**Malam dimana engkau datang, kesunyian selalu menemani setiap helaan nafas yang tertahan disetiap waktu yang terus bergulir. Bintang seakan tahu apa makna yang tersembunyi dibalik bulan yang meredup menyembunyikan sinarnya.
Menelusuri hari-hari yang terasa begitu menyesakan tanpa seseorang yang bisa dijadikan sandaran untuk berkeluh kesah, mengungkapkan segala kegetiran dalam menghadapi pahitnya kehidupan yang dijalani seorang diri.
Aaahhh...Helaan nafas yang terasa berat keluar dari bibir tipisnya...Entah sejak kapan Arini terdiam, termenung menatap langit gelap yang selalu setia menemani setiap malam-malamnya. Sunyi....Sendiri....Terpuruk...Kesedihan dan kepiluan yang selalu ada didekatnya. Tak terasa air mata jatuh di pipi polosnya, Sakit...Itu yang dirasakan hatinya sekarang.
Lima tahun telah berlalu, lika liku kehidupan dia jalani seorang diri, jauh dari keluarga, kerabat bahkan teman-teman terdekatnya. Seolah kenangan itu tak mau beranjak pergi dari ingatannya. Seberapa besar dan kuat dia mencoba menghapusnya, kenangan itu seakan enggan pergi meninggalkannya.
Aditya....Yang pertama dan menjadi pria satu-satunya yang bisa masuk dalam hati seorang Arini. Laki-laki yang membuat hatinya selalu berbunga-bunga mengisi hari-hari indah penuh canda tawa dan rasa cinta. Dan Aditya pula yang menorehkan luka yang teramat sakit dalam kehidupannya hingga saat ini.
"Bunda...." Arini tersentak dari lamunannya. Menatap seorang malaikat kecil yang menjadi sumber kekuatan dan alasan dia untuk bertahan menjalani pahitnya kehidupan yang dia jalani. Segera Arini hapus air mata yang sedari tadi telah lolos dari bola matanya. Beranjak menghampiri buah hati kecilnya yang terbangun dari tidur malamnya.
"Bunda menangis?" Menatap dengan mata menyipit yang sulit untuk dia buka sepenuhnya.
"Tidak, ada sesuatu yang masuk kemata bunda." Mencoba menutupi kesedihan yang tak pernah Arini perlihatkan didepan buah hati kecilnya.
"Ada apa sayang, kenapa bangun ini masih malam, haus yah?" Tanya Arini sambil mengelus rambut kusutnya.
" Nggak Bun, aku pengen tidur dipeluk bunda."
Arini pun merebahkan tubuhnya," Sini bunda peluk besok kan harus bangun pagi buat sekolah." Mengecup puncak kepala dan memeluknya erat. Arini mencoba memejamkan mata agar bisa cepat terlelap bersama buah hatinya.
*****
Semilir angin berhembus mengalun lembut menerpa dedaunan.
Deburan ombak berkejar-kejaran, bergelung berpacu indah dengan serpihan cahaya yang temaram disinari sang rembulan.
Dinginnya angin tak menyurutkan kedua insan, segera beranjak menyusuri bibir pantai, untuk berlalu dari gelap yang menyelimuti malam.
Kegiatan api ungun masih berlangsung, terdengar sorak sorai diselingi canda penuh tawa. Kegiatan berlibur yang merupakan agenda tahunan kampus memang selalu rutin dilakukan setiap tahunnya, tentunya dengan tempat yang berbeda-beda dan beragam kegiatan yang bervariasi pula.
Arini berjalan dengan bertelanjang kaki diatas pasir putih yang terbentang jauh seakan tanpa ujung. Aditya dengan setia menggenggam tangan Arini erat dan tak berniat sedikitpun untuk melepaskannya.
Angin seolah senang bermanja-manja menerpa rambut panjang Arini hingga menutupi sebagian wajah cantiknya. Langkah Aditya terhenti menghadap Arini yang seketika ikut menghentikan langkahnya.
"Kenapa Dit..?"
"Kamu cantik." Menyampirkan rambut ditelinga Arini.
Nyesss.....seketika hati Arini berbunga-bunga seakan banyak kupu-kupu beterbangan diatas kepalanya.
"Apaan sih..." Jawabnya salah tingkah, menyembunyikan wajah yang mungkin sudah berubah merah seperti buah cherry.
