Tap tap tap ...
Suara langkah kaki terdengar kuat dan jelas, makin lama makin dekat lalu berhenti tepat di depan Jeny yang tengah duduk bersila di pojok ruangan sembari memejamkan matanya.
Klek! Bunyi suara pintu dibuka, membuat Jeny membuka matanya dan menoleh perlahan lalu mengangkat wajahnya.
“Saudari Jeny Aurora, silah kan ikut dengan Saya.”
Jeny memicingkan mata, menatap pada wanita berperawakan tinggi besar berseragam lengkap yang semalam menahannya di tempat ini. Sarah! Sekilas Jeny melirik name tage di dada wanita itu.
“Oke!” sahutnya singkat seraya mengulas senyum tipis.
Jeny meraih jaketnya yang tergeletak di sampingnya, bergegas ia bangkit berdiri lalu berjalan cepat keluar dari dalam sana. Sarah kembali mengunci pintu dan memasukkan anak kunci ke dalam saku celana panjangnya. “Mari ikut ke ruangan Saya sekarang!” ucapnya kemudian.
“Sebentar!” potong Jeny seraya menahan lengan Sarah, membuat wanita itu mengernyitkan alisnya.
“Ada apa lagi. Bukankah Kamu sudah tidak sabar ingin secepatnya keluar dari tempat ini?” tanya Sarah, menatap tajam tangan Jeny yang memegang lengannya.
“Oh, maaf!” Jeny meringis, lalu melepas pegangan tangannya. “Dua menit saja,” pintanya mengangkat dua jari, lalu balik badan kembali menatap ruangan di depannya itu untuk terakhir kalinya.
“Hem!” Sarah melipat tangan di dada, memberikan kesempatan pada Jeny untuk melakukan apa yang diinginkannya.
Sejenak Jeny menghela napas, lalu mengangkat dua tangan dengan posisi terbalik membentuk persegi.
“Empat tiga dua ...” Jeny fokus, memusatkan pandangannya pada satu titik. “Cekrek!”
Sarah mengerutkan dahi, kedua tangannya kini berada di pinggang menatap Jeny heran.
“Buat kenang-kenangan,” kata Jeny tersenyum tipis, sambil menyembunyikan tangan di balik punggungnya.
“Aku bahkan tidak berkeinginan untuk melihatnya!” balas Sarah lalu menarik lengan Jeny. “Cepat pergi dari tempat ini sebelum Aku berubah pikiran!”
“Siap!” Jeny terkekeh pelan, menatap wanita yang kini berjalan di sampingnya itu. “Terima kasih,” gumamnya pelan.
Sarah hanya diam, mereka melangkah dalam keheningan dan Jeny tidak tahan dengan suasana seperti itu. “Sepertinya lampu di area jalan ini harus segera diganti,” ucap Jeny disela langkahnya.
Lampu yang menyala redup di atas sana, menghalangi pandangannya. Tiba-tiba saja matanya melihat sebuah kaleng kosong bekas minuman tergeletak di tengah jalan. Iseng, Jeny berlari kecil dan menendangnya ke samping.
“Aduh!” terdengar suara mengaduh kesakitan. Seorang lelaki muncul dari balik rimbunnya tanaman di sekitar lapangan sembari memegangi kepalanya.
“Kamu lagi” serunya marah melihat Jeny, sambil terus mengusap rambut kepalanya. “Kamu sengaja kan, Kamu mau balas dendam sama Saya karena sudah menghukum Kamu dengan menyuruhmu berlari keliling lapangan. Iya kan!”
“Ups, sorry Bapak! Gak Pak, beneran tadi itu gak sengaja. Niatnya sih mau nyingkirin sampah kaleng di jalan, gak taunya ketendang malah kena Bapak.” Jeny beralasan, lalu bersembunyi di balik punggung Sarah.
“Halah, lagakmu!” sahut bapak itu emosi.
“Ekhem!” Sarah berdeham, menghentikan keributan kecil di depannya.
“Ibu Sarah?” Lelaki itu membuang begitu saja rokok di tangannya yang masih menyala. “Ada apa malam-malam datang ke tempat ini?”
