NovelToon NovelToon

Unleashed Power

Bab 1 Prolog

Sirat matanya menunjukkan kekecewaan. Dia merasa sudah dikhianati oleh orang yang dia percaya. Sepatah kata pun tak bisa dia ucapkan. Ingin rasanya dia membantah, namun dirinya sadar bahwa itu hanyalah satu dari sekian fakta yang ada.

"Kukira aku adalah orang yang bahagia karena tidak ada masalah di hidupku,"

Air mata yang telah dia tahan mengalir begitu saja. Dalam sekejap kedua matanya basah. Walaupun sulit berbicara di tengah tangisnya, dia menatap kedua orang dihadapannya dan berkata dengan lirih.

"Namun sepertinya aku salah. Seluruh hidupku ternyata hanya sebuah kebohongan semata."

Tanpa pikir panjang lagi, dia berlari meninggalkan rumah yang sudah dia huni selama 16 tahun lamanya. Itu bukanlah waktu yang sedikit dan jujur saja dia sedikit ragu untuk meninggalkannya.

Banyak kenangan yang terlukis di rumah itu. Semua emosi baik suka maupun duka pernah mewarnai rumah itu. Kata-kata penuh kasih sayang pun pernah terdengar lembut di telinganya.

Dia menghentikan langkahnya. Melihat ke sekitar dan mencari tahu keberadaanya sekarang.

Semua menatapnya dengan tatapan aneh. Jelas saja, melihat seorang pemuda di tengah hujan yang deras, berlarian entah darimana, dan memakai baju yang tipis di musim dingin. Sungguh pemandangan yang tidak wajar bukan?

"Anak muda, apa kau tersesat?"

Seorang pria tua bertanya padanya. Dia hanya bisa berdiam diri, tidak berani menjawab pertanyaan itu.

"Apa kau butuh tempat berteduh?"

Pria tua itu kembali bertanya. Sang pemuda menundukkan kepalanya. Dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Tapi, saat ini pun dia tidak memiliki tempat tinggal.

"Kalau begitu kau bisa ikut aku. Kebetulan aku punya sebuah kamar kosong. Tentu saja ini tidak gratis. Hohoho~"

Pria tua itu melangkahkan kakinya menuju tempat dia tinggal. Tentu saja dengan dikuti si pemuda. Langkah mereka memang lambat karena kondisi kaki si pria tua, tapi untungnya jaraknya tidak terlalu jauh.

"Ini adalah rumahku, anggap saja rumah sendiri," ucap si pria tua.

Sang pemuda terkagum melihat bangunan di hadapannya. Tidak begitu mewah memang, tapi begitu nyaman dipandang. Kesannya seperti sedang membawamu bertualang di lautan.

Pemuda itu tak habis-habis berdecak kagum melihat interior rumah si pria tua. Semuanya tertata rapi dan tidak ada yang merusak pemandangan. Dalam hati si pemuda, dia berkata, "Aku sungguh beruntung bertemu kakek ini."

"Nah, disini adalah kamarmu."

Si pria tua menunjukkan sebuah kamar pada si pemuda. Dengan senang hati dia membuka pintu, berharap melihat sesuatu yang membuatnya kembali berdecak kagum. Namun, yang dia lihat disana bukan lah hal yang luar biasa, melainkan 5 orang pria bergaun putih layaknya seorang dokter.

"Hey, kau terlambat pria tua."

Ucap salah seorang disana. Dengan senyum ramah yang masih terpatri di wajahnya, si pria tua menyeret masuk sang pemuda.

"Lalu, apakah ini 'wadah' selanjutnya?"

Tubuh sang pemuda bergetar ketakutan. Dia harus kabur dari situ. Benar-benar harus kabur. Namun disaat dia ingin berlari, kepalanya dipukul dengan keras dari belakang.

Saat itu sang pemuda menyesali perbuatannya yang meninggalkan rumah. Dia berpikir, walaupun dia bukanlah anak kandung dari orang tuanya, namun mereka tetaplah keluarganya.

