NovelToon NovelToon

ISTRI SITAAN

DICULIK

"Siapa kalian?!" teriak seorang gadis belia yang baru saja keluar dari kawasan sekolah tempat ia menempuh pendidikan menengah atas. Ia begitu terkejut karena dua orang pria tinggi besar tiba-tiba menyeretnya.

"Anda ikut saja, kami tidak akan menyakiti Anda," jelas salah satu pria yang kemudian membekap gadis tersebut dengan tangannya karena hendak beteriak minta tolong.

Setelah membaca situasi, pria yang lain membuka pintu mobil yang kacanya terlihat gelap dan memasukkan gadis tersubut.

Tolooong! Mamaaa! Papaaa!

Gadis belia itu hanya bisa menjerit dalam batinnya. Ketakutannya kian menyeruak tatkala ia sudah berada di dalam mobil dan pria berpenampilan menyeramkan melajukan mobil tersebut.

"Huuu, kalian siapa?! Tolooong!"

Ia berusaha beteriak lagi setelah mulutnya tidak dibekap. Mata jelinya yang tampak jernih itu seketika melelehkan air mata. Ia menyadari sudah berada di tengah-tengah tiga orang pria asing. Pikirannya mencelos. Ingin berbaik sangka jika pria-pria ini baik.

Tidak mungkin! Tidak mungkin ada pria baik-baik menyeretku tanpa alasan!

Wajar jika gadis itu ketakutan. Wajah mereka memang tampak sangar, ada yang bertato, bahkan ada yang membawa pistol di balik saku celananya. Bagaimana tidak takut coba? Siapun itu pasti merasa ketakutan. Ditambah, para pria itu tidak minim berkata-kata. Padahal, gadis itu sudah bertanya beberapa kali.

"Siapa kalian?! Kenapa kalian menculikku? Salahku apa?!"

Tapi, dari ketiga orang itu tidak ada yang menjawab. Malah menyodori air mineral.

"Aku tidak mau minum! Di dalam air minum itu pasti ada obatnya, 'kan?" duganya.

"Huuu hwaaa."

Lanjut menangis sejadi-jadinya sambil meronta-ronta, hingga kelopak matanya bengkak, suaranya serak dan parau, lalu kelelahan hingga ketiduran dan tanpa sengaja kepalanya terkulai dan bersandar pada salah satu bahu pria penculik yang tengah mengapitnya.

"Hahaha, dia menangis sampai ketiduran. Syukurlah, telinga kita jadi nyaman. Oiya, apa benar bos kita mau menjadikan gadis ini sebagai barang sitaan?" ujar si pengemudi. Dia adalah seorang pria dengan baju tanpa lengan dan tato Spongebob di lengannya. Tato yang terlihat tidak sesuai dengan auranya yang garang dan perawakannya yang tegap.

"Setahuku, pak Wandira tidak memiliki barang apapun untuk dijaminkan. Hutangnya ke bank sangat banyak. Rumah tempat tinggalnyapun sudah disita. Perusahaannyapun miliknya bangkrut dan telah diakuisisi oleh perusahan bos kita. Gadis ini adalah barang berharga mereka satu-satunya," jelas pria yang berada di sisi kanan gadis tersebut.

"Padahal, pak Wandira pengusaha sukses. 'Kok bisa ya bangkrut secepat itu?" Pria bertato Spongebob bertanya lagi sambil mengernyitkan alisnya.

"Dari berita yang beredar, pak Wandira tergiur oleh kesuksesan perusahaan Winstar World Casino, ia kemudian menanamkan saham di salah satu agen perjudian yang menjanjikan keuntungan berlibat. Tapi hasilnya, pak Wandira rugi besar dan harus menutupi hutang-hutang dengan menjual aset-aset yang dimilikinya. Intinya, ayah dari gadis ini sangat serakah. Harusnya, ia bisa bersyukur dengan kekayaannya. Ya, kebanyakan manusia memang seperti itu, selalu merasa kurang dan tidak puas," sahut pria yang berada di sisi kiri gadis malang itu.

Ya, dia gadis malang. Sebab, ternyata akan dijadikan barang sitaan. Namun, gadis itu belum tahu keadaan sebenarnya. Ia tidak tahu akan dijadikan barang sitaan, dan tidak tahu jika ayahnya sudah bangkrut dan keluarganya jatuh miskin.

...***...

Mobil yang berisi gadis itu, kini telah memasuki kawasan apartemen elit. Kawasan ini terlihat sangat megah. Penjagaannpun begitu ketat. Namun, saat pengemudi menyodorkan kartu, mobil itu langsung dipersilahkan masuk tanpa pengecekan.

Mobil tersebut kemudian melaju ke area privat unit dengan fasilitas termegah, terluas, tersegalanya. Saat berhenti di parkiran khusus, seorang pria segera membuka pintu mobil dengan wajah memucat dan cemas.

