Pagi itu, Lucas Leonard, tengah berjalan menuju gerbang kampusnya, dengan tergesa-gesa. Ia melirik kekiri dan kekanan, seperti sedang mengawasi sesuatu, yang akan mengancam keberadaannya.
Lucas adalah mahasiswa fakultas teknik kimia semester empat, disalah satu universitas ternama di kota Berlin, Jerman. Penampilannya identik dengan seorang kutubuku, lengkap dengan rambut hitam bergelombang, serta mengenakan kacamata, yang ukurannya lensanya melebihi ukuran matanya.
Jaket hitam dengan Hoodie besar yang mampu menyembunyikan kepalanya itu, menjadi pakaian sehari-hari Lucas selama dikampus. Atas penampilan tertutupnya itulah, dirinya selalu menjadi korban perundungan mahasiswa-mahasiswa berandalan.
"Ciihh!! Kenapa ruangan itu jauh sekali letaknya!" Lucas mendecih seraya bergumam, selagi kakinya melangkah dengan tergesa-gesa, menuju ruang laboratorium klub kimia.
"Haha! Itu dia!" Salah seorang mahasiswa melihat Lucas dari balik tembok lorong kampus.
"Ayo kejar!" seru salah seorang mahasiswa lainnya, yang tergabung dalam kumpulan mahasiswa-mahasiswa berandalan. Mereka selalu berbuat onar dilingkungan kampus, dan Lucas, menjadi target istimewa mereka.
Lucas seketika menoleh kearah belakang, dan mendapati sekumpulan berandalan itu mengikutinya dari belakang. "Mereka tidak ada puas-puasnya menindas orang lemah sepertiku!" keluh Lucas, sambil mempercepat langkah kakinya, melewati ruangan multimedia.
Namun, salah seorang mahasiswi berambut pirang mencegat Lucas dari depan. "Berhenti kau! Serahkan uangmu padaku! Maka aku akan mengurus mereka!" Gadis itu selalu saja memeras Lucas, dengan berdalih akan menolongnya dari kejaran para mahasiswa berandalan.
"Berapa?!" tanya Lucas yang semakin ketar-ketir.
"100 euro!"
"Haaaaa?!!" Lucas sempat terkejut, namun tangannya tetap merogoh saku celananya. Uang 100 euro itu pun dengan rela Lucas berikan kepada gadis pemalak berambut pirang itu.
Setelah mendapati para mahasiswa berandalan semakin mendekatinya, Lucas menyalip tubuh gadis itu dan berniat melarikan diri secepatnya.
Namun, gadis pemalak itu sontak menggenggam jaket belakang Lucas, lalu menyeretnya ke suatu tempat yang sepi, yang membuat Lucas terpaksa berjalan dengan mundur. "Lepaskan! Kau ingin membawaku kemana?!" protes Lucas.
Mahasiswi pemalak itu kemudian mendorong tubuh Lucas, hingga membentur tembok. "Tambah lagi 200 euro! Maka kau akan ku lepaskan!" ancam sang gadis berambut pirang tersebut, sambil menghadapkan telapak tangannya keatas, dan menjulurkannya ke arah Lucas.
"Haaaaa?!! Aku hanya punya 100 euro! Dan itupun telah kau rebut dariku!" protes Lucas yang terduduk seraya bersandar pada tembok, dengan tubuh yang bergetar panik.
Mendengar protes dari Lucas, gadis itu menjadi berang. Ia sontak melayangkan kakinya menuju wajah Lucas, lalu menginjak-injaknya berulang kali.
(Bugh! Bugh! Bugh!)
"Jangan membuatku kesal! Kau bahkan tidak layak berada dikampus ini, dasar culun!" caci gadis tersebut, setelah menghantamkan sepatunya ke wajah Lucas, dan membuat lensa kacamatanya pecah, bahkan bingkai tengahnya pun patah.
Para mahasiswa berandalan pun muncul dan bergabung dengan gadis pemalak itu. "Rose! Berani sekali kau mengambil mangsa kami!" ucap salah seorang mahasiswa berandalan.
"Ha! Aku tidak ada urusan dengan kalian! Bertindaklah sesuka kalian pada si culun ini!" Rose pun berlalu meninggalkan Lucas, yang telah memar wajahnya.
Para mahasiswa berandalan itu pun tak terima dengan perlakuan Rose. Mereka melampiaskan kekesalan pada gadis itu, dengan menyakiti Lucas, secara bergiliran.
(Bugh! Bugh! Bugh! Bugh! Bugh!)
"Cukup! Dia sudah tak sadarkan diri!" ucap salah seorang mahasiswa berandalan, seraya meraih tas Lucas secara paksa, lalu merogoh isinya.
"Apa yang ada didalamnya? Apakah ada benda-benda berharga?!" tanya salah seorang mahasiswa berandalan lainnya.
"Bingo! Dompet ini sungguh tebal!" kata salah seorang mahasiswa berandalan yang meraih dompet dari dalam tas Lucas.
"Biar ku cek isinya," Salah seorang mahasiswa biadab lainnya pun meraih dompet itu, dari tangan teman yang telah mengeluarkanya. Ia lalu membuka dompet milik Lucas, dan mengambil banyak uang hasil jeri payahnya.
"Kita akan pesta malam ini!" ucap salah seorang mahasiswa berandalan seraya memasukan uang milik Lucas, kedalam saku celananya. Ia pun melempar dompet yang telah kosong itu, kewajah Lucas yang tengah pingsan.
"Ayo cepat! Kita harus pergi dari sini!" seru salah seorang berandalan lainnya.
Mereka kemudian meninggalkan Lucas, yang sudah tidak berdaya.
...*** Beberapa Saat Kemudian ****...
Setelah pingsan selama hampir satu jam, Lucas pun terbangun. "Awww ... wajahku p-perih!" lirihnya seraya memicingkan mata, sambil menyentuh keningnya dengan sebelah telapak tangan.
Darah dihidungnya telah berhenti mengalir, hingga membekas. Matanya lebam, pipinya membiru, beruntung nyawanya masih bernaung didalam raga.