"Konyol"

Ucap seorang pemuda berambut coklat sembari mematikan televisi. Pemuda itu menggaruk-garukkan kepalanya. Dia merasa menyesal telah menonton drama yang begitu tidak masuk akal baginya.

"Hoammm~ngapain lagi ya?"

Pemuda itu melihat sekitarnya. Mencari hal yang bisa membuang kebosanannya.

"Tuan muda Gerald, anda dipanggil oleh nyonya."

Seorang pria tua dengan pakaian khas seorang pelayan masuk memanggil pemuda itu. Gerald berdecak kesal begitu mendengarnya. Dia sangat malas untuk pergi sekarang.

"Bisakah nanti saja, Berner? Aku sedang malas."

Ucapnya sembari berbaring dan memejamkan mata. Namun, dia tak kunjung merasakan tanda-tanda Berner sudah pergi. Gerald kembari membuka matanya. Tentu saja, dia masih bisa melihat si pria tua kepala pelayan di rumahnya itu.

"Ck, baiklah~ kau menang. Aku akan menemui ibu sekarang."

Gerald bangkit dari tidurnya dan melangkahkan kaki menuju tempat ibunya berada. Sesampainya disana, Gerald hanya bisa terdiam membisu sembari mengernyitkan dahinya bingung. Pasalnya, ibunya berkata :

"Sesungguhnya, kau bukan lah anak kandung kami."

"Hah?"

Bab 2

Dunia sihir. Bagi sebagian orang mungkin itu adalah hal yang fana atau hanya sebatas mitos. Tidak mungkin ada sihir di dunia ini. Namun, pernahkah kalian mendengar tentang Mantauna? Sebuah negri sihir yang indah serta damai.

Disitulah seorang pemuda bernama Gerald Bender tinggal. Pemuda dengan rambut coklat lurusnya itu tinggal di dunia sihir bersama kedua orang tuanya.

Ayahnya, Harmin Bender adalah orang terkemuka di kotanya. Beliau adalah seorang dokter terkemuka yang namanya sudah banyak terpampang di majalah dan koran. Sedangkan, ibunya, Katarine Fruinder adalah anak kedua dari seorang bangsawan di East Mantauna.

Mendengarnya saja kita sudah bisa membayangkan betapa kayanya Gerald. Rumah mewah, puluhan pelayan yang bekerja, serta....

"Kau bukanlah anak kandung kami."

...kenyataan yang pahit.

Jujur saja dia sangat kecewa, sedih, dan juga kesal. Kesal karena hidupnya seperti drama konyol yang baru saja dia tonton. Mood-nya benar-benar hancur sekarang.

Gerald duduk termenung di taman rumahnya. Menatap hijaunya pemandangan yang sudah berjam-jam dia lihat. Dengan ditemani oleh Berner, sang kepala pelayannya yang paling setia dan orang yang paling menyebalkan menurutnya.

"Apakah sudah tahu hal ini, Berner?" tanya Gerald.

Pria tua itu hanya menganggukkan kepalanya dalam diam. Gerald menghela nafasnya panjang. Tentu saja karena sudah malas berfikir. Asal kalian tahu, Gerald sangat tidak suka memikirkan hal-hal yang rumit. Dia sangat suka hal yang sederhana.

"Apakah aku jatuh miskin sekarang?" tanyanya pada diri sendiri.

Sungguh....pemikiran yang sempit. Bisakah kau emosional sedikit? Kau baru saja tahu kalau orangtua yang merawatmu selama bertahun-tahun bukanlah orangtua kandungmu.

"Lalu aku harus apa? Lari dari rumah sambil meneteskan air mata? Itu merepotkan. Aku cuma mau hidup enak."

"Tuan muda? Apakah anda sudah kehilangan akal?" tanya Berner.

Gerald menatapnya jengah. Dia kembali menghela nafas panjang. Pemuda itu benar-benar tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. Apakah dia harus keluar dari rumah dan menjadi gelandangan atau tetap tinggal di rumah megah itu dengan memikul fakta yang ada.

Kepalanya seperti mau meledak sekarang. Dia mulai berpikir, apa tujuan dari orangtuanya memberi fakta itu sekarang? Apa karena mereka menunggu Gerald cukup umur? Atau jangan-jangan....

