NovelToon NovelToon

Takdir Mentari

Bab 1. Mentari dan Senja

Setiap manusia diciptakan dengan takdir dan ceritanya masing-masing.

-Takdir Mentari-

...****************...

Mentari Banguuun.....!!!!

Teriakan ibu Murni memanggil dari arah dapur, terdengar sangat keras sampai semua ayam-ayamnya berkokok bersahutan, menambah riuh suasana pagi di rumah Mentari.

Mentari segera beranjak dari tempat tidur, melipat selimutnya dan segera mengambil daun kelapa yang sudah kering untuk dijadikan lampu menuju sungai. Pukul 5.30 pagi, dia dan adiknya Senja harus kesungai setiap pagi untuk mandi karena di perkebunan karet tempat mereka tinggal belum mengenal listrik seperti sekarang. Daun kelapa kering yang dibakar kemudian dipegang ujungnya untuk menerangi perjalanan mereka menuju sungai, semakin pendek makin pendek dilalap api dan akan habis ketika mereka sudah kembali ke rumah.

Dengan lampu yang masih menggunakan minyak kelapa mentari mulai berpakaian dan menjalin rambutnya. Ibu Murni sudah berangkat bekerja jam 6.00 pagi jadi Mentari sudah terbiasa untuk memakai baju sendiri dan membantu adiknya. Mentari duduk di bangku kelas 4SD, sementara adiknya di bangku kelas 1SD. Usia mereka hanya terpaut 3 tahun. Setelah selesai menjalin rambut adiknya di bawah remang remang lampu minyak mereka segera menuju dapur, sarapan seperti biasa setiap hari kacang tanah yang digoreng dengan taburan garam, dan telor rebus yang harus dibagi 2 untuk sarapan. "Kak aku kuning telornya ya" kata Senja sambil memberikan Mentari putih telor. Mentari mengangguk dan tersenyum. Mentari hanya bisa mengalah, apapun yang diinginkan adiknya pasti akan dia turuti. Setelah makan dengan lahap, sebelum berangkat sekolah Mentari harus mebanten Saiban ( Di Bali setelah selesai memasak diharuskan menghaturkan sesajen dengan daun pisang berbentuk persegi kecil dan diisi dengan nasi dan lauk ). Setelah selesai barulah mereka berangkat ke sekolah.

Mentari berangkat ke sekolah berjalan kaki bersama adiknya dan anak-anak kampung karet. Orang tua mereka turun temurun bekerja di perkebunan itu dengan fasilitas diberikan rumah tinggal seadanya. Walaupun seadanya masih cukup nyaman ditempati. Dinding bedeg (anyaman bambu) dengan atap dari daun kelapa. Perumahan di perkebunan karet dibuat sangat teratur dan sejajar sehingga rumah mereka berdekatan satu sama lain, di bagian selatan khusus untuk warga muslim di bagian utara yang beragama Hindu. Tetapi walaupun dipisahkan sesuai dengan agama tapi keharmonisan antar warga sangat terlihat. Setiap Lebaran warga Hindu akan mendapat makanan dari warga muslim begitu pula sebaliknya ketika Galungan warga Hindu yang memberikan kue dan buah-buahan. Masyarakat kampung karet sudah seperti keluarga karena rumah mereka berdekatan satu sama lain itulah sebabnya anak-anak kampung karet biasa berangkat ke sekolah bersama.

Sampai di Sekolah Mentari mengantar adiknya menuju kelas, kemudian barulah dia berbaur dengan teman-temannya. Mentari cukup pintar di sekolah, sehingga dia sangat sibuk setiap kali ada acara di sekolah. Apalagi kenaikan kelas 6 akan segera tiba, Mentari sudah terpilih untuk menjadi pembaca puisi dan kesan pesan adik kelas, di acara perpisahan nanti. Mentari sangat giat berlatih dan mendengarkan arahan dari gurunya. Anak-anak kur yang akan menyanyi di perpisahan sekolah nanti juga latihan bersama Mentari.

"Jangan lupa belajar lagi di rumah ya Tari, perpisahan sekolah Minggu depan, pembacaan puisinya sudah bagus tinggal dimantapkan saja untuk expresi dan intonasinya" kata ibu guru Tari.

Tari mengangguk sambil mencium tangan gurunya, kemudian anak 9 tahun inipun berpamitan pulang.