Tak berani menatap wajah Aditya, Arini pura-pura anteng melihat gulungan ombak yang sebentar lagi akan menerjang kearah kakinya.
"Rin,, aku sangat mencintaimu, malam ini malan satu tahun kita bersama. Kamu masih ingat saat kita bertemu. Dari sejak pertama aku melihatmu, aku udah mulai tertarik sama kamu. Kamu gadis teristimewa buat ku, gadisku yang cantik dan sederhana."
Arini tersenyum mendengar kata-kata yang meluncur manis dari mulut Aditya, angan-angannya melambung tinggi menggapai bintang dilangit sana.
" Makasih Dit, makasih buat kamu yang selalu mencintaiku dan selalu setia menjaga hubungan kita."
"Kamu bisa janji satu hal buatku?" Mengelus pipi Arini dengan punggung tangannya.
"Apa....?"
"Janji buat nunggu aku sampai aku siap melamar kamu dan membawa mu kerumah orang tuaku. Aku akan berusaha menjadi yang terbaik untukmu, aku nggak akan pernah menyakitimu. Kamu percaya kan sama aku?" Mencium tangan Arini.
"Kamu yakin dengan yang kamu katakan Dit?"
"Sangat yakin, aku nggak mau kehilangan kamu. Aku nggak bakalan bisa lewati hari-hari tanpa kamu."
Mengembang air mata Arini mendengar semua kejujuran Aditya. "Aku janji Dit, akan selalu sabar dan setia menunggu mu. Aku sayang kamu, makasih."
Aditya melepas genggaman tangannya dan memeluk Arini erat. Membelai rambut Arini lembut. Mengendurkan pelukannya mengelus pipi Arini dengan ibu jarinya, saling bersitatap penuh rasa cinta.
Aditya mendekatkan wajahnya, melihat bibir ranum Arini yang berkilat diterpa sinar ombak yang terpantul dari cahaya bulan, semakin membuat dia ingin menyentuhnya. Seketika Arini memejamkan matanya dengan rasa yang berpacu kencang tak beraturan. Sentuhan bibir Aditya terasa lembut dibibirnya. Aditya mengeratkan tangan dipinggang Arini dan menyelusup tengkuk Arini seakan tidak rela untuk segera mengakhirinya.
Hingga akhirnya mereka harus menyudahi semuanya sebelum mereka semakin larut dalam api cinta yang membakar gejolak jiwanya.
"Aku punya sesuatu buat kamu." Aditya mengeluarkan sebuah kotak bludru berwarna merah dari saku celananya.
Arini menerima dan membukanya. Ternyata cincin bermata merah delima.
"Ini cincin sebagai tanda keseriusan aku sama kamu." Aditya memakaikan cincin itu dijari manis Arini, sangat pas.
"Dit makasih, aku bener-bener seneng banget. Aku nggak nyangka kamu bakalan seserius ini." Arini meneteskan air mata bahagianya.
"Aku nggak mau melihat orang yang aku cintai meneteskan air mata, ini hari bahagia kita jadi aku ingin kamu selalu tersenyum untukku."
"Ini air mata bahagia Dit." Memukul dada Aditya manja.
"Aku tahu itu sayang, tapi aku lebih suka liat kamu tersenyum kalau lagi seneng." Mencubit pipi Arini gemas.
"Aku janji Rin, kalau nanti aku udah bisa cari uang sendiri aku akan ganti dengan cincin yang lebih bagus dari ini. Dan memberikannya didepan semua orang sebagai tanda kita benar-benar sudah resmi sebagai pasangan." Aditya kembali memeluk Arini benar-benar erat.
"Dit lepasin, kamu bikin aku sesak." Arini memukul-mukul punggung Aditya agar segera melepaskan pelukannya.
Aditya terkekeh kalau pelukannya menyakiti Arini, " Maaf sayang, aku terlalu bersemangat."
"Tapi nggak gitu juga kali." Arini memanyunkan bibirnya, tanpa dia sadari sikapnya itu membuat Aditya semakin ingin menyentuhnya lagi. Aditya kembali mencium bibir Arini mencecapnya penuh kelembutan. Deburan ombak menjadi musik pengiring keromantisan mereka yang berpayungkan langit gelap dan bintang sebagai penerangnya.
Dingin....Sepi....Gelap.....