"Mereka ingin mengusirku dari rumah?" Gerald menangkupkan wajahnya. Dia terlihat seperti lukisan milik Munch yang berjudul 'Scream'.

"Baguslah kalau sudah tahu."

Gerald menolehkan kepalanya dan mendapati ayahnya sedang tersenyum bahagia. Pemuda itu sungguh membenci senyumannya. Pria itu seperti sedang tertawa diatas penderitaannya.

"Haha- Aku baru tahu kalau kau adalah orang yang sangat jujur," ucap Gerald.

"Aku memang selalu jujur," balas Harmin.

"Tidak dengan diriku."

Harmin tertawa pelan mendengarnya. Yah~itu bukan sepenuhnya salah dirinya. Dia hanya mengikuti perintah istrinya.

"Jadi, apakah aku sudah jadi gelandangan sekarang?" tanya Gerald.

Harmin menggelengkan kepalanya. Pria itu memberikan sebuah amplop yang dia ambil dari kantong sihir miliknya.

"Apa ini? Apa aku diberi rumah?"

Gerald membuka amplop itu dengan semangat, mengira itu adalah surat kepemilikan rumah. Namun, sayangnya kenyataan tidak seindah drama. Isi dari amplop coklat itu adalah formulir pendaftaran sekolah sihir.

Gerald menatap surat itu dengan kecewa. Perlahan dia tolehkan kepalanya dan melihat ayahnya sedang tersenyum bahagia.

"Ya, aku memberimu tempat tinggal. Kalau kau masuk disana, kau bisa tinggal di asrama mereka."

Harmin menepuk pundak pemuda itu pelan dan berdiri dari duduknya untuk meninggalkan Gerald. Kembali, Gerald menghela nafasnya panjang. Dia benar-benar sudah seperti pecundang.

"Oh, kau masih bisa pakai nama keluargaku jika ingin mendaftar," ucap Harmin sebelum benar-benar meninggalkan Gerald.

"Dan kau dipanggil oleh ibumu."

Kali ini Harmin benar-benar meninggalkan Gerald yang masih termenung. Selama 16 tahun ini dia tidak pernah bersekolah di sekolah umum. Pemuda itu hanya belajar di rumah, seperti anak orang kaya lainnya.

Gerald kembali melihat formulir itu. Yah~tidak ada salahnya mencoba. Lagipula dia sekarang hanyalah seorang gelandangan dengan title keluarga terhormat.

Gerald mengisi formulir itu dengan seksama. Menulis nama, tanggal lahir, jenis kelamin, jenis sihir.....

"Jenis sihir? Apa itu?"

"Jenis sihir adalah bentuk sihir anda tuan muda," jawab Berner.

"Lalu apa jenis sihirmu?" tanya Gerald

Berner menjawab pertanyaan tuan mudanya dengan memperlihatkan pusaran air yang mengambang di telapak tangannya.

"Jenis sihirku adalah elemental, tuan"

"Apa ada contoh jenis sihir yang lain?" tanya Gerald lagi.

Pemuda itu baru kali ini mendengar ada jenis sihir. Dia tidak pernah belajar secara mendalam tentang sihir di rumah. Dia hanya mempelajari tata krama dan itu membuatnya bosan.

"Ada jenis sihir elemental, controller, builder dan masih banyak lagi" jawab Berner dengan senang hati.

"Controller? Apa itu? Apakah jenis sihir mereka bisa mengendalikan pikiran atau semacamnya?"

Berner menganggukkan kepala menjawab pertanyaan tuan mudanya. Gerald berdecak kagum. Dia baru tahu kalau sihir itu punya banyak jenisnya.

"Lalu, jenis sihirku apa?"

Gerald bertanya-tanya pada dirinya. Dia tidak pernah mencoba sihirnya, baik di dalam rumah ataupun di luar rumah. Ibunya tidak mengizinkannya untuk menggunakan sihir di lingkungan rumah. Dia pun tidak tahu kenapa.