“Matikan!” perintah Sarah seraya mengarahkan telunjuknya pada benda yang masih menyala dan mengeluarkan asap di atas lantai itu. “Dan buang benda itu ke tempatnya!”
“Siap!” lelaki itu menginjak puntung rokok dengan ujung sepatunya, lalu membuangnya ke tempat sampah dan langsung memasang sikap badan tegap.
“Hem! Jeny, ayo jalan.” Sarah berbalik, kembali melanjutkan langkahnya diikuti Jeny dari belakang.
“Bukankah itu perempuan yang waktu itu ikut balap liar di daerah Selatan dan berhasil dibubarkan oleh anggota kita?” ucap salah satu polisi yang duduk berjaga di depan berbisik pada temannya, saat melihat kedatangan Jeny di kantor bersama dengan Sarah.
Polisi satunya menoleh, menatap pada Jeny dan membenarkan ucapan rekannya. “Ya, benar. Itu memang dia. Parahnya lagi, setelah dibubarkan anggota. Mereka bukannya pergi malah masuk ke perumahan warga dan membuat keributan di sana. Aku curiga, perempuan itu salah satu anggota geng motor dan ikut terlibat keributan dengan warga Selatan. Ada saksi yang melihat dia berada di lokasi kejadian dan ikut dalam rombongan geng motor.”
Jeny melengos mendengar pembicaraan dua anggota polisi yang terdengar jelas olehnya, yang terang-terangan membicarakan dirinya. Ia duduk sambil memperhatikan Sarah membuka laci besar di bawah meja kerjanya dan mengemasi barang-barang miliknya lalu memasukkannya ke dalam tas ransel.
“Terima kasih,” ucap Jeny pada Sarah saat menerima tas ranselnya dan langsung memeriksa isinya. Ia mengeluarkan ponselnya dan segera menyalakannya.
“Seperti biasa, Kamu bisa datang kapan saja ke rumah itu. Aku menaruh kuncinya bersama dengan barang milikmu yang lain,” ucap Sarah tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas yang ada di depannya.
Jeny tertawa tanpa suara, diraihnya tasnya lalu bangkit berdiri. “Aku pergi,” ucapnya kemudian, menunggu Sarah melihat ke arahnya.
Sarah bergeming, ia masih sibuk membolak-balik berkas di depannya. “Jangan bergaul dengan mereka lagi, Aku harap ini yang terakhir kalinya.”
Jeny meringis mendengarnya, “Ehm, bagaimana ya?” Jeny menekan kedua tangannya ke atas meja, “Hanya itu satu-satunya cara agar Aku bisa mengetahui keberadaan laki-laki itu!”
“Jen! Jaga ucapanmu.” Sarah mengangkat wajahnya, menatap tajam wajah Jeny. Ia melihat sorot mata lelah terlihat jelas di sana. “Aku tidak bisa terus-terusan melindungimu seperti ini kalau Kamu masih tetap bersikeras dengan rencanamu semula.”
Wajah Jeny mendadak kaku, sinar matanya menyorot tajam dengan kedua tangan yang mengepal kuat di sisi tubuhnya.
“Pulanglah Jen, temui dia. Jangan terus menyalahkan dirimu sendiri, katakan padanya kalau Kamu sudah berusaha mencarinya selama ini,” bujuk Sarah dengan nada suara melemah.
“Maaf, Aku tidak bisa memenuhi keinginanmu. Aku akan pulang kalau sudah mengetahui pasti kabar orang itu!” Jeny berbalik dan pergi meninggalkan Sarah yang hanya bisa mengembuskan napas gusar.
“Keras kepala,” bisiknya pelan, ditatapnya punggung Jeny yang berjalan semakin menjauh.
Di ambang pintu, Jeny menghentikan langkahnya lalu berbalik dan melambaikan tangannya pada Sarah sebelum ia menghilang di balik pintu besi setinggi empat meter yang mengelilingi tempat itu.
“Ibu Sarah, bagaimana perempuan itu bisa bebas secepat itu. Bukankah ia salah satu anggota geng motor yang sering meresahkan warga dan waktu itu berbuat onar di daerah Selatan?” tanya kedua polisi yang tadi berada di depan dan sekarang berdiri menghadap Sarah.
