”Mysterious Guy”
Author by Natalie Ernison
Apakah jatuh cinta pun harus dibatasi oleh penampilan? Apakah sekarang orang-orang hanya mementingkan penampilan luar saja?
Tentu saja tidak, semua orang berhak jatuh cinta. Mencintai dan dicintai adalah hal yang terindah bagi setiap orang.
Terima kasih sudah mampir ke karya @Natalie Ernison. Ini adalah karya terbaru saya, dan semoga kalian menyukainya 😊
Genre: Fantasy - Vampires - Romance
~ ~ ~
Jika semua bisa selesai dengan uang, maka aku ingin membeli yang namanya cinta. Karena pada dasarnya manusia di bumi ini hanya mementingkan uang. Tak ada satupun yang dapat menggantikan posisi uang dikehidupan manusia.
Itulah kalimat yang sering kali dilontarkan oleh seorang pria. Ia dikenal sebagai sosok yang cukup arogan.
”Kau harus bertanggung jawab atas apa yang telah kau saksikan malam ini.” Ucap Draco sembari mendekap seorang gadis dengan tatapan tajam.
Gadis tersebut terbungkam, tatkala Draco menyambar bibir ranum miliknya.
”Apa maumu! Tidak tahu malu!” Pekik si gadis yang kini berada dalam dekapan Draco, si tampan misterusnya.
Seketika, Draco pun pergi setelah memberikan sesuatu yang baru bagi gadisnya.
--------------------------------------
”Universitas xx”
Universitas ini merupakan kampus yang terdiri dari kalangan atas. Sekolah tersebut terletak di Negara Inggris, tentu saja semua kalangan atas tersebut tak perlu diragukan lagi jika dari segi ekonomi.
"Kau tahu, seluruh pakaianku ini adalah keluaran terbaru yang baru saja ibuku beli sepulang dari perjalanan bisnis," ujar salah seorang mahasiswi yang cukup famos di kampus tersebut.
"Wow! Pasti ini sangat mahal, dan tidak akan mampu dibeli orang-orang miskin, bukan?" tukas salah seorang mahasiswi lainnya.
Mereka terlihat begitu ria dalam hal pamer kekayaan. Padahal, sudah jelas-jelas saja itu adalah kekayaan orang tua mereka. Namun, sebagai anak dari keturunan yang cukup bergelimang harta, sudah biasa bagi mereka untuk saling pamer dan merendahkan orang lain.
"Hei Vellin!" seru salah seorang dari kelompok tukang pamer.
Ohh.. "Yah, ada apa?" jawab seorang mahasiswi yang bernama Vellin.
Meletakkan tas runsel miliknya, dan menoleh ke arah belakang.
Vellin Brant
"Jika kuperhatikan... pakaianmu hanya itu-itu saja. Apakah kau tidak mampu membeli pakaian?" tukas seorang teman kampusnya, yang sedang berjalan dengan tatapan remeh terhadap Vellin.
Vellin meletakkan tas runsel miliknya, lalu menghela napas perlahan.
"Apakah itu membuat terganggu, Shopie!" balas Vellin sinis.
Shopie pun merasa cukup panas dengan apa yang telah Vellin lontarkan padanya. "Kau" tukas Shopie kesal.
Shopie Dovinso
Namun Vellin pun bergegas pergi dari hadapan mereka, dengan sikap acuhnya.
Vellin merupakan mahasiswi beasiswa. Ia berasal dari keluarga yang sederhana, dan dapat masuk ke Universitas ternama pun karena jalur prestasi. Ayah dan ibunya ialah pemilik toko roti kecil di area pertokoan.
Vellin tak pernah menuntut lebih pada kedua orang tuanya, sekalipun kebutuhannya cukup banyak. Oleh sebab itu, Vellin bekerja paruh waktu sebagai seorang pegawai di salah satu tempat percetakan.
Terkadang Vellin harus turut campur dalam pengemasan barang-barang, juga membantu para atasannya.
Semua ia lakukan dengan senang hati, walau tak jarang Vellin harus menerima perkataan rendah/hinaan dari teman-teman kampusnya. Hanya karena Vellin seorang mahasiswi beasiswa.
