya tersenyum sinis, "ya, cukuplah hutang Bapak kamu cuma tiga ratus ribu," ujar Tante ini sembari melepas kabel dari colokan dan mengangkat televisi.
"Baik, Tante bawa saja dan berarti hutang Bapak lunas," ujar Soya geram.
Selepas, Tante ini pergi Soya hanya mendengus kesal, kini Soya tak lagi menangis Soya hanya menatap nanar dan menutup pintu dengan kasar.
"Ibu, jangan pernah meminta belas kasihan dan sebaiknya sekarang Ibu istirahat di kamar Soya. Bu, setelah ini meskipun ada yang berteriak dan mengetuk pintu, tolong Ibu tidur saja karena besok kita harus bekerja Bu!" ujar Soya lirih.
Tengah malam saat Soya terbangun dan tak mendapati sang ibu di sisinya, Soya bergegas bangun dan mencari sang ibu. Langkah Soya terhenti saat melewati dapur, mendapati sang ibu yang tengah menangis. "Bu," panggil Soya lirih sembari memeluk sang ibu.
"Bu, ibu jangan khawatir! Soya akan membantu Ibu, kita mulai dari hutang Bapak yang terkecil dulu dan kita akan mencatat siapa saja yang menagih ke rumah. Paling tidak kita akan berusaha membayarnya Bu! Ingat Soya akan membantu Ibu, Soya tak ingin Ibu sakit, Soya-Soya ... " Soya menghentikan ucapannya begitu saja dan tergugu dalam rangkulan sang Ibu.
Tangisan Soya terhenti saat mendengar suara sang Bapak yang terus terbatuk, perlahan Bu Warti melepas pelukan Soya. "Istirahat Soya, besok Soya sekolah," ujar Bu Warti lirih sembari mengusap wajah anak gadisnya.
Bu Warti melangkah menuju kamar di mana sang suami terus terbatuk. Bu Warti menatap sejenak wajah suaminya yang telah memberinya sakit hati beberapa tahun belakang ini, perlahan Bu warti memeriksa luka sang suami, luka yang terlihat biasa tetapi akan mengeluarkan darah jika untuk bergerak. "Apa lukanya separah ini? Apa ada yang tak beres dengan luka sang suami," guman Bu Warti lirih dan kembali ke dapur dan tak lama kembali masuk dengan membawa satu air ember air hangat.
Perlahan Bu Warti membersihkan wajah sang suami, jelas terlihat banyak lebam di wajah, tangan dan kaki. Perlahan Bu Warti membersihkan tubuh sang suami dengan diam, hingga semuanya sudah selesai, "mulai besok Mas harus bisa merawat tubuh Mas dan luka Mas! Jangan mengharap aku atau pun Soya untuk membantu karena aku dan Soya akan sangat sibuk untuk membayar hutang Mas, Warti harap Mas paham itu. Jangan bertanya apa pun jika di rumah hanya ada air putih, semua ini juga karena kebaikan Mas," tutur Bu Warti pelan
Pak Kadir hanya menunduk mendengar ucapan istrinya, "Warti!" panggil Pak Kadir pada akhirnya.
"Sudah! Mas tak perlu mengatakan apapun, Warti sangat terima kasih, karena Mas sudah sangat baik dengan Warti," ujar Bu Warti sembari melempar handuk yang di pegangnya dengan kasar dalam ember dan keluar dari kamar.
Bu Warti kini memilih tidur di kursi ruang tamu, rasa lelah dengan kejadian kemarin membuat Bu Warti sudah terlelap hingga adzan subuh berkumandang. Bu Warti bergegas bangun dan meminum air hangat untuk mengganjal perutnya.
Melihat sejenak ke kamar Soya, senyum Bu Warti terkembang saat melihat Soya sudah terbangun dan duduk termenung menatap dinding.
"Soya, Ibu berangkat dan ingat Soya harus berangkat sekolah," ujar Bu Warti pelan dan kemudian tak lama terdengar pintu di tutup.
Soya yang sedari tadi duduk melamun tak menjawab suara sang Ibu, berkali-kali Soya hanya bisa menghela napas dengan berat.
Hingga beberapa saat Soya beringsut turun dari ranjang, mengguyur tubuhnya dengan air dingin agar tubuh dan kepala Soya kembali segar.
Soya terkejut saat mendengar suara ketukan pintu, "masih pagi, siapa yang datang?" tanya Soya pada dirinya sendiri.
Bergegas Soya membuka pintu, Soya semakin terkejut saat melihat siapa yang datang.
"Eneng, cantik! Mau sekolah? Bapak Eneng kemana?" tanya laki-laki yang terkenal genit di kampungnya. "Oh, Pak Sobirin, mencari Bapak? Bapak ada, apa Om mau menagih hutang juga?" tanya Soya sedikit sopan.
"Wah! Eneng tahu saja, Bapak Eneng punya hutang sama Om satu juta rupiah," ujar Pak Sobirin. Soya yang mendengar ucapan Om Sobirin langsung menatap Om Sobirin tak percaya.
"Sa-satu juta?" tanya Soya terkejut.
Sejenak Soya mengedarkan pandangannya ke seisi rumah.
"Om. Om, bisa mengambil barang apa saja di rumah ini, jika Om sabar menunggu, Soya akan catat hutang Bapak dan Soya akan usahakan untuk membayar secepatnya. Coba Om masuk dan tanyakan sama Bapak, kira-kira Bapak bisa membayar hutang atau tidak, hutang yang kami tak sedikit pun ikut merasakan uang yang di pinjam Bapak. Oh, ya. Om, setelah ini jangan memberi Bapak hutang lagi," ujar Soya sedikit keras sembari menahan emosi.
"Tenang Eneng, Om sabar menunggu," ujar Om Sobirin sembari berusaha mencolek dagu Soya. Soya yang sigap langsung mengelak dan dengan kasar Soya menutup pintu dengan keras.
Soya, hanya bisa menahan amarah yang sudah terpicu dari kemarin, tak urung tangan Soya mencatat juga jumlah hutang sang Bapak. Soya kini mengintip ke kamar sang Bapak yang jelas sedang mengikis air matanya.
"Hash! Apalagi yang Bapak lakukan, terima kasih Pak, pagi ini sangat menggembirakan," ujar Soya sembari melangkah keluar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!