Seorang mahasiswi semester lima, bernama Nadania Davinka, tengah menunggu kedatangan orang tuanya, dari berjualan di taman kota.
Orang tuanya memiliki kedai bakso, dan setiap hari mereka berdua selalu berjualan. Mulai dari pukul delapan pagi, hingga pukul sembilan malam.
Nada sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini, karena memang orang tuanya pun bekerja jelas-jelas untuk dirinya dan sang adik.
Kehidupan keluarga mereka nampak sederhana, dan tidak neko-neko. Nada adalah anak sulung, ia memiliki satu adik, Nasya namanya. Usianya kini baru menginjak 13 tahun, dan Nasya masih duduk di bangku SMP.
Adik Nada telah terlelap, namun orang tuanya tak kunjung tiba juga. Padahal, biasanya mereka selalu makan bersama, sebelum Nasya tertidur.
Malam ini sudah pukul sepuluh, namun kedua orang tuanya belum sampai juga di rumah. Biasanya, pukul setengah sepuluh pun, mereka sudah berada di rumah dan menghabiskan waktu yang singkat dengan Nada.
"Ibu dan Bapak ini ke mana ya? Kok belum pulang juga? Apa jualannya sedang ramai? Hmm, ini adalah hari ulang tahunku, apakah mereka sengaja, ingin mengerjaiku, dan memberi kejutan untukku?" Nada menebak-nebak, apa yang tengah terjadi.
Nada masih berpikir jernih, dan berharap semoga kedua orang tuanya segera sampai. Namun waktu berlalu begitu cepat, hingga tak terasa, sudah pukul sebelas malam lagi.
Nada semakin heran, kenapa sudah satu jam lamanya, kedua orang tuanya tak kunjung datang juga. Nada mencoba menghubungi ponsel mereka, tetapi ponselnya malah tidak aktif.
Rasa cemas dan khawatir pun tak bisa dihindarkan. Akhirnya Nada memberanikan diri ke luar dari rumahnya, dan berniat untuk menyusul mereka ke taman kota.
Saat Nada keluar dari gerbang rumahnya, ternyata ada Yudha dan beberapa kawan lainnya. Yudha adalah tetangga Nada. Mereka berteman sejak kecil, karena rumah mereka berdekatan.
"Nad, lo mau ke mana malem-malem begini?" tanya Yudha.
"Gue mau ke kedai Ibu, mereka belum pulang."
"Gila lo, Nad! Malam-malam gini? Sendirian?" tanya Yudha lagi.
"Lah ya iya, emang lo liat gue mau berangkat sama siapa?"
"Udah gue anter! Lo itu cewek! Malah nekad banget lo! Gimana kalau ada preman godain lo? Dah, gue gak jadi rondanya. Gengs, lo pada duluan aja, gue mau nganter nenek lampir dulu, kasihan tuh,"
"Yaudah, ronda lo jadi malem besok aja ya Yud?"
"Oke Bro, siap,"
Yudha pun menatap Nada yang tengah cemas, "Udah! Jangan bengong aja lo, gue ambil motor dulu, ya. Lo tunggu di sini bentaran!"
"T-Tapi, Yud," Nada merasa benar-benar tak nyaman.
Yudha tak mengindahkan rasa keberatan Nada. Ia tetap berjalan ke rumahnya untuk mengambil motor.
Nada jadi merasa tak enak, karena Yudha mau menolongnya walaupun tengah malam begini. Hal ini membuatnya jadi canggung untuk berbicara dengan Yudha.
"Kenapa lo? Ga enak ya sama gue?" Yudha terkekeh.
"Makasih ya, Yud, lo udah mau bantu gue."
"Udah deh, gue kan malaikat tak bersayap. Gue pasti bantuin lo,"
"Hish, mulai deh! Terbang idung lo kalau udah kayak gitu!" Nada bergidik.
"Dah ayo, berengkot, katanya mau ke kedai emak bapak lu!"
"Yaudah ayo, btw thanks ya Yud," Nada tersenyum manis.
"No problemo, bestie,"
Nada pun pergi bersama Yudha, saking ia khawatir dan cemas pada kedua orang tuanya. Nada berharap, jika tak ada apapun dan hanya sebatas karena ramai saja.
.
.