"Kenapa kalian lama sekali?! Bos Besar marah-marah! Kalian sudah terlambat 4 empat menit! Sekarang sudah memasuki menit ke lima! Kalian tahu 'kan risiko jika terlambat permenitnya?!" teriaknya. Penampilannya terlihat biasa. Tinggi dan kurus. Wajahnya juga baby face. Namun, ia ternyata berani membentak dan memarahi seluruh pria sangar yang ada di dalam mobil.

"Tadi, kita sempat membantu seorang nenek menyebrang, dan menyingkirkan kucing yang nongkrong di pinggir jalan. Makanya terlambat," jelas pria bertato sambil membuka pintu mobil. Lalu salah temannya membopong gadis yang ternyata masih tidur dan membawanya dengan langkah cepat menuju unit. Mereka lantas berlari mengejar pria yang membawa gadis sitaan.

"Ya ampun, yang benar saja! Gadis ini malah tidur pulas! Di dalam mobil, dia bahkan mendengkur!" Sambil berlari, si pria bertato menggerutu.

"Kelas berapa gadis itu? Muda sekali? Apa benar bos kita mau menjadikannya barang sitaan?" tanya si pria baby face.

"Sudahlah, jangan banyak tanya! Kita ikuti saja alurnya! Ingat, kita hanya pemain figuran!" sentak pria yang membopong gadis sitaan. Ia terlihat kesal pada ocehan temannya.

"Dia berusia 18 tahun. Baru menyelesaikan ujian akhir dan dua minggu lagi akan lulus sekolah menengah atas," terang pria yang membawa pistol di sakunya.

...***...

"Bos, kami sudah membawa barangnya." Dengan nada hati-hati, pria berpistol bicara sambil mengetuk salah pintu yang berada di unit tersebut. Pintu itu bertuliskan workspace. Artinya ruang kerja.

"Kalian terlambat! Dari mana saja kalian, hah?! Karena kalian terlambat, saya tidak ingin melihat barang itu! Kembalikan saja ke habitatnya, dan bawa lagi ke hadapan saya jika saya mau!"

Jawaban dari dalam ruangan membuat ke empat pria itu saling menatap. Salah satunya geleng-geleng kepala, ada yang memasygul rambutnya, ada juga yang membenturkan kepalanya ke sofa. Padahal, di samping sofa itu ada tembok. Kenapa tidak sekalian saja membenturkan kepala ke tembok?

"Hei turunkan aku!" Akhirnya, si gadis sitaan terbangun jua. Ia melepaskan diri dari pangkuan si penculik. Lalu celingak-celinguk dan mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.

"Anda sudah bangun? Silahkan duduk dulu Nona," tawar si pria tinggi kurus.

"Hwaa. Hwaaa. Aku ada di mana?! Kalian jangan pura-pura baik ya!" Gadis itu kembali menangis dan beteriak.

"Tenang Nona, jangan menangis lagi. Kami tidak akan menjahati Nona. Tolong pelankan suara tangisan Anda, Anda bisa mengganggu pendengaran bos kami," kata pria bertato.

"Hwaa, diam kamu Spongebob! Aku tidak peduli dengan bos kalian! Aku doakan bos kalian dimakan ikan hiu! Kalian tidak tahu siapa aku ya?! Aku putri dari pak Wandira! Cepat antarkan aku pulang!" teriaknya sambil berlari dan menendang sebuah guci yang tentu saja berharga ratusan juta.

"No-Nonaaa! Jangan!" teriak si pria kurus. Yang lainnya membelalakan mata sambil menutup telinga.

'PRANG.' Guci kesayangan bos hancur berkeping-keping.

Oh tidaaak, jerit pria-pria itu di dalam batinnya. Mereka pasti harus patungan untuk mengganti guci tersebut. Gadis itu ternyata simalakama.

"Apa?! Dia mendoakanku dimakan hiu?! Kurang ajar!"

Di dalam ruang kerja, seorang yang berdiri membelakagi pintu terlihat geram. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Saat kemarahannya masih berkobar, api kemarahannya semakin tersulut setelah mendengar guci yang pecah.

"Gadis kurang ajar! Awas kamu ya!" Ia hendak berbalik badan, namun urung saat kembali mendengar teriakan gadis itu.

"Aku punya banyak guci seperti itu! Kalian bisa mengambilnya di rumahku! Cepat! Antar aku pulang!"

"Sombong sekali! Hahaha. Dia tidak tahu kalau dia sudah miskin!"

Pria yang dipanggil bos itu tersenyum sinis. Masih belum jelas sosok dari bos tersebut. Ia masih membelakangi pintu dan menatap berkas yang berisi biodata gadis yang akan dijadikan sitaan. Namun, dari postur tubuh dan lengannya, dapat disimpulkan jika ia sangat sehat. Dari lehernya yang bersih dan rambutnya yang mengkilat rapi, dapat disimpulkan jika pria itu sangat fashionable.

"Bawa dia ke hadapan saya!"