Rasa nyeri masih bertamu di hampir seluruh tubuh Lucas. Dadanya masih terasa sesak, karena menjadi bulan-bulanan para mahasiswa beradab. "K-kenapa ... kenapa aku harus ... me-merasakan penderitaan s-s-seperti ini ...." Lucas benar-benar tidak berdaya.
"Lucas?! Kau kah itu?!" ucap salah seorang mahasiswa, teman satu fakultas Lucas. Ia segera menghampiri Lucas, setelah melihat temannya itu, terkapar di atas lantai. "Lucas! Kau kenapa?!" Demi menyelamatkan nyawa Lucas, sang teman memapah tubuhnya dan membawanya menuju klinik kampus.
Lucas terbaring lemah diatas ranjang klinik, setelah mendapatkan perawatan yang intensif dari dokter kampus. Sang dokter kemudian pergi meninggalkan Lucas, dan berniat mencari tahu, apa yang telah menyebabkan mahasiswa itu menjadi babak belur.
Matanya pun sontak membuka dengan lebar. Lucas membangkitkan tubuhnya, dan berjalan menuju pintu klinik dengan terhuyung-huyung. "Aku harus membuatnya ... aku harus membuatnya! Semua demi diriku!!!" sorak Lucas seraya berlari menuju ruang laboratorium.
Menjelang malam yang gelap, dan tidak ada satupun mahasiswa yang masih singgah digedung kampus. Hanya Lucas, yang seketika jatuh dan bangkit, lalu jatuh dan bangkit lagi.
Rasa sakit itu semakin memaksa Lucas untuk tetap beristirahat. Namun, tekadnya telah membulat dan memaksa tubuhnya untuk terus bangkit dan berjalan dengan terhuyung-huyung, menuju pintu ruang laboratorium, yang sudah berada tepat didepan mata.
"Aku harus membuatnya ... bagaimanapun caranya, aku harus membuatnya," Hanya kata-kata itulah yang dapat terlontarkan, dari mulutnya yang masih membengkak biru.
Lucas kemudian membuka pintu lab, dan menutupnya kembali. Ia lalu berjalan menuju meja penelitian, yang terdapat banyak tabung-tabung kimia kosong. "Aku harus membuatnya ... membuatnya ... membuatnya ...."
Perkataannya selalu berulang-ulang.
Ia membuka sebuah koper besar, yang terletak diatas meja tersebut. Terdapat banyak kotak-kotak cairan, yang akan menjadi bahan racikannya.
Tak lupa dengan sebuah buku yang telah dikeluarkannya dari dalam tas. "Aku harus membuatnya ... aku harus membuatnya ...." Lucas kemudian membuka buku tersebut.
Tangannya tak pernah berhenti menggeser lembar-lembar halaman dari buku itu. "Aku harus membuatnya ... aku harus membuatnya ...." Sampai akhirnya tangannya itu berhenti melakukan pergerakan, tepat pada sebuah halaman yang dituju Lucas.
Lucas membaca seluruh isi dalam halaman itu. Bola matanya selalu bergeser dari kiri kanan, seiring dengan pemahaman-pemahaman yang mulai masuk dalam otaknya.
"Cukup!" ucapnya seraya menutup buku tersebut. Perhatiannya kembali tertuju pada sebuah koper yang telah terbuka lebar.
Lucas meraih salah satu kotak cairan kimia berwarna kuning, dan memasukkannya kedalam tabung. "Aku harus membuatnya, agar bisa terbebas dari para bajingan itu!" Ia benar-benar sangat serius, saat memasukkan sebuah cairan berwarna merah, kedalam tabung.
Selepas memasukkan cairan kuning dan merah, Lucas menggoyang-goyangkan tabung tersebut, hingga dua cairan itu menyatu. "Aku harus membuatnya ... agar tidak lagi merasakan sakit seperti ini!" ucap Lucas sambil menatap tajam ke arah tabung yang berada dalam genggamannya itu.
Lucas kemudian membawa tabung itu, menuju meja yang terletak disudut ruangan. Ia lalu meletakkan tabungnya keatas sebuah lingkaran besi penyangga, dengan api yang telah menyala dibawahnya.
Demi mencapai tahap akhir, Lucas menaruh perhatiannya pada sebuah laci yang terletak dibawah meja. Tanpa basa-basi, ia membuka laci tersebut, dan meraih sebuah kapsul berwarna hitam, lalu memasukkannya kedalam tabung yang telah dihangatkan.
Seketika muncul sebuah asap hitam yang keluar dari tabung, setelah Lucas memasukan kapsul tersebut kedalamnya. "Ini belum sempurna! Aku harus tambahkan lagi!" ucapnya sambil kembali mengambil seluruh kapsul, yang berada didalam laci.
Terdapat dua puluh kapsul, yang telah dimasukannya kedalam tabung yang telah mencapa suhu tertinggi itu. Seluruh ruangan laboratorium, menjadi gelap karena tertutup oleh kumpalan asap hitam, yang keluar dari tabung tersebut.
Setelah semua dirasa cukup, Lucas beranjak menuju meja lab yang terletak disudut tengah ruangan. Ia lalu meraih sebuah suntikan injeksi, dengan jarum besar yang berlubang diujung corongnya.
"Hahaha! Semua penderitaanku, akan berakhir sampai disini! Mau berapa kali mereka menyiksaku, aku akan tetap hidup tanpa merasakan sakit lagi!" kata Lucas, sambil mencolokkan sebuah selang kecil, pada ujung suntikan yang telah berada dalam genggamannya.
Ia beranjak menuju meja sudut ruangan, dan menyedot habis seluruh cairan kimia yang telah terekstrasi, dalam tabung itu. Setelah memastikan kapasitas tabung suntikannya terisi penuh, Lucas menarik selang tersebut.
Hujan badai seketika datang menerjang gedung kampus, dengan banyaknya suara gemuruh petir yang menyambar area sekitarnya.