Seorang wanita dengan tangan dan kaki yang gemetar tengah menelepon seseorang. Tubuhnya benar-benar syok dan kaget, atas insiden yang barusan terjadi padanya.
Namanya Diana Arunika Santosa. Dia adalah anak konglomerat, pewaris tahta perusahaan Bina Sentosa Grup. Di dalam mobilnya, tangan dan kakinya tak henti-hentinya gemetar, karena ia telah menabrak pengendara motor.
Jalanan sudah sepi tanpa lalu lalang siapapun, karena ini memang hampir tengah malam. Dua pengendara motor itu jatuh tergeletak tak berdaya.
Diana pun keluar dari mobilnya, saking kagetnya ia karena telah menabrak pengendara motor. Ia melihat, jika pengendara motor tersebut telah tergeletak dengan darah berceceran di mana-mana.
Rasa takutnya semakin membuncah, Diana menangis dan refleks menutup mulutnya saking ia tak sanggup lagi berkata-kata.
Diana bingung, apa yang harus ia lakukan, melihat dua orang tergeletak didepan mobilnya. Ia tak mungkin mengaku, jika ini adalah perbuatannya, mengingat, sebentar lagi Diana akan menghadapi acara penting dalam hidupnya.
Tak lama lagi, pengesahan Direktur baru Bina Santosa akan segera digelar. Tentu saja Diana tak boleh melakukan kesalahan sedikitpun.
Jika pimpinan perusahaan dan dewan direksi tahu, bahwa Diana telah menabrak pengendara motor, tentu sama namanya akan sedikit tercoreng.
Diana takut, jika perusahaan kakeknya itu malah jatuh ke tangan sepupunya. Semua pencapaian telah ia lakukan, Diana tak ingin karena masalah ini, akan membuatnya batal menjadi Direktur Bina Santosa.
Tanpa Diana sadari, ternyata ada sebuah senter menyoroti area tersebut. Melihat ada sinar, pancaran lampu dari senter tersebut, membuat Diana semakin kaget bukan main.
Diana langsung masuk ke mobilnya, dan berniat untuk melarikan diri. Pemilik senter itu jelas melihat Diana yang barusan berdiri di luar dan melihat korban yang tengah tergeletak.
Diana pun langsung membelokkan mobilnya, dan berlalu meninggalkan korban yang ia tabrak. Pemilik senter itu ternyata Yudha. Yudha pun sontak berteriak, meneriaki Diana yang kabur, karena tak bertanggung jawab.
"Hey! Berhenti lo! Woy, gak tau diri!" Yudha meneriaki mobil yang melaju dengan cepat.
Sejak berjalan di area sepi ini, Nada sudah benar-benar memiliki prasangka buruk. Mereka benar-benar kaget, melihat pengendara motor itu tergeletak, karena sepertinya telah ditabrak mobil mewah barusan.
Nada pun berjalan semakin mendekat pada korban tabrak lari tersebut. Saat langkah kakinya telah berada didekat korban, Nada merasakan sesuatu yang aneh.
Dadanya tiba-tiba sesak, saat dirinya menatap dan memerhatikan pengendara korban kecelakaan tersebut. Ketika Nada telah melihat korban, refleks Nada menjerit histeris.
Nada benar-benar syok bukan main. Karena korban tabrak lari itu ternyata adalah kedua orang tuanya sendiri. Betapa kaget dan tak percayanya Nada, melihat darah bercucuran, dan kedua orang tuanya tak sadarkan diri.
"Ya Allah, Astagfirullah hal adzim … Ibu …, Bapakkkkkkk …" Nada berhambur menuju kedua orang tuanya. Ia menangis histeris, Nada benar-benar kaget dan sama sekali tak percaya, akan kejadian yang menimpanya saat ini.
"Ya Allah, Nad, ternyata ini kedua orang tua lo. Sial, cewek tadi berarti sengaja niat tabrak lari! Woyyy, jangan kabur lo, sialan! Jangan kabur lo! Aarrggggggh sialaaaaan!"
"Aarrghhh, Yudha! Lo gila! Selametin Ibu sama Bapak gue! Ini yang paling penting! Cepet kita bawa mereka ke rumah sakit sebelum terlambat! Cepet panggil ambulans Yud!!! Jangan diem aja, cepeeeet!" teriak Nada histeris, ia tak bisa menyembunyikan perasaan sedihnya.