"Hah~aku tanya saja ke ibu."

Gerald bangkit dari duduknya dan berjalan memasuki rumah untuk mencari ibunya.

...****************...

Ah~cuaca yang cerah, hari yang tepat untuk bersantai. Katarine menyeruput teh hangat miliknya. Dia sangat bahagia. Karena apa? Karena sebentar lagi Gerald akan keluar dari rumah.

"Mwahahahaha~"

Tawa puas Katarine menggema di satu ruangan. Sepertinya dia benar-benar senang anak semata wayangnya itu akan meninggalkan kediamannya yang nyaman.

Sudah bertahun-tahun lamanya Katarine menyuruh Gerald untuk bersekolah di sekolah umum. Namun, apa kata pemuda itu?

"Tidak usah, aku sudah nyaman disini." kata pemuda berambut coklat itu saat dia berumur 13 tahun.

Bahkan, Katerine sempat berpikir untuk pindah ke kota bersama keluarganya dan meninggalkan rumah mewah nan megahnya itu. Tapi apa? Gerald membatalkan semua kontrak properti miliknya dengan berpura-pura menjadi dirinya dan menelepon agen properti. Sialnya, agen properti menyetujui pembatalan itu tanpa ada pengembalian biaya.

Jika mengingat semua hal itu, kepala Katarine seperti mau pecah. Dia sudah tidak sanggup merawat anak itu lagi. Walaupun dia sangat menyayangi anak semata wayangnya, tapi ini sudah saatnya pemuda itu hidup mandiri. Diawali dengan menjatuhkan bom fakta tentang asal-usul kelahirannya.

BRAKKK~

Pintu ruangan terbanting dengan sangat keras. Siapa pelakunya? Siapa lagi kalau bukan Gerald. Hanya dia satu-satunya orang yang bisa membanting pintu di ruang bersantai milik Katarine.

"Ibu, kata ayah kau memanggilku. Kebetulan juga ada yang mau kutanyakan," ucap Gerald.

Katarine sudah terbiasa dengan hal ini. Wanita itu masih dengan santai menyeruput teh miliknya. Mengingat kalau pemuda di depannya sebentar lagi akan keluar dari rumah dan tidak akan ada lagi dobrakan pintu, membuat Katarine kembali tersenyum gembira. Sungguh momen yang sangat dinanti. Memikirkannya saja sudah membuatnya senang.

"Apa yang ingin kau tanyakan wahai anakku?'

Gerald mengernyitkan dahinya bingung. Baru kali ini dia mendengar ibunya berbicara seperti itu. Biasanya, dia hanya mengoceh seharian dengan nada yang tinggi. Namun, pemuda itu tak ambil pusing dan menyerahkan formulir pendaftarannya dihadapan ibunya.

"Apa jenis sihir ku?" tanya Gerald langsung pada intinya.

"Hmmm~jenis sihir ya? Aku juga tidak tahu karena kau tidak pernah memperlihatkannya. Apa kau bisa mengendalikan api, air, udara, tanah, atau cahaya?" tanya Katarine.

Gerald menggeleng.

"Apa kau bisa mengendalikan pikiran, ruang, tubuh orang lain, atau benda-benda disekitar?"

Gerald kembali menggeleng.

"Apa kau bisa membuat senjata, kendaraan, atau bangunan dengan sihir?"

Gerald terdiam sejenak dan menggeleng setelahnya.

"Apa kau bisa memunculkan sesuatu dari tanganmu?"

Gerald mengangguk senang, namun segera menggelengkan kepalanya lagi. Katarine mengernyit dan bertanya, "Maksudmu?"

"Sepertinya dulu waktu kecil aku bisa memunculkan benang, tapi aku lupa seperti apa," ucap Gerald tegas.

Katarine menghela nafasnya panjang. Dengan segera dia berkata pada anaknya untuk menulis maker untuk jenis sihirnya sementara. Bagaimanapun dia mendaftar dengan nama Bender dan keluarga itu semuanya pemilik jenis sihir maker.

"Selanjutnya giliranku kan?"