Lucas kemudian membuka jaketnya, dan menanggalkan bajunya, hingga seluruh badannya tersingkap lebar. "Wahai Tuhan, wahai para profesor-profesor yang kuhormati, terimalah penemuanku yang paling mutakhir ini!!! Seluruh dunia tidak akan lagi mengenal yang namanya rasa sakit ditubuh! Akulah dewa kekebalan! Akulaaaah!!! Dewa kekebalaaan!!!'
(Ncep!!)
Dengan penuh rasa emosi yang membara, Lucas menyuntikan cairan kimia yang masih panas itu, ke dalam bahu kirinya. "Aaaaaaaaaaa!!!" erangnya dengan mata merah yang melotot lebar.
Jarum besar itu, cukup memberikan rasa sakit yang amat luar biasa bagi tubuh Lucas, seiring dengan banyaknya darah yang mengucur dari bahunya. "Iiinii belum seberapaaaa!!!" soraknya dengan wajah yang menghadap ke langit-langit ruangan.
Setelah melepaskan suntikan itu dari bahunya, Lucas lalu melemparnya ke arah lain. Ia terdiam sejenak dengan nafas yang menggebu-gebu dalam dadanya, guna membiarkan cairan itu bereaksi dalam tubuhnya.
Otot-ototnya seketika bergetar, urat-urat seluruh tubuhnya menebal keras, namun Lucas tetap bisa mengontrol pikirannya. Demi memastikan cairan itu telah bereaksi dalam tubuhnya, Lucas meraih sebuah pisau yang tergeletak diatas meja lab.
(Slurb! Slurb! Slurb! Slurb!)
Darah berceceran dimana-mana, karena Lucas melakukan percobaan pertama dengan menusuk-nusuk perutnya menggunakan pisau yang sangat tajam tersebut. "Hahaha! Lihat! Lihat ini!!! Lihaaaat!!! Aku tidak merasakan sakit sedikitpun!!!" soraknya dengan penuh keangkuhan.
Namun, penglihatannya seketika memudar, detak jantungnya semakin melemah, dan darah pun semakin mengucur deras dari perutnya. Lucas akhirnya jatuh tersungkur, karena kehilangan banyak darah.
Ia mencoba untuk menahan keseimbangan tubuhnya dan mengembalikan tingkat kesadarannya. Namun, setiap kali Lucas berusaha bangkit, ia jatuh, jatuh, jatuh, dan tetap terjatuh.
Tangan dan kakinya pun sulit digerakkan, seiring dengan mati rasa dan mengalami kesemutan yang amat luar biasa hebat. Otot-ototnya menjadi kejang-kejang, seperti seakan ingin meledak.
Sebelum menutup matanya, jantung Lucas sontak berhenti berdetak, membuatnya kehilangan seluruh kesadaran, dan tewas dengan mata yang tetap membuka, serta perut yang bersimbah darah.
~To be continued~
"D-Dimana aku ...."
Lucas seketika tersadar setelah membuka matanya. Ia membangkitkan tubuhnya dan terduduk diatas sebuah hamparan rumput yang sangat luas dan hijau. "Ini dimana?!" ucapnya seraya menoleh kanan-kiri, dan hanya mendapati beberapa pepohonan yang menjulang tinggi, sepanjang mata memandang.
Seluruh ingatannya seketika menghilang, yang membuatnya tak menyadari, bila luka-luka di tubuhnya pun turut menghilang. Lucas sontak bangkit dan berdiri sambil menggeliatkan tangannya ke arah belakang.
"Aaaaaah ... aku ini sebenarnya sedang apa, dan mengapa bisa ada disini," ucap Lucas, yang menatap ke arah langit sembari berkacak pinggang.
Angin seketika berhembus sangat kencang, yang membuat rambut hitamnya bergoyang-goyang. Lucas kembali menurunkan wajahnya, dan menatap pada setapak jalan, yang dikelilingi banyak pepohonan rimbun. "Apa mungkin, aku sudah disurga?" ucapnya seraya berjalan santai, menuju setapak jalan tersebut.
Lucas berjalan dan terus berjalan tanpa merasakan lelah sedikitpun. Setelah berjalan sejauh mungkin, rupanya jalan itu tak berujung, yang membuat Lucas memutuskan untuk berbalik badan dan kembali ke tempat semula.
Namun, belum sempat ia melangkah sekali, seekor naga besar berwarna merah, dengan sisik-sisik emas yang menutupi punggungnya, serta dua tanduk yang menancap di kepalanya itu, seketika muncul dihadapan Lucas.
"Aaa?! N-n-naga kah?!" Lucas pun terkejut saat naga besar yang tengah mendengus itu, muncul dihadapannya, yang membuat kaki dan tangannya sontak bergetar hebat. "N-n-naga!!! Aaaaaaaaa!!!" Lucas berbalik badan dan sontak berlari terbirit-birit.
"Toolooongg!!! Nagaaaaa!!! Aaaa!!" Rupanya naga besar itu turut mengejar Lucas, yang semakin membuatnya berlari terbirit-birit, saat menoleh kebelakang. "Aaaaaaaaa!!!" Lucas terus berlari seraya berteriak-teriak, karena merasa takut dengan sosok naga yang sangat menyeramkan itu.
Naga yang semakin mendekat itu, sontak mencodongkan kepalanya, dan membuka mulutnya lebar-lebar.
"Toolo—"
(Kurkk...)
Nahas bagi Lucas. Naga itu telah menelannya secepat mungkin, yang membuat author terpaksa menghilangkan peran Lucas, dari bab ini.
Namun, mata merah dari naga tersebut, seketika melotot tajam. Bukannya merasa kenyang setelah menelan Lucas, sang naga malah mengamuk dan memberontak, seraya menyemburkan api dari mulutnya, yang membuat seluruh pepohonan disekitarnya terbakar.
Sang naga yang mengamuk secara membabi-buta itu, seketika berjalan menuju sebuah pemukiman-pemukiman warga, yang terletak tak jauh dari keberadaanya.
...*** Kota Ellensworth ***...