***
"Nona Vellin, tolong temui pak manager sekarang!" titah salah seorang rekan kerjanya. Vellin pun bergegas untuk menemui managernya.
Mengetuk pintu dan memberi rasa hormatnya pada pria yang saat itu sedang duduk di kursi berputar.
"Permisi tuan Ernest, apakah tuan memanggilku?" tanya Vellin pada menagernya dengan sopan.
"Yah, kemarilah Vellin!" titah managernya. Vellin pun menuruti apa yang managernya perintahnya.
Duduk tepat di hadapan sang managernya, dan siap untuk menerima perintah selanjutnya.
"Nona Vellin Brant, kerjamu sangat bagus dan aku berharap untuk seterusnya kau akan tetap berada di sini."
Vellin tertegun saat mendengarkan pernyataan dari sang managernya, Mr. Ernest. "Terima kasih banyak tuan Ernest. Ini sangat melegakanku," jawab Vellin dengan wajah tersenyum ramah.
"Aku tahu kau sangat membutuhkan pekerjaan ini, bukan?" tukas Mr. Ernest pada Vellin. Vellin mengangguk tanda mengiyakan apa yang sang managernya katakan.
***
"Kediaman keluarga Brant"
"Kau sudah pulang Ve?" seru sang ibunya sembari membukakan pintu. Ve adalah nama penggilan dari Vellin.
"Iya bu, aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku," jawab Ve sendu dan terlihat kelelahan.
"Apakah kakak sudah kembali bu?" tanya Ve, dan seketika membuat raut wajah sang ibunya berubah sendu.
"Jaxon kemungkinan tidak akan pulang dalam beberapa bulan ke depan." Jawab sang ibunya, lalu kembali mengolah adonan roti.
"Mengapa ibu terlihat sedih saat aku bertanya tentang keberadaan kak Jaxon?" batin Ve kala itu. Sikap sang ibunya cukup membuat Ve merasa sedikit bingung karenanya.
Ve kembali ke dalam kamar pribadinya, dan menyelesaikan tugas-tugas kuliah yang sudah mulai menumpuk. Karena kesibukan di dunia kerja, Ve pun cukup kelelahan saat menyelesaikan tugas-tugas kuliahnya.
***
"Perusahaan percetakan xx"
Ve kembali menjalani pekerjaannya sebagai seorang pegawai di salah satu cabang perusahaan percetakan x. Ve begitu teliti dalam menjalani setiap pekerjaannya.
"Hai nona Vellin!" panggil salah seorang rekan kerja Ve kala itu.
"Ohh hai.. kak Halbert" jawab Ve dengan senyuman ramahnya pada pria yang bernama Halbert.
Halbert ialah pria yang sangat ramah, sopan, rapi, cerdas. Namun ia juga seorang pria tanpa kekasih. Halbert lebih sering menghabiskan waktunya dengan berolahraga, diluar kesibukkannya bekerja.
Helbert Alvonso
"Apakah tugas-tugas kuliahmu sudah selesai dengan baik?" bisik Helbert pada Ve.
"Kak Hel.."
Seehhhtttt....
Ve melarang Helbert untuk berbicara lagi, karena Ve kerap kali mengerjakan tugas-tugasnya di kantor.
"Tenang saja, tapi ada syarat!"
"Syarat" Ve mengkerutkan dahinya, dan menyipitkan matanya.
"Akhir pekan temani aku ke bioskop," bisik Helbert dengan tersenyum.
"Dasar licik. Apakah begitu cara kakak merayu para gadis?" tukas Ve, tentu saja dengan nada bercanda.
"Kau kan wanita yang terlalu santai. Jadi, aku memutuskan untuk mengajakmu. Please.." pinta Helbert dengan wajah memelas.
"Baiklh kak Hel." Ve pun mengiyakan ajakan dari Helbert padanya.
***
"Universitas xx"
Semua mahasiswi selalu terlihat heboh, tatkala melihat sosok pria tampan, dan dipercaya memiliki senyuman pembunuh wanita.
"Coba saja aku bisa bersamanya, pasti aku akan menjadi wanita yang paling berbahagia," ujar para gadis kampus tempat Ve berada.