Gerald mengangguk mengiyakan, namun dia masih sibuk mengisi formulir pendaftarannya.

"Ini tentang orangtua kandungmu,"

Bab 3

"Ini tentang orangtua kandungmu"

Gerald diam terpaku. Dia tidak bisa melanjutkan tulisannya saking terkejutnya. Apakah dia peduli? Tentu saja tidak. Dia tidak pernah berniat untuk mencari orangtua kandungnya. Lalu, kenapa dia diam terpaku? Karena dia baru sadar kalau dia menulis dengan pulpen merah.

"No!!!! Aku menulis namaku dengan tinta merah!!" erang Gerald.

Katarine berusaha menahan amarahnya dengan menutup mata. Bukan sekali dua kali Gerald bertingkah seperti ini, namun setiap kali dia melakukannya membuat Katarine kesal dan tak dapat menahan amarah.

"Dengar Gerald, ini sangat lah penting..."

"Yah, tidak sepenting aku akan menjadi gelandangan setelah dibuang oleh keluargaku," potong Gerald acuh tak acuh. Pemuda itu masih sibuk menghapus tulisannya yang bertinta merah.

Katarine menghela nafasnya panjang. Dia begitu berusaha untuk tetap tenang dan tidak berteriak. Dia mengalihkan pikirannya dengan memikirkan sebentar lagi pemuda dihadapannya akan pergi.

"Aku tidak bisa bilang langsung siapa orangtuamu, tapi mereka menitipkan ini"

Katarine memberikan sebuah kalung unik yang berliontinkan ukiran matahari yang terbelah.

"Liontinnya unik, tapi aku tidak peduli"

Gerald kembali fokus pada formulir pendaftarannya. Yup, pemuda itu sungguh tidak peduli. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Jangan dicontoh ya~

"Bawa kalung ini, simpan baik-baik. Jangan sampai hilang, dicuri atau apa pun itu," ucap Katarine.

"Jangan juga dijual."

Gerald menutup mulutnya kembali setelah Katarine melanjutkan ucapannya.

"Memangnya buat apa kalung ini? Aku tidak mau kalau tidak berguna bagiku," ucap Gerald sembari memasukkan formulir yang sudah selesai dia isi ke dalam amplop coklat lagi.

"Hmmm~ini berguna untukmu. Dia bisa melindungimu dari bahaya."

Tanpa basa-basi, Gerald langsung mengambil kalung itu dan memakainya sebagai gelang. Katarine yang melihat itu berdecak kesal dan menatap tajam pemuda berambut coklat itu.

"Jangan sampai orang melihat liontin itu," ucap Katarine agak sedikit kesal.

"Memangnya kenapa? Liontin ini terbuat dari emas?" tanya Gerald sedikit tertawa.

Namun, dengan santainya Katarine menjawab, "Ya, kalung itu mengandung emas 27 karat."

Gerald terdiam. Dia menatap ibunya dalam-dalam. Mencoba memastikan perkataan ibunya. Katarine terlihat sedang tidak bercanda. Dia begitu percaya diri.

Gerald berbalik dalam diam dan mencoba pergi dari ruangan itu. Bisa kalian tebak dia berpikiran apa? Ya, dia mau menjual kalung itu.

Tentu saja, Katarine sudah hapal dengan tingkah anaknya. Wanita itu langsung mengunci pintu menggunakan sihirnya yang berbentuk kawat besi dengan cara membuatnya seperti kurungan.

"Ehem~aku sudah bilang jangan dijual, anakku sayang"

Gerald mengalihkan pandangannya. Dia berusaha untuk tidak bertatapan dengan ibunya yang sedang marah.

Kali ini amarah Katarine benar-benar memuncak. Dia mencengkram pundak anaknya dengan sangat keras dan.....

Adegan selanjutnya berbentuk kekerasan kepada anak dan tidak pantas untuk dijabarkan. Pilihan bijak👍🏻

...****************...

Dalam dunia sihir, sangat lumrah bagi orangtua untuk memasukkan anaknya ke sekolah sihir. Selain membantu mereka memahami kekuatan mereka, sekolah sihir juga membantu mereka mengasah kekuatannya masing-masing.