Seketika Arini bangun dari tidurnya, nafas yang masih menderu, menahan kepala dengan kedua tangannya dan berusaha memejamkan mata untuk segera sadar dari mimpi yang membawanya kembali kemasa lalu.
Kenapa dia muncul dalam mimpiku,,Aacchhh...aku benci...benciiiii....
Dilihatnya jam menunjukan pukul 02.00 malam, diliriknya Nuno yang masih terbaring disampingnya. Menatap sendu pria kecilnya itu, terlihat begitu damai dan tenang dalam tidurnya.
Maafkan Bunda sayang, bunda tidak bisa memberikanmu kebahagian seperti ibu yang lain. Dan karena Bunda kamu tidak bisa merasakan kasih sayang seorang ayah. Tapi Bunda janji, Bunda akan menjadi Ibu sekaligus ayah yang hebat buat kamu....
Arini berjalan menuju lemari baju dan membawa sebuah kotak yang dia simpan dibawah bajunya. Arini membuka kotak itu, kotak bludru berwarna merah seperti dalam mimpinya. Arini masih menyimpan cincin pemberian Aditya. Cincin yang penuh kenangan manis. Jika suatu saat dia bertemu kembali dia akan berusaha tegar untuk bisa mengembalikannya dan bersikap berani berhadapan langsung dengan orang yang sudah meninggalkannya.
Malam telah berganti pagi, sang surya mulai menampakan cahaya kuning keemasan yang terpancar disela tirai yang menutupi jendela kamar yang sudah empat tahun ini Arini tempati semenjak melahirkan buah hati kecilnya.
Kamar kontrakan yang terbilang sempit ini, terasa cukup untuk ditempati berdua. Kamar yang sekaligus dijadikan ruang TV LCD ukuran kecil yang terpasang di tembok, itupun hadiah yang diberikan teman-teman kerja Arini saat ulang tahun Nuno yang ke-3. Arini sangat bersyukur Nuno dikelilingi orang-orang yang tulus menyayangi dan mencintainya.
Sebuah lemari plastik 4 tingkat, tersimpan disudut ruangan dan sebuah meja kecil yang dibagian tengahnya tersimpan pot bunga plastik, yah lumayan buat penghias meja agar terlihat lebih berwarna, hee... Kadang meja itu pun dijadikan meja multifungsi dimana sesekali digunakan untuk menyimpan makanan setelah selesai memasak.
Dibalik tembok ada dapur dan kamar mandi yang lumayan nyaman untuk dipakai membersihkan diri.
Begitulah kehidupan Arini semenjak pindah dari Ibu Kota Jakarta ke Surabaya, kota yang begitu asing buatnya kala itu. Perlu banyak waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru dan orang-orang asing yang sama sekali tidak Arini kenal. Bahkan Arini tak berani datang ke kota kelahirannya di Bandung karena itu akan sangat membuat keluarga besarnya malu dengan keadaan dia yang kala itu sedang berbadan dua tanpa status pernikahan apalagi seorang suami.
Sulit memang, tapi apalah daya, nasi sudah menjadi bubur kesalahan yang Arini perbuat tidak akan bisa kembali sekalipun Arini berteriak dan memohon kepada sang pencipta.
Ibu yang sudah lama tiada semenjak Arini berumur 10 tahun dan ayah yang seorang PNS bekerja disebuah instansi pemerintahan dan menikah kembali dengan seorang wanita muda yang terpaut usia 8 tahun. Saat itu dipertemukan oleh paman untuk bisa menjadi pengganti ibu untuk Arini.
Namun takdir berkata lain ibu Tiri hanya memandangnya sebelah mata. Dia hanya menginginkan ayah karena bekerja sebagai PNS walau status ayah seorang duda beranak satu. Karena waktu itu seorang PNS merupakan pekerjaan yang lumayan sejahtera untuk kehidupan di kota Bandung.
Memang benar nyanyian "Ibu tiri hanya cinta kepada ayah ku saja" itu memang terjadi pada diri Arini, namun Arini bersyukur mempunyai seorang adik yang sayang dan penurut seperti Raka, adik kesayangannya.
Ayahnya meninggal saat Arini memasuki bangku kuliah di Jakarta, ayahnya mengalami kecelakaan saat melakukan perjalanan Dinas bersama teman kantornya. Saat itu Arini benar-benar terpukul, orang yang benar-benar dia sayangi sekarang sudah tidak ada lagi. Tapi Arini bertekad dalam hati untuk membuat ayah dan ibunya bangga melihatnya disurga sana. Karena kehidupan Arini akan segera dimulai.