Kota Ellensworth, adalah ibukota dari kerajaan Scandivall, yang juga memiliki beberapa wilayah kekuasaan lainnya. Luas kekuasaan mereka secara keseluruhan adalah 20.662.100 kilometer persegi, dan terbagi menjadi tiga puluh kota.
Luasnya wilayah kekuasaan tersebut, tak lepas dari usaha Ernest Scandivall, Raja pertama yang sangat berambisi untuk menyatukan seluruh daerah, sebelum akhirnya ketiga puluh daerah itu bersatu, dan bersumpah setia untuk terus melayani Ernest dan bernaung dibawah sistem pemerintahan kerajaan Scandivall.
Penyatuan kota-kota itu terjadi sejak ribuan tahun yang lalu, hingga membuat daerah-daerah yang belum dikuasai Ernest, turut bersatu dan bernaung dalam sebuah kerajaan yang dipimpin oleh masing-masing penyihir terhebat.
Meskipun bendera kerajaan-kerajaan baru itu telah berkibar, hal itu tetap tak mengurungkan ambisi Ernest, untuk semakin memperluas wilayah kekuasaannya, hingga memaksa kerajaan-kerajaan disekitarnya berupaya memperkuat kekuatan militer mereka, karena mendengar desas-desus Ernest Scandivall, sang penyihir dengan pedang saktinya itu, sangat berambisi untuk menguasai wilayah mereka.
Peperangan demi peperangan pun terjadi, antara Kerajaan Scandivall, dengan beberapa kerajaan yang saling bersekutu untuk melawan pasukan perang yang dipimpin oleh Ernest tersebut.
Kerajaan Aggragiar, dengan pemimpinnya, Mark Aggragiar, si penyihir cahaya, bersekutu dengan kerajaan Spanartian yang dipimpin oleh penyihir ulung, Zach Spanartian, juga bersekutu dengan kerajaan Kravalon, yang dipimpin oleh Augsburg Kravalon, sang penyihir kegelapan.
Mereka saling bersekutu dan menggabungkan kekuatan militer mereka, agar bisa menyeimbangi besarnya kekuatan militer yang dimiliki kerajaan Scandivall. Peperangan diantara mereka pun berlangsung selama berminggu-minggu.
Namun, masih terdapat kerajaan-kerajaan lain, yang awalnya menolak perang, hingga akhirnya merasa terdesak dan ikut saling bersekutu satu sama lain, demi melindungi wilayah kekuasaan mereka, dari serangan invasi kerajaan Scandivall.
Kerajaan Vraidlex, yang dipimpin oleh penyihir langit, Young Vraidlex, bersekutu dengan Kerajaan Allabamuth, yang dipimpin oleh penyihir suci, Ruzzard Allabamuth, juga bersekutu dengan Kerajaan Worzniazth, yang dipimpin oleh penyihir sebelas elemen, Antony Worzniazth.
Tiga kerajaan yang telah bersekutu itu, menjadi pihak ketiga yang berusaha mengkonfrontasi peperangan dua kerajaan sebelumnya. Peperangan besar yang penuh dengan serangan pedang dan sihir itu pun akhirnya terjadi selama berpuluh-puluh tahun lamanya.
Ernest semakin mendominasi kekuatannya, hingga membuat enam kerajaan lainnya merasa terpojokkan. Namun, disaat Raja pertama Scandivall itu berniat untuk melancarkan serangan terakhir besar-besarannya, tanah tempatnya berpijak seketika bergetar dengan hebat.
Ernest lalu menerima laporan dari salah seorang prajurit terbaiknya, yang mengatakan bila seekor naga gigantic telah muncul, dan membuat kepanikan diantara para prajurit-prajurit dari seluruh kerajaan yang saling berperang itu.
Demi menghindari banyaknya korban jiwa dari puluhan ribuan pasukannya, yang seperempat dari jumlah mereka tewas karena serangan naga gigantic itu, Ernest mau tidak mau memutar otak, dan menarik kembali seluruh pasukannya dari medan perang.
Kehadiran naga gigantic yang selalu muncul setiap seribu tahun sekali itu, membuat para raja dari seluruh kerajaan-kerajaan merasa cemas, akan kondisi rakyat-rakyat mereka. Hingga pada akhirnya, keenam raja itu bersatu dan mengirim sebuah surat kepada Ernest, untuk turut andil dan bergabung dengan mereka, dalam melawan besarnya kekuatan naga gigantic tersebut, secara bersamaan.
Ernest awalnya menolak. Namun, setelah melihat kecemasan yang terpampang jelas di wajah seluruh rakyatnya, dan desakan-desakan dari beberapa orang terdekatnya, membuat Ernest akhirnya setuju untuk bergabung dengan koalisi enam penyihir tersebut.
Tujuh penyihir hebat sepanjang masa itu, akhirnya bersatu dan berusaha sekuat tenaga mereka, dalam melawan besarnya energi sihir yang dikerahkan oleh sang naga gigantic.
Setelah menyaksikan kekuatan serta keterampilan sihir Ernest yang sangat luar biasa, dalam melawan dan menahan serangan naga gigantic, membuat enam raja dari keenam kerajaan tersebut akhirnya memutuskan untuk menyatukan elemen-elemen sihir mereka, dan menyerahkannya pada Ernest dalam bentuk sebuah pedang.
Ernest yang pedangnya sempat patah karena menahan serangan kuku sang naga gigantic pun, meraih pedang itu dan mengacungkannya keatas langit, yang membuat petir-petir saling menyambar, karena reaksi sihir luar biasa yang dikerahkan oleh keenam raja, pada pedang tersebut.
Dengan menyerahkan seluruh kekuatan, kemampuan, kelincahan, ketangkasan, serta menanggung kepercayaan dari para penyihir terhebat, membuat Ernest segera terbang setinggi-tingginya, lalu melesatkan tubuhnya, dan mengarahkan pedang yang bersinar terang benderang itu, ke arah mata ketiga sang naga gigantic, yang diketahui sebagai titik kelemahan dari naga tersebut.
Ernest akhirnya menjawab seluruh harapan dari enam penyihir yang telah mempercayainya, setelah berhasil mengalahkan, melumpuhkan, dan melenyapkan keberadaan sang gigantic untuk beberapa waktu yang sangat lama.