****

Sepulang sekolah Mentari menjemput adiknya di rumah Nenek. Senja pulang lebih awal karena dia anak kelas 1, Senja biasa pulang bersama teman-temannya sesama kelas 1, jarak sekolah ke kampung karet juga tidak jauh. Cukup berjalan kaki 10 menit saja sudah sampai. Senja pulang hanya sampai di rumah Nenek, Rumah nenek ada di komplek atas perumahan kampung karet, jaraknya lebih dekat dengan sekolah, dan di rumah juga tidak ada siapa-siapa jadi Nenek bisa menjaga Senja sebelum Mentari pulang sekolah. Sementara Kakek bekerja sebagai Satpam di kampung karet.

"Kakak datang...." Senja berteriak sambil memeluk kakaknya.

Tari tersenyum sambil memeluk adiknya.

"Sudah maem?" Tanya Tari, Senja menggeleng.

"Nek, Tari pulang ya!" Tari mengulurkan tangannya untuk mencium tangan neneknya berpamitan.

Nenek Tari mengusap tangannya bekas tempe dan tersenyum kepada Tari. "Nggak makan dulu?" Tanya nenek sambil sibuk mengolah bahan untuk kerupuk tempe. Nenek Tari menjual kerupuk tempe ke tetangga-tetangga penghuni kampung karet. Kadang di hari libur Tari juga membantu neneknya menjajakan kerupuk ke rumah-rumah tetangga.

"Nanti aja Nek di rumah" Tari melambai sambil menunggu Senja mencium tangan neneknya dan berpamitan.

Mereka berdua berjalan menuju rumah, Mentari menggendong Senja di punggungnya karena adiknya mengeluh capek berjalan kaki. Jarak dari rumah Nenek ke rumah mereka tidak jauh hanya saja jalannya sedikit menurun. Jalan setapak kadang licin saat hujan, dan licin juga ketika panas. Mereka melewati jalan sebrangan supaya lebih dekat. Sedikit melewati semak tapi jadi lebih dekat.

...****************...

Mentari sudah terbiasa diajarkan hidup mandiri. Kehidupan yang begitu keras kadang membuatnya tidak bisa menikmati masa kecil seperti anak-anak yang lain. Tetapi semua harus tetap dijalani. Mentari tidak mau mengeluh apalagi di depan orang tuanya. Yang ada di pikirannya adalah yang penting bisa sekolah.

"Sebentar ya dik, kakak beli makanan dulu, lauk pauk di dapur sudah habis" kata Mentari kepada Senja selesai mengganti bajunya.

Mentari memutuskan membeli lauk pauk di warung, dia masih punya sisa uang saku hari ini.

"Kamu ganti baju dulu ya, bisa kan sendiri?"

Senja mengangguk, dan Tari langsung menuju warung.

Beberapa saat kemudian dia datang dengan 2 kerupuk barokah besar di tangannya. Dia menyiapkan makanan untuk adiknya. Setelah nasi dicampur dengan minyak kelapa dan garam, di tambah dengan kerupuk sudah cukup enak untuk disantap. Mereka makan dengan lahap di depan dapur yang beralaskan tanah. Sambil bersenda gurau nasi dibentuk bulat dan dilemparkan ke mulut, mereka tertawa bersama.

Mentari memandangi adiknya, melahap nasi garam dengan kerupuk barokah itu. Mentari sangat menikmati kebersamaan ya bersama adiknya. Walaupun ibu dan bapaknya datang petang nanti, dia sudah terbiasa untuk menjaga adiknya.

Tapi kadang jika malam minggu Mentari diijinkan menginap di rumah nenek. Tetapi Senja jarang mau menginap, dia agak susah tidur selain dirumah. Susah kalau diajak menginap. Mentari sangat senang karena bisa mendengarkan dongeng dari Nenek sebelum tidur, mendengarkan cerita nenek jaman dahulu.

Nenek selalu bilang kalau kita terlahir sebagai wanita harus serba bisa, harus mandiri, dan harus kuat dengan segala cobaan. Seperti Mentari yang harus bisa bertanggung jawab akan adiknya, dan belajar mandiri sejak dini.

Mentari 1997

Bab 2. Kamu hebat Mentari

Setiap perjuangan akan membuahkan hasil, jangan pernah menyesal untuk lelah yang sudah lewat

-Takdir Mentari-

...****************...