“Tidak cukup bukti kuat untuk terus menahannya tetap berada di sini. Menurut penyelidikan dan berdasarkan kesaksian warga Selatan lainnya, Jeny sedang dalam perjalanan pulang bersama rekannya saat peristiwa itu terjadi. Dan kebetulan sekali, rumah rekannya itu berada tepat di depan lokasi kejadian. Intinya saat itu Jeny sedang berusaha untuk melerai keributan dan bukan berbuat onar seperti yang dituduhkan padanya,” jelas Sarah.
Kedua polisi itu manggut-manggut setelah mendengar penjelasan Sarah, dan langsung pamit kembali ke mejanya.
Sementara di luar sana, Jeny sedang menimang-nimang kunci di tangannya. Lalu mengembuskan napas, merogoh ponsel dari saku jaketnya dan mulai menghubungi seseorang.
••••••••
Jeny menunggu di pinggir jalan sambil memainkan ponselnya. Ia mengetik asal saja sebuah nama dalam kolom pencarian dan tersenyum miring saat menatap beberapa foto gadis muda anak pengusaha ternama negeri ini yang terpampang di sana.
‘Salah satu pengusaha sukses di negeri ini tengah berbahagia, karena sang putri tercinta kini telah berusia tujuh belas tahun. Sebagai bentuk rasa sayangnya pada putrinya itu, ia mengadakan pesta mewah di salah satu hotel bintang lima dan mengundang banyak ... bla bla’
Jeny melewatkan berita itu, dan hanya membaca sekilas saja. Tangannya kini bergerak turun secara perlahan membaca judul lainnya, lalu terpaku pada salah satu foto yang menampilkan gambar sang pengusaha dengan putrinya itu.
Deg! Wajah itu mirip sekali dengan seseorang yang dicarinya, hanya saja punya latar belakang pekerjaan yang berbeda.
Apa mereka kembar atau memang satu orang yang sama, tapi bagaimana mungkin? Karena berdasarkan informasi yang ia terima, laki-laki itu hanya seorang office boy di sebuah perusahaan pengembang perumahan dan juga telah memiliki seorang istri.
Tapi itu sudah lama sekali, hampir dua puluh tahun yang lalu. Dan lelaki yang mirip dengannya ini adalah seorang pengusaha kaya.
Sementara di foto lainnya, tampak sang pengusaha tengah tertawa lebar sambil merangkul bahu putra pertamanya yang juga seorang pengusaha muda. Dan di sebelah mereka berdua, ada wanita cantik yang bergelayut manja di lengan masing-masing.
Gambar itu diambil dua Minggu yang lalu, dan Jeny ingat saat itu ia tengah berada di rumah sakit setelah mengalami kecelakaan karena jatuh dari motornya. Jeny mencoba merangkai semua info yang ia punya dan menghubungkannya dengan berita yang baru ia baca, tapi nihil dan hanya membuat kepalanya pening.
Tidak lama berselang, sebuah motor besar datang berikut pengendaranya yang memakai pakaian serba hitam dan berhenti tepat di depan Jeny yang sedang berdiri menunggu.
Pengendara motor itu turun dan melepas helmnya, lalu menaruhnya di atas motor. Seketika, rambut panjang hitam yang terbungkus rapi dibalik penutup kepala yang digunakannya tadi terurai di bahunya. Ia menggoyangkan kepalanya sejenak, lalu jemarinya terulur merapikan helai rambutnya.
Jeny tersenyum melihat kedatangannya. Wanita yang tengah berjalan ke arahnya itu mengenakan pakaian ketat warna hitam yang melekat pas di tubuhnya, menonjolkan lekuk tubuhnya yang padat berisi.
“Jeny!” panggilnya sembari merentangkan kedua tangan dan merangkum Jeny masuk ke dalam pelukannya.
“Thank’s ya Ra,” ucap Jeny menyambut pelukan Sora. “Hanya nama Kamu yang terlintas dalam pikiranku saat ini.”