Di Mantauna sendiri, disetiap bagian dari negri setidaknya memiliki 3 atau 5 sekolah sihir.

Salah satunya adalah Alphrolone. Bertempat di kota Selene, East Mantauna. Sekolah sihir terbaik yang masuk peringkat kedua se-Mantauna.

Tentu saja semua orang akan sangat bangga jika bisa bersekolah disana. Apalagi rumornya mengatakan kalau ujian masuknya sangatlah sulit.

Setiap tahunnya ada sekitar 2.000 orang yang mendaftar disana, namun yang diterima hanyalah sepertiganya. Bersyukurlah orang-orang yang bisa masuk kesana walaupun hampir tersingkir.

Gerald melangkahkan kakinya tak tahu arah. Dengan menggendong tas yang berwarna sama dengan rambutnya, pemuda itu berkeliling di sekolah Alphrolone untuk mencari tempat pendaftaran.

Sudah sekitar 30 menitan dia berkeliling di tempat yang sama. Apakah kebetulan? Jelas bukan, Gerald saja yang buta arah. Asal kalian tahu saja, tempat pendaftaran tepat berada didepannya sekarang. Bahkan senior yang menjaga pos pendaftaran pun menjadi bingung melihatnya.

"Anu, apa kau mau mendaftar?" tanya senior itu. Tampaknya dia sudah jengah melihat Gerald yang berjalan mondar-mandir didepannya.

"Ah, apakah disini tempatnya? Maaf, sepertinya aku tersesat"

Tidak Gerald, kau hanya mondar mandir disana.

Senior itu pun hanya bisa tertawa canggung, tidak tahu harus membalas apa.

"Silahkan taruh berkasnya disini. Apakah kau butuh tempat tinggal selama ujian masuk? Kami menyediakan fasilitas hostel untuk para pendaftar yang rumahnya jauh selama ujian berlangsung."

"Hmm~ maaf, tapi aku tidak punya uang," ucap Gerald diselingi tawa canggung.

Sebelum datang, sebenarnya Gerald diberi uang sangu oleh ibunya. Namun itu hanyalah cukup untuk kehidupan sehari-harinya. Dia terlalu pelit untuk mengeluarkan uang itu untuk tempat menginap.

"Oh, tidak apa. Sekolah yang menanggung semuanya. Fasilitas hostel semua gratis. Kamu hanya perlu membeli makanan dan keperluan lainnya. Kalau uangmu tidak cukup juga, kami menawarkan pekerjaan ringan di dalam sekolah, seperti membantu senior dan guru di sekolah sihir Alphrolone," jelas senior itu dengan nada yang sangat ramah di telinga Gerald.

Mendengar itu, mata Gerald langsung berbinar-binar. Dia berpikir kalau sekolah ini benar-benar baik pada calon muridnya.

"Kalau aku diterima disini apa aku juga mendapat pelayanan seperti ini?" gumam Gerald.

"Aku akan mengambil fasilitas hostelnya," kata pemuda itu dengan senang hati.

"Baik, silahkan ikuti kakak itu dan taruhlah barang-barangmu di kamar. Setelah itu silahkan pergi ke aula sekolah."

Gerald melangkahkan kakinya mengikuti seorang senior laki-laki berambut hitam. Senior itu cukup kecil dibandingkan Gerald, namun dia memiliki karisma yang membuat pemuda itu berdecak kagum.

Tapi tunggu dulu, situasi ini terlihat familiar. Dimana Gerald pernah melihatnya ya?

"Ah!!" pekiknya.

"Kenapa? Apa ada sesuatu?"

Gerald menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan senior itu. Tidak mungkin kan dia mengadu pada senior itu kalau alasannya berteriak adalah karena teringat drama konyol yang dia tonton. Tapi mau bagaimana lagi? Situasinya betul-betul mirip dengan di drama.

"Apa nanti disana juga ada dokter yang menungguku?"

Gerald mulai bertingkah aneh. Sepanjang jalan dia merasa ketakutan. Bahkan seluruh tubuhnya bergetar hebat. Dia takut dia akan dijadikan 'wadah' seperti yang ada di drama, walaupun dia tak tahu apa artinya.