Teriakan dari workspace membuat mereka termangu. Si tato Spongebob sigap menangkap kembali gadis tersebut. Lalu pria tinggi kurus membuka pintu workspace.

"Hei! Lepas! Lepaskan aku! Tolooong!" Ia kembali meronta. Namun percuma saja, tenaganya jelas tidak sebanding.

"Dudukan dia di sofa! Pastikan dia tidak bisa begerak dan tidak merusak barang-barangku!" titahnya saat anak buahnya berhasil membawa gadis itu ke ruang kerjanya.

"Baik, Bos." Lalu pria yang membawa pistol mengambil tali dan mengikat kaki serta tangan gadis tersebut.

"Lepas! Hwaa! Mamaaa, Papa, huuu."

"Berisik! Diam kamu!" Pria yang membelakangi itu beterik. Ia ternyata tidak menyukai kebisingan.

"Ini mulutku! Terserah aku mau bicara apa!" Gadis itu tidak mau kalah.

"Diaaam!" Tangan kokohnya menggebrak meja.

'BRAK.' Anak buahnya sampai tersentak kaget begitupun dengan gadis itu.

"Kalian boleh pergi!" sentaknya sembari menghentakkan kaki ke lantai.

"Bai-baik Bos." Mereka membungkukkan badan sebelum berlalu.

"Huuu."

"Bisa diam tidak?!" teriaknya setelah anak buahnya pergi. Panggil saja pria itu sebagai 'Bos.'

"Tidak!" bantah gadis itu.

Bos sangat geram, ia menggigit bibirnya yang terlihat seksi dan merah itu karena menahan emosi, segera berbalik badan untuk melihat gadis yang menurutnya sangat lancang dan sombong. Gadis tersebut segera menunduk saat pria itu membalikan badan. Nyalinya mulai menciut, airmatanya terus berderai. Ia terisak-isak dengan suara yang berusaha dipelankan.

"Huks, huks."

"Siapa namamu?" tanya pria itu. Tidak ingin salah orang, ia bertanya dengan pertanyaan terbuka dan kembali membelakangi gadis itu. Ia hanya melihat gadis itu dengan sekilas.

"Se-Serena."

"Jawab dengan tegas! Jangan terbata-bata! Jawab dengan lengkap! Sebutkan nama panjangmu!"

"Alsava Serena Wandira!" teriak gadis itu. Keberaniannya bangkit kembali.

"Usia?"

"Untuk apa kamu tahu usiaku?! Memangnya kamu siapa?!"

"Jawab saja! Atau saya akan merobek bibirmu!"

"Huuks. Usiaku 18 tahun 1 hari, 13 jam," jawabnya.

"Kamu masih bocah! Tapi tidak sopan! Usia saya lebih tua 10 tahun dari kamu!"

"Aku tidak peduli!"

"Dasar gadis sombong! Setelah saya mengatakan sesuatu, saya mau tahu sampai sejauh mana kesombonganmu itu!"

"Katakan saja! Tidak usah berbelit-belit! Aku tidak takut! Papaku akan membalas perbuatanmu! Kamu akan mendekam di penjara!"

"Kamu saya sita!" tegas pria itu.

"Apa?!

"Saya ulangi! Kamu saya sita!"

"Maksudmu?!"

...~Next~...

DILEMA

"Hahaha, panggil saya Bos atau kamu bisa memanggilku Pak Bos. Lalu bagaimana saya harus memanggil namamu?" Pria itu mulai bicara dengan nada pelan.

"Tidak sudi! Mana sudi aku berlaku sopan pada komplotan penjahat seperti kalian! Cepat jelaskan lagi! Apa maksudnya kamu mengatakan jika aku disita?! Memangnya aku barang?!"

"Hahaha." Pria itu malah terbahak. Gadis di bekangnya telah membuat ia banyak bicara. Padahal, prinsip hidup pria ini adalah, "Sedikit bicara banyak bekerja, karena waktu adalah uang."

"Ck ck ck, dasar keras kepala. Baiklah, saya akan langsung menjelaskan inti permasalahannya. Saya berharap, kamu tidak pingsan setelah mendengarnya."

Lalu pria itu berbalik badan perlahan dan mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk untuk menatap gadis itu. Serena. Ya, gadis tersebut bernama Serena, gadis berparas cantik berusia 18 tahun. Putri pertama dari seorang pengusaha sukses bernama pak Wandira. Sayangnya, perusahaan pak Wandira telah bangkrut dan tidak bersisa. Sementara Serena, ia belum mengetahui jika ayahnya telah bangkrut. Ia tidak tahu jika saat ini, ia bukan lagi anak horang kayah.

Terjadilah pandangan pertama di antara keduanya. Bibir Serena menganganga, ia menatap wajah pria itu. Ternyata, pria jahat itu memiliki tampang yang tampan-rupawan. Dia seorang pria keturunan. Matanya indah, hidungnya estetis, bibirnya seksi, berkulit kuning langsat, tingginya di atas rata-rata, dan berpenampilan bak model profesional.

