NovelToon NovelToon

KEAJAIBAN PATUNG

Keanehan yang sering terjadi

Ting! Ting! Ting!

Dentingan jam berbunyi, memecahkan keheningan, pertanda menunjukkan pukul dua belas malam, seperti malam-malam sebelumnya, setelah suara dentingan jam itu, di susul suara erangan pria, samar-samar tetapi cukup jelas terdengar oleh Devina. Karena menganggap biasa, suara erangan pria itu tak ia pedulikan, dia masih tetap nyaman meringkuk dibalik selimut. Matanya pun tak sanggup lagi diajak berkompromi, Devina sudah kelelahan mengerjakan tugas kuliahnya.

Devina tiba-tiba dia ingin pipis, dia beranjak ke kamar mandi, terdengar suara kasak-kusuk dikamar sebelah, kamar yang sudah bertahun-tahun telah lama kosong semenjak Ayahnya meninggal dunia. Devina menyimak suara itu lagi. Kini suara itu berpindah lagi ke arah dapur.

Hanya tinggal seorang diri, tentu membuat nyali Devina tertantang. Dia gemetaran mendengar suara kasak-kusuk itu di dapur rumahnya. Berharap suara itu bukan maling yang akan merampok rumahnya.

"Aku harap itu bukan maling," lirihnya.

Devina melangkah perlahan mengecek keadaan luar, menjelang tidur Devina memang mematikan semua lampu ruangan lain, sehingga ia tak dapat melihat jelas keadaan dapurnya.

'Enggak, aku enggak punya keberanian untuk ini,' ucapnya dalam hati.

Arggggnnhh!

Suara lengkingan kucing mengejutkannya, seekor kucing hitam melompat ke arahnya. Devina terpental karena menghindari kucing itu.

"Sial nih, Kucing!" Umpatnya.

Devina mengusir kucing hitam itu dari kamarnya, dia bergegas menutup pintu sembari ngedumel. Kunci kamarnya ia letakkan di atas laci meja. Dia kembali ingin tidur, tak peduli dengan keadaan luar. Devina merasa sudah cukup waspada dengan mengunci pintu berlapis-lapis.

Sejam berselang, Devina mengeluarkan suara *******. Mer*mas bantalnya, saat itu seperti ada yang menyentuh tubuhnya dengan lembut, tetapi Devina tak mampu terbangun dari tidurnya. Devina merasa terjebak di alam bawah sadarnya.

'Hhmmm ..kamu siapa?' tanyanya tanpa membuka mata. Dia seperti berbicara dengan sesosok makhluk di alam mimpinya.

Mahkluk itu hanya berbisik mesra padanya, dia tetap melanjutkan aktivitas yang melenakan Devina itu. Telinganya mendengar jelas suara desah pria, tetapi mata Devina terasa berat mengerjap. Ada yang menyentuh di bagian bawahnya, tangan yang halus, Devina pasrah saja.

'Mungkinkah ini malaikat yang datang?' dia bertanya-tanya dalam hatinya.

***

Keesokan paginya, Devina tergesa-gesa bangun, di pagi itu ada jadwal mata kuliah yang tak boleh ia lewatkan. Saat hendak ke kamar mandi, Devina meraba celananya, lagi-lagi basah, kasurnya pun juga ikut basah.

"Aku ngompol atau apa?" Devina bertanya-tanya seorang diri.

Devina mengamati seprei kasurnya, ada cairan putih yang membekas lumayan banyak di sana. Dia mengendus-endus menciumi aroma cairan putih itu, seketika dia mual-mual karena baunya cukup menyengat.

"Apakah aku setiap amalan ini mimpi basah? Masa iya, setiap hari?"

Devina yang panik bergegas mandi, dia mengabaikan segala tanda tanya dibenaknya. Saat hendak berangkat, Ia tercengang melihat secangkir teh dan roti bakar di atas meja makannya. Devina menggelengkan kepalanya dengan keajaiban-keajaiban yang ia temukan setiap pagi.

Selalu saja ada sarapan yang tersedia untuknya, rumahnya juga terlihat bersih dan rapi. Padahal dia tinggal seorang diri, belum lagi jadwal kuliah yang teramat padat, tak menyempatkan dirinya berbenah. Rumahnya juga selalu terkunci rapat, tak ada sanak-saudara yang sering berkunjung.