"Ini adalah kamarmu. Sepertinya sudah ada 3 orang lain yang menempati kamar ini," ucap senior menunjukkan kamar Gerald.

Gerald terdiam di tempat. Matanya menyipit. Dahinya bercucuran keringat dingin. Tangannya bergetar hebat dan ragu untuk membuka pintu itu.

"Apa kau baik-baik saja? Biar aku saja yang buka."

"JANGAN!!" Teriak Gerald sembari menutup matanya ketakutan.

Pintu terbuka dan memperlihatkan tiga orang pemuda yang tampan tengah menatap heran Gerald. Begitu juga dengan sang senior. Dia menatap aneh kearah Gerald. Bisa dibilang dia khawatir sekaligus merasa kasihan. Dia berpikir apakah Gerald mempunyai penyakit mental sehingga berteriak seperti itu.

Gerald mengintip dibalik jari jemarinya. Pemuda itu hanya bisa melayangkan senyum canggung ketika mengerti situasinya. Dia benar-benar malu sekarang. Kenapa juga dia menonton drama konyol itu dan mempermalukan diri sendiri.

"Baiklah, kalau tidak ada masalah lain, kau bisa masuk dan mengenal teman-temanmu. Setelah itu tolong pergi ke aula sekolah. Kepala sekolah akan menjelaskan tata cara ujian masuknya."

Senior itu pergi meninggalkan Gerald yang tampak canggung sendiri.

"Hai, senang bertemu denganmu. Namaku adalah Emil Breau, panggil saja Emil."

Salah seorang dari tiga pemuda itu mengulurkan tangannya. Gerald menyambut uluran tangan itu, namun pandangannya terpaku pada warna rambut Emil yang sangat tidak biasa.

"Ah, warna rambutku memang sedikit nyentrik, tapi tidak perlu takut kalah populer dariku. Kau hanya perlu terlahir kembali untuk menjadi sepertiku."

"Ha?"

Gerald cukup kaget dengan kepercayaan diri Emil yang begitu tinggi. Ternyata selain dirinya, ada orang yang lebih aneh. Namun dia tidak masalah dengan itu. Dia tidak akan dicap aneh kalau bersama Emil. Kenapa? Karena mereka berdua sama-sama aneh.

"Yang memakai kacamata itu namanya Mage, dan yang berwajah seram itu namanya Ladon," ucap Emil mengenalkan dua pemuda lainnya.

Seorang pemuda mungil berambut hitam berkacamata, serta pemuda bertubuh besar dengan wajah sangarnya menundukkan kepalanya menyapa Gerald.

Sebenarnya Gerald cukup takut menatap pemuda yang bernama Ladon itu. Perawakannya tampak tak ramah dan tak bersahabat. Dia seperti ingin menghajar habis-habisan orang yang ditatapnya.

'Apa cuma aku?' pikir Gerald.

Ya, itu cuma pikiran Gerald saja. Nyatanya, Ladon sangatlah ramah. Lihat saja, dia berbicara dengan santainya dengan Mage. Kau hanya terlalu overthinking.

"Ah, kita lanjutkan ceritanya di jalan saja. Sekarang kita harus ke aula sekolah," ajak Emil.

Mereka berempat melangkahkan kaki mereka keluar kamar dan pergi menuju aula sekolah. Sebenarnya mereka sama-sama tidak mengenal betul sekolah itu. Untung saja ada tanda panah sihir yang menuntun para pendaftar dari hostel menuju aula.

Syukurlah, Gerald tidak akan tersesat lagi.

Saat hampir sampai ke aula sekolah, Gerald melihat sesosok yang tampak familiar baginya. Seorang pria dewasa dengan penutup mata di mata kanannya.

Awalnya Gerald mengira itu hanyalah orang yang mirip saja. Namun, semakin dekat pria itu, semakin jelas wajahnya.

Gerald terpaku di tempat sembari membuka mulutnya lebar saking kagetnya.

"Paman?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!