“It’s oke, Jen.” Sora mengusap bahu Jeny, lalu perlahan melepaskan pelukannya. “Setelah keluar dari tempat itu, apa rencanamu selanjutnya. Apa yang ingin Kamu lakukan, Jen?”
Jeny meringis, menggaruk alisnya. “Kembali ke rumah lamaku, atau mencari penginapan yang layak huni untuk sementara waktu. Istirahat, setelah itu ...” Jeny mengedikkan bahunya. “Ya, setelah itu mungkin Aku harus mencari pekerjaan baru. Karena bos lamaku tidak mungkin mau menerimaku bekerja di tempatnya lagi setelah mengetahui kejadian malam itu.”
“Tapi itu kan bukan kesalahanmu, Jen.”
“Tetap saja ia tidak mau mendengar alasanku. Lagi pula Aku juga tidak berminat lagi lanjut kerja di sana.”
“Kamu bisa tinggal di rumahku dan ikut bergabung kerja di perusahaan papaku.”
Jeny menggeleng, “Gak, Ra. Kamu sudah terlalu banyak membantuku selama ini, dan Aku tidak bisa terus-terusan merepotkanmu. Aku akan berusaha mengatasi masalahku sendiri dan melakukannya dengan caraku.”
“Hem, boleh Aku tahu cara seperti apa itu?”
Jeny hanya tersenyum tipis tanpa berniat menjawab pertanyaan Sora. Ia meraih helm di atas motor dan segera memakainya. “Jika Aku butuh bantuanmu, Aku pasti akan langsung menghubungimu.”
“Oke, Aku tunggu kabar darimu.”
Jeny memutar kunci dan menghidupkan mesin motornya. Sejenak ia menoleh pada Sora, mengangguk kecil lalu menutup kaca helmnya dan dengan cepat melesat pergi meninggalkan tempat itu.
“Good luck Jen,” bisik Sora pelan menatap kepergian Jeny.
Beberapa saat kemudian sebuah mobil mewah warna hitam berhenti di dekat Sora berdiri. Kaca mobil itu terbuka, menampilkan sosok lelaki tampan yang berada di dalamnya. Tersenyum lebar menatap Sora, siap menebar pesonanya.
“Kita ke tempat biasa, Jack!” ucap Sora pada lelaki di sampingnya, setelah ia berada di dalam mobil.
“Oke.”
•••••
Jeny menatap bangunan tua di depannya itu, sekian lama kosong ditinggalkan dan tidak berpenghuni. Letaknya yang sendiri dan terpisah jauh dari bangunan rumah penduduk lainnya membuatnya merasa lebih tenang.
Meski terlihat kotor di bagian depan karena banyak ditumbuhi rumput dan tanaman liar lainnya, namun rumah ini masih layak huni. Hanya perlu perbaikan sedikit di beberapa tempat, membersihkan sekeliling, dan mengganti warna cat dinding yang sudah mengelupas dengan warna yang lebih fresh akan membuatnya tampak indah.
Kriet!
Jeny mendorong pagar besi yang sudah berkarat itu, mengesah pelan menatap ujung jarinya yang berubah warna kecoklatan.. “Huh! Sepertinya Aku tidak bisa bersantai-santai lebih lama lagi,” gumamnya pelan, kembali menatap sekelilingnya.
“Oke, kita akan lakukan besok! Malam ini Aku hanya perlu beristirahat dan memejamkan mata saja.”
Jeny menepikan motornya ke teras rumah, membuka pintu dan menaruh tas ranselnya di sofa yang ada di ruang tamu. Ia mulai memeriksa kamarnya dan mendapati pakaian dan barang-barangnya yang lain masih tersimpan rapi di tempatnya.
Setelah membersihkan diri, Jeny memeriksa lemari pendingin dan tersenyum kecut melihat isinya yang kosong. “Untung saja tadi sempat mampir beli makanan dan air minum. Kalau gak, bisa puasa malam ini.”
Malam makin larut, hanya suara binatang malam yang terdengar. Tubuhnya yang lelah membuatnya cepat terlelap. Hingga pagi menjelang, Jeny terbangun dengan tubuh yang jauh lebih segar.