Walaupun berlumuran darah, Nada tetap berusaha erat memeluk kedua orang tuanya. Ia sama sekali tak peduli, pada keadaannya saat ini. Yang terpenting, dan yang utama, adalah keselamatan kedua orang tuanya.
Untuk urusan orang yang menabrak lari orang tuanya, Nada akan cari tahi setelah nanti keadaan telah membaik.
"Kurang ajar! Manusia tak punya hati nurani!" Nada menangis sembari berteriak-teriak.
Diana melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia tak memedulikan apapun lagi, selain ingin kabur dan menghindar dari insiden yang telah ia lakukan barusan.
Diana menekan pedal gas mobilnya sangat cepat dari sebelumnya. Ia ingin segera menghancurkan mobil ini, dan menghilangkan jejaknya. Diana tak boleh tercium melakukan kegilaan ini. Hal ini jelas bisa merusak reputasinya.
Dirinya tak boleh terkena masalah sedikitpun. Diana harus bersih, karena Diana adalah calon Direktur baru yang akan disahkan dalam minggu-minggu ini.
Diana enggan pulang ke rumahnya, karena ia takut pada kedua orang tuanya. Diana akhirnya memutuskan untuk menginap di sebuah penginapan terpencil, yang jaraknya jauh dari keramaian kota.
Setelah berhasil kabur dan menenangkan dirinya, Diana membuka ponselnya, dan menghubungi tunangannya. Diana ingin meminta pertolongan padanya, karena Diana yakin, hanya Gilang lah yang mampu menyelesaikan masalahnya.
Berulang kali Diana menghubungi Gilang, namun tak pernah jua Gilang mengangkat panggilannya. Diana geram, namun apalah dayanya, karena hubungannya dengan Gilang pun, merupakan hubungan karena sebuah keterpaksaan.
Diana dan Gilang sudah dijodohkan, karena kedua orang tua mereka berteman sejak lama. Namun pertunangan itu, hanya mendapat respon dari Diana, karena Gilang tak sedikitpun mencintainya.
"Ya Tuhan, Gilang ke mana sih? Kenapa dia selalu mengabaikanku? Aku tak peduli jika dia tak mencintaiku, tapi aku mohon, dia bantu aku untuk keluar dari masalah ini,"
Gilang adalah tunangannya, namun Diana sama sekali tak merasa memiliki tunangan. Gilang tak pernah ada untuknya, Gilang selalu mengabaikannya, seolah-olah Diana hanyalah benalu dalam kehidupan Gilang.
Tak lama, Gilang pun mengangkat panggilan Diana, karena merasa terganggu atas panggilan-panggilannya itu.
"Halo, ada apa? Ini sudah malam! Apa kau tak tahu waktu?"
"Sayang, sayang, tolong aku, bantu aku, aku menabrak pengendara motor! Aku ngebut di jalan, aku gak lihat kalau mereka mau belok. Ya Tuhan, aku takut sekali! Aku tak ingin terseret masalah ini, kau tahu kan, jadwal pengesahan Direktur itu sebentar lagi! Aku jelas tak boleh membuat kesalahan apapun. Gilang, tolong aku, kumohon … carikan orang yang mau bertanggung jawab atas tabrakan itu. Aku akan membayarnya, berapapun yang dia minta. Kumohon tolong aku, bantu aku, Lang, aku tak ingin terkena masalah apapun," Diana sepertinya menangis ketakutan.
"Yang kau pikirkan hanya jabatan dan perusahaan saja? Iya? Kau tak peduli pada orang yang kau tabrak? Di mana hati nuranimu itu ha? Kau memang keterlaluan! Di mana lokasi kau menabrak pengendara motor itu?" tanya Gilang serius.
"Di jalan garuda nomor empat, aku ngebut dan tak melihat mereka, Lang,"
"Jika itu di jalan garuda, maka mereka pasti dibawa ke Rumah Sakit Cempaka Putih. Aku yang akan tanggung jawab atas kecelakaan itu! Dasar wanita tak memiliki hati nurani! Kau sudah keterlaluan, Diana!