Dengan modal beasiswa yang didapat, Arini mengambil jurusan Akuntansi Bisnis sesuai dengan cita-citanya menjadi seorang akuntan handal disebuah perusahaan ternama. Bermula menjadi seorang karyawan biasa dan beralih naik jabatan menjadi seorang manager. Terlalu muluk memang, tapi itu yang selama ini terbesit dalam pikirannya.
Arini tersenyum melihat Nuno yang masih bergelut dalam selimut bergambar Doraemon favoritnya. Pria kecilnya itu sungguh menggemaskan, wajahnya yang tirus, kulitnya yang putih bersih, rambut hitam tebal legam siapapun yang melihatnya pasti berkata pria kecil yang lucu dan tampan.
Sekelebat bayangan Aditya datang kembali dalam pikirannya, benar-benar mirip dengannya.
Ya Tuhan....sampai kapan dia akan pergi dari ingatanku, kenapa sulit seperti ini. Aku sangat membencimu Dit...kamu sudah menorehkan luka yang sangat dalam...teramat dalam.
Enyahlah dari pikiranku, menarik rambutnya frustasi dan Arini menghembuskan nafasnya kasar.
"Nuno...ayo bangun sayang liat udah jam 6, nanti kesiangan loh." Seru Arini sambil menusuk-nusuk pipi Nuno.
"Masih ngantuk Bun..."
"Kalau nggak bangun, bunda nggak bakalan mau ngajak Nuno makan ice cream hari minggu nanti. " sambil menyilangkan kedua tangannya diperut dan tersenyum jail.
Seketika itu juga Nuno bangun dan mengucek-ngucek matanya. " Nuno bangun bun, Nuno langsung mandi ya." Jawabnya langsung berlari kekamar mandi.
Arini terkekeh geli melihat pria kecilnya itu. Memang hari minggu adalah hari yang dinanti-nantikan Nuno karena jarang sekali Arini punya waktu untuk berlibur, karena kadang waktu liburnya dia gunakan untuk mencari kerja sambilan untuk menambah penghasilan guna memenuhi kebutuhan seharu-hari.
Arini pun berseru," Memang Nuno bisa mandi sendiri, biasanya kan Bunda mandiin?" sambil berjalan kearah kamar mandi yang letaknya bersebelahan dengan dapur.
Terdengar jawaban Nuno dari balik kamar mandi yang tidak tertutup rapat. "Ta udah Bun, Nuno mau helajar mandi hendili. Kata ibu gulu dihekolah, halus bisa hosok hihi dan mandi hendili." Nuno berkata sambil menggosok giginya.
Arini tersenyum mendengarnya, ada perasaan bangga yang muncul dalan hatinya. Arini bersyukur dari kecil Nuno termasuk anak yang tidak rewel, mudah paham, cerdas dan sangat penurut. Nuno terlihat lebih dewasa dari anak seusianya, mungkin karena keadaan yang memaksanya atau mungkin karena Arini yang pintar mengajarkan Nuno untuk tidak manja dan bersikap mandiri.
"Baiklah, yang bersih ya. Bunda siapkan baju dan sarapan dulu."
Arini berlalu menuju lemari mengambil baju seragam sekolah TK Nuno. Mengecek kembali peralatan sekolah Nuno dan memasukan bekal makanan untuk Nuno makan di Sekolah.
Nuno muncul dari arah dapur dengan sebagian badan yang masih terlihat bercucuran air, Arini tersenyum gemas melihatnya.
"Sini Bunda bantu keringin, masih basah tuh punggungnya."
Selesai memakaikan baju, Arini beranjak untuk membawa sarapan Nuno.
"Bun makannya telor tambah kecap ya."
Arini datang menghampiri Nuno dengan membawa sepiring nasi ditangannya.
"Sayang, nggak papa ya kecapnya sedikit soalnya bunda lupa beli kemarin."
Nuno langsung mengambil nasi yang diberikan Arini kepadanya.
"Iya nggak papa bun, Nuno tetep suka."
"Anak pinter."
