Kaki jenjang nan mulus yang berbalut heels mewah berwarna maroon membuat semua pandangan mata menajam sempurna. Hembusan angin pesawat di bandara kala itu menerpa rambut panjang wanita yang baru saja turun dari tangga pesawat jet pribadi milik keluarga Wijaya.
Jajaran pria di depan sana dengan sigap bergerak menunduk menyambut kepulangan sang nona muda mereka.
“Silahkan, Nona.” Salah satu pria yang paling teratas kedudukannya tampak memegang payung demi melindungi sang nona muda dari teriknya matahari.
Tak ada sapaan hangat mau pun senyuman yang terlihat di wajah cantik milik Ratu. Ia bahkan mengangkat dagunya menatap ke depan. Kacamata hitam kini ia tenggerkan di batang hidung mancungnya.
Sebuah mobil sudah terbuka pintunya di depan. Ratu pun masuk dengan tangan sang bodyguard yang melindungi di atas kepala agar tak terhantuk.
Dering ponsel tiba-tiba saja terdengar dari salah satu bodyguard di sana. Belum sempat Ratu menutup pinth mobil, matanya menatap nyalang pria tersebut.
“Matikan dering ponselmu itu jika bekerja. Telingaku sakit!”
Sigap pria itu mengangguk patuh mendengar perintah sang nona muda. “Baik, Nona. Maafkan saya.” ujarnya meski merasa itu bukanlah sebuah masalah. Sebab yang berdering adalah ponsel kerja dimana khusus untuk Tuan besar saja yang bisa menghubungi.
Mobil pun melaju dan tinggallah beberapa orang bodyguard yang akan mengikuti mobil di depan sana.
Sembari berjalan, pria itu mengangkat telepon. “Iya, Tuan.” sapanya benar sang tuanlah yang menelpon.
“Ratu dimana? Sudah tibakah?” tanya pria di seberang sana dengan cemas.
“Sudah, Tuan. Nona muda sudah kami pastikan naik ke mobio dan akan kami ikuti saat ini juga.” ujarnya yang memasuki mobil dan mereka pun melaju meninggalkan bandara.
“Pastikan dia langsung ke perusahaan. Kita sedang ada meeting penting sebentar lagi, dan ini menyangkut posisi Ratu.” Jelas sang Tuan yang langsung mengakhiri panggilan telepon.
Sayangnya, keadaan yang semula baik-baik saja harus kacau seketika akibat ulah wanita yang baru saja menginjakkan kakinya kembali di negara Indonesia kini.
“Pak, cepat lajukan mobil. Saya menyuruh anda!” Pekik Ratu yang marah sebab sang supir tetap kekeuh untuk membawa ke perusahaan. Sementara Ratu tak ingin ke perusahaan di hari pertamanya datang.
Kesal tentu saja sebab ia datang tanpa mendapat sambutan dari kedua orangtuanya di bandara. Bahkan ia ingin sekali pulang ke rumah menikmati makanan masakan sang mami. Namun, sepertinya Ratu harus menelan pil pahit. Sebab kedua orangtuanya masih tetap sama menjadi orang sibuk tanpa henti.
“Nona muda, saya mohon jangan meminta saya melawan Tuan. Saya tidak mau di pecat, Nona.” Pak supir bahkan terlihat bingung saat ini.
“Argh, pokoknya saya tidak mau tahu. Kita harus pulang. Atau jalan-jalan saja. Saya lelah jika harus langsung ke kantor, Pak!” Wanita itu dengan kasar menarik rem tangan mobil usai memastikan jalanan tak seramai tadi.
Tangannya gesit mendorong tubuh pria di depannya keluar dan mengambil alih kemudi mobil. Ratu melajukan mobil dengan kecepatan tinggi bak orang-orang pembalap.
Jika tak laju, ia yakin pasti para bodyguard akan dengan mudah membawanya ke kantor.
“Enak saja mau langsung di suruh kerja. Di sambut pun nggak, mending jalan-jalan dulu.” ujarnya begitu senang.
Ratu melajukan mobil dan mengabaikan suara klakson di belakang sana. Beberapa mobil tampak mengejar dari arah belakang. Aksi kejar itu nyatanya membuat hiburan tersendiri untuk wanita cantik ini.
Senyuman smirk mengembang di wajah cantik milik Ratu, wanita yang baru saja tiba di Indonesia usai menyelesaikan studinya di Amerika. Berkat keinginannya yang penasaran dengan dunia luar negeri akhirnya ia pun setuju dengan persyaratan sang ayah untuk kuliah di luar negeri dengan satu pilihan mengambil jurusan bisnis.
Beberapa waktu terlewatkan dengan aksi kejar mengejar kendaraan roda empat, Ratu sama sekali tak terlihat ingin mengalah. Beberapa kali wanita itu membunyikan ban mobil saat ingin memutar haluan. Beberapa pria di belakang sana sampai menggelengkan kepalanya melihat tingkah sang nona muda.