"Astaga, Gilang, Lang, jangan! Kau jangan terlibat apapun dalam kecelakaan itu! Jangan, Lang, kumohon! Kita tak boleh memiliki masalah apapun, sampai aku disahkan menjadi Direktur. Kumohon, bayar saja orang untuk—".
Tut, tut, tut, panggilan tiba-tiba terputus.
"Halo, Lang? Halo, Gilang? Aarrgghhh, sialan! Kenapa jadi dia yang harus bertanggung jawab!" Diana emosi, ia tak terima, jika Gilang harus melakukan hal tersebut.
Diana langsung melempar ponselnya saking emosi pada Gilang. Selalu saja Gilang membuatnya marah. Jika saja Diana mengadu pada orang tua Gilang, apakah semuanya akan baik-baik saja?
"Orang tuaku pasti akan marah besar padaku, jika tahu kejadian ini. Akan tetapi, Tante Merry, pasti akan tetap membantuku kan? Apalagi dia begitu menyayangi, dan mencintaiku. Aku yakin, jika Tante Merry pasti mau membantuku. Apalagi dia adalah jaksa, aku akan dengan mudahnya membuat keadaanku baik-baik saja. Masa bodoh dengan Gilang yang acuh padaku, akan tetapi Tante Merry pasti akan tetap membelaku," Diana tersenyum, ia tahu harus pada siapa ia meminta tolong.
Tante Merry adalah ibunda Gilang. Dia adalah orang yang paling menginginkan Gilang dan Diana bersatu. Apapun yang Diana lakukan, pasti akan selalu dibela oleh Tante Merry.
.
.
Rumah Sakit Cempaka Putih ….
Gilang bukan tipe orang yang mudah berbaik hati pada orang lain. Namun kali ini, entah kenapa, tiba-tiba saja ia merasa simpati, dan ingin melihat korban kecelakaan yang ditabrak oleh Diana.
Baru saja Gilang sampai di halaman depan rumah sakit, ia sudah diperlihatkan pemandangan menyedihkan dan memilukan.
"Ibu … Bapak … Nggak mungkin! Nggak mungkin kalian pergi! Gak mungkin kalian ninggalin Nada dan Nasya! Kita masih membutuhkan kalian. Ibuuuuu, Bapaaaaak, bilang semua ini bohong, kan! Semua ini hanya candaan saja kan! Kalian gak meninggal, kalian gak mungkin meninggal! Ini adalah hari ulangtahunku Bu, Pak! Aku harus mendapat kado ulang tahun dari kalian! Kenapa malah kado seperti ini yang kalian berikan padaku? Ha? Ibu ..., Bapak ...." suara histeris gadis itu terdengar jelas di telinga Gilang.
"Apakah dia adalah anak dari pengendara motor yang ditabrak oleh Diana? Apakah mungkin mereka meninggal? Kasihan sekali gadis itu, aku harus memastikannya, dan menolong mereka. Diana gila, dia memang kurang ajar! Kasihan sekali gadis polos itu, jika benar itu adalah ulah Diana, aku sungguh tak bisa memaafkannya!" batin Gilang, sembari melibat gadis cantik nan manis itu menangis histeris.
Tak pernah ada yang tahu, kapan seseorang akan meninggalkan dunia ini. Juga, tak pernah ada yang bisa menduga, bagaimana cara seseorang pergi dari dunia ini selamanya.
Hal ini jelas berlaku bagi kedua orang tua Nada. Siapa sangka, berjualan hingga larut malam seperti itu, mengakibatkan mereka harus menghembuskan napas terakhirnya, karena ditabrak lari oleh sebuah mobil mewah.
Sekilas cerita, Ibu dan Bapak Nada berjualan hingga larut karena kedai mereka sedang ramai. Kedainya ramai menuju malam, hingga akhirnya mereka fokus untuk menghabiskan jualannya.
Akhirnya mereka terlambat dua jam, dan mereka memang lupa mengabari Nada. Hingga terjadilah insiden tabrak lari tersebut, yang sama sekali tak bisa dihindarkan oleh mereka.
.
.
Pagi ini, langit begitu mendung, seraya bersedih karena kepergian orang tua Nada. Nada dan keluarganya tengah mengantarkan Bapak dan ibunya menuju peristirahatan terakhir mereka.
"Kak, ibu sama bapak jangan mati! Nasya sama siapa kalau mereka mati, Kak?"
