Aku iri dengan semua orang. Mereka hidup dengan wajah yang rupawan, maka dari itu mereka mendapatkan beberapa teman.
Sedangkan aku? tidak ada yang istimewa dalam hidupku. Wajahku tidaklah cantik dan aku juga bukan gadis kaya raya.
Aku hanya gadis yang memiliki banyak kekurangan, maka dari itu tidak ada yang ingin berteman denganku.
Namun suatu ketika, ada seorang murid baru yang ingin berteman denganku.
Ya benar, ada anak baru yang ingin berteman denganku. Kini anak baru itu duduk di sampingku sambil tersenyum kepadaku.
"Hai, aku Talitha. Nama kamu siapa?"
"Nama aku Elena Asteria."
"Namanya cantik seperti orangnya."
Elena terdiam, ia merasa Talitha mengejeknya. Ia kira Talitha orang yang baik, namun ia sama saja seperti teman-teman yang lain.
Disaat jam pelajaran, semua siswa dan siswi diharuskan untuk membagi kelompok. Disaat ini juga Elena hanya bisa pasrah, karena ia tahu bahwa tidak ada yang ingin sekelompok dengannya.
Ketika yang lain sibuk mencari kelompok, Elena hanya diam sambil menatap teman-temannya yang berlalu lalang.
"Elena!" panggil Bu Andira.
Elena menoleh kearah gurunya. "Ada apa, Bu?"
"Sudah dapat kelompok?"
Elena hanya menggeleng. Disisi lain, teman-temannya sibuk mengobrol seolah-olah mereka tidak ingin memasukkan Elena kedalam kelompoknya.
"Austin, masukkan Elina ke kelompok kamu ya," ujar Bu Andira.
"Baik, Bu"
Elena berjalan kearah kelompoknya. Saat berjalan, ia hanya menundukkan kepalanya karena ia tahu pasti Austin terpaksa menerima Elena.
Setelah duduk, Elena mengedarkan pandangannya kearah teman-teman kelompoknya. Dan benar saja bahwa mereka menatap sinis kearah Elena. Tetapi cuma Austin saja yang tidak menatap sinis kearah Elena, karena dia sibuk mencari materi di buku catatannya.
"Boleh pinjam buku catatan kamu gak?" tanya Austin.
"Boleh," ujar Elena sambil memberikan buku catatannya kepada Austin.
Setelah beberapa menit, akhirnya kelompok kami menuliskan jawabannya.
"Tulisan kamu rapih banget," puji Austin.
"Makasih."
"Apa kamu aja ya yang tulis, soalnya tulisan kita bertiga jelek banget."
Elena sadar akan hal itu. Austin memuji tulisan Elena agar dia bisa memanfaatkan Elena.
Apa boleh buat, sudah untung Elena mempunyai sebuah kelompok. Jadi mau tidak mau, Elena harus mengerjakan tugas kelompok ini walaupun ia harus menuliskan semua jawabannya.
Saat menuliskan jawabannya, terlihat dari sudut mata Elena jika dua orang temannya sedang berbisik sambil tertawa. Elena sangat yakin bahwa mereka sedang menertawakan Elena yang sedang dikerjai oleh Austin.
20 menit kemudian...
Selesai mengerjakan tugas kelompok, semua ketua kelompok langsung mengumpulkan tugasnya di meja. Setelah itu, semuanya pergi menuju kantin karena bel masuk baru saja berbunyi.
Seperti biasa, Elena pergi ke kantin tanpa seorang teman. Dari dulu sampai sekarang, ia selalu sendiri. Bahkan jika seseorang mengajaknya ke kantin, ia tidak mau. Karena pada saat di kantin, pasti ujung-ujungnya mereka bercanda soal fisik Elena.
Kulit Elena memang tidak putih seperti kebanyakan siswi yang lain. Jadi mereka sering mengatai Elena karena kulit Elena tidak seputih mereka.
Memang kecantikan tidak dilihat dari seberapa putihnya kulit seseorang. Tetapi jika perempuan mempunyai kulit putih, mereka akan terlihat lebih cantik.
"Elena," sapa seorang cowok.
Sontak Elena menoleh kearah cowok itu. Lalu cowok itu berbisik ke temannya. Kemudian mereka berdua tertawa sambil menatap jijik kearah Elena.
Elena hanya bisa menahan emosinya, ia tidak bisa melawan karena memang itu kenyataannya. Ia memang dilahirkan untuk menjadi seseorang yang jelek.
Kadang terbesit di pikiran jika ia ingin melakukan operasi plastik. Namun apa daya, Elena tidak mempunyai uang yang banyak. Jadi, ia urungkan niatnya itu, lagipula ia juga sebenarnya sangat takut jika harus melakukan operasi plastik.
Berbagai macam cara telah Elena lakukan. Mulai dari membeli scrub, handbody bahkan perawatan kulit wajah. Namun tetap saja tidak ada perubahan.
DOR!
Elena tersentak saat seseorang mengagetkannya. Ia menoleh kebelakang dan ternyata ada Talitha dibelakangnya.
"Ih ngagetin tahu!"
"Maaf ya," ujarnya sambil cengengesan.
Talitha mengajak Elena untuk pergi menuju kantin, karena ia tidak ingin pergi sendirian.
Meskipun Elena tahu bahwa Talitha tidak serius ingin berteman dengannya, ia tetap saja menerima ajakannya. Lagipula ia juga bosan jika istirahat sendirian.
Tetapi tetap saja, jika suatu hari nanti Talitha sudah mempunyai teman, dia pasti akan meninggalkan Elena. Dan pada akhirnya Elena tetap menyendiri.
...****************...
Talitha tersenyum, entah apa yang dipikirkannya. Tapi yang jelas, Elina tahu bahwa dia sedang mengejek Elena.
"Elena, kamu gak punya teman di sekolah ya?"
Elena menatap kearahnya. "Iya, aku gak punya teman sama sekali."
"Kenapa kamu gak coba berbaur dengan yang lain?"
"Aku udah berusaha berbaur sama mereka, tapi mereka selalu menjadikan aku sebagai bahan candaan. Makanya aku lebih memilih menjauh dari mereka."
Dari raut Talitha terlihat jelas bahwa dia merasa kasihan terhadap Elena.
Talitha mengambil ponselnya dan menunjukkan ponselnya kepada Elena.
Mata Elena membulat, ia tidak percaya bahwa Talitha menunjukkan daftar harga operasi plastik.
"Mau gak? kebetulan aku kenal sama dokternya. Karena aku kenal, jadi siapa tahu kamu bisa dapat diskon."
Memang niat Talitha baik, ia ingin agar Elena terlihat cantik. Namun seharusnya ia tidak langsung menyuruh