"Ya ampun, apa ini semua keajaiban dari surga?' Maaf, aku tidak bisa makan ini, aku harus pergi sekarang," gumamnya.

Sebelum berangkat, dia masuk kamar kosong Ayahnya. Devina menyapa patung lilin, patung lilin menyerupai pria tampan yang berjas hitam, patung hasil karya mendiang Ayahnya. Patung itu diamanatkan kepada Devina agar senantiasa di rawat dan di jaga. Tak boleh ada yang membelinya ataupun merusaknya.

"Hei Robby, kamu jaga rumah ku, aku pamit dulu, aku akan pulang larut malam ini," ucap Devina.

Karena terpesona dengan ketampanan patung karya Ayahnya, Devina seringkali menciumi area bibir patung bernama Robby itu. Seolah menganggap patung itu kekasih idealnya. Meskipun tak ada respon dari patung Robby, tetapi bagi Devina itu cukup menghilangkan rasa kesepiannya yang hidup sebatang kara.

"Aku tidak lama lagi akan wisuda, terimakasih sudah menemani hari-hariku, Robby ..Love u," sambungnya sembari mengusap pipi patung Robby.

Devina sejenak membersihkan tubuh Robby dari debu. Mengelap dengan tissue basah.

"Kau sangat tampan, jika kau manusia, pasti kau jadi aktor terkenal di dunia karena ketampanan mu," puji Devina.

Devina berangkat kuliah, ada lagi sebuket bunga mawar putih di teras rumahnya. Tak ada nama pengirim dari bunga itu, seperti biasa bunga itu ia biarkan begtu saja hingga mengering.

Setiba di kampus, Devina berjalan menyusuri tangga, namun senior di kampusnya malah melemparinya botol minuman.

"Apa sih? Jangan bikin masalah baru lagi ya," kata Devina membentak.

Ketiga seniornya itu malam tertawa terbahak-bahak, "Siapa suruh sok cantik di kampus ini," sahut salah satu dari mereka.

"Kenapa? Kalian iri karena aku cantik alami tanpa bantuan oplas dan make up? Jangan iri dong, mari bersaing secara sehat," timpal Devina.

"Lo ya, udah berani ngebantah! Awas Lo!" Ketiga seniornya itu enyah dari hadapan Devina karena melihat ada dosen Yangs berjalan ke arah mereka.

"Awas apa? awas apa?" tanya Devina memekik ke arah seniornya.

Devina teramat kesal karena gangguan dari ketiga seniornya yang membencinya tanpa alasan. Selama ini dia berkelakuan baik ketika berada di kampus, Devina juga bukan gadis yang banyak bergaya, dia selalu tampil sederhana, kesederhanaan itu ia terapkan agar dia mampu mengirit tabungan Ayahnya agar tercukupi membiayai kuliah dan kehidupannya sehari-hari.

"Devina kamu tadi di ganggu lagi?" tanya Ibu Dosen padanya.

"Ya begitulah, Bu. Nanti juga mereka jerah juga," jawab Devina menganggap hal itu biasa.

Ibu Dosen yang juga teman mendiang Ayahnya itu menepuk-nepuk pundaknya, "Kamu yang sabar ya, Ibu pamit dulu," ucapnya.

Saat menuju ke kelas, Devina berpapasan dengan Fathur. Dia menyapa Devina dengan sedikit menggoda. Devina hanya tersenyum masam, Fathur terkenal dengan predikat 'Playboy' di kampusnya, menjadikan Devina bahan taruhan dengan teman-temannya, namun sampai saat itu Devina tak melirik Fathur.

"Dev, tunggu ah, buru-buru amat sih," kata Fathur mencegat Devina.

"Mau apa lagi, Kak? Tadi cewek Kakak nyamperin aku, mending urus dia aja deh," ketus Devina memutar mata malas.

"Sisil? Itu bukan. cewek aku, cewek aku itu kamu, eh maksudnya calon," tutur Fathur. Dengan mudahnya ia mengatakan cinta pada setiap wanita.

Bukannya terharu, Devina malah makin geli dengan sikap Fathur yang tebar pesona sana-sini. Devina malah meninggalkannya, Fathur mengikuti dari belakang, ada banyak kata-kata cinta yang dilontarkannya pada Devina, tetapi Devina menutup malah menutup kupingnya.

"****! Liat saja nanti Dev, Lo akan bertekuk lutut Ama gue," kecam Fathur masih memandangi Devina yang semakin menjauh.