Hmm... "Kau terlalu banyak bermimpi. Tentu saja Draco akan lebih memilihku," cela Shopie, si gadis sombong ang selalu pamer kekayaan orang tuanya.
Pria yang banyak digandrungi para gadis-gadis kampus tersebut pun berjalan melewati mereka.
Draco Grissham
Tampan, bertubuh proporsional bak seorang pria anggota pasukan khusus. Tubuh atletis, dikenal sebagai anak pewaris keluarga Grissham yang sangat terkenal kala itu.
Draco, seorang pemuda yang sedang menempuh pendidikan strata duanya di kampus tersebut. Sehingga kehadirannya pun sangat jarang terlihat di kelas regular.
Ve hanya melihat sekilas dan kembali melanjutkan segala tugas-tugasnya. Ve kini berada di dalam ruangan perpustakaan. Seperti biasanya, Ve lebih sibuk mengerjakan tugas dan terkadang Ve juga menawarkan barang-barang perusahaan di toko online miliknya.
Velline Brant
Vellin Brant, sapaan akrabnya ialah Ve. Ve termasuk gadis yang sangat mandiri. Ia sangat memahami keberadaan kedua orang tuanya yang bukanlah orang berada. Vellin hanyalah seorang gadis sederhana.
"Apakah sangat penting mengidolakan seseorang dengan begitu berlebihan," batin Ve. ia sangat tidak peduli dengan sikap teman-temannya, yang begitu mengidolakan sosok Draco Grissham.
"Permisi nona, ini adalah kursi yang biasa digunakan oleh tuan muda Draco." Tukas seseorang dengan mengenakan pakaian rapi, dan berbicara pada Ve.
"Maaf tuan, ini adalah perpustakaan umum. Jadi, siapa saja bebas menempati setiap kursi," Ve enggan untuk mendengarkan apa yang pria tersebut katakan.
"Seharusnya kau gunakan matamu untuk melihat di sekitar. Ini sudah jelas ada yang menempati." Tukas seorang pria dengan ekspresi datar, tatapan tajam dan penuh aura penekakan. Sembari menarik kursi di samping Ve, dan ternyata meja tersebut adalah tempat pria tersebut duduk.
***
”Mysterious Guy”
Author by Natalie Ernison
Tanpa disengaja, Ve duduk di kursi tempat Draco biasa tempati. Terlebih lagi, barang-barang milik Draco masih tertinggal di sana.
~ ~ ~
Ve enggan untuk berpindah tempat, namun setelah mengetahui kesalahannya yaitu menempati tempat duduk seseorang. Rasanya tak mungkin, jika Ve tetap kekeh berada di sana.
"Maaf, aku kurang memperhatikan sekitarku," ujar Ve, lalu membereskan barang-barangnya.
Bugh...
Tiba-tiba Ve terjatuh dengan membawa beberapa buku yang berada di kedua tangannya. Beberapa orang pun menertawakannya, juga ada yang dengan sengaja membuatnya terjatuh.
"Sudah salah tapi masih saja kekeh. Sungguh tidak tahu malu," cela seseorang yang telah membuat Ve terjatuh.
Berdiri dan meraih beberapa buku miliknya, Ve tahu yang membuatnya terjatuh ialah ulah Shopie. Shopie bersama beberapa temannya masih saja menertawakan Ve. Tanpa mempedulikan hal itu, Ve pun bergegas pergi dari sana.
Pulang-pergi ke kampus, Ve harus menunggu angkutan umum yang memang beroperasi setiap harinya. Dengan begitu akan sangat menghematkan biayanya.
***
”Kediaman keluarga Brant”
Ve baru saja kembali dari pekerjaannya, dengan membawa beberapa makanan yang akan ia santap bersama keluarganya di rumah.
Namun, yang menyambutnya ialah suara tangisan terdengar jelas dari dalam kamar.Ve berjalan pelan, dan ia tahu itu adalah suara dari kamar orang tuanya.
"Bu.. ibu di dalam?" tanyanya, lalu perlahan membuka pintu, dan mendapati bahwa sang ibunya sedang menagis.