Mereka akhirnya memutuskan untuk saling berdamai, dan membentuk aliansi tujuh penyihir, dengan kerajaan Scandivall sebagai pusat pemeliharaan, pengembangan, dan pendidikan sihir yang akan meneruskan kiprah para penerus keturunan-keturunan, dari tujuh penyihir agung tersebut.
(Sekian penjelasan tentang asal usul 7 penyihir agung, dan 7 kerajaan yang akan berkiprah dalam plot novel ini)
...*** Kembali Ke Kota Ellensworth ***...
Tanah disekitar area kota Ellensworth, seketika bergetar dengan hebat, akibat dari hentakan kaki sang naga merah, yang tengah berjalan menghampiri kota itu.
Para penjaga gerbang kota pun segera membunyikan lonceng besar, yang menandakan bila bahaya sedang mengancam kota, hingga membuat penduduk sontak panik dan berlarian masuk kedalam rumah mereka.
Dua orang yang tengah berdiri, di depan gerbang sebuah bangunan akademi sihir pun sontak menaruh perhatian pada tanah pijakan kaki mereka, yang semakin bergetar, dan hampir membuat sedikit retakan, karena guncangan kaki sang naga merah.
"Nadya! sepertinya ada gangguan dari luar kota!" ucap seorang pemuda yang mengenakan seragam khas akademi sihirnya. Ia merasakan getaran-getaran itu, semakin membuat seluruh tanah disekitarnya bergoyang.
"Ya! Pasti sedang ada kekacauan diluar sana!" kata Nadya Scandivall, yang merupakan salah satu dari murid terbaik, di akademi sihir tersebut.
"Ayo, kita kesana!" seru sang pemuda, yang semakin merasa cemas dan ingin cepat-cepat memastikan, apa yang telah membuat tanah disekitarnya menjadi berguncang.
"Tunggu dulu, Marvin!" Salah seorang pemuda lainnya pun muncul dari belakang, dan berusaha untuk menghalangi niat Marvin Sparnatian, yang merupakan salah seorang murid terbaik di akademi sihir itu.
Akademi sihir Ernestan, yang terletak dipusat kota Ellensworth, telah menjadi tempat bagi para keturunan-keturunan tujuh penyihir agung, untuk menuntut ilmu serta memperdalami ilmu sihir mereka, agar bisa menjadi penyihir hebat, dan menjaga perdamaian yang telah disepakati oleh tujuh penyihir leluhur sebelumnya.
Nadya Scandivall dan Marvin Sparnatian, adalah salah satu dari ratusan murid yang terpilih sebagai siswa generasi ke 990, sejak akademi sihir tersebut dibangun.
Nadya dan Marvin menjadi murid kehormatan, karena berasal dari keluarga salah satu penyihir-penyihir agung. Namun, terlepas dari status kebangsawanan mereka, Nadya dan Marvin tetap memiliki bakat sihir yang di wariskan oleh para penyihir leluhur mereka.
"Marvin! Aku mendengar berita dari para prajurit ksatria kerjaaan, bahwa yang telah menyebabkan tanah di kota ini bergetar adalah naga merah!" ungkap salah seorang murid teman sekelas Marvin, yang berasal dari keluarga penyihir biasa.
"Gawat!" Marvin mengepalkan kedua tangannya, meski tubuhnya terus berguncang, seiring dengan langkah kaki yang dihentakkan sang naga. "Nadya! Kemunculan naga itu, persis seperti yang dikatakan oleh ayahku!" ucap Marvin.
"Hmm! Akupun telah mendengarnya, dari seluruh tetua penasihat ayahku!" Nadya pun turut mengepalkan tangannya dengan erat, sambil menatap jauh ke arah gerbang kota, yang sejalan dengan letak gedung akademi sihir Ernestan.
Zevan Aggragiar, seorang putra penerus dari keluarga bangsawan penyihir agung Aggragiar pun muncul, dan segera bergabung dengan mereka.
"Hahaha! Jangan bilang kau takut, Nadya!" Zevan yang merupakan kakak kelas Nadya, memiliki sifat yang sangat angkuh serta merasa selalu ingin bersaing, dengan penerus dari keluarga bangsawan penyihir agung Scandivall tersebut.
"Jaga ucapanmu! Kau tidak berhak meremehkan kemampuan sihir Nadya!" Bela Marvin, yang merasa tak terima dengan sikap dan perkataan Zevan kepada Nadya.
"Biarkan saja dia, Marvin! Kita harus segera kesana dan memastikan, seperti apa kekuatan yang dimiliki oleh naga merah tersebut!" seru Nadya yang berusaha meredam kekesalan Marvin, atas sikap dan tindakan tak terpuji yang ditunjukkan oleh Zevan.
"Baiklah!" ucap Marvin, yang masih menatap tajam ke arah Zevan.
Nadya dan Marvin bergegas meninggalkan gedung akademi, demi memastikan dan mengukur seberapa kuat tenaga sihir yang dimiliki oleh naga merah tersebut, sebelum akhirnya memutuskan rencana sihir seperti apa yang akan mereka kerahkan, untuk melawan naga besar yang sedang mengamuk itu.
~To be continued~
Naga merah benar-benar mengamuk tanpa memperhatikan lingkungan disekitarnya. Hal itu membuat Nadya dan Marvin segera mendekat dan mengawasinya dari kejauhan, agar mengetahui seperti apa kekuatan dan energi sihir yang dikeluarkan oleh sang naga.
"Analyze!" Nadya mengeluarkan sihir penganalisis, yang membuat pupil mata biru-nya berubah menjadi warna merah, dengan pandangan yang menatap tajam dan terpusat menuju naga merah tersebut.