"Astaga...ku pikir setelah menempuh kuliah di luar negeri tingkahnya sudah berubah." gerutu Fincen yang merupakan salah satu anak buah Tuan Raul.
"Bukannya makin anggun, Nona Ratu justru semakin liar." sahut Tirta yang juga sama terkejutnya melihat tingkah wanita yang berada dalam ingatannya saat ini masih berada di bangku SMA.
Helaan napas kasar pun terdengar dari sosok Faldo yang duduk di samping kemudi. "Kerjaan kita akan semakin bertambah lagi seperti dulu. Bagaimana caranya mengembalikan wanita ini ke luar negeri lagi? Setidaknya pekerjaan kita murni untuk perusahaan dan Tuan Raul saja." Mendengar keluhan sang teman, beberapa pria lainnya justru menatap datar. Tak ada yang berani mendukung ucapan frontal dari Faldo barusan.
"Jangan sampai ucapan mu saat ini terdengar oleh Tuan. Bisa di pecat kita semua." peringat Tirta lagi.
Sementara Banu terus fokus mengemudikan mobil mereka yang berada di belakang mobil Dani dan Jery. Dani adalah bodyguard utama yang sudah Tuan Raul tunjuk sebelum sang anak tiba di Indonesia. Sementara Jery merupakan asisten pribadi Ratu di perusahaan nantinya.
Hingga ketiga mobil itu berhenti tepat di pertigaan yang lumayan padat. Lampu merah yang tak bisa di terobos oleh Ratu membuat wanita itu menyerahkan dirinya dengan menghentikan laju mobil. Matanya memutar malas melihat beberapa pria sudah mengetuk pintu mobil miliknya. Segera Ratu membuka jendela kaca itu.
"Nona, ayo mari kita ke kantor. Tuan Raul sudah menunggu anda." ujar Dani memohon agar Ratu tak berulah kembali.
"Huh mengganggu kesenangan orang saja." dengus Ratu yang membuka kunci mobilnya.
Kini dengan iringan mobil mereka pun melaju menuju ke arah perusahaan di mana pria paruh baya tengah mengetuk-ngetuk meja di depannya menunggu kehadiran seseorang dari arah pintu utama ruang meeting. Dimana banyak para petinggi perusahaan yang juga tampak menunggu sosok yang dikatakan berkualitas oleh pemilik perusahaan ini.
Beberapa kali Raul menarik napas lalu menghemnbuskannya perlahan. Matanya menatap tajam pada pintu yang tak kunjung terbuka itu. Sebab dari perkiraan seharusnya lima belas menit lalu Ratu sudah tiba di perusahaan miliknya.
Hingga beberapa wajah di ruangan itu tampak saling melempar pandangan mereka seolah bertanya apa yang terjadi? Dimana orang yang mereka tunggu sedari tadi?
Tok Tok Tok
Suara ketukan pun akhirnya terdengar juga. Saat itu juga Tuan Raul menghela napas kasar, sebab ia yakin jika yang datang pastilah sang anak nakalnya itu. Dan di detik berikutnya matanya menangkap sosok wanita cantik dengan tampilah yang sungguh memukau. Bukan rok span atau dress, melainkan celana slim berbahan latex mengkilat hitam yang memperlihatkan kedua kaki jenjangnya serta heels maroon yang menampakkan warna kaki putih itu membuat beberapa mata menatap lapar.
Pandangan mereka bergerak seolah meneliti dari kaki hingga ke atas sosok wanita yang kini berjalan dengan dagu terangkat tinggi menuju kursi yang kosong satu-satunya untuk dirinya.
"Hai, Papi." sapa Ratu seolah sedang menyapa temannya.
Tuan Raul sampai mengerjapkan matanya meyakini jika tingkah sang anak seperti itu. Berharap Ratu akan menyapa dengan mencium pipi atau mencium punggung tangannya. Namun, yang Ratu lakukan berbeda dan semua terlihat oleh mata yang ada di ruangan itu.
Acuh dengan sikap dingin sang papi, Ratu beralih menatap satu persatu orang yang duduk bersamanya saat ini. Hingga tatapan mata wanita itu jatuh pada wajah pria yang sedari tadi menunduk.
"Alfat?" Ratu berucap lirih kala menyadari siapa sosok pria yang ada di hadapannya saat ini.
Menyadari akan tatapan dari wanita di depan sana, Alfat semakin menunduk. Ia berusaha membuka lembaran kertas di depannya demi mengalihkan kecanggunan tersebut. Sementara Ratu yang tampak menatap beberapa kali pria tampan di depannya kini berubah menjadi anggun. Sikap bar-bar yang ia tunjukan di awal datang tadi berganti menjadi wanita yang sangat manis.