Telor ceplok kecap memang makanan kesukaan Nuno, makanan yang sangat sederhana namun sangan Nuno suka. Nuno memang tidak pernah pilih-pilih soal makanan karena Nuno dari kecil sudah tahu kalau ibunya bekerja sendiri untuk memenuhi kebutuhan mereka tanpa ada seorang figure ayah disampingnya.
Pernah suatu ketika Nuno bertanya perihal ayahnya, karena tidak bisa dipungkiri Nuno seorang anak kecil yang butuh sosok ayah didekatnya. Melihat teman-temannya yang selalu pergi diantar sekolah oleh ayah mereka, tak urung membuat Nuno merasa iri. Arini hanya bisa menjawab kalau ayah Nuno sedang pergi jauh untuk mencari pekerjaan dan suatu saat pasti akan pulang dan menjemput mereka pergi bersamanya.
Sejak saat itu Nuno tidak pernah bertanya lagi soal ayahnya, karena Nuno merasa setiap dia bertanya perihal ayahnya wajah Arini seketika menjadi murung dan bersedih. Dan Nuno tidak suka melihat itu semua.
"Oke, sudah beres." Seraya beranjak setelah mengikat tali sepatu Nuno, Arini segera mengunci kamar kontrakannya.
"Hey mau kemana Nuno...Lupa ya?" Arini mengangkat kedua tangannya seperti orang yang hendak berdoa.
Nuno tersenyum," Lupa Bun...Bismillahi tawakaltu a'lallahi lahaula walakuwwata illabillah, Amiinnn...." Nuno mengusapkan kedua tangan kewajahnya.
Menyusuri jalan trotoar, Arini berjalan menuju pertigaan jalan untuk menunggu bus yang lewat disana. Membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai ke tempat kerjanya. Kadang ia pun menggunakan angkot bila bus yang lewat telah sesak penuh dengan penumpang. Namun itu akan lebih memakan waktu lebih lama, karena kadang angkutan kota atau angkot akan banyak memarkirkan mobilnya ditempat-tempat yang terlihat ramai seperti pasar, persimpangan jalan atau tempat-tempat ramai lainnya.
Dengan memakai sweater merah marun, rambut panjang yang dikucir kuda dengan polesan bedak tipis dan lipstik soft pink sudah memancarkan sosok Arini si gadis sederhana yang cantik dan anggun. Tidak kalah cantik bahkan mungkin terlihat cantik dengan wanita yang sekarang tidak jauh berdiri disampingnya.
Dengan dandanan yang lumayan mencolok, rambut berwarna blonde dibentuk spiral dibagian ujung, sepatu pantopel hitam berhak 5 cm, membawa tas selempang berwarna mustard, rok selutut dan blazer hitam yang menutupi kemeja yang senada dengan tas yang dibawanya...terlihat serasi. Sepertinya wanita itu seorang karyawan sebuah perusahaan, bisa jadi seorang sekretaris atau bisa juga seorang Reseptionist. Mungkin....
Sekilas Arini melihat wanita itu, Deg.....
Andai saja dulu aku tidak terlalu bodoh, mungkin aku bisa menamatkan kuliahku, aku bisa bekerja diperusahaan ternama seperti perempuan itu tidak seperti sekarang
Sakit....kenapa selalu sesak dadanya mengingat itu semua padahal 5 tahun telah berlalu. Arini mencoba menguatkan hatinya, mencoba mencegah air mata yang sudah mengenang di pelupuk matanya.
Semangat Arini...kamu pasti bisa, ada Nuno yang sekarang menjadi tanggung jawabmu...semangat...semangat....
Sebuah mobil sedan silver berhenti pas didepan wanita tadi berdiri, ternyata wanita itu sedang menunggunya, karena terlihat wanita itu langsung masuk dan duduk setelah memberikan senyuman manis kearah kaca mobil yang dibuka oleh pengendaranya. Pacar atau mungkin temannya dikantor, pikir Arini seraya mengedikan bahu dan melipat bibirnya kedalam, jiwa jomblonya kembali meronta...Ngenessss.
Tak lama bus datang, sepertinya masih ada kursi kosong, kalaupun tidak ada terpaksa harus berdiri daripada harus menunggu angkot yang jalannya seperti siput.