"Apa yang terjadi bu?" tanya Ve terkejut. Wajah sang ibunya terlihat lebam. Sang ibunya terus menangis pilu.
"Aku akan pergi dari rumah ini, kalian urus saja diri kalian sendiri!" tukas sang ayah Ve yang sedang mengenakan jaket dan hendak pergi dari kediaman mereka.
"Ayah! ayah kemana?" lirih Ve. Ve sangat bingung dengan apa yang terjadi.
"Ayah sudah tidak tahan lagi dengan ibumu. Kalian uruslah diri kalian sendiri!" bentak sang ayahnya.
Mr. Barnab Brant
Ve sangat bingung, namun Ve menyadari bahwa sang ayah telah melakukan tindakan kekerasan pada ibunya.
Sang ayah Ve langsung bergegas pergi dengan mengendarai mobil lama milik mereka.
"Ibu... mengapa ayah seperti itu?" lirih Ve yang sedang kebingungan.
Namun bentakan sang ayah membuat Ve jauh lebih terkejut lagi. Karena belum pernah sang ayah bersikap sekasar ini.
"Ayahmu sudah tidak lagi mencintai ibu..." isak sang ibunya.
Mrs. Noara Brant
Mendengar pernyataan dari sang ibunya, Ve mulai mengerti apa yang sedang terjadi.
"Apakah ayah memiliki wanita lain bu?" tukas Ve dengan mata berkaca-kaca. Sang ibunya menatap wajah Ve dengan isak tangis sedari tadi.
"Mungkin sudah saatnya kalian tahu... ayah sudah lama memiliki wanita baru."
Mendengar pernyataan sang ibunya, Ve semakin meradang dan sangat kecewa.
Namun apalah daya, sang ibunya pun sudah sakit-sakkitan selama beberapa tahun belakangan ini.
Karena hal itu, sang ibu Ve jarang bisa memberikan pelayanan ranjang pada sang ayahnya. Hal itu selalu ditutupi dari Ve dan kakak lelaki Ve, Jaxon.
Sang ibunya sudah berusaha mempertahankan pernikahannya, namun pada akhirnya semua terjadilah.
***
Selama mengikuti kelas, Ve kerap kali melamun dan tidak memperhatikan proses pembelajaran dari dosennya.
Ve terus teringat akan keadaan keluarganya saat ini. Kini hanya Ve yang membantu biaya hidupnya bersama sang ibu. Sementara Jaxon masih berada di negara lain.
"Hallo bu! Apakah ibu sudah makan malam? malam ini aku akan pulang lebih awal, byee.." Ve baru saja melakukan panggilan dengan sang ibunya.
Tanpa Ve sadari, air matanya sudah mulai menetes tatkala memandangi foto keluarnya di layar ponsel miliknya. Sebelum melanjutkan langkahnya, Ve menghapus semua air matanya dan mengenakan masker sehingga tak terlihat wajah sembabnya.
Bugh...
Ve menubruk seseorang yang ada dihadapannya. "Maaf," ucap Ve sembari meraih buk yang terjatuh dari tangan seseorang tersebut.
Meraih buku dan mengembalikan kepada sang empunya. seorang pria dengan tatapan tajam dan ekspresi datarnya, dialah Draco.
Draco menerima buku yang Ve berikan, dan Ve pun bergegas pergi.
Draco memandang ke arah Ve yang saat itu jaraknya kian menjauh darinya. "Gadis yang menarik" ucap Draco dengan tersenyum tipis. Senyuman penuh makna dan jarang sekali ia perlihatkan.
***
"Café xx"
"Mengapa wajahmu sendu begitu Ve?" tanya Helbert pada Ve.
"Tidak kak, aku hanya kelelahan dengan tugas-tugas kuliahku," balas Ve masih dengan senyuman sendunya.
"Kau tidak enak badan, Ve?" Helbert spontan menyentuh dahi milik Ve menggunakan punggung tangannya.
"Tidak kak Hel, aku baiik-baik saja..."
Bugh...
Ve tiba-tiba jatuh pinsan. Dengan sigap, Helbert meraih tubuh Ve dan mengangkat tubuh Ve ke sisi. Semua pelanggan café terlihat heboh dan mencoba untuk membantu.
