Udara di kamar itu terasa pengap, bahkan cermin di depannya pun memantulkan gambaran buram seorang gadis. Chia. Tubuhnya merosot di lantai dingin, lutut ditekuk rapat ke dada, seolah ingin menyusut dan menghilang. "Aku mau cerai! Aku tidak sudi menikah denganmu! Pokoknya aku bukan istrimu!" suaranya parau, pecah oleh isak tangis yang tak henti-henti. Tiap kata yang meluncur terasa seperti bara api yang membakar kerongkongannya. "Kau bukan manusia, kau setan! Ihhh, kenapa kau lakukan ini padaku?! Aku baru saja lulus sekolah! Tapi kenapa kau jadikan aku istri gelapnya, Om?!"
Ia meremas kain piyama yang membalut tubuh ringkihnya, seolah ingin merobek kenangan brutal malam sebelumnya. Wajahnya yang biasa berseri-seri kini bengkak, merah padam, dengan jejak air mata yang mengering membentuk alur di pipinya. Usianya baru tujuh belas tahun, dan dunia yang ia kenal telah runtuh. Statusnya sebagai siswi teladan, primadona sekolah yang dikagumi, lenyap tak bersisa. Ia telah menjadi milik seseorang yang bahkan tak pernah ia tatap wajahnya, seorang pria dewasa yang kejam.
Ingatan malam itu, saat kesuciannya direnggut paksa, masih menghantuinya. Bayangan tubuhnya yang kecil, bergetar ketakutan di bawah himpitan bayangan raksasa, terasa begitu nyata. Obat bius yang dilepaskan ke udara telah meredam perlawanannya, namun tak mampu memadamkan noda kengerian yang kini melekat pada jiwanya. Ia adalah bunga yang dipaksa mekar sebelum waktunya, kelopaknya kini tercabik-cabik.
Di atas meja samping ranjang, selembar surat pernikahan tergeletak, mencolok mata. Namanya tertulis jelas, disandingkan dengan nama seorang pria yang tak ia kenal. Ada pula surat lain, ditulis tangan, yang berisi penjelasan (atau mungkin lebih tepatnya, pembenaran) atas kejahatan ini. Jemarinya bergetar saat meraihnya, matanya menelusuri setiap aksara.
~Nona, kau seperti bunga yang langka, secantik bayangan putri salju dalam dongeng. Maafkan "Om" yang lancang ini, terpaksa menculikmu. Ini situasi hidup dan mati, pertaruhan besar yang mengancam segalanya. Dan kau, kau adalah wadah paling sempurna untuk masa depanku. Tolong jaga baik-baik benihku di dalam rahim hangatmu itu. Aku hanya menginginkan satu anak darimu. Jika benih itu gagal tumbuh, panggil saja namaku, sayang. Aku akan datang untuk menggantinya.~
~Salam cinta, "Babu" kesayanganku.~
"Brakkh!"
Kertas itu diremas kuat, lalu dilemparkan ke dinding dengan amarah membuncah. "Babu? Kau anggap aku babu? Oke, fine! Mulai sekarang, tidak akan kubiarkan benihmu tumbuh di dalam rahimku! Dasar monster!" Ia meraung, menumpahkan segala frustrasi pada lembaran tak bernyawa itu. Ia tahu, kata "Babu" itu mungkin typo. Tapi "Salam cinta, si 'Babu' kesayanganmu"? Sungguh menghina!
Sejak terbangun pagi tadi, ia sudah mencoba mencari nama pria itu di internet. Segala pencarian nihil. Identitasnya seolah kabur, menghilang di balik tabir digital. Ia ingin sekali pergi ke kantor sipil, meminta penjelasan, namun ketakutan akan statusnya yang tiba-tiba tercemar jauh lebih besar. Bagaimana jika ibu-ibu kompleks mengetahui dirinya? Gosip akan menyebar lebih cepat dari api.