Cahaya matahari membias ke dalam lubang-lubang dinding kamar Tari. Tidur siangnya cukup lelap bersama Senja. Hari yang melelahkan tapi masih banyak tanggung jawab yang harus dikerjakan. Tari menyapu di kamarnya, tanah coklat itu cukup bersih. Jadi Tari tidak memerlukan banyak waktu untuk membersihkan kamarnya. Di Kamar kecil itu ada 2 dipan, 1 untuk orang tuanya dan di sebelahnya Tari dan Adiknya. Kasurnya tidak empuk tapi lumayan nyaman.

Kemudian dia menyapu halaman rumah, halaman rumahnya cukup luas, sampah dari daun pohon nangka dan pohon jambu air memenuhi halaman rumah Mentari. Tetapi kedua pohon besar itu membuat halaman menjadi rindang dan tidak panas. Mentari mengumpulkan dedaunan itu dan Senja mengambilnya memasukkan ke dalam ember tempat sampah. Mereka berdua menyapu halaman bersama. Dilanjutkan menyapu di sanggah turus lumbung (tempat sembahyang umat Hindu dari batang pohon dadap).

Setelah itu mengambil air ke sumur di sungai. Di sungai ada tempat untuk mengambil air bersih seperti sebuah mata air di sumur alami. Mereka harus mengambil air untuk digunakan oleh Bu Murni memasak dini hari.

Untuk mencari air Tari harus menyeberangi sungai. Sumur itu kadang airnya sangat sedikit karena terlalu banyak yang mengambil air disana. Kadang Tari harus menunggu cukup lama sampai air sumur terisi. Tari selalu mengajak adiknya, Senja hanya bisa mengikutinya, dan menunggu di sebrang sungai sambil melihat Tari mengambil air dengan ember hitam kecil. Ember itu ditaruh di kepalanya. Kalau goyang airnya akan tumpah dan membasahi tubuhnya.

Tari mengambil air cukup 2-3 ember sehari, tergantung seberapa banyak ibunya menggunakan air di dapur.

Kehidupan seperti ini sudah biasa dilakukan oleh anak-anak kampung Karet. Mereka biasa berduyun duyun membawa ember mencari air bersih, sambil mandi di sungai. Tari biasanya langsung mandi di pengambilan air terakhir.

Setelah mandi, barulah dia bisa beristirahat di kamar sambil belajar. Jika Tari belum mandi sampai orang tuanya datang, sudah pasti ibunya akan marah-marah. Jadi dia berusaha untuk menyelesaikan semua pekerjaan tepat waktu, sebelum orang tuanya datang.

Tari mendengar keributan di luar, lagi-lagi pertengkaran orang tuanya. Entah apa yang mereka ributkan, pertengkaran ini sudah biasa di dengar oleh Tari.

"Uang, uang, dan uang saja yang kamu permasalahkan!" bentak Pak Dana kepada istrinya.

"Uangku sudah habis, kamu tidak punya uang? kita sudah tidak dikasi lagi ngutang di warung" jawab Bu Murni dengan suara gemetar

"Kalau tidak ada uang tidak usah belanja, masak yang ada saja, kalau ke Pura tidak perlu yang mewah, bawa canang sari saja kalau tidak ada uang" sahut Pak Dana ketus.

Terdengar suara tangisan Bu Murni.

Mentari kemudian menutup telinga adiknya.

" Kak, ibu kenapa?" Senja bertanya sambil memandangi kakaknya yang juga ikut menangis.

"Sudah malam, ayo tidur" Kata Tari sambil mengusap air matanya, kemudian menyelimuti adiknya dan memeluknya. Tari berusaha menutup mata dan telinganya, tidak mau melihat dan mendengar apa yang terjadi di luar sana.

Bu Murni dan Pak Dana memang pasangan yang aneh. Mereka bertengkar malam ini dan besok paginya seolah tidak ada masalah.

****

Tari sedang belajar di sebuah meja kecil dengan cahaya lampu minyak. Pak Dana mendekatinya dan membawa sepasang sepatu berwarna hitam dengan hak sekitar 3cm.

"Tari besok pake ini ya" bapak Tari menyodorkan sepasang sepatu baru.

Baru kemarin malam Tari mendengar orang tuanya bertengkar karena masalah uang. Tari menjadi berpikir dialah penyebab uang bapaknya habis, ternyata untuk membeli sepatu baru buat dirinya.