Setelah beberapa saat kemudian...
'Terima kasih nak Helbert, atas kesediannya mengantar Vellin," ujar sang ibu Ve pada Helbert.
"Sama-sama bi. Sepertinya Vellin sedang tidak enak badan, dan akhirnya jatuh pinsan."
"Yah, sepertinya Vellin sangat kelelahan dengan segala tugas-tugas kuliah juga pekerjaannya. Mungkin mulai besok, Vellin tidak perlu lagi bekerja." Ucap sang ibu Ve dengan wajah sendu.
"Mungkin pekerjaannya saja yang lebih diringankan. Karena Vellin sangat menginginkan pekerjaan ini, bi." Tukas Helbert meyakinkan sang ibu Ve. Helbert terlihat begitu perhatian pada Ve.
"Apakah kau sangat dekat dengan Vellin?" tanya sang ibu Ve, sejenak membuat Helbert berpikir. Apakah ibu Vellin sudah mulai mempercayainya untuk menjaga Ve, pikirnya kala itu.
"Yah, mungkin kami cukup dekat bi."
"Syukurlah... karena sejak kecil Vellin hanya sibuk membantu kami mengolah adonan roti. Waktunya untuk mengenal lawan jenis pun sangat minim." Sang ibu Ve terlihat tersenyum pada Helbert. Seolah-olah, sang ibu Ve mulai menyukai sosok Helbert.
***
Tiba waktunya acara penting bagi Ve. Acara pelepasan terakhirnya sebagai seorang mahasiswi.
"Universitas xx"
Acara wisudanya diselenggarakan di kampus tempatnya menempuh pendidikan strata satunya.
Semua mahasiswa/ mahasiswi terlihat begitu bahagia dihari wisuda mereka.
Vellin pun sangat bahagia, karena ini adalah akhir dari perjuangannya selama ini. Namun ada sesuatu yang kurang di acara bahagia tersebut.
Ayah Ve tidak turut serta dalam acara itu, sehingga membuat Vellin menahan rasa sedihnya. Disaat yang sama, Draco pun menyelesaikan pendidikan strata duanya. Hal yang sama Draco alami, yaitu tanpa kehadiran kedua orang tuanya.
Draco ialah anak dari pengusaha terkenal, namun kesibukan kedua orang tuanya membuat Draco terabaikan. Walau dari segi ekonomi berlimpah, namun kasih sayang maupun perhatian dari kedua orang tuanya, tidak selalu ia rasakan.
"Ibu akan pulang terlebih dahulu. Kau silakan nikmati acara perpisahanmu bersama teman-teman." Ujar ibu Ve, lalu bergegas pergi. Karena hari ini toko mereka menerima pesanan dari berbagai acara penting.
Ve melihat sekelilingnya begitu riang bersama kedua orang tua mereka. Sedangkan Ve hanya ditemani oleh sang ibu, lalu sang ibunya pun segera pergi.
Drrtttt... Kak Helbert memanggil...
Ve: "Ia hallo kak Hel!"
Helbert: "Selamat atas kelulusanmu, dan hari ini aku akan traktir..-"
Ve: "Ohhh baiklah kak Hel, thank you...--"
Wajahnya terlihat sedikit tersenyum setelah menerima panggilan dari Helbert.
***
“Mysterious Guy”
Author by Natalie Ernison
Ve akhirnya lulus dengan predikat nilai yang cukup memuaskan. Namun dibalik hari bahagia itu, justru cukup memilukan bagi Ve. Karena sang ayahnya tidak turut serta dalam perayaan acara wisuda yang selama ini Ve tunggu-tunggu.
~ ~ ~
Setelah menerima panggilan dari Helbert, Ve pun bergegas menuju tempat yang telah Helbert katakan.
Ia pun menaiki kendaraan umum seperti biasa. Waktu sudah menunjukkan pukul. 20.00, Ve masih di bus yang biasa ia tumpangi.