[****Starting To Analyze****]
[****Catastrophic Red Dragon****]
[****Current Status****]
[****Power: 1.000.0000****]
[****Health: 10.000****]
[****Mana: 1.000****]
[****Element: Fire****]
[****Skill: Flame burst, Shipping Tail, Golden Back Shield, Bursts Of Catastrophic Flames(Locked, Not Yet Reached The Required Level Of Tantrums****)]
[****Information: The fire element doesn't feel hot, but it can melt anything that gets hit by its bursts****]
[****Analyzing Completed****]
Setelah selesai menganalisa dengan sihirnya, Nadya mengubah kembali warna pupil matanya menjadi biru, berdasarkan warna pupil mata leluhurnya.
"Marvin! Hati-hati dengan semburan apinya. Api itu tidaklah panas, tapi mampu melelehkan benda-benda disekitanya," ucap Nadya, yang tengah terbang melayang tak jauh dari gerbang kota Ellensworth. Ia menatap ke arah sang naga merah, yang tengah mengamuk seraya menyemburkan api dari kejauhan.
"Ya! Kita harus sebisa mungkin menghindar dari semburan api itu," sambung Marvin yang turut terbang melayang di samping Nadya.
"Sebelum naga itu meluluhlantakkan kota, kita harus mencegahnya!" seru Nadya yang sontak melesatkan tubuhnya secepat kilat menuju sang naga merah, dengan Marvin yang turut melesatkan tubuhnya mengikuti arah terbang gadis tersebut.
Jarak antara naga merah dengan gerbang kota, sekitar delapan kilometer. Sedangkan Nadya dan Marvin terbang melesat dengan kecepatan 300 kilometer per jam, yang membuat mereka tiba di hadapan sang naga, hanya dalam waktu 1,6 menit saja.
Melihat kedatangan dua murid akademi sihir itu, membuat sang naga sontak mendongakkan kepalanya kearah atas seraya meraung penuh murka.
"WOOOOOAAAARRGGHH!!!" Raungan yang amat dahsyat itu, mampu menggetarkan tanah yang berada di area sekitarnya.
Dengan kepala yang masih mendongak ke arah atas, sang naga sontak menyemburkan apinya, dan mengarahkannya ke arah Nadya dan Marvin, yang membuat mereka sontak menghindar dari serangan api tersebut.
"Nadyaa! Kau tidak apa-apa?!" tanya Marvin dengan wajah cemas, sambil menoleh ke arah Nadya.
"Aku tidak apa-apa! Berhati-hatilah, Marvin!" jawab Nadya dengan bersorak ke arah Marvin.
Mereka berdua memang tak dapat dipisahkan, karena selalu bekerjasama dalam situasi apapun.
Nadya lalu menghampiri Marvin, yang membuat sang naga dengan segera mengibaskan ekornya, demi memanfaatkan kelengahan gadis penyihir tersebut.
"Nadyaaa!! Awaaas!!" sorak Marvin, saat melihat sang naga merah melayangkan ekor besarnya ke arah Nadya.
(Zwoooof ....)
Marvin dengan segera melontarkan tubuhnya menuju Nadya, dengan sihir pelontar udara yang saling bersinergi di kedua kakinya.
"SHIELD!!!"
Ia lalu mengeluarkan sihir perisainya, yang memunculkan sebuah bayangan berbentuk tameng.
(Ctakk!!!)
Sihir perisainya mampu membelokkan arah hempasan ekor sang naga. Namun, benturan dari ekor tersebut, membuat Marvin terpental ke arah bawah.
"Marviiiinn!!!" sorak Nadya, setelah dirinya berhasil diselamatkan oleh Marvin.
Beruntung Marvin sigap menahan keseimbangan tubuhnya saat terjatuh, dengan mendaratkan telapak tangannya dan menggunakan kuku jari-jarinya untuk mencakar tanah, guna menghentikan hempasan laju tubuhnya.
Nadya lalu terbang melayang menghampiri Marvin.
"Marvin! Kau tidak apa-apa?!" tanya Nadya seraya bertekuk lutut dihadapan Marvin, yang tengah memandang tajam ke arah naga merah.
"Ya! Kekuatannya ... benar-benar luar biasa," jawab Marvin, dengan nafas yang menggebu-gebu dalam dadanya.
Setelah serangan ekornya berhasil dipatahkan oleh Marvin, sang naga seketika mengamuk dan kembali mendongakkan kepalanya, seraya meraung-raung.
"WOOOAAAAARRGGGHHHHH!!!" raung sang naga, hingga membuat langit menjadi gelap, lalu mengeluarkan petir-petir yang saling menyambar satu sama lain.
Meski begitu, Nadya tak sedikitpun gentar dengan amukan naga tersebut. Ia kemudian menegakkan tubuhnya, lalu memunculkan sebuah pedang dengan dua garis merah yang membentang lurus dari ujung ke ujung bilah pedangnya. Pedang itu melayang dihadapan sang gadis penyihir, dari keluarga penyihir agung Scandivall tersebut.
Nadia meraih gagang pedangnya, yang membuat dua garis merah di pedang itu bersinar terang, seakan seperti telah menyatu dengan tuannya.
"Marvin! Apa kau bisa mengalihkan perhatiannya?!" tanya Nadya, yang telah menggenggam pedang sucinya dengan sebelah tangan, sambil menatap tajam ke arah naga tersebut.
Melihat Nadya memunculkan pedang sucinya, membuat Marvin menjadi terpukau. Ia pun segera bangkit dan berdiri tepat disamping Nadya. "Kalau soal mengalihkan perhatian, serahkan padaku!" jawab Marvin, seraya menyeringai ke arah sang naga merah.
Marvin kembali melayang dan terbang menuju sang naga. Ia lalu terbang berputar-putar mengelilingi tubuh naga tersebut, sambil memberikan serentetan serangan sihirnya.
"Sharp Ice! Sharp Ice! Sharp Ice!"
(Dusk ... Dusk ... Dusk ... Dusk ...)
Sihir yang membentuk pecahan es yang sangat tajam itu, melesat dengan cepat dan menabrak sisik keras tubuh sang naga. Namun, beberapa serangan sihir es Marvin, seketika terserap oleh punggung emas naga merah, dan kembali keluar menyerang Marvin, seperti senjata makan tuannya.