"Makasi Pak" Tari memeluk bapaknya dengan penuh kebahagiaan. Tari tidak mau bertanya tentang pertengkaran orang tuanya. Baginya itu adalah masalah orang dewasa.

Sepatunya memang sudah tidak layak dipakai, apalagi besok Tari ada pentas membaca puisi di hari perpisahan anak kelas 6.

Walaupun kurang perhatian dengan anak-anaknya ketika di rumah, tapi bapak Tari sangat sayang pada anak-anaknya. Kalau masalah belajar Tari memang lebih suka bercerita dengan sang bapak. Apalagi waktu Tari bercerita akan pentas membaca puisi, bapak Tari sudah mempersiapkan sepatu baru untuk Tari. Bapaknya hanya perlu mengukur kaki Tari dengan Jarinya, dan ya "Sepatunya pas pak" kata Tari sambil berjalan berlenggak lenggok di depan bapaknya. "Udah jangan kebanyakan gaya" kata Ibu Tari tersenyum sambil sibuk membuat canang sari. (Sarana persembahyangan umat Hindu).

****

Mentari datang lebih awal, ibu Guru merias wajahnya dengan make up tipis. Dia sudah siap di belakang panggung menunggu giliran. Atasan putih dengan rompi merah lengkap dengan dasi dan rok merah selutut membalut tubuhnya yang kurus. Sepatu baru hadiah dari bapaknya dengan hak 3cm itu serta kaos kaki putih menghiasi kakinya yang panjang membuat Mentari menjadi lebih percaya diri. Rambut panjang dikepang dengan pita merah putih membuat gadis dengan kulit sawo matang itu tampak cantik.

Mentari berdiri di depan, di belakangnya para penyanyi kur lagu Terima kasih Guruku ciptaan Sri Widodo itu sudah siap. Tari membacakan puisi dengan hikmat. Murid kelas 6 banyak yang terlihat menangis dan ada yang saling ejek karena menangis mendengar lagu perpisahan dengan puisi itu.

Para guru juga tampak berkaca kaca, karena anak didiknya yang mereka ajak selama 6tahun akan segera meninggalkan sekolah.

Trima kasihku ku ucapkan pada guruku yang tulus

Ilmu yang berguna slalu di limpahkan

Untuk bekalku nanti

Setiap hari ku di bimbingnya

Agar tumbuhlah bakatku

Kanku ingat slalu nasehat guruku

Trima kasihku guruku

Hu

Hu

Setiap hariku di bimbingnya

Agar tumbuhlah bakatku

Kanku ingat slalu nasehat guruku

Trima kasihku ku

Mentari membungkukkan badannya, riuh penonton bersorak memberikan tepuk tangan. Penampilan Mentari sangat memuaskan.

Para guru juga memberikan tepuk tangan yang meriah, mereka semua tersenyum puas menyaksikan penampilan Mentari dan teman-temannya.

Selanjutnya dibacakan pengumuman kejuaraan di setiap kelas. Mentari dengan bangga menerima peringkat pertama di kelas 4SD. Kepala sekolah menyerahkan piagam penghargaan.

"Selamat ya Tari, dipertahankan ranking kelasnya" kata Bu Kepsek sambil memberikan hadiah yang dibungkus kertas coklat itu. Isinya 3 buku tulis dan sebuah pulpen. Sedangkan juara 2 akan mendapat 2 buah buku, dan juara 3 mendapat 1 buah buku.

Mentari selalu menantikan hadiah juara kelas karena dengan hadiah buku dan pulpen setidaknya untuk tahun ajaran baru berikutnya Mentari tidak perlu membeli banyak buku.

Dengan hadiah dari sekolah ini dia merasa bisa meringankan beban orang tuanya.

"Selamat ya Tari, kamu hebat" puji dirinya sendiri

1997

Bab 3. Penghuni Baru di rumah Mentari

Jangan mengambil tanggung jawab orang lain, karena Tuhan sudah memberi kita tanggung jawab masing-masing.

-Takdir Mentari-

...****************...

Setelah kelulusan kelas 6, saatnya libur sekolah. Mentari menginjak kelas 5SD. Libur sekolah yang sangat ditunggu tunggu oleh anak-anak seusianya, malah akan menjadi hal buruk bagi Mentari. Harinya akan terasa lebih panjang dan akan sangat melelahkan.