Tiba-tiba saja bus yang ia tumpangi terhenti di area jalanan yang cukup sepi. Saat hanya sisa beberapa orang saja yang masih berada di dalam bus tersebut. Ve masih duduk tenang dengan menggenggam tas runsel juga paper bag miliknya.
Ve duduk dibagian belakang, sembari bersandar lalu menatap ke area pepohonan di sisi jalan.
Hembusan angin malam menerpa kulit Ve dan membuatnya sedikit merinding karenanya. Sepertinya janji untuk bertemu dengan Helbert pun gagal karena ada beberapa hal yang harus Ve kerjakan.
Srachh… srachh…
Bunyi sesuatu yang berasal dari area sisi jalan, tepatnya di samping bus yang kini masih diam.
Sosok dengan tatapan mata yang begitu tajam menatap dirinya dengan cukup lekat. Ve membelalak tatkala melihat sosok tersebut yang bersimbah darah di area mulutnya.
Namun dalam sekejap sosok tersebut pun menghilang dari pandangan mata Ve. Ve masih mengatur nafasnya perlahan. Itu adalah yang cukup mengerikan baginya. Siapa sebenarnya sosok itu, mengapa perasaan Ve menjadi sedikit tidak tenang.
***
“Kediaman keluarga Brant”
Ve masih merasa gemetar atas apa yang ia lihat beberapa waktu yang telah lalu. Sosok yang cukup mengerikan itu terngiang-ngiang dibenaknya.
“Apa yang aku lihat tadi, mengapa begitu nyata…” ucap Ve sembari mendekap guling kesayangannya.
Sepanjang malam Ve sangat sulit untuk terlelap. Ia terus terbayang-bayang akan sosok yang ia telah saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Mungkinkah ini merupakan awal dari kisah baru dalam kehidupan Ve.
Keesokan harinya…
Ve masih terus teringat akan sosok yang ia lihat pada malam itu. Sangat jelas dan tak bisa terlupakan begitu saja.
“Apa yang kau lamunkan Vellin?” tanya sang ibunya, sembari memberikan segels teh hangat.
“Tidak bu, aku hanya berfikir tentang ayah dan kak Jaxon.” Balas Ve sekedar asal ucap saja. Padahal kala itu ia sedang memikirkan sosok yang ia telah lihat di samping bus yang ia tumpangi.
“Lebih baik kau urus saja urusanmu sendiri. Untuk apa memikirkan orang yang sudah jelas-jelas tidak peduli.” Tukas sang ibunya. Ve sangat terkejut akan reaksi sang ibunya.
“Ibu, maaf jika aku membuat ibu marah…” sesal Ve sembari berdiri di belakang sang ibunya.
“Carilah pekerjaan yang jauh lebih baik. Jangan hanya terfokus dengan satu tempat saja,” ujar sang ibunya, lalu pergi ke dapur untuk mengolah adonan roti.
Ve terdiam melihat ekspresi dari sang ibunya. Ada rasa sesak, saat melihat begitu banyak beban yang harus sang ibunya tanggung selepas dari kepergian sang ayahnya.
Meraih ponsel miliknya, dan melakukan panggilan suara. “Hallo kak Hel! aku ingin ijin untuk besok…--“ setelah melakukan panggilan, Ve kembali membantu sang ibunya mengolah adonan kue.
Sang ibunya terlihat sangat kelelahan dengan segala pekerjaan yang selama ini ia lakukan seorang diri, tanpa kehadiran sang suaminya.
“Bukankah besok kau harus bangun lebih awal untuk pergi bekerja?” ujar sang ibunya sembari terus sibuk dengan adonan rotinya.
“Besok aku akan ijin dan ikut ibu bekerja,” balas Ve membuat sang ibunya menghentikan sejenak aktivitasnya.
“Bukankah kau ingin lebih produktif dan menghasilkan uang yang banyak. Mengapa justru ikut menjual roti?” sang ibu Ve menatap ke arah Ve dengan tatapan heran.
“Aku hanya ingin merasakan apa yang ibu rasakan selama ini,” tukas Ve, lalu dengan sigap membantu sang ibunya.