"Sial! Kalau saja ada fotonya, aku pasti bisa menemukannya. Sekalian bisa kusantet sampai mati," gerutunya, menjatuhkan diri ke sofa empuk. Ia menghela napas panjang, lelah. "Arghhh, kenapa aku berakhir begini!" Penyesalan atas kecantikannya sendiri menyeruak. Kecantikan yang ironisnya menjadi penyebab petaka ini.
"Sudah yatim piatu, sekarang jadi istri gelap orang. Apa tidak ada perempuan lain di dunia ini?! Memangnya aku ini mesin pembuat anak?!" Kembali ingatan itu menyerbu: ia dituntun paksa, matanya tertutup kain hitam, menuju sebuah altar yang entah di mana. Rasa penasaran akan rupa suaminya menggerogoti. "Ahh, siapa sih kau!" Chia menjambak-jambak rambutnya sendiri. Hanya suaranya yang ia ingat, suara berat namun entah mengapa terdengar lembut. Suara yang kini ia benci.
"Menjengkelkan sekali! Tapi kalau sampai identitasmu kutemukan, aku bersumpah akan mencincangmu hidup-hidup!" Chia bangkit, langkahnya gontai menuju kamar mandi. Ia harus membersihkan dirinya dari keringat lengket dan bau menjijikkan sisa malam yang kelam itu. Malam ini, ada pesta kelulusan di kafe. Pesta yang seharusnya menjadi penanda kebebasan, bukan awal dari sebuah penjara.
Pesta Kelulusan
"Woi, Chia! Sini!" Suara Sisi, teman akrabnya, melambai dari sudut kafe. Chia memaksakan senyum tipis, mendekati kerumunan teman-temannya. Sepasang mata menatapnya dengan aneh, dahi berkerut, pandangan mereka terpaku pada leher Chia. Sebuah jejak merah samar, seperti tanda kepemilikan, terlihat jelas.
"Kenapa lihat aku begitu? Ada yang aneh?" tanya Chia, mendudukkan diri di antara mereka. Jari manisnya telanjang, tanpa cincin yang seharusnya melingkar. Mata teman-temannya saling beradu pandang, ekspresi terkejut dan kebingungan terpancar jelas. Aura Chia, sang primadona yang selalu bersinar, kini terasa meredup. Ada sesuatu yang hilang darinya.
"Ada apa dengannya?" bisikan-bisikan mulai beredar di antara mereka, tak terdengar oleh Chia, namun terasa membebani udara di sekelilingnya.
...
Tinggalkan like dan subscribe.
Terima kasih...
"Apa yang kalian lihat?" tanya Chia, nada suaranya sedikit meninggi karena risih. Seolah semua mata di meja itu menusuknya. Teman-temannya buru-buru menunduk, menggelengkan kepala.
"Enggak lihat apa-apa kok, Chi," ujar salah satu dari mereka, suaranya terdengar canggung. "Cuma, kamu kelihatan… beda. Sedikit pucat, mungkin?"
"Akhir-akhir ini kamu baik-baik saja, kan? Enggak ada om-om iseng yang gangguin kamu lagi?" Pertanyaan itu meluncur bersamaan dengan tegukan minuman soda dari gelas masing-masing. Mereka tahu betul bagaimana paras Chia yang menawan seringkali menarik perhatian "om-om" bermobil mewah atau sugar daddy yang menawarkan tumpangan. Tapi Chia selalu menolak, tanpa gentar.
Bukan diteror, kalian salah besar. Aku justru sudah jadi istri om-om itu! gerutu Chia dalam hati, pahit. Senyum dipaksakan merekah di bibirnya. "Aku baik-baik saja, kok. Kalian ini ada-ada saja."