"Nasya, ini sudah jalanNya ... Ini merupakan takdir Allah yang harus kita lalui. Kamu sabar ya, insyaAllah kita pasti bisa melewati semua ini," ujar Nada, sembari menitikkan air matanya.
Nada dan Nasya tak memiliki Kakek dan Nenek, mereka hanya memiliki seorang paman, keluarga dari mendiang ayahnya.
Mungkin mereka hanya bisa menitipkan diri pada paman dan tante Nada. Nada hanya berharap, jika sepeninggalan kedua orang tuanya, mereka akan tetap bisa hidup seperti sedia kala.
Nisan makam itu sudah nampak jelas sekali terlihat. Dua nama yang terpampang sehidup semati, tetap berdua bersama hingga ajal menjemput mereka.
Kini, hanya tinggal keluarga yang berada di area pemakaman. Beberapa tetangga dan orang yang membantu jalannya pemakaman, telah berlalu satu-persatu. Kini, hanya ada Anto, dan Rina, mereka adalah om dan tante Nada.
“Nada, Nasya, sudah kalian jangan sedih. Walaupun Ayah dan Ibu kalian telah tiada, tetapi kalian tetap memiliki Om dan Tante, sebagai pengganti orang tua kalian. Semoga kalian kuat menghadapi cobaan ini, ya. Jangan sungkan untuk meminta tolong pada Om, jika kalian membutuhkan sesuatu. Untuk sekarang ini, apa kalian mau tinggal bersama kami?” ajak Anto.
Rina dan Mitha, istri dan juga anak dari Anto, terlihat sekali jika mereka tak suka dengan maksud baik yang diucapkan ayahnya. Seakan mereka tak rela, jika rumahnya akan diisi juga oleh Nada dan Nasya. Nada menyadari, jika tantenya itu tak menyukai, jika ia dan adiknya tinggal di rumah mereka.
“Om, tak usah repot-repot. Nada dan Nasya bukan anak kecil lagi, aku juga sudah kuliah, kan. Nasya juga sudah SMP, lagipula sekolahnya dekat, jadi Om tak perlu khawatir. Kami hanya akan mencari penjaga kedai saja, untuk meneruskan usaha almarhum Ibu dan Bapak,” ujar Nada.
Anto dan Rina saling lihat-lihatan. Mendengar kata kedai bakso peninggalan orang tua Nada, membuat mereka mulai tertarik dengan hal tersebut. Anto rupanya telah memiliki sebuah rencana, agar mereka bisa mengelola kedai bakso orang tua Nada.
“Ah, Nad, jangan percaya pada orang lain, karena mereka kebanyakan pasti akan menipumu! Mereka pasti akan mencari keuntungan dan menyembunyikan uang. Banyak sekali orang yang tak jujur, ketika menjaga kedai orang lain. Untuk kedai bakso kedua orang tuamu, biar Om dan Tante saja yang mengelola. Kamu tahu bumbu dan resep rahasianya kan? Kamu bisa beritahu kami, dan kami pasti akan mengelola kedai bakso itu dengan baik. Untuk keuntungannya, akan Om serahkan padamu seratus persen, dan Om hanya akan mengambil untuk modalnya saja. Bagaimana kalau begitu?” usul Anto.
Nasya terdiam, ia berpikir, apakah mungkin ia memercayakan kedai baksonya kepada sang paman? Tetapi, jika tidak mau, akan tak enak rasanya, menolak kebaikan yang ditawarkan oleh pamannya sendiri.
“Oh, apakah Om memiliki waktu luang untuk menjaga kedai bakso itu? Bukankah Om juga sibuk bekerja?” tanya Nada sungkan.
Anto terdiam, pekerjaannya memanglah sedikit menyita waktu. Anto adalah seorang karyawan di sebuah pabrik manufaktur. Jika Anto sibuk berjualan bakso, bagaimana dengan pekerjaannya? Anto pun melirik Rina, sang istri. Memberi kode agar Rina mengiyakan setiap kata yang akan Anto lontarkan.