"Saya tidak suka ditatap lama-lama! Palingkan wajahmu Serena! Ingat, saya lebih tua sepuluh tahun dari kamu!"

"Dasar pria tua!" rutuk Serena sembari memalingkan wajahnya. Pria itu mengepalkan tangannya saat mendengar umpatan Serena. Lalu ia menyalakan liquid crystal display.

"Setelah melihat ini, saya yakin kamu akan menyesal. Ia memperlihatkan CV miliknya. Sedang menunjukkan pada Serena tentang identitas dirinya.

'Marvin Mahesa Jacob, CEO of International Development Bank.' Tertulis pada display.

"Anda pikir aku segan dengan nama itu?! Tidak! Aku tidak akan segan dan takut seujung kukupun!" Apa yang dikatakan Serena membuat pria itu marah. Ia membentak Serena dengan kalimat tidak terduga.

"Kamu itu istri saya, Serena! Lebih tepatnya, istri sitaan!" tandasanya.

"Apa?! Hahaha. Dasar gila!" teriak Serena.

Ia yakin pria di hadapannya adalah psikopat. Ia juga tidak yakin jika pria itu adalah Marvin Mahesa Jacob yang namanya sering disanjung-sanjung oleh ayahnya sebagai CEO muda yang hebat dan mengagumkan. Entah yang keberapa kali pria itu mengepalkan tangannya.

"Lihat baik-baik Serena! Ck, kamu sama saja dengan papa kamu! Sombong!" teriaknya. Lalu menekan tombol enter di laptopnya. Muncullah sebuah tayangan vidio pada LCD wall yang berada di hadapan Serena.

Vidio itu memperlihatkan seorang pria berusia sekitar 45 tahun sedang berjabat tangan dengan pria yang mirip dengan pria yang berada di hadapan Serena. Ada dua pria lain yang berada di antara mereka.

"Pa-Papa?!"

Serena tertegun. Ia begitu terkejut dengan vidio tersebut. Keterkejutannya kian menjadi saat pemeran pria berkata, "Saya terima nikah dan kawinnya Alsava Serena Wandira binti Albern Wandira dengan maskawin yang tersebut, tunai."

"Bagaimana saksi?"

"Sah."

"Sah."

"Ti-tidak mungkin," gumam Serena. Bibirnya sampai gemetar karena teramat bingung. Ia menggigit bibirnya untuk memastikan jika apa yang dilihatnya bukanlah mimpi.

"Awh," ia mengaduh. Ini bukan mimpi.

"A-apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya. Ia kembali menatap pria di hadapannya.

"Tanyakan saja pada papamu," jawabnya dengan senyum licik menyeringai dari bibir seksinya.

"K-kamu pasti bohong! Papaku pasti sedang ngeprank! Ya, 'kan?!"

"Kalau aku bersumpah atas nama Tuhan, apa kamu akan percaya?" Malah balik bertanya.

"Mana bisa aku percaya sama penjahat! Cepat lepaskan aku! Aku harus bertemu dengan papaku! Cepaaat!" teriaknya lantang. Namun, kelantangannya tidak berlanjut. Serena tiba-tiba merasa kalut dan pusing. Dalam benaknya, ia ternyata ketakutan setelah melihat vidio itu.

Apa benar aku telah menikah dengan pria itu? Jika benar, kenapa? Kenapa aku harus menikah? Kenapa papa melakukannya?

Pertanyaan itu membuatnya bingung, kepalanya pusing, dan matanya berkunang-kunang. Lalu gelap melanda, dan kepalanya terkulai dengan sendirinya.

"Hei, Alsava! Serena! Alsava Serena!" Pria itu memanggil berulang. Namun Serena tidak merespon. Matanya terpejam. Gadis belia itu ... pingsan.

"Serena!" Ia mengambil tongkat golf untuk menyentuh pipi Serena. Tetap tidak merespon. Padahal, tentang pingsan itu hanya leluconnya. Namun tidak dinyana, Serena malah pingsan sungguhan.

"Hugo!"

"Edrick!"

"Boy!"

"Rian!"

Ia berteriak sambil melempar tongkat golf ke arah pintu. Terungkap sudah nama ke empat pria yang tadi membawa Serena.

"Siap, Bos!"

Mereka datang dengan cepat.

"Lihat! Dia pingsan! Cepat urus!" sentaknya.

"A-apa yang harus kami lalukan Pak Bos?" Ternyata, anak buahnyapun ada yang memanggilnya Pak Bos.

"Kembalikan gadis itu pada orang tuanya! Biarkan mereka menangani masalahnya!"

"Baik Pak Bos." Serena yang pingsanpun dibopong keluar. Pak Bos menatapnya hingga sosok semampai itu menghilang di balik pintu. Alisnya mengernyit.

Tunggu, apa sebelumnya aku pernah bertemu dengan gadis sombong itu? Kenapa aku merasa pernah melihatnya? Mungkin hanya perasan saja. Ia menyimpulkan asumsinya.