Senyum Chia, walau tipis, memiliki daya magis yang kuat. Seketika, para cowok di meja itu seperti tersengat listrik. Mata mereka terpaku, seolah panah asmara menembus jantung. Kharisma Chia, bahkan dalam keadaan lusuh pun, tetap mampu memabukkan. Namun, tentu saja, tidak semua yang hadir mengaguminya. Beberapa gadis menatapnya dengan pandangan iri dan kebencian.
"Cih, jujur saja kamu gelisah karena enggak sanggup lanjut kuliah, kan?" cemooh suara melengking dari meja sebelah. Itu gengnya Agnes. "Hahaha… miskin."
"Modal paras aja sok belagu. Enggak kayak Agnes, udah cantik, kaya raya, bukan anak yatim piatu pula. Calon mahasiswi lagi!" Mereka dengan bangga memuji Agnes, gadis yang duduk di tengah mereka. Agnes, sang primadona kedua di sekolah, berasal dari keluarga super kaya, tapi sayangnya, ia adalah definisi kesombongan, pelit, haus pujian, dan punya hobi berjudi.
"Hei, diam kalian! Jangan seenaknya menghina orang!" Susi, sahabat karib Chia, mendesis marah. "Ngaca dulu, tolol! Chia itu bukan cuma cantik, otaknya juga jenius! Nilainya jauh lebih tinggi dari kalian semua!"
"Sudah, Si. Jangan diladeni." Chia menenangkan Susi, yang memang terkenal gampang terpancing emosi. Berbeda dengan Chia yang harus mengerahkan seluruh kesabarannya untuk menahan kepalan tangan yang gatal ingin mendarat di wajah-wajah sombong itu.
"Betul. Ayo kita lanjut makan saja," sahut teman yang lain, mencoba mencairkan suasana.
Malam kelulusan itu berjalan lancar hingga akhir. Dari meja sebelah, Agnes dan gengnya bangkit, melenggang santai menuju sebuah bar. Sementara yang lain memilih pulang untuk beristirahat. Chia dan Susi memutuskan berjalan kaki, menikmati udara malam yang sedikit sejuk.
Tiba-tiba, sebuah mobil putih mewah menepi persis di samping mereka. Kaca jendela terbuka, menampilkan seringai Agnes. "Cieee… kok jalan kaki sih? Panggil sugar daddy kamu dong, hahahaha…." Tawa mengejek mereka memenuhi jalan.
"Kasihan, sang primadona nomor satu cuma bisa jalan kaki. Pasti malam ini enggak punya ongkos buat sewa taksi, upss, hahaha…." Mobil itu melaju, meninggalkan jejak tawa dan, tak lupa, sebuah kantong plastik bekas berisi sampah makanan yang dilemparkan tepat di kaki Chia.
"Woy, sini kalian, brengsek!" Susi berteriak, kakinya menendang kantong sampah itu dengan geram.
"Sudah, Si. Jangan emosi, kita abaikan saja mereka." Chia memungut kantong sampah itu, membuangnya ke tong sampah terdekat. "Lagipula, ini hari terakhirku di kota ini. Mereka dan aku tidak akan pernah bertemu lagi."
"Apa?! Maksudmu, kamu mau ninggalin aku?" Susi memegangi dadanya, detaknya terasa berdegup kencang.
Chia menghela napas kasar, lalu tersenyum tipis, seadanya. Hatinya mencelos meninggalkan sahabatnya satu-satunya ini, namun ia sadar, kehadirannya di sini hanya akan menyusahkan Susi. Apalagi statusnya yang baru… mustahil bisa ia ceritakan. Pergi adalah satu-satunya cara untuk menjaga rahasia itu.
"Maaf, Susi. Di kota lain sana, aku punya keluarga. Mereka memintaku ke sana dan menyuruhku lanjut kuliah di sana." Chia terpaksa berbohong, merasakan perihnya kebohongan itu. "Kamu enggak usah sedih begitu. Dan jangan coba-coba ikut, awas!" Ia mencubit hidung Susi gemas, mencoba meredakan raut wajah sedih sahabatnya.