Sampai di sebuah Mall besar, Arini segera berlalu masuk dari arah belakang. Bukan sebagai pelayan toko ataupun pelayan Restoran. Arini bekerja sebagai Office Girl dari sebuah PT yang memberdayakan pekerjanya di Mall ini. Seperti ikatan bisnis antara PT dan pemilik Mall yang menggunakan jasa Office boy dan Office Girl yang tentunya menggunakan sistem kontrak kerja sama yang telah disepakati oleh kedua belah pihak agar sama-sama mendapatkan keuntungan.
PT yang menaungi Arini sekarang ini merupakan perusahaan yang bisa dibilang cukup besar. Karena sudah beberapa Mall dan perusahaan besar yang bekerja sama dengan PT Arini bekerja.
Setelah melakukan absen Finger Print, segera Arini masuk keruang ganti pakaian khusus wanita untuk menyimpan tas gendong dan sweater marunnya karena jam sudah menunjukan pukul 8 tepat. Terlihat seragam Office girl berwarna dark grey dengan tulisan nama dibagian dada sebelah kirinya. Dengan cepat Arini mempersiapkan diri dengan segala alat tempur yang tiada lain adalah peralatan kebersihan seperti lap kaca, sapu dan alat pengepel lantai...haaa....
"Aduh Rin...Aku kesiangan." dengan nafas ngos-ngosan Dewi setengah berlari menuju lokernya.
Arini mengeryitkan dahinya," Kok bisa...biasanya paling pagi. Kirain udah nemplok aja tadi di depan kaca."
Sambil membulatkan bola matanya Dewi berkata,"Cicak kali nemplok. Laki ku ban motornya bocor jadinya aku naik angkot."
"Haaa.....makanya cek dong tuh ban motor, jangan ngecekin kamu terus dikamar." Sambil mengangkat kedua alisnya tersenyum misterius.
"Apaan sih kamu, ngeledekin aku terus kesel deh." Dewi memanyunkan bibirnya.
Arini paling suka melihat Dewi kalau sudah seperti ini, gampang panikan dan kadang bertingkah sembrono. Seperti hiburan tersendiri melihat teman baiknya yang baru dia kenal 3 tahun lalu sejak pertama kali bekerja disini.
Dewi pengantin baru yang baru dua bulan menikah dengan kekasihnya yang bekerja sebagai pelayan di sebuah Restoran Jepang. Bisa dikatakan mereka pasangan CLBK. Sudah tiga kali putus nyambung semenjak dari sekolah SMA tapi akhirnya berlabuh dipelaminan juga, manisnya.
"Ya udah ayo, tar Pak Haryo keluar tanduknya loh."
Dewi melengos,"Priben toh Rin, nafas gue blom kelar ini."
Khas dengan logat jawanya yang sangat mendok. Lucu memang kalau sudah dengar Dewi dengan bahasa campur jawa plus bahasa gaulnya gitoh...
"Semangat...!!" Seru Arini sambil mengepalkan tangan keatas seperti para pejuang di zaman penjajahan yang siap tempur di medan perang.
"Ora ono dewek lungse banget dah." Dewi ngeloyor sambil membawa sapu dan kain pel yang sudah sedari tadi Arini bawakan untuknya. Arini pun tertawa cekikian melihat tingkat temannya itu.
**Lama sudah ku bersama
Menemani dirimu
Berbagi Cinta dan berbagi rasa
Semakin kita melangkah
Semakin kita dalam
Semakin terlihat jauh berbeda
Tapi ku tak sangka secepat ini
Harus berakhir kisah cinta kita....
Ku akan selalu mencintai mu
Walau kita tak mungkin bersama
Meski berat melepasmu
Tapi kamu akan slalu
Dihatiku slamanya...
Hooo...hooo...hooo**...
Terdengar nyanyian Krisdayanti Diva pop Indonesia yang kualitas suaranya tak diragukan lagi "Kamu dihatiku selamanya" yang menggema dalam gedung Mall setelah beberapa jam lalu telah dibuka.
Waktu seolah berputar kembali kemasa lalu...
Datang seorang lelaki paruh baya, dengan setelan jas dan kaca mata hitamnya. Berjalan dengan penuh wibawa dan berkharisma ditemani seorang laki-laki yang terlihat sebaya dengannya berjalan mendampingi dibelakangnya. Membantu menggeserkan kursi untuk diduduki pria paruh baya itu. Arini menghampiri dan mempersilahkan pelanggannya untuk memilih makanan yang sudah ada didaftar menu.