Senior Pembully

"Dasar cewek sok cantik!" Sisil mengumpat Devina dari jauh.

Dia melihat Fathur mengejar Devina, tampaknya pria yang ia taksir itu sedang gencar-gencarnya menggaet hati Devina. Sementara Devina berlari menjauh dari Fathur, dia bersembunyi dibalik tembok. Fathur berkeliling di sekitar tangga, sembari memanggil nama Devina.

"Devina, please deh, jangan sembunyi," ucap Fathur.

Devina enggan menunjukkan dirinya, dia tetap bersembunyi dibalik tembok. Sisil mengambil kesempatan itu untuk menarik perhatian Fathur.

"Hei, cari siapa sih, Kak?" tanyanya dengan mengusap pundak Fathur.

Fathur memutar kata malas, dia malah mengalihkan diri dari Sisil.

"Kak Fathur cari siapa?" tanya Sisil sekali lagi.

"Shh, itu bukan urusan kamu, udah pergi aja sana," sahut Fathur mendorong Sisil agar menjauh darinya.

Fathur kembali ke kelasnya, dia meninggalkan Sisil yang berharap dihargai kehadirannya. Sebagai anak terkaya di kampusnya, Sisil merasa di rendahkan, dia tak berarti sama sekali dihadapan Fathur, terlebih lagi yang menyainginya adalah Devina, anak yatim piatu.

Para Mahasiswa itu sudah keluar dari kelasnya masing-masing, disaat teman-temannya memilih untuk nongkrong di Kafe, Devina memilih memilih pulang, entah mengapa akhir-akhir ini kepalanya seringkali pusing, mual hingga memuntahkan segala isi makanan yang ia makan. Devina yang sudah berada di parkiran, terkejut mendapati motornya penuh dengan sampah plastik. Ada yang menjahilinya lagi, bahkan sepeda motor Devina di coret-coret dengan spidol.

"Ini pasti kerjaan Sisil dan gengnya, dasar perempuan iri hati."

Devina yang teramat lelah tak mampu meladeni keisengan Sisil terhadapnya, dia membersihkan motornya lalu bergegas pulang ke rumah.

Sepanjang perjalanan, Devina mual-mual, dia sempat berhenti di toilet umum dipinggir jalan untuk membersihkan dirinya. Devina mengusap perutnya yang terasa berbeda dari biasanya.

"Aku kenapa ya," dia bertanya-tanya seorang diri. Sepanjang perjalanan, dia menahan nyeri di badannya.

Setiba di rumah, Devina melihat ada buah tergeletak di atas meja teras rumah, karena sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu, Devina membawa buah-buahan itu ke masuk ke dalam rumah.

Dia merebahkan diri di atas ranjang, tubuhnya mulai menggigil, sesaat dia tertidur. Selang beberapa menit, dia mencium aroma teh hangat di meja tepat disampingnya.

Matanya tertuju pada secangkir teh hangat itu. Devina yang terkejut bergegas membangunkan dirinya.

"Kok, ko bisa .." gumamnya.

Siapapun melihat itu tentu terkejut, teh hangat tiba-tiba ada didekatnya sementara tak ada seseorang yang dia lihat saat itu memasuki kamarnya. Devina berpikir yang membawa teh itu adalah malaikat dari surga yang di utus oleh Ayahnya.

"Kalau kamu benar malaikat, nampakkan dirimu," ucapnya.

Namun tak ada tanda-tanda yang dapat mendukung kecurigaan itu. Devina tersenyum kecil, merasa sedang diawasi oleh malaikat-malaikat baik, dia berjalan sempoyongan ke kamar mandi, muntah-muntah berlebihan sehingga dia kekurangan cairan. Kepalanya sudah berkunang-kunang, Devina terjatuh ke lantai, matanya yang samar-samar melihat sosok bayangan pria tampan berjalan kepadanya. Tubuh Devina digendong ke atas ranjang, bayangan pria itu perlahan menyeka rambut Devina, di detik kemudian Devina tak sadarkan diri.

Selang beberapa jam, ada yang mengetuk-ngetuk pintu rumah Devina, suara wanita yang tak henti memanggil namanya. Devina tersadar dari pingsannya, dia mengerjap lalu membangunkan diri.

"Devina, kamu ada di dalam?" teriak wanita itu di luar teras.