"Papi apa kabar?" tanyanya dengan senyum selebar mungkin.
Melihat wajah sang anak yang manis, Raul tampak mengangguk bingung. Hingga akhirnya ia pun menyadari waktu telah banyak terbuang karena ulah sang anak. Ia berinisiatif menyampaikan tujuannya secara langsung untuk memperkenalkan sang anak pada mereka semua begitu pun juga sebaliknya.
Semua tampak menatap Ratu, mendengarkan bagaimana wanita ini berbicara yang terdengar masih kaku namun cukup baik dalam segi bicara dan pengetahuan yang terdengar dari bibir ranum wanita itu. Hingga yang terakhir Raul menunjuk ke arah dimana Alfat duduk.
"Dan yang terakhir namanya Alfat, dia adalah manajer keuangan di perusahaan Papi. Jadi sedikit banyaknya kalian nanti akan saling bertemu dan bekerja sama. Ingat Ratu, keuangan masih akan tetap Papi pantau meski pun kelak Papi tak lagi memegang perusahaan ini. Dan kamu harus belajar banyak pada Alfat selama Papi masih ada." ujarnya membuat Alfat seketika mengangkat wajah mendengar ucapan sang atasan.
"Bagaimana ini? Tenanglah, dia hanya masa lalu. Sebaiknya lupakan semua dan bersikaplah biasa saja." tutur Alfat berusaha mengatur dirinya.
Terlihat jelas jika Ratu sama sekali tidak keberatan akan hal itu. Ia merasa ini semua adalah hal yang wajar dan mudah untuk di praktekkan.
Beberapa waktu berlalu, tampak Ratu berjalan beriringan dengan sang papi di ikuti oleh beberapa bodyguard dan juga asisten pribadinya. Sapaan terus menghampiri keduanya dengan penuh hormat. Tak banyak pula yang mengagumi sosok gadis cantik yang terlihat begitu dewasa saat ini. Jika mereka mengingat bagaimana dulu Ratu berlari kesana kemari saat masih sekolah SMP dan SMA. Sering kali membuat ulah di luar sekolah mau pun di kantor.
Tentu rasanya ada kekaguman tersendiri saat melihat bagaimana wanita cantik ini menjelma menjadi wanita karir.
"Ayo kita makan siang. Rasanya Papi sangat lama tidak bersama anak gadis Papi. Tapi ingat, Ratu. Di perusahaan saat jam kerja Papi tetaplah seorang atasan." ucap Raul membuat kedua bola mata Ratu memutar malas mendengarnya.
"Tidak usah terlalu berlebihan memperingatkan aku seperti itu, Pi. Di jam kerja atau pun tidak sama saja rasanya. Kita bukan seorang anak dan ayah yang akrab dan saling menyayangi." ketus Ratu berjalan mendahului sang ayah yang mendapat penolakan darinya untuk makan siang bersama.
Wanita itu justru memilih untuk makan di kantin perusahaan sang ayah dari pada makan di restaurant luar. Laju kakinya melangkah tak sengaja sampai menabrak tubuh seseorang.
"Augh!" Keduanya saling bertabrakan namun yang terjatuh hanya satu wanita.
"Gimana sih?" ketus Ratu menatap kesal wanita yang tersungkur di lantai bawah. Tangannya yang terlihat memeluk rantangan makan membuatnya tak bisa menahan tubuh untuk tidak menyentuh lantai.
"Maaf, tapi tadi bukan saya yang menabrak. Justru anda, saya sudah berjalan hati-hati." wanita itu berkata jujur meski terdengar tetap dengan nada sopan.
Ratu mendelikkan mata mendengar pengakuan wanita di depannya yang berani menyalahkan dia. "Jadi maksudmu aku yang salah?" tanya Ratu dengan suara bernada tinggi.
Meski ingin sekali rasanya menjawab dengan iya, melihat banyaknya mata yang menatap ke arah mereka berdua membuat wanita itu memilih untuk mengalah. Ia ingat posisi suaminya di sini hanyalah bawahan yang bisa di pecat kapan saja dan ia sebagai istri tak ingin hal itu sampai terjadi.
"Citra, ada apa ini?" Sosok pria tiba-tiba saja muncul mendekat pada wanita yang berusaha berdiri. Namanya adalah Citra Anggraini, ia adalah istri dari Alfat.
"Alfat, kau mengenalnya? Siapa dia? berani sekali menyalahkan aku." geram Ratu dengan bibir yang berkomat kamit.
"Maafkan saya, Nona. Citra adalah istri saya. Tolong maafkan istri saya." ujar Alfat memohon meski ia yakin istrinya tak bersalah.
Mendengar bagaimana sang suami merendah, Citra pun merasa bersalah. "Nona saya minta maaf. Saya salah menabrak anda karena tidak hati-hati berjalannya." tutur Citra dengan menundukkan kepala.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!