***
“Toko roti keluarga Brant”
Ve sudah siap dengan pakaian seorang pelayan toko kecil milik keluarganya. Hari ini akan ada acara di salah satu tempat terbuka. Ini adalah kesempatan besar bagi sang ibunya untuk menjajakan beberapa jenis roti olahan mereka.
“Ibu tunggulah di toko, biar aku saja yang pergi menjual roti-roti ini.” Ve meraih keranjang yang berisi roti penuh dan sudah terbungkus rapi.
Sementara beberapa box lainnya akan dibawa dengan menggunakan kendaraan milik sang ibunya.
Area festival
Seperti pedagang yang lain, Ve pun sibuk menjajakan roti olahan sang ibunya. Namun karena tidak hanya roti saja yang dijual, sehingga Ve harus membawa cukup banyak lebih dari yang harus ia jual.
“Jadi ini yang ibu rasakan selama ini. Demi keluarga ini, ibu berjuang sendiri…” batin Ve.
Tanpa sadar Ve meneteskan air matanya hingga menetes ke atas plastic roti miliknya.
Ia membayangkan betapa lelahnya mengolah, lalu menjualnya. Beluk lagi jika ada beberapa item yang tidak laku. Ve duduk sejenak di sisi lapak tempat ia menjual roti olahan sang ibunya.
“Hanya karena roti tidak terjual habis, lalu kau bersikap cengeng seperti ini!” ujar seseorang membuat Ve terkejut.
Ahk.. pekik Ve terkejut.
Saat mendongak ke atas, seorang pria bertubuh tinggi profosional memberikan tangannya pada Ve.
“Tuan muda Draco!” ucap Ve spontan. Pria itu ialah Draco, si pria dingin dengan ekspresi pembunuh wanita. Karena Draco dikenal pria yang sangat jarang tersenyum.
“Hei apa yang kalian lakukan!” pekik Ve, saat beberapa orang-orang dari Draco mulai menyantap roti yang masih tergeletak di atas keranjang.
“Kami akan membelinya.” Ujar Drao sembari memberikan sejumlah uang yang tidak dapat dikatakan sedikit.
“Tunggu! ini terlalu banyak, tu—“ tiba-tiba saja sosok Draco sudah tidak ada lagi di sana.
“Kemana perginya orang-orang tadi! mengapa sangat cepat…” gumam Ve heran.
Karena hanya secepat kilat, sosok Draco sudah tiada lagi. Wajar saja jika Ve merasa sangat aneh.
***
“Kediaman keluarga Brant”
Ve kembali dengan membawa beberapa keranjang roti yang sudah habis terjual.
“Semua terjual?” tanya sang ibunya menyambut kedatangan Ve yang megendarai kendaraan milik keluarganya.
“Ia bu. Ini uang hasil penjualan hari ini.” Ve memberikan seluruh uang hasil penjualan roti, tak lupa juga dengan bonus dari Draco.
“Ini sangat banyak Vellin. Siapa yang telah memberikanmu uang sebanyak ini?”
“Ini dari beberapa orang kaya. Wajar saja jika mereka memberikanya lebih.” Tukas Ve, beraharap sang ibu akan memberikan respon sesuai yang ia harapkan.
“Ibu tidak pernah mengajarkanmu untuk mencari keuntungan dengan cara yang tidak baik. Cepat kembalikan uang ini, ibu tidak ingin menikmati hasil yang tidak jelas dari mana!”
“Bu! mengapa? ini bukan apa-apa bagi orang...“
“Kau harus tahu Vellin! Kita boleh susah, tapi jangan sampai orang lain menganggap harga diri kita rendah. Lebih baik kita hidup sederhana tapi semua dari hasil kerja keras yang baik.”
Mendengar pernyataan dari sang ibunya, Ve terdiam tak mengerti. Ve sangat tahu bagaimana kekayaan keluarga Draco. Ve sangat yakin, jika uang tersebut diberikan dengan tulus.
“Baik bu. Malam ini aku akan mengembalikan uang ini.” Ve bergegas pergi dengan kendaraan miliknya. Sedangkan sang ibu hanya terdiam.
Semenjak kepergian sang ayahnya bersama wanita lain. Sang ibu Ve menjadi sosok yang sering kali marah terbawa emosi.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!