...***...

"Aaaa," teriak Serena. Ia terkejut dengan keadaan di sekelilingnya.

"Eren? Kamu sudah sadar sayang?" Seorang wanita dewasa berparas cantik segera memeluk Serena.

"Mama? Ma, kita ada di mana? Kenapa kita ada di tempat kumuh seperti ini? Jelaskan pada Eren, Ma."

"Sa-sayang, huuu." Wanita itu malah menangis.

"Mama, jangan membuat Eren bingung. Oiya, papa di mana, Ma? Eren harus menjelaskan dan menanyakan sesuatu pada papa." Sambil memijat kepalanya yang terasa pusing. Lalu Serena mengingat sesuatu. Tadi, saat ia setengah sadar, ia melihat ada soseorang yang menginfus dan memberinya obat.

"Eren." Seorang pria masuk.

"Papa? Pa, Eren dicu ---."

"Papa sudah tahu semuanya," selanya. Ia duduk di samping Serena. Lalu memasygul rambutnya kuat-kuat. Pria itu tampak putus asa.

"Papa sudah tahu kalau aku diculik?! 'Kok bisa? Apa Mama juga sudah tahu?"

"Mama juga sudah tahu."

"Apa?! Ini ada apa 'sih? Dan ini rumah siapa?! Kenapa sikap Mama dan Papa sangat aneh?!"

'PLAK.' Sebuah tamparan mendarat di pipi Serena.

"Papa!" teriak mama Serena.

"Pa-Papa?!" Serena terkejut. Serena memegang pipinya dan menangis. Ia benar-benar tidak mengerti dengan semua ini.

"Kamu pergi dulu, biarkan aku saja yang bicara pada Serena."

"Ta-tapi, Pa. Aku mamanya, aku juga memberi penjelasan pada Serena."

"Tidak perlu! Aku papanya. Aku kepala keluarga! Aku lebih berkuasa dari pada kamu!" Ia bahkan menarik tangan istrinya agar segera meninggalkan kamar. Serena hanya bisa terisak dan menatap keheranan.

"Eren, kamu sudah papa nikahkan dengan Bos Marvin," jelasnya tanpa basa-basi.

"A-apa?!" Serena melongo tidak percaya.

"Perusahaan Papa bangkrut, Eren. Kita jatuh miskin. Semua aset Papa habis. Satu-satunya barang berharga yang Papa miliki hanya kamu. Jadi, Papa menjaminkan kamu pada Bos Marvin untuk disita."

"Hahh?! A-apa?!"

Serena memegang dadanya sambil mengatur napasnya yang tidak beraturan. Ternyata, Bos Marvin tidak menipu. Pria itu mengatakan kebenaran.

"Rumah kita disita, ini adalah tempat tinggal kita yang baru."

"Huuu." Tangisan Serena kembali pecah.

"Hanya kamu yang bisa menolong Papa, mamamu, dan adik-adikmu."

"Ta-tapi kenapa harus dengan cara menikah, Pa?! A-apa Papa tahu?! Bos Marvin menyebutku sebagai istri sitaan! Eren tidak mau, Pa! Dia pria yang menyeramkan! Lagi pula, Eren sudah punya pacar dan tidak mencintai pria itu!"

"Eren! Apa pantas kamu beteriak pada Papa! Ren, dengarkan, kamu dan Bos Marvin sudah menikah. Kamu harusnya bahagia karena Bos Marvin mau menerima tawaran Papa. Jika tidak, Papa bisa dipenjara, Ren. Apa kamu mau Papa jadi pesakitan?"

"Pa, aku mau tanya dulu. Kenapa perusahaan Papa bisa bangkrut? Apa yang diberitakan media itu benar? Apa benar papa berjudi?"

"Kamu tidak perlu tahu! Lakukan saja perintah Papa! Buat Bos Marvin jatuh cinta sama kamu dan tidur sama kamu!"

"A-apa?! Papa! Aku tidak mau!"

"Eren, coba berpikir logis. Jika kamu berhasil tidur dengan Bos Marvin dan bisa mengandung darah dagingnya, kehidupan kita tidak akan sulit lagi. Masa depan keluarga kita akan terjamin dan Papa bisa membangun kembali perusahaan Papa."

"Papa sudah gila ya?! Aku tidak sudi! Tega sekali menjualku! Aku tidak mau!"

"Serenaaa!" Pria itu mengepalkan tangannya. Giginya gemeretak, wajahnya memerah.

"Huks," Serena terisak.

"Baik! Silahkan kamu menolak pernikahan ini! Tapi Papa tidak menjamin bisa mengobati mama kamu!"

"A-apa?! Ma-maksud Papa apa?!"

"Lihat ini!" Ia mengeluarkan sebuah berkas dari tasnya. Lalu melemparkannya pada Serena. Serena mengambilnya dengan tangan gemetar. Ia membaca berkas itu, matanya membulat sempurna.

"Ti-tidak mungkin," gumamnya. Ia bersimpuh di lantai.