Walaupun libur Mentari harus tetap bangun jam 5.30 pagi. Sama seperti biasanya. Tapi kali ini bangun pagi langsung membersihkan tempat tidur, menyapu halaman, membantu ibunya mencuci piring, mebanten saiban.

Hujan deras terus mengguyur beberapa hari terakhir, rumah Mentari yang halamannya tanah liat membuat semakin susah berjalan. Padahal sudah diisi batu kerikil, setidaknya sandal tidak putus kalau tenggelam diantara tanah liat itu, karena batu-batu kerikil itu bisa menjadi tempat berpijak yang lebih keras.

Namun karena sebagian batu sudah tenggalam karena tanah liat yang trus meninggi. Itu artinya liburan sekolah kali ini lagi-lagi mengisi batu kerikil di halaman rumah menjadi PR besar bagi Mentari. Liburan 2 minggu ini akan terasa sangat melelahkan. Tari menghembuskan nafas panjang.

"Jangan lupa isi batu di halaman ya Tari, ajak adikmu juga, kamu punya banyak waktu untuk mengisinya" perintah Pak Dana saat berjalan menuju kebun.

"Ya pak.. sudah tau" kata Mentari sambil mencuci piring.

...****************...

Sepulang Mentari dari sungai, di kepalanya ada ember berisi pakaian yang sudah dicuci. Gadis kecil ini berlenggak lenggok dan tubuh kurusnya hanya dibalut handuk sedada. Sambil sesekali satu tangannya memegang handuk dan tangan satunya memegang ember cucian.

Dia langsung menuju tempat untuk menjemur pakaian, di sebelah kandang kambing. Ya Mentari dan keluarganya memiliki 3 ekor kambing betina, dan 1 ekor kambing jantan. Juga ada 1 sapi, dan beberapa ekor bebek dan ayam bahkan ada 1 ekor babi juga. Sepertinya rumah ini dipenuhi dengan binatang peliharaan.

Setelah selesai menjemur pakaian, Mentari langsung menuju kamar, berganti pakaian kemudian langsung duduk di bale bengong (sebuah bangunan tempat beristirahat).

Dari kejauhan tampak beberapa orang tidak asing menuju rumahnya. Ada kakek dan neneknya berjalan menuju rumah. Tapi ada seseorang yang tidak dia kenal juga datang. Siapakah mereka?

"Pak ada kakek dan nenek...!" Mentari berteriak menuju kamar memanggil orang tuanya.

Mereka langsung menuju bale bengong. ( tempat mengobrol di halaman rumah )

"Kamu sudah besar Tari, Senja juga makin cantik" seseorang yang asing menyapa mereka berdua.

Tari hanya tersenyum tipis.

"Dia pamanmu dari Sulawesi, dan ini istrinya, trus 2 anaknya siapa tadi namamu?" Bapak Tari bertanya lagi karena lupa dengan nama mereka.

"Namanya Raka lengkapnya Made Raka Amerta. Bisa dipanggil Made ataupun Raka, dan adiknya Nyoman Rai Amerta boleh panggil Nyoman ataupun Rai " kata Paman Tari menjawab. Sambil menunjuk kedua anaknya.

Mereka kemudian berbicara sesama orang dewasa.

Tari dan Senja kembali ke kamar. Raka dan Rai mengikuti dibelakang. Mereka saling berkenalan karena ini adalah kali pertama mereka bertemu.

"Gimana kak kamu suka di Bali?" Tari bertanya kepada Raka. Usia Raka 3 tahun lebih tua daripada Tari.

"Suka sih, dan aku juga akan tinggal disini bersama kakek dan nenek" jawabnya.

"Kok mau tinggal jauh sama orang tua? Nggak kangen nanti Sulawesi kan jauh kak?" Tari penasaran.

"Aku suka disini, aku nggak mau balik lagi ke Sulawesi, Bapakku galak" bisik Raka ke Mentari takut orang tuanya mendengar perkataannya.

"Tapi bapakku juga galak" jelas Mentari menakuti

"Nggak akan segalak bapakku" bisiknya lagi.

Sementara Mentari mencoba menginterogasi calon kakak angkatnya, Senja dan Rai asik bermain dan mengobrol entah apa yang mereka bicarakan, mereka tampak akrab, bercanda dan tertawa bersama.