Marvin pun terkejut dan berusaha menghindar dari serangan es miliknya. "Mustahil! Dia mampu menyerap sihirku dan mengeluarkannya kembali," pikir Marvin, seraya menoleh kearah belakang, dan mendapati beberapa pecahan es itu, tengah mengikuti dirinya.
Sementara, Nadya masih berdiri ditempatnya sambil mengacungkan pedang sucinya ke arah atas. "Leluhurku, Ernest Scandivall, mewariskan pedang ini secara turun temurun. Maka inilah saatnya bagiku menggunakannya, untuk menghancurkan segala sesuatu yang dapat merusak kedamaian kerajaan Scandivall dan kerajaan-kerajaan disekitanya," batin Nadya.
"Dengan menjunjung tinggi keadilan, serta menjaga perdamaian antara kerajaan-kerajaan yang berada dalam naungan tujuh leluhur penyihir agung! Aku! Nadya Scandivall! Akan melenyapkanmu untuk selama-lamanya!" sorak Nadya, dari atas bukit tempat terjatuhnya Marvin.
Pedang sucinya sontak mengeluarkan pantulan sinar cahaya putih bercampur biru, yang mengarah menuju langit tempatnya bernaung.
Namun, belum sempat Nadya beranjak dari tempatnya, Zevan dan beberapa temannya seketika muncul dari belakang, seraya mengeluarkan sihir kerikilnya ke arah Nadya, yang membuat batu-batu kerikil itu tepat mengenai punggung dan kepalanya.
"Hahaaaa!!! Apa yang sedang kau lakukan, wahai gadis penyihir lemah!" caci Zevan yang bermaksud menyinggung perasaan Nadya.
Marvin yang telah berhasil menghalau serangannya sihirnya sendiri, sontak menatap ke arah Nadya. Ia pun terkejut saat melihat kedatangan Zevan yang tengah mengintervensi dan menggangu persiapan Nadya, dalam memberikan serangan pedang sucinya menuju sang naga.
"Zeeeevaaaaannn!!!" Marvin menjadi murka. Seluruh tubuhnya seketika mengeluarkan aura cahaya berwarna putih, dengan raut wajah yang sangat-sangat marah.
Demi menyingkirkan Zevan dari hadapan Nadya, Marvin sontak melesatkan tubuhnya secepat kilat, menuju ke arah penerus dari keluarga penyihir agung Aggragiar tersebut.
Namun, Ashley Vraidlex dan William Allabamuth, dua sahabat yang telah datang bersama Zevan pun turut melesatkan tubuh mereka ke arah Marvin. "Kau ingin melawan kami?!" ucap Ashley, yang sedikit lebih maju dari William.
"Hah!! Tidak ada sejarahnya adik kelas menang melawan kakak kelas!!" sorak William yang tengah terbang seraya melesatkan tubuhnya dibelakang Ashley.
Sebelum mereka saling bentrok, sang naga merah sontak menyemburkan apinya, yang membuat Ashley tak sempat menghindar, hingga sebelah tangan kanannya pun terkena dan terbakar.
William yang berdiri dibelakangnya sempat menghindar, dan Marvin pun turut menghindar karena jaraknya tak terlalu dekat dengan semburan api sang naga.
"Tidaaakk!! T-t-tanganku, tangangkuuu!!!" teriak Ashley, sang gadis penyihir yang merupakan penerus dari keluarga penyihir agung Vraidlex. Tangan kirinya seketika terputus dan terjatuh, lalu lenyap dilahap api sang naga.
Sang naga belum puas dengan semburannya. Melihat Ashley meronta-ronta, ia pun kembali mengeluarkan semburan yang amat dahsyat.
(Zwwoooorfffhhh!!!")
"Ashleey!" William dengan segera menghampiri Ashley, lalu memeluk tubuhnya dari belakang, dan menarik tubuhnya menghindar secepat kilat dari semburan api tersebut. "Bodoh! Apa kau ingin mati?!" tegur William yang merasa terheran dengan sikap Ashley.
Marvin berhasil menyingkir dari jangkauan semburan api sang naga. Ia lalu menatap tajam ke arah naga merah, sambil mengeluarkan sebuah sihir seperti panah yang terbentuk dari es, dan muncul dari kepalan tangannya.
Merasa kesal dengan naga besar tersebut, Marvin menggengam panah es-nya dan menarik anak panah sekuat mungkin dari busurnya. "Sebelum Nadya yang melenyapkanmu, aku akan melayanimu terlebih dahulu," ucap Marvin dengan sebelah mata yang memicing, serta terfokus ke arah sebelah mata sang naga.
"Aaaaaaaaaaaa." Anak panah Marvin seketika mengeluarkan cahaya berwarna putih berkilau. "Calamity Crossbooow!!!" soraknya seraya merapal sihir panah es-nya, lalu melepaskannya menuju sang naga.
(Zwuusshh)
Lesatan anak panah Marvin sungguh cepat, dengan aura sihir berwarna putih yang bersinar disekujur batang anak panah tersebut.
Sang naga sempat mengibaskan ekornya, namun anak panah itu mampu menembus ekor besarnya, dan melesat secepat kilat menuju mata kirinya, yang membuatnya sontak meraung kesakitan karena tertusuk anak panah es milik Marvin.
"WOOOOOAAAARRGGHH!!!" raung sang naga, dengan anak panah yang menancap tepat pada mata kirinya.
Zevan pun tercengang bukan kepalang, setelah melihat aksi hebat Marvin yang diam-diam memiliki senjata sihir, dan menggunakannya, hingga mampu membuat sang naga terpojokkan.
"K-k-kekuatan sihir macam apa itu?!!" Zevan membelalakan matanya jauh ke arah Marvin, yang tengah melayang di udara, dan telah bertranformasi dalam bentuk wujud es-nya, yang membuat seluruh tubuhnya memutih seperti salju, serta pupil matanya yang turut memutih.
"Zevaaan! Ayo segera menyingkir dari sini! Ashley harus dibawa cepat-cepat menuju tabib!" seru William seraya membopong tubuh Ashley.