"Ke-kenapa Eren baru tahu, Pa?"

"Karena mamamu tidak ingin membuatmu khawatir."

"Huuks. Huuu. Aaargghh!" teriaknya, Serena dilema.

...~Next~...

MENARIK

"Kenapa kisah hidupku jadi seperti ini?" gumamnya. Ia memeluk berkas rekam medis milik mamanya. Ternyata, mamanya mengalami penyakit kelainan ginjal yang mengharuskannya cuci darah setiap bulan.

"Mama, kenapa tidak pernah jujur pada Eren, Ma? Mama dan papa jahat sekali sama Eren. Apa ini karena kalian selalu menganggap aku masih kecil dan tidak bisa diandalkan?" Ia bicara sendiri. Linangan air mata mesih terlihat di pelupuk matanya.

Lalu berdiri perlahan untuk melihat kamar asing ini. Kamar yang menurutnya begitu kumuh. Gadis itu bahkan menutup hidung dan nyaris muntah saat melihat kondisi kamar mandi yang berada di kamar tersebut. Kamar megah yang dulu menjadi kebanggaannya, kini telah raib.

"Huuu."

Kembali menangis. Serena tidak menyangka kehidupannya yang sempurna itu telah berubah tiga ratus enam puluh derajat. Jika ia semiskin ini, apa teman-temannya masih mau berteman dengannya? Ia melangkah perlahan menuju tirai kumal yang menutupi jendel kamar. Jemari lentiknya bahkan mencubit jijik saat menyingkap tirai tersebut.

Ternyata, kaca di baliknya sangat buram. Apa papa sangat miskin? Pikirnya. Dari balik kaca yang buram itu, ia melihat adiknya sedang menangis. Adik terkecilnya bernama Silviana berusia lima tahun, sedang menangis sambil membanting botol dot kesayangannya yang hanya berisikan air putih. Sementara Rio, adiknya yang berusia sepuluh tahun, sedang memerhatikan sekelilingnya. Bocah itu pasti bertanya-tanya dengan keadaan mereka saat ini.

"Mama, berapa lama kita akan berwisata di rumah ini? tanya Rio.

"Tidak akan lama, 'kok. Rio sabar ya. Ini misi penting. Kalau keluarga kita berhasil melewati misi terlama berwisata di rumah ini, papa akan mendapatkan bonus besar dan kita semua boleh kembali ke rumah lama kita," jelas sang mama. Ia rela berbohong demi menenangkan anaknya.

Serena terpuruk. Ia menjatuhkan tubuhnya dan bersimpuh di lantai. Apa yang dikatakan mamanya membuat hatinya rapuh dan terkula.

"Mama, Via mau minum susu rasa vanila," rengek Silviana.

"Via sudah besar. Mulai hari ini, tidak boleh minum susu lagi ya. Via masih bisa makan yang lain selain susu."

Wanita itu memeluk putri bungsunya. Airmatanya berderai. Yang Maha Kuasa sedang mengujinya dengan sesuatu yang tidak pernah ia sangka-sangka. Ia tahu jika ini adalah kesalahan suaminya, namun ia sadar benar jika selama ini, ia selalu mendukung suaminya atas dasar kepercayaan dan cinta.

"Mama." Serena mendekati mamanya. Ia lantas memeluk punggung wanita berkulit pucat itu.

"Eren, maafkan Mama ya. Di saat seperti ini, Mama tidak bisa melakukan apapun untuk menolong kamu dan memperbaiki masalah ini. Sisa-sisa uang yang Mama miliki sudah digunakan untuk membeli rumah ini," lirihnya.

"Kapan jadwal Mama cuci darah?" Serena malah menanyakan hal itu. Membuat mamanya terbelalak.

"Cu-cuci darah? S-siapa yang cuci darah?" Ia pura-pura tidak tahu.

"Mama!" Serena berdiri.

"Jangan bohongi Eren lagi, Ma! Eren sudah tahu semuanya!"

"A-apa?! E-Eren, ssst ... te-tenang sayang. Ada adik-adik kamu, tolong jaga sikap." Sambil menggelengkan kepalanya. Serena terdiam.

"Maaf, Kakak sedang berakting. Ini bagian dari misi," terangnya seraya tersenyum.

"Rio tidak percaya kita berakting. Apa papa bangkrut? Apa kita jadi orang miskin?" sangkal Rio. Kalimat itu membuat Serena dan mamanya secara bersamaan memeluk Rio. Ya, mungkin hanya Silviana yang percaya jika keadaan ini adalah bagian dari misi.

...***...

"Eren, kamu di mana? Aku ada di depan rumah kamu. Tapi ada tulisan jika rumah kamu sudah disita. Eren, kenapa kamu tidak mengangkat panggilan dan membalas pesanku? Eren, aku sudah tahu kasus papamu dari papiku. Ren, maaf karena aku tidak bisa membantumu. Tapi, aku ingin bertemu kamu, Ren. Aku merindukan kamu, Eren."