Suara wanita itu tidak asing, dan benar saja, wanita itu sepupunya yang datang mengunjunginya lagi, namanya Rahma. Jalan yang masih sempoyongan, Devina membukakan pintu rumah. Rahma tersenyum sumringah melihat Devina nampak dibalik pintu.

"Dek, kok pucat banget? Kamu beneran sakit?" tanya Rahma.

Devina tercengang, pertanyaan Kakak sepupunya seolah dia tahu bahwa Devina memang sedang sakit.

"Kok Kak Rahma tau?"

"Lah, tadi kamu kirim pesan kek Kakak, katanya Kak jengukin aku, aku sedang sakit .." sahut Rahma.

Devina yang masih lemas terkesiap, dia masuk ke kamar memeriksa pesan yang telah terkirim ke Rahma. Benar saja, pesan itu terkirim sesuai yang dikatakan kakak sepupunya. Rahma masuk ke rumah menuju ke dapur, dia tertegun dengan berbagai makanan enak di atas meja makan.

"Wah, kamu sakit tapi masih sempat-sempatnya masak, Dek .."

Devina mengecek ke dapur, berbagai makanan kesukaannya tersaji secara misterius lagi di atas meja. Devina memijat kepala sendiri, sungguh tak sanggup menelaah berbagai kejanggalan yang ia temui setiap harinya.

"Kamu udah masak, kita makan sama-sama dulu," ajak Rahma yang ngiler dengan makanan enak itu.

Devina hanya tersenyum masam, dia tak menampakkan kegusarannya di hadapan Rahma, Devina tak ingin membuat Kakak sepupunya itu khawatir dengan kondisi misterius di rumahnya.

"Kakak makan duluan aja, aku masuk ke kamar dulu," ucap Devina.

Dia kembali masuk ke kamar, melihat isi pesan itu secara seksama. Devina merasa tidak pernah mengirim pesan kepada Rahma, dan cara tulis teks juga sangat berbeda dengan dirinya. Dengan berbagai kejanggalan yang ia temui, Devina semakin yakin ada yang tidak beres dengan kehidupannya, tepatnya ada yang selalu mengawasinya, tetapi itu bukan manusia, batinnya.

'Aku akan menelusuri semuanya setelah aku memiliki waktu luang,"' ucapnya dalam hati.

Devina ke dapur kembali menemui Rahma, Kakak sepupunya itu sedang menikmati makannya.

"Ayi dek, kita makan sama-sama, masakan mu enak," puji Rahma sembari lahap mengunyah.

Devina yang ikut makan tiba-tiba mual kembali, dia berlari ke toilet dengan menahan muntahnya, Rahma yang khawatir mengajak Devina periksa ke dokter.

"Yuk kita ke klinik terdekat, sakit kamu itu kayaknya parah, Dev," kata Rahma.

Devina menurut saja, dengan menggunakan taksi, keduanya ke klinik terdekat. Devina yang terlihat lemas dibawa langsung ke kamar tindakan, dokter pun sudah mengetahui sakit Devina hanya menyungging senyum pada Rahma.

"Sepupu saya kenapa ya, Dok?" tanyanya.

Devina juga menunggu jawaban, dokter itu melepaskan stetoskopnya.

"Ini hal biasa terjadi pada wanita yang hamil muda," jawab dokter itu dengan tersenyum.

Deg!

Devina dan Rahma terkesiap, sejenak keduanya berpandangan seolah tak percaya dengan penuturan dokter itu. Merasa lucu dengan hasil pemeriksaan dokter, Rahma tertawa terbahak-bahak, bahkan dia spontan memukul-mukul pundak dokter itu sembari tertawa..

"Ihs, yang benar saja, Dok. Sepupu saya tidak mungkin hamil," ketusnya.

Dokter itu malah ikut tertawa, menganggap yang dikatakan Rahma suatu guyonan. Devina yang gelisah meminta sekali lagi jawaban dokter itu

"Dok, jangan bercanda, ini beneran atau cuma bercandaan?" tanya Devina.

Dokter itu kembali serius, "Benar, Mbak. Anda sedang berbadan dua, kalau tidak percaya, saya akan memanggil perawat untuk memberikan testpack," sahutnya.

Devina diberikan alat test kehamilan itu, dia mengunakannya di dalam toilet, harap-harap cemas menyeringai, garis merah itu memburu hingga membentuk dua garis terpisah. Saking terkejutnya, Devina menjatuhkan testpack itu ke lantai.