Ashley menjadi trauma dengan mata yang terus membelalak ke arah depan. Ia tak menyangka bila tangan mulusnya telah lenyap, karena terkena semburan api sang naga.
Zevan dan kawan-kawan akhirnya menjauh dari Nadya, yang turut tercengang saat menatap Marvin mengeluarkan sihir panah es mematikannya. "Marvin, kau sungguh-sungguh luar biasa!" puji Nadya dalam hatinya. Ia terpukau dengan keahlian sihir Marvin, dan kegigihannya dalam menghalau serta memojokkan naga merah tersebut.
Marvin pun sontak menoleh dan tersenyum ke arah Nadya, selagi sang naga meronta-ronta kesakitan. Ia lalu mengangguk ke arah Nadya, seperti memberikan isyarat untuk meneruskan serangan pedang sucinya.
"Baiklah, Marvin. Akupun tak ingin kalah darimu!" ucap Nadya seraya kembali mengacungkan pedang sucinya sambil merapalkan sihirnya, yang sempat tertunda oleh gangguan Zevan.
Namun, ia mendapati sang naga seketika mengibaskan ekornya yang telah bolong diujungnya, ke arah Marvin. "Marviiinnnn!!!" sorak Nadya.
Nahas, Marvin yang belum sempat menoleh ke arah sang naga, terlebih dahulu disambar oleh ekor besar naga tersebut.
(Bruuuughhhh!!!)
Marvin tak dapat mengelak saat tubuhnya terpental begitu jauh, karena mendapat sambaran keras tiba-tiba, dari ekor sang naga merah.
"Marviiiiinn!" Nadya bersorak dan sontak melesatkan tubuhnya ke arah sang naga.
Demi menggagalkan usaha Nadya, sang naga mengibaskan ekor besar kearahnya, namun Nadya dengan sigap menghindar, dan berhasil mendarat tepat diatas kepala naga tersebut.
Nadya mengacungkan pedangnya kearah langit, selagi menjaga keseimbangan tubuhnya, karena sang naga berusaha menggoyang-goyangkan kepala, agar gadis itu segera menyingkir darinya.
Pantulan cahaya putih bercampur biru yang terpancar dari pedang sucinya pun sontak menembus langit, hingga membuat berbagai macam kemunculan petir-petir yang saling menyambar satu sama lain.
Sang naga pun akhirnya mengerang ke arah langit sambil mendongakkan wajahnya. "WOOOAAAAARRGGGHHHHH!!!" sorakannya itu, membuat Nadya terpeleset dan terperosok menuju punggungnya.
Nadya dengan sigap menancapkan pedangnya pada sisik emas sang naga, lalu berpegang pada pedang tersebut, yang membuatnya dapat berdiri dan menjaga keseimbangan tubuhnya.
Perhatiannya seketika tertuju pada sisik-sisik emas yang lain. "Analyze!" Nadya kembali mengeluarkan sihir penganalisis-nya, demi mencari tahu seluk beluk sisik emas tersebut.
[Starting To Analyze]
[Red Dragon's Golden Scales]
[Information: The red dragon's golden scales were made by golden fibers and connected to its ribs]
[Analyzing Completed]
"Berarti, menghancurkan sisik emasnya, sama saja dengan menghancurkan tulang-tulang iganya!" pikir Nadya dalam situasi yang benar-benar genting, sebab sang naga semakin meronta-ronta, demi membuat gadis penyihir itu menyingkir dari punggungnya.
Nadya dengan segera melepaskan pedang sucinya yang menancap pada salah satu sisik naga tersebut. "Wahai naga merah! Lenyaplah kau dengan tenang!" ucapnya seraya mengangkat pedang sucinya tinggi-tinggi. Ia lalu menatap tajam ke arah punggung sang naga.
Dua garis merah di pedang sucinya, telah berubah menjadi merah pekat, yang menandakan bila pedang itu telah mencapai batas maksimal kekuatan sihirnya.
"Marvin, tunggulah kedatanganku," pikir Nadya, seraya menutup kedua matanya, demi memusatkan seluruh mana sihirnya, dan mentransfernya ke dalam pedang suci yang berada dalam genggamannya.
"O' The holy sword, of the seven great mages! Slash!" setelah merapalkan sihir andalannya, Nadya sontak melayangkan pedangnya, yang telah dikerubungi oleh aura sihir berwarna merah kehitaman, yang seakan ingin segera melahap targetnya itu.
(Sluurrrbbb!!)
"Aaaaaaaaaaaaa!!!" Nadya bersorak seraya berupaya sekuat mungkin mendorong pedang sucinya, yang hanya setengah bilah saja yang baru menancap pada punggung naga tersebut.
(Nceppp!)
Pedang sucinya akhirnya berhasil menusuk dalam-dalam. Nadya seketika berlari seraya menarik gagang pedangnya, menuju ekor sang naga, demi menebas tubuh naga itu secara keseluruhan, yang membuat sang naga merah meraung kesakitan.
"WOOOAAAAARRGGGHHHHH!!!" erang sang naga, setelah pedang suci itu membelah punggungnya, hingga sampai menuju pangkal ekornya.
Setelah berhasil membelah bagian belakang tubuh sang naga, Nadya sontak melayang ke atas langit. Ia menatap tajam ke arah kepala sang naga merah.
"O' The holy sword of the seven great mages! Annihilate!"
(Zwoooof!)
Nadya melesat secepat kilat menuju naga tersebut, dan menancapkan pedangnya tepat pada kepala sang naga.
(Boom!)
Ledakan sihir yang amat besar pun terjadi, akibat reaksi sihir yang tersimpan dan keluar dari pedang suci milik Nadya.
Sang naga seketika tewas, dengan seluruh potongan tubuhnya yang tercerai-berai diatas tanah, setelah menerima ledakan sihir yang keluar dari hantaman pedang suci Nadya.
Setelah memastikan kemenangannya, dalam melenyapkan sang naga merah yang sangat besar itu, Nadya yang masih terbang melawan diatas langit pun segera melesatkan tubuhnya, menuju keberadaan Marvin.
~To be continued~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!