Serena sedang membaca pesan dari sebuah nomor yang dinamainya 'Leon is my heart.' Sepertinya, itu adalah pesan dari kekasihnya.

"Jangan menghubungiku lagi, Leon. Dunia kita sudah berbeda. Kamu tentunya tidak mau memiliki kekasih yang miskin. Lagi pula, keluargamu pasti sudah tahu jika reputasi papaku sudah hancur. Leon, aku mencintai kamu. Tapi, untuk saat ini rasanya ... kita tidak mungkin bisa bersama lagi."

Itulah pesan yang ditulis Serena sebelum memblokir nomor milik Rion.

"Eren, segeralah kembali ke apartemen pak bos Marvin sebelum Papa kehilangan kesempatan. Tolong Ren, tolong Papa. Apa Papa harus bersujud di kaki kamu?"

Pak Wandira yang sedari tadi menunggu keputusan putrinya terlihat gusar. Ia mondar-mandir ke sana-kemari sambil bertolak pinggang.

"Papa jahat," tuduh Serena sambil menatap surat perjanjian pernikahan antara ia dan pak bos Marvin yang telah ditanda tangan oleh papanya secara sepihak tanpa persetujuan Serena.

"Papa terpaksa, Ren. Begini, coba kamu pikirkan lagi. Apa kamu yakin bisa bertahan dengan kehidupan seperti ini? Apa kamu yakin akan mengubur cita-citamu menjadi desainer ternama? Eren, pernikahan kamu dan pak bos Marvin adalah langkah awal untuk mendapatkan kembali kekayaan kita. Eren, tolong berpikir logis, gunakan kepercayaan pak bos Marvin agar kamu tidak kehilangan segalanya. Papa sudah menelepon orang-orangnya pak bos Marvin untuk menjemput kamu."

"A-apa dengan Eren pergi Papa bisa menjamin keselamatan mama dan adik-adik? Jika Papa tidak bisa menjaga mereka, Eren akan melaporkan Papa ke polisi karena telah menelantarkan anak-istri."

"Eren, kamu tidak melaporkan Papa ke polisipun, nama Papa sudah ada di data kriminal kantor polisi. Papa sudah dilaporkan oleh beberapa klien, namun Papa tidak ditahan karena pak bos Marvin menjaminkan namanya dan menolong Papa."

"Apa? Apa Papa serius?"

"Papa serius, Eren. Jika kamu tidak pergi, Papa sudah dipastikan akan ditangkap polisi dan tidak bisa mengurus mama lagi."

"Huks, jika memang dengan cara ini mama dan adik-adik akan terjamin keselematan dan kesejahteraannya ... baiklah, Eren akan menemui pak bos Marvin. Tapi ... Papa jangan berharap Eren rela menyerahkan kesucian Eren pada pria tua itu."

"Eren, dia tidak tua. Dia baru berusia 28 tahun. Dia tampan, kaya-raya dan terkenal. Tolong jangan bicara sembarangan lagi. Lagi pula, pak bos Marvin adalah suamimu."

"Suami? Silahkan saja Papa bicara demikian. Karena di mata Eren, dia tetaplah pria jahat yang rela melakukan segala cara untuk mencapai tujuan hidupnya."

Setelah melepas rindu dengan dan adik-adiknya, Serenapun pergi. Pada adiknya Serena mengatakan akan mengikuti acara sekolah ke luar kota. Air mata Serena tumpah-ruah. Dengan berat hati, ia terpaksa pergi untuk menyerahkan dirinya pada Marvin Mahesa Jacob, si 'Pak Bos.'

"Cepat masuk, Nona. Anda tidak boleh datang terlambat." Orang-orang 'Pak Bos' menarik tangan Serena agar segera masuk ke dalam mobil. Gadis itu bahkan tidak diberi kesempatan untuk menoleh ataupun melambaikan tangan pada orang tuanya.

Tangis mama Serena pecah saat mobil yang membawa Serena hilang dari tatapannya. Sementara itu, senyum tipis pak Wandira tersungging manakala ia yakin putrinya bisa memperbaiki semuanya.

...***...

"Serena, silahkan pakai baju ini."

Seorang pelayan menyodorkan pakaian pada Serena. Ia menatap Serena dengan sinisnya, dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.

"Baju apa ini?" Serena heran.

"Itu baju pelayan. Kata Pak Bos, kamu adalah pelayan baru."

"Apa?!" Dasar penjahat! Dia ternyata hanya menganggapku sebagai pelayan, umpat batin Serena.

"Cepat pakai! Kamu harus aku latih dulu! Perkenalkan, aku Manda, ketua pelayan," terangnya. Menyodorkan tangan. Serena meraih tangan Manda dengan gaya malas-malasan. Ujung bibir Serena bahkan terangkat sedikit seolah mengejeknya. Sikap Serena membuat Manda kesal.

"Kamu?! Serena! Sini kamu!" Menarik rambut Serena.