Seperti rencananya semula, Jeny sudah bersiap dan segera memulai pekerjaannya. Dimulai dengan membersihkan ruangan di dalam rumah, lalu membuang semua benda yang tidak layak pakai.
Siangnya Jeny berniat membeli bahan cat dan keperluan lainnya, ia mampir di salah satu toko yang letaknya cukup jauh dari rumahnya. Hanya ada beberapa orang saja yang berbelanja, salah satunya Jeny yang mulai memilah apa-apa saja yang dibutuhkannya.
“Mau beli apa, Mas?” tanya salah satu karyawan toko yang datang mendekatinya. Jeny tak menggubris ucapannya, ia terus sibuk memilah barang di depannya.
“Kalau ada barang yang diperlukan tapi tidak ada di rak, Mas bisa langsung tanya pada kami di sini.”
Jeny mendongak, menatap sekitarnya lalu beralih menatap karyawan di depannya itu. “Ehm, Mas barusan bicara sama Saya?”
“Memang ada orang lain selain kita berdua?” Lelaki di depannya itu balik bertanya.
“Iya juga sih.” Jeny meringis, mengusap tengkuknya.
“Saya Arif,” ucap lelaki itu ramah mengenalkan diri seraya mengulurkan tangannya.
Jeny menegakkan tubuhnya, mengusap telapak tangannya di pakaian coverall yang dikenakannya. “Saya Zayn. Tapi biasa dipanggil Zen,” jawab Zen terlontar begitu saja. “Ya, panggil saja Saya Zen!”
••••••••
Zen meletakkan barang belanjaannya di jok belakang motornya, mengencangkan tali pengikat secara menyilang agar barang aman dan tidak mudah jatuh.
“Beres dah!” Zen tersenyum puas. Ia kemudian mengunci setang motornya, lalu kembali masuk ke dalam toko mendatangi meja kerja Arif. “Mas, titip motor bentar ya. Mau cari makan dulu.”
“Oh ya, silah kan Mas Zen. Sebaiknya motornya dikunci setang, biar lebih aman!”
“Beres, Mas!” Zen mengacungkan ibu jarinya. “Tapi, ngomong-ngomong. Rumah makan dekat-dekat sini di mana ya?”
“Masnya cari rumah makan, ya. Sebentar!” Arif berjalan keluar dari balik meja kerjanya. “Mas Zen nyebrang jalan itu, terus lurus saja. Gak jauh kok, nanti ada pelang nama Rumah Makan Bu Nyoto. Di situ tempatnya. Banyak menu makanan pilihan, masakannya juga enak dan pas di lidah, murah meriah. Kebetulan langganan makan anak-anak toko sini juga,” imbuhnya sambil menunjukkan arah jalan.
“Sekalian promosi nih ceritanya,” celetuk Zen tersenyum menanggapi.
“Yah, bisa dibilang seperti itu.” Arif terkekeh mendengarnya, sikapnya yang ramah pada pelanggan membuat mereka nyaman saat berbincang dengannya.
“Ya sudah, Saya coba ke sana deh. Rumah makan bu Nyoto ya, namanya.” Zen menyebut ulang. “Kalau begitu Saya tinggal dulu, Mas.”
“Monggo Mas Zen,” sahut Arif tersenyum, menatap punggung Zen yang berjalan menjauh. “Cowok tapi suaranya halus kayak perempuan,” gumamnya dalam hati.
Zen berlari kecil menyeberang jalan, berdiri sejenak di pembatas jalan saat kendaraan padat lalu lalang di depannya. Ia melihat bayangan dirinya terpampang jelas pada kaca mobil yang berhenti di depannya.
Baju coverall kedodoran yang bagian kakinya digulung tidak sama tinggi, ditambah dengan topi hitam lusuh yang menutupi rambut pendeknya. Wajah polos tanpa riasan apalagi pemerah bibir, benar-benar jauh dari kesan yang biasa ditunjukkan seorang wanita.