Sudah tidak asing buat Arini melihat pelanggan yang bermacam-macam gaya dan tampilan karena pengunjung yang datang ke kafe itu rata-rata orang yang berduit dan berkantong tebal mulai dari kalangan artis, pejabat, pengusaha bahkan anak-anak konglomerat yang cuma nongkrong cekakak cekikik ngobrol ngalor ngidul nggak jelas untuk sekedar minum kopi menghabiskan uang jatah dari orang tuanya. Bisa dibilang kafe itu tidak pernah sepi pengunjung, apalagi dihari weekend, kadang Arini harus lembur sampai jam 12 malam.
Suasana kafe terasa nyaman untuk melepas penat setelah seharian bekerja atau hanya sekedar menikmati segelas minuman dingin bersama kekasih tercinta atau mungkin berkumpul bersama teman-teman genk, bahkan kumpul-kumpul arisan ibu-ibu dari kalangan sosialita. Karena di kafe itu disediakan ruang privat VVIP yang diperuntukan bagi pengunjung yang tidak ingin diganggu privasinya.
Ruangan yang didesain gaya klasik eropa, membuat pengunjung betah berlama-lama disana. Dibagian tengah terdapat kolam air mancur yang bagian luarnya dikelilingi taman mini dengan dihiasi bunga dan daun-daun hijau yang tampak segar dipandang mata. Di sudut kiri terdapat mini bar khusus tempat menyimpan segala jenis wine dengan berbagai merek dan tentunya dengan harga selangit yang membuat isi dompet ketar-ketir. Dipojok kanan sebuah panggung kecil dimana seorang pianis wanita memainkan piano dengan jari-jari lentiknya dengan sangat terampil, Perfekto....
"Silahkan tuan..." Arini membungkukan badan dan tersenyum ramah menyodorkan daftar menu kehadapan pria paruh baya tadi. Membuka kaca mata hitamnya dan menatap Arini dengan sorotan tajam seakan mengintimidasinya. Arini berdiri gugup bertanya-tanya apakah ada yang salah dengan pelayanan yang dia berikan.
"Kamu yang namanya Arini?" tanyanya lantang.
"Iya tuan, ada yang bisa saya bantu?" tetap bersikap tenang walau hatinya berkecamuk tak karuan.
"Jauhi anak saya."
"Maksud Tuan?" Tanyanya tak mengerti.
"Jauhi Aditya, jangan ganggu kehidupannya. Dia akan segera bertunangan dengan orang yang sepadan dengannya." Menyandarkan punggung dikursi tanpa melepas pandangannya sedikitpun dari Arini.
"Tapi Tuan..." Belum selesai Arini bicara pria itu sudah kembali berbicara.
"Itupun kalau kau masih ingin tetap melanjutkan kuliah mu dan hidup dengan tenang, ingat itu." Berkata penuh penekanan seakan sudah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi.
Pria itu segera beranjak dari duduknya tidak berniat untuk mendengar jawaban apapun dari Arini. Baru beberapa langkah, dia kembali berbalik dan berkata,"Camkan kata-kata saya tadi, saya tidak pernah main-main." Memakai kacamata hitamnya kembali dan berlalu pergi.
Bagaikan petir disiang bolong, Arini masih terdiam terpaku dengan tatapan kosong seolah mimpi buruk yang baru saja datang dalam tidur panjangnya. Arini meremas baju dibagian dada, berharap bisa mengurangi sakit dihatinya, tapi itu sungguh mustahil didapatkan. Karena ini bukanlah sakit karena benturan ataupun terjatuh dari ketinggian yang hanya dengan meminun obat sakitnya akan seketika hilang.
"Rin...." Masih tak bergeming,"Rin..." Dewi mengibas-ngibaskan tangan didepan Arini.
"Ariniiiii...." Teriak Dewi kesal. Seketika Arini tersadar dari lamunan panjangnya.
"Kamu kenopo toh, siang-siang ngelamun. Kesambet kolong wewe Mall ngibrit loh.." Seloroh Dewi sambil membulatkan matanya yang nyaris keluar.
"Hush...apaan sih. Jangan ngomong ngaco deh, sompral banget."
" Aku udah cape cerita ngalor ngidul kulon wetan ampe nih mulut berbusa malah dianggurin."
"Iya maaf-maaf." Memeluk sahabatnya yang masih mendumel kesal.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!