"Men adikmu juga ikut tinggal disini?" tanya Mentari

"Nggak, yang tinggal aku aja, kalau adik sangat disayang sama bapak dan ibu. Kalau aku nggak, aku sering dipukul, dimarahi, pernah juga aku dilempar di sawah sama bapak, pokoknya bapakku sangat galak" jelasnya lagi.

"Kalau jadi anak pertama kan emang gitu, harus mengalah ke adik. Bukan berarti mereka nggak sayang sama kita, tapi karena adik kita memang memerlukan kasih sayang yang lebih baik karena mereka lebih kecil" Mentari mencoba menghibur.

" Nggak, mereka berbeda, pokoknya aku nggak mau ikut ke Sulawesi, aku mau tetap di Bali, dan sekolah disini, walaupun bapakmu juga galak kan ada nenek dan kakek yang akan belain aku, setidaknya ada orang di sekitarku yang bisa aku cari ketika dimarahin. Kalau di Sulawesi nggak ada yang belain aku kalau bapak marah, ibu nggak berani karena nanti ibu bisa kena sasaran kemarahan bapak juga"

"Pasti kamu nakal, nggak ada orang tua yang marahin anaknya padahal dia baik" kata Mentari lagi.

"Hmmm ya mungkin bagi orang tuaku aku anak yang nakal" desah Raka.

Kemudian mereka bergabung bercanda bersama Senja dan Rai.

"Dann, aku titip anakku Raka untuk tinggal sama kamu" Kakak kandung Pak Dana itu mulai bicara.

"Kenapa? Apa bli (panggilan kakak laki-laki) nggak sanggup ngurus 2 anak disana? Bukankah bli sudah diangkat menjadi guru disana?" tanya Pak Dana penasaran dengan sikap kakaknya.

"Bli kan belum sah jadi guru, lagian bapak yang minta supaya ada cucu laki-lakinya tinggal di Bali, ya kan Pak?" Sambil memandang ke arah kakek Mentari.

"Ya Dana, bapak yang minta supaya Raka ditinggal di Bali, kamu kan nggak punya anak laki-laki jadi kamu bisa jadikan Raka sebagai anak angkatmu" Kakek usia 60an itu berusaha memberikan pengertian kepada Pak Dana.

"Kalau kamu nggak sanggup menyekolahkan Raka, bapak yang akan bantu, kamu nggak usah khawatir."

"Ya sudah kalau memang itu yang terbaik, aku akan menerima Raka sebagai anak angkatku."

"Kamu bisa mendidik dia seperti anakmu sendiri, kamu harus menyayangi dia seperti kamu menyayangi Senja dan Mentari, aku percaya kamu bisa mendidiknya, karena jujur Raka anak yang nakal." Sahut Pak Merta.

"Anak-anak sini...!" Pak Dana memanggil mereka yang sedang asik bermain dengan batu-batu kecil.

Mereka segera berkumpul mendekat,

"Lusa Paman dan Bibi akan balik ke Sulawesi, Rai juga balik, tapi Raka akan tetap tinggal disini bersama kamu Mentari dan Senja, Paman titip Raka sebagai kakak laki-laki kalian, yang nanti akan bisa menjaga kalian dan juga orang tua kalian, tolong sayangi Raka seperti kakak kandung kalian ya." Kata Pak Merta dan tak terasa matanya berkaca-kaca

Mentari dan Senja hanya mengangguk dan tersenyum. Kemudian suasana malam itu diisi canda tawa keluarga sambil menikmati kopi dan pisang goreng hangat yang disiapkan oleh Bu Murni.

...****************...

Entah ini kabar baik atau buruk. Bagi Tari menghidupi 2 orang anak orang tuanya sudah sangat kelelahan bekerja sampai tidak punya waktu untuk mereka. Bagaimana dengan bekerja untuk 3 anak?

Tari sudah membayangkan bahwa hidupnya akan semakin susah setelah kedatangan orang asing ini. Tapi Tari juga berpikir pentingnya kakak laki-laki. Nanti kalau dia ada kesulitan dia punya kakak dan adik yang akan membantunya. Setidaknya ada tambahan orang baru untuk diajak mengangkut Batu di sungai, dan halaman ini akan penuh lebih cepat. Walaupun kerupuk barokah yang biasanya di bagi 2 pastinya akan dibagi 3 gara gara ada dia.

Tari menghela nafasnya 😪

Mentari 1997

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!