"Ahh, lepas! Berani sekali kamu memegang rambutku!" Serena menangkis tangan Manda.

"Apa?! Kurang ajar! Serena! Di antara pelayan Pak Bos, hanya kamu yang berpendidikan sangat rendah. Kamu hanya lulusan sekolah menengah pertama, kan?! Sedangkan aku, aku lulusan S2!" teriak Manda sambil melayangkan sebuah tamparan ke pipi Serena. Namun, sebelum mengenai, Serena berhasil menepisnya.

"Manda! Aku tidak berpendidikan rendah! Aku hanya belum lulus sekolah! Statusku masih pelajar di sekolah menengah atas! Aku bahkan bersekolah di sekolah terbaik di negara ini!"

"Apa?! Dasar gadis pembual! Siapa yang meloloskanmu menjadi pelayannya Pak Bos, hah?! Etika kamu benar-benar buruk!" Manda semakin meradang. Kali ini, ia berniat untuk menendang kaki Selena. Namun lagi-lagi, serangannya gagal. Gadis itu malah berlari keluar dari kamar.

"Kejar aku kalau berani!" teriak Serena. Ia bahkan menabrak beberapa pelayan yang sedang membawa hidangan.

"Aaa!" teriak mereka saat baki di tangannya terjatuh ke lantai akibat ulah Serena.

"Serenaaa! Berhentiii!" Manda beteriak sambil mengejar Serena. Ia bahkan melepas hak tingginya agar bisa mengejar Serena lebih cepat.

"Ble," ejek Serena sambil menjulurkan lidah dan menjulingkan matanya saat melihat Manda ngos-ngosan. Para pegawai lain yang melihat kejadian itu hanya bisa melongo tidak percaya. Sebab selama ini, tidak ada satupun pegawai yang berani melawan 'Bu Manda.' Sedangkan gadis ini, kata Pak Bos adalah pelayan baru.

"Kok bisa Pak Bos merekrut pelayan sebar-bar itu?" ujar seorang pelayan pria.

"Tunggu, aku tidak yakin kalau gadis itu adalah pelayan. Lihat, dia sangat cantik dan mulus," sahut yang lainnya.

Mereka bergumaman sambil menonton pertunjukan seru. 'Manda dan Serena kejar-kejaran.'

"Serena! Huuh. Hahh. Berhenti kamu! Ka-kalau tidak, aku akan melaporkan perbuatan kamu pada Pak Bos!" Manda menyerah, mengatur napas dan mengusap keringat di pelipisnya.

"Hahaha, dasar tua! Baru berlari sebentar saja sudah ngos-ngosan! Payah! Hahaha," ejek Serena. Lalu dengan santainya ia duduk di kursi terlarang sambil bertopang kaki.

"Ja-jangan!" teriak pegawai yang lain termasuk Manda. Ya, kursi itu adalah tempat duduknya Pak Bos Marvin Mahesa.

"Kenapa?! Apa aku salah duduk di kursi ini?! Kalau aku duduk di atas kepala Bu Manda, 'nah itu baru salah!" oceh Serena. Ucapan gadis itu membuat para pelayan saling berpandangan.

Siapakah Serena? Kenapa gadis itu sangat lancang?

Pertanyaan itu menyeruak di hati mereka. Lalu di sudut lain unit apartemen termegah itu, seorang pelayan wanita tengah menelepon seseorang.

"Nona, gadis itu benar-benar mencurigakan, dia sangat sombong dan lancang." Sambil memantau situasi. Ia seperti tidak ingin jika pembicaraannya diketahui orang lain.

"Kamu gila ya?! Kamu melaporkan seorang pelayan murahan kepadaku?! Yang benar saja!" Suara di balik telepon.

"Nona, masalahnya adalah ... pelayan baru itu sangat cantik. Dia juga seperti tidak takut pada Pak Bos. Satu hal lagi Nona, dia belum lulus sekolah. Sedangkan di peraturannya, karyawan Pak Bos harus berpendidikan minimal sarjana," terangnya.

"Apa?!" Suara di balik telepon terdengar panik.

"Ya Nona. Aku tidak mengada-ada."

"Tetap awasi gadis itu!" titahnya.

"Baik, Nona."

...***...

"Menarik," gumamnya.

Bibir merah alaminya mengulum senyum saat ia melihat tayangan ulang sebuah rekaman CCTV. Dalam rekaman itu, terlihat seorang gadis belia sedang berlari dengan lincahnya dari kejaran seorang wanita dewasa. Lalu ia berdiri saat rekaman CCTV menunjukkan gadis itu duduk di sebuah kursi. Matanya seketika tertuju pada kaki jenjang gadis itu.

"Sial!" geramnya.

Segera mematikan rekaman tersebut. Lalu duduk di kursi kerja sambil memutar pensil. Kepalanya bersandar pada kursi, matanya terpejam. Entah hal apa yang tengah di pikiran pria itu. Yang jelas, ia terlihat sangat tampan.

...~Next~...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!