Hamil tanpa suami

"Tidak, ini tidak mungkin!" Devina memekik di dalam toilet.

Rahma yang menunggu di luar bergegas mengetuk pintu toilet itu, dia memanggil-manggil nama Devina, memastikan keadaan sepupunya itu baik-baik saja.

"Dev, buka pintunya, kamu kenapa?" tanya Rahma khawatir.

Devina memutar kenop pintu, dia memberikan testpack itu, Rahma terkesiap dengan bukti kehamilan Devina.

"Tapi .. Bagaimana bisa, Dev?" tanyanya.

Rahma yang menyadari ada dokter saat itu, dia pun mengurungkan niatnya meminta penjelasan Devina. Rahma kembali membawa Devina untuk berbaring di ranjang periksa, Devina tak henti menangis, dokter saat itu beranggapan bahwa pasiennya sudah dihamili di luar nikah, sehingga ia menangis karena belum siap menerima kenyataan itu.

Setelah menerima beberapa obat penguat kandungan, Rahma membawa Devina kembali pulang. Rahma mencoba komunikasi dengan Devina, dia ingin adik sepupunya itu jujur dengan keadaannya saat itu.

"Kamu sudah anggap Kakak ini Kakak kamu 'kan?" tanya Rahma.

Devina yang dibalik bantal hanya menganggukkan kepalanya. Dia masih menangis sesenggukan, tetapi tak ingin dilihat oleh Rahma.

"Siapa orangnya? Bilang sama Kakak, nanti aku coba bicarakan baik-baik sama dia, dia harus bertanggung jawab," ujar Rahma yang juga memikirkan bahwa Devina dihamili oleh pacarnya.

Devina memunculkan wajahnya, dia berfokus pada Rahma yang terlihat begitu khawatir.

"Sumpah demi Tuhan, Kak. Aku tidak punya pacar, aku tidak pernah berhubungan dengan pria manapun, aku hanya di rumah, kuliah, itu saja," jawab Devina sesuai dengan ingatan segala aktivitas yang dilakukan setiap harinya.

Rahma tak percaya itu, tetap saja dia ingin Devina berkata jujur agar dirinya bisa memberitahu pria itu agar bertangungjawab.

"Jujurlah, Dev. Ini menyangkut masa depan kamu, ada anak loh di dalam perut mu, kamu mau hamil tanpa seorang suami?"

Devina tetap kukuh dengan pernyataannya, "Aku berani bersumpah, Kak. Aku tidak pernah melakukan itu, pasti Kak Rahma tahu kepribadian aku yang tak ingin dekat dengan pria," jelasnya.

Rahma tahu Devina sangat menjaga diri dari pergaulan, bahkan Devina belum pernah memiliki pacar atau teman pria yang bisa dibilang dekat dengannya, tetapi faktanya, ada janin yang sudah bersemayam di rahim Devina, Rahma pun tak dapat berkata-kata lagi, dia takut terlalu banyak berspekulasi sehingga berpikir buruk terhadap Devina.

"Ya sudah, kamu istirahat, setelah kamu lebih tenang, kita akan bicarakan ini lagi."

Rahma keluar dari kamar Devina, dia mondar-mandir di ruang tamu memikirkan solusi atas permasalahan adik sepupunya itu, haruskah Devina membiarkan janin itu tanpa seorang suami? Ataukah mereka tega melenyapkan janin yang tak berdosa itu? Rahma diterpa rasa bersalah karena sudah memikirkan solusi buruk, dia membuang jauh pikiran untuk menggugurkan kandungan Devina.

"Apapun yang terjadi, Devina tidak boleh melakukan dosa besar itu."

Rahma yang membersihkan melihat tumpukan bunga mawar kering di halaman rumah, bunga-bunga kiriman misterius itu belum sempat di buang oleh Devina. Bunga-bunga itulah yang jadi menguatkan kecurigaan Rahma kembali.

'Kamu punya pacar atau apa sih Dev? Kenapa mesti sembunyikan ini? Atau jangan-jangan kamu menjalin hubungan dengan suami orang?'

Sekelumit pertanyaan Rahma yang menggelayut di kepalanya. Semua meminta menemukan jawaban pasti, tetapi bila mendesak Devina lagi, Rahma yakin jawaban Devina pasti akan tetap sama sebelumnya. Rahma kembali meletakkan bunga-bunga itu. Dia kembali lanjut membersihkan halaman.