“Ah, itu mudah, Nada. Pekerjaan Om juga tak begitu sibuk, Om juga kadang di shift, jadi mudah mengatur waktunya. Jangankan om, kan tantemu juga ada. Dia kan menganggur, Nad. Tantemu pasti bisa menjaga kedai baksomu itu. Kalian tetap fokus saja sekolah, untuk biaya hidup dan makan kalian, tak perlu kalian pusingkan, karena kami akan memberikan semua keuntungan itu pada kalian. Untuk Om, selagi kalian bahagia, maka Om dan Tante bersyukur …” ucapan Anto membuat Nada sedikit terenyuh.
“Baiklah, Om. Tadinya Nada tak ingin merepotkan kalian, makanya Nada akan mencari penjaga kedai saja, namun, jika memang Om dan Tante menyanggupinya, maka Nada tak memiliki pilihan lain, Nada malu karena merepotkan kalian,” ujar Nada.
“TIdak, kau tak usah merasa direpotkan. Tenang saja, Nada, anggaplah kami adalah orang tuamu. Kami akan selalu ada untuk kalian, karena kini kami adalah pengganti orang tua kalian yang telah tiada …”
“Iya, Nada, Nasya, kalian tak usah khawatir. Anggaplah kami sebagai orang tua pengganti kalian, ya. Kami akan mencintai dan menyayangi kalian, sebisa mungkin, seperti orang tua kalian menyayangi kalian. Jangan sungkan-sungkan ya, pada Tante dan Om,” ujar Rina lembut.
Nada dan Nasya mengangguk, walau sebenarnya mereka sedikit berat hati. Bukan mereka tak percaya pada Om dan tantenya, namun Nada hanya merasa sungkan dan enak, jika Nada meminta tolong pada mereka. Akan sangat canggung nantinya, karena Nada sebenarnya tak terlalu dekat dengan Om dan tantenya.
“Terima kasih, Om, terima kasih Tante, terima kasih juga, Mitha,” ujar Nada dan Nasya.
“Sama-Sama, sudah jangan dipikirkan lagi. Kalian pamit ya pada Ibu dan Bapak kalian, kita harus segera pulang, karena cuaca mulai mendung. Ikhlaskan saja kepergiannya, dan doakan orang tua kalian diampuni segala dosanya, dan mereka akan mendapatkan tempat terindah disisiNya. Mendiang orang tua kalian adalah orang yang baik dan ramah, doakan yang baik-baik ya untuk kedua orang tua kalian,” ujar Anto, kemudian diikuti oleh Rina.
“Baik Om, Tante. Oh iya, kalian pulang duluan saja, ajak Nasya ya, Om, Nada mau membersihkan rerumputan sekitar, hanya sebentar kok. Kalian pulang duluan saja, nanti Nada akan jemput Nasya ke rumah Om. Biarkan Nasya bermain bersama Mitha saja, ya Om, Tante?” Nada berniat untuk masih tetap berada di pemakaman.
“Kamu yakin gak akan pulang sekarang?”
“Nada nyusul aja, Om. Gak akan lama, kok. Nada titip Nasya aja. Nasya main dulu saja ya dengan Mitha?”
“Baik, Kak,” Nasya tak memiliki pilihan lain.
Akhirnya, Nasya dan om juga tantenya pergi meninggalkan pemakaman. Kini, hanya tersisa Nada seorang, yang masih berada di pemakaman. Tiba-tiba saja air matanya mengalir lagi, dan tak bisa ia tahan sedikitpun.
“Ibu, Bapak, kalian baik-baik ya di surga sana. Nada janji, Nada akan menjaga peninggalan kalian. Semoga, keputusan Nada ini memang benar, Nada akan percayakan kedai Bakso Ibu dan Bapak pada Om. Semoga mereka mampu membantu Nada dan Nasya, semoga saja …”
"Hmm ..."
Tiba-Tiba … sebuah suara di belakangnya, mengagetkan Nada begitu saja.
“Jangan! Jangan percayakan pada siapapun. Lebih baik kau pilih sendiri, orang yang mampu menjaga usahamu.” Suara seorang pria, yang berada di belakang Nada.
Deg. Nada berbalik, ia kaget karena sepertinya ada orang di belakangnya.
“S-siapa kau? Kau menguping pembicaraanku?” tatapan Nada begitu tajam, saat ia tengah melihat sosok pria asing, yang tak dikenalnya sama sekali.
"Siapa pria aneh ini?" batin Nada tersentak kaget.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!