Meski begitu, Zen memiliki bagian tubuh yang menonjol di tempat yang seharusnya menonjol. Tapi semua tak tampak karena pakaian yang dikenakannya, tidak heran kalau Arif mengira dia laki-laki.
“Apa karena tampilan Aku yang seperti ini kali, ya. Jadi orang pada ngira Aku cowok. Ah, bodo amat!” ucapnya tak peduli.
Tiba di seberang jalan, Zen bergegas menuju rumah makan. Hanya butuh waktu lima menit ia sudah sampai di sana. Dilihatnya tempat itu ramai pengunjung. Sebagian makan di tempat dan sebagian lagi dibawa pulang. Rupanya ia datang bertepatan dengan jam istirahat kerja. Setelah memesan makanan, ia pun harus rela menunggu sebelum pesanannya siap dihidangkan.
Zen memilih makan di tempat, duduk di bangku pojok yang terlindung payung kanopi. Matanya memindai sekeliling, lalu pandangannya jatuh pada sepasang anak manusia yang tengah duduk berduaan di dalam mobil.
“Huh! Kayak gak ada tempat lagi aja, siang bolong depan warung pula. Mana kaca mobil dibuka lebar segala, apa sengaja mau pamer kemesraan biar dilihat orang banyak. Gak ada ahklak banget!” rutuk Zen menatap sebal pemandangan di depannya itu dan langsung memalingkan muka.
Namun tak urung ekor matanya melirik laki-laki di dalam mobil itu, yang tengah mengusap mesra rambut kepala wanitanya dan ...
“Astaga! Bener-bener ini orang, gak ada malunya sama sekali.” Zen benar-benar sebal, melihat pasangan di mobil itu yang sepertinya tidak peduli pada orang sekitarnya yang melihat perbuatan mereka.
“Ayam geprek pedas plus es teh manis, selamat menikmati.” Suara pelayan rumah makan mengalihkan perhatian Zen.
“Terima kasih,” jawab Zen dan langsung meneguk minumannya.
Pelayan itu nyengir melihat Zen yang tampak kehausan, lalu melirik pada pasangan di dalam mobil tadi. “Cuekin saja, Mas. Mereka berdua emang suka gitu, pamer! Makin emosi yang lihat mereka malah makin senang,” ucapnya, seolah tahu apa yang sejak tadi dilihat Zen.
“Ho oh, cuekin ajah. Kita kepo dia makin hepi,” balas Zen. Pelayan itu tertawa dan berlalu dari hadapan Zen.
Zen mulai menyantap makanannya, dan benar seperti ucapan Arif padanya kalau masakan bu Nyoto memang enak. Ia sudah tidak peduli lagi pada pasangan di mobil itu, karena saat ini perutnya lebih butuh perhatiannya.
“Alhamdulillah, kenyang.” Zen mengusap perutnya, rehat sejenak menurunkan makanan dalam perutnya.
Setelah dirasa cukup, Zen bergegas membayar makanannya dan berlalu dari sana. Ia berjalan beriringan dengan pelayan rumah makan yang membawa bungkusan di tangannya lalu berhenti di depan mobil tadi. Pelayan itu mengetuk kaca mobil yang kini tertutup, tidak lama kemudian kaca itu terbuka dan wanita di dalam mobil itu membayar pesanannya.
“Kirain numpang parkir doang, ternyata pelanggan juga.” Zen meringis, memilih berjalan menjauh dan bersiap menyeberang jalan.
Bughk!
“Aoww, sakit ogeb!” Zen berteriak kencang, memegangi bahunya yang sakit terbentur keras tubuh seseorang hingga oleng, berputar dan jatuh menimpa tubuh lelaki yang berada di bawahnya sebelum akhirnya terjatuh cukup keras ke jalan.
“Haish! Ngapain Lo di situ, pakai ngadang jalan Gue segala. Buruan minggir!” lelaki itu berusaha bangun dan mendorong bahu Zen.
“Lo yang minggir! Lo yang tiba-tiba nabrak Gue. Makanya jalan itu pakai mata!” balas Zen berang, meraih kerah baju lelaki di dekatnya itu. “Lo pikir badan Gue gak sakit apa!”