"Huaaa… Chia!" Susi langsung memeluknya erat. "Seminggu lalu kamu bikin aku cemas setengah mati karena enggak ada kabar, tapi sekarang kamu malah mau pergi. Kamu bikin aku tambah sedih, tahu!"
Chia bergidik geli mendengar rengekan Susi. "Sudah deh, jangan lebay gini. Hubungan kita tetap lanjut kok. Jadi, pulang sana. Nanti aku hubungi kamu setelah sampai di sana. Oke?"
"Janji, ya! Hubungi aku kalau kamu tiba di sana."
"Ya, janji." Chia tersenyum. Susi membalas senyumnya, lalu melambaikan tangan sebelum naik ke dalam bis kota. Meninggalkan Chia sendirian di pinggir jalan.
"Arghh, dasar bego!" umpat Chia, masih terpaku di tempatnya.
Beg0 banget sih kamu, Chia! Susi adalah satu-satunya tempat kamu bergantung, tapi sekarang kamu melepaskannya begitu saja. Malam ini, aku mau ke mana? Sewa rumah kontrakan belum kubayar, listrik, air… semua belum. Aku harus bagaimana, Tuhan?
Chia mendongak ke atas. Setetes air dingin jatuh mengenai matanya, terasa pedih. Langit di atas sana sudah diselimuti awan hitam pekat. Tanda hujan deras tak lama lagi akan mengguyur kota metropolitan ini.
Apa aku… jual diri? Toh, aku sudah tidak perawan lagi, kan?
Sebuah pikiran gelap menyelinap, begitu licik dan memuakkan, mencoba meracuni benak Chia.
Apa aku jual diri saja? Toh, aku sudah tidak perawan lagi, kan?
Plak!
Telapak tangannya menampar pipinya sendiri. Perih. Tapi rasa sakit itu justru menjadi pengingat untuk menyadarkan dirinya. Tidak, Chia. Jangan serendah itu. Jangan murahan! Kau harus berpikir jernih.
"Aku harus pulang ke kost. Bicara baik-baik sama Ibu kost. Siapa tahu, bulan depan diberikan keringanan," gumamnya, mencoba meyakinkan diri. Langkahnya terasa berat, menyeret dirinya kembali ke realitas yang menekan.
Benar saja, begitu tiba di depan gerbang, Ibu Kost sudah berdiri di sana, menunggunya dengan sorot mata setajam pisau.
"Hehe, malam, Bu," sapa Chia gugup, mencoba tersenyum sopan. Ibu kost mendekat, langkahnya mantap, tanpa senyum sedikit pun.
"Ah, ampun, Bu! Saya keluar hadiri pertemuan kelulusan, bukan keluyuran kok!" Chia segera mengatupkan kedua tangannya di depan dada, mengira tamparan atau jambakan akan mendarat. Namun, yang disodorkan Ibu Kost adalah selembar kartu ATM.
"Ini, seseorang menitipkan ini padamu," ucap wanita itu, suaranya dingin.
"Buat saya? Dari siapa, Bu?" Chia mengambil kartu itu dengan bingung. Kartu hitam pekat, terasa dingin di tangannya.
"Tidak tahu," jawab Ibu Kost ketus, melipat tangan di dada.
"Kalau begitu, saya pamit pergi mengecek isinya dulu ya, Bu. Siapa tahu ini dari keluarga jauh saya, yang bisa membayar sewa kontrakan saya." Chia menunjuk ke arah jalanan, berharap ada secercah harapan.
"Tidak perlu," potong Ibu Kost. "Isi di dalam kartu itu saTu miliar."
"Apa?! Satu miliar? Serius, Bu?" Chia tersentak, matanya terbelalak menatap kartu di genggamannya. Angka itu terlalu besar untuk dicerna otaknya yang sedang kacau.