Sementara Devina yang tertidur didatangi seorang pria tampan, wajah pria itu tidak asing, pria itu mengusap-usap kepala Devina, seolah menunjukkan ras a kasih sayangnya, empatinya terhadap masalah yang Devina alami.

'Kamu harus kuat, jaga anak itu baik-baik, ku mohon ..' ucap pria itu dengan pelan.

Devina melihat bayangan pria itu mencium keningnya, bahkan Devina merasakan perutnya di elus-elus, seperti seorang suami yang menyambut bahagia atas kehamilan istrinya.

Devina berusaha bangkit dari alam bawah sadarnya, setelah tersadar, dia mengerjap-ngerjapkan mata, ternyata yang di lihatnya hanyalah sebuah mimpi, tetapi Devina merasa itu sangat nyata, tatapan pria itu terlihat sangat menyayanginya, juga bayi di dalam kandungannya.

"Apakah dia adalah Ayah dari anak ini?" gumamnya.

Devina mengelus perutnya, dia tak habis pikir mengapa bisa mengandung tanpa berhubungan badan, selama ini dia hanya sering mimpi basah, belum pernah melakukan itu secara langsung dengan pria. Namun bila menjelaskan itu , tentu tak ada yang percaya padanya.

"Kenapa kamu harus ada di dalam perut ku? Haaa? Aku punya banyak impian, kehadiran mu menghancurkan hidupku!" Devina menghardik bayi yang ada didalam kandungannya.

Devina bahkan memukuli perutnya, mengumpatnya, sangat tidak menginginkan bayi itu.

Duuukk!

Tiba-tiba ada benturan keras terdengar di kamar sebelah, kamar kosong yang hanya diisi patung Robby. Devina yang kaget beranjak memeriksa keadaan kamar mendiang Ayahnya. Tak ada seseorang di kamar itu, tak ada benda yang jatuh juga di dalamnya. Devina mencari keberadaan Rahma, sepupunya itu sedang menyapu halaman rumah.

"Apa yang telah terjadi, mengapa akhir-akhir ini aku sering berhalusinasi?"

Devina duduk di sofa, memijit kepala, tapi matanya malah tertuju pada patung Robby di kamar itu. Devina yang butuh teman bicara menghampiri patung Robby. Dia memeluk patung itu seolah menumpahkan keresahan hatinya.

"Robby, aku harus bagaimana? Aku hamil, aku tidak tahu mengapa ini bisa terjadi?"

Devina memeluk erat tubuh patung Robby, "Kamu pasti kecewa dengan ku, tapi kamu tahu 'kan aku tidak pernah berbuat aneh-aneh, tapi kenapa ada bayi di dalam kandungan ku? huhuhu .."

Rahma mendapati Devina memeluk patung Robby, sangat jelas raut wajah sepupunya itu terkejut karena memeluk benda mati itu dengan terisak tangis.

"Kamu lagi apa, Dev?" tanya Rahma terheran.

Devina melepaskan pelukannya dari patung Robby, "Hem, aku hanya curhat pada patung buatan Ayahku," sahutnya dengan gelagapan.

Rahma mengamati patung Robby, sekilas patung Robby menampakkan raut kesedihan. Namun Rahma malah menganggap itu hanya halusinasinya saja. Dia mengajak Devina duduk di ruang tamu.

"Devina, apa rencana jamu selanjutnya?" tanya Rahma.

Devina tak bergeming, dia pun juga bingung harus bagaimana, semuanya jalan buntu.

"Dev, jangan sampai kamu mengugurkan bayi kamu, itu dosa besar," sambung Rahma memperingatkan.

Devina menatap Rahma dengan nanar, "Lalu aku harus bagaimana, Kak? Apa aku harus melahirkan dan membesarkan bayi ini? Ini aib, Kak."

Rahma meraih tangan Devina untuk digenggamnya, mengusap lembut pipi anak dari pamannya itu.

"Jaga saja anak ini, mungkin ada alasan yang belum kita ketahui sehingga bayi ini ada di kandungan kamu, aku percaya kamu anak yang baik, jangan melenyapkan kebaikan mu membunuh bayi ini," tutur Rahma. Meskipun dia tak selalu akan mendampingi Devina, tetapi dengan memberikan dukungan moril demikian, Rahma berharap Devina kuat menjalani jalan hidupnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!