“Copet, maling!” terdengar teriakan lantang seseorang yang langsung menyentuh keras gendang telinga Zen. Ia menatap tajam lelaki di hadapannya itu yang menggenggam erat sebuah tas tangan warna merah menyala.
“Aneh, laki-laki bawa-bawa tas tangan segala. Warna merah pula, pasti ini orang gak beres. Jangan-jangan dia yang diteriakin copet barusan,” pikir Zen dalam hati.
“Lepasin, awas Lo ya. Jangan macem-macem sama Gue!” ancam laki-laki itu dan berhasil menepis tangan Zen di lehernya.
Bukan Zen namanya kalau ia mau melepaskan orang yang sudah menyakitinya bebas begitu saja. Lelaki itu sudah membuat tangan dan bokongnya nyeri. Dengan tangan bertumpu pada tanah di bawahnya, kaki kirinya naik dan menendang punggung laki-laki itu.
“Lo yang salah cari lawan. Lo yang jangan macem-macem sama Gue! Lo kan yang barusan diteriakin maling copet tadi, ngaku Lo!” balas Zen sengit.
Laki-laki itu jatuh tersungkur dan tas tangan yang masih berada dalam genggamannya terlepas jatuh ke jalan. Ia berusaha bangkit dan berdiri, namun sebelum hal itu terjadi Zen kembali menghentikan usahanya.
Masih dalam posisi tubuh rebah di tanah, Zen menyapukan kedua kakinya menyilang dan dengan satu gerakan cepat ia menggunting kaki lawan.
Brugh!
“Si alan, Lo!” teriak laki-laki itu kesakitan, karena Zen berhasil membuatnya jatuh tersungkur lagi dan tak mampu berdiri.
“Aargh, Lo yang si alan! Bikin tangan dan bokong Gue sakit. Gimana Gue ngecat rumah kalau begini!” Zen mendengkus kesal, bangun dan berjalan tertatih meraih tas merah di pinggir jalan.
Tidak lama kemudian datang seorang wanita paruh baya dengan penampilan wah, berlari ke arah Zen yang langsung menyerahkan tas merah di tangannya.
“Apa benar tas merah ini milik Ibu?” tanya Zen.
“Iy-ya, ini tas milik Saya. Orang itu yang sudah mengambil paksa dari tangan Saya,” jelasnya. Lalu menatap bingung pada lelaki yang terkapar di pinggir jalan mengaduh kesakitan, kemudian beralih menatap Zen.
“Tenang, Bu. Cedera dikit gapapa, paling juga pijat sama tukang urut bentar juga dia bakal baikan lagi. Itu pun kalau dia gak Ibu laporin ke polisi.”
“Hah! Oh i-ya, terima kasih ya Nak. Untung saja ada Kamu tadi, jadi tas Saya bisa balik lagi.” Wanita itu menatap lama pada Zen, lalu membuka tasnya dan memeriksa isinya. “Ini buat Kamu,” ucapnya, lalu menyelipkan beberapa lembar uang merah di saku baju Zen.
Zen menolak dan berlari kecil menjauh, “Saya gak minta imbalan, Bu. Bisa nolong Ibu saja sudah senang,” ucapnya kemudian seraya melambaikan tangan.
“Ma, Mama gapapa?” suara seseorang yang terengah-engah berlari, membuat wanita itu mengalihkan perhatiannya. Putranya datang dan tampak khawatir melihatnya.
“Mama gapapa, sayang. Serius, Mama baik-baik saja. Ada anak muda tadi yang sudah menolong Mama,” ucapnya lalu menolehkan wajahnya, sayang si anak muda yang dimaksud sudah menghilang dari pandangannya.
“Biar Gaafhi yang antar Mama pulang,” ucap si anak sembari menghela bahu mamanya, berjalan menuju mobilnya yang terparkir di ujung jalan.
Si pencopet sudah diamankan polisi yang kebetulan lewat di sana, atas laporan warga yang melihat aksi Zen ditambah keterangan korban laki-laki itu dibawa ke kantor polisi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sementara Zen sudah melajukan motornya kembali pulang ke rumahnya.
••••••••
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!