"Ya. Dan semua sewa kostmu, biaya listrik, air, sudah terbayar lunas. Semuanya. Jadi, malam ini juga, pergilah dari sini."
Mulut Chia menganga. "Pergi? Ibu mengusir saya?" Jari telunjuknya gemetar menunjuk dirinya sendiri.
"Ya. Saya tidak mau gadis tidak jelas sepertimu di sini. Saya cemas kau akan membawa kesialan pada penghuni kost lainnya. Pergilah!" bentak Ibu Kost, nada suaranya mengandung sedikit rasa iri yang tertahan melihat Chia yang tiba-tiba mendapat rezeki nomplok.
"Cih, baiklah. Terima kasih sudah menampung saya, Bu. Permisi." Chia menelan ludah, berbalik pergi. Ia meremas kartunya itu dan selembar surat lain yang terselip bersama kartu, surat dari suaminya yang tak terlihat itu.
Sial, dia benar-benar menyebalkan. Aku seperti simpanan om-om!
Chia berjalan menyusuri jalanan sepi, cahaya lampu jalan yang redup menemani langkahnya. Sudut matanya menangkap siluet sebuah klub malam, cahaya neonnya berkedip menggoda dalam kegelapan.
Sebuah ide gila melintas. "Oke, akan kuhabiskan semua isi kartu ini! Biar kau di sana bangkrut dan gila!" geramnya. Ia tahu suaminya itu kaya raya, tapi rasa kesal karena memiliki suami bagaikan makhluk tak kasat mata jauh lebih besar dari kegembiraan uang itu.
Chia masuk ke dalam klub, memesan segala jenis minuman keras. Ia menenggak semuanya, berharap cairan alkohol itu bisa membilas setiap jejak "benih" terkutuk itu dari tubuhnya, mencegah janin itu terbentuk. Ia takut, sangat takut, bayangan malam pertama itu terus menghantuinya.
"Woy, minggir dong!" bentak Chia, yang sudah mabuk parah. Ia mendorong seorang pria yang mencoba menariknya berdiri. Dunia berputar, kepalanya pusing dan berat, namun pandangannya tiba-tiba terpaku pada pria yang berdiri di depannya. Tinggi, tegap, dengan aura yang sangat kuat. Wajahnya… tampan, bahkan dalam pandangan kaburnya. Senyum tipis, miring, terukir di bibirnya.
"Hai, Nona, kau baik-baik saja, 'kan?" tanya pria itu, suaranya dalam dan berat, mirip… suara yang selalu menghantuinya.
Chia menyentuh dagu pria itu, lalu dengan gerakan sensual, mengalungkan kedua tangannya ke leher pria itu. Ia menatapnya dengan mata yang kini terlihat menggoda, bibir bawahnya digigit nakal, menciptakan ekspresi yang menggairahkan.
"Hai, lepaskan, Nona." Meskipun jelas pria itu menolak, Chia menggeleng manja. Tubuhnya sempoyongan, sebelum akhirnya ia pingsan, jatuh ke dada bidang pria itu.
Gerry Brandon Rios, pria itu, menghela napas panjang. Tangan kokohnya menepuk pelan pipi Chia yang basah oleh keringat dan air mata yang samar.
Kedatangannya memang untuk memastikan kondisi istrinya, namun ia tak menyangka akan menemukan Chia dalam keadaan menyedihkan seperti ini, jelas-jelas mencoba menggagalkan kehamilannya.
Sepertinya, aku harus melakukan percobaan kedua, segera.
Ia pun mengangkat tubuh Chia, membawanya pergi dari klub itu, kembali ke hotel. Baru seminggu berlalu sejak malam pertama mereka, dan malam ini, takdir kembali mempertemukan mereka dalam "adu cinta" yang kejam. Gerry butuh seorang anak, segera mungkin, untuk menyelamatkan hidupnya yang sedang dipertaruhkan.
....
Like, komen dan subscribe ❤️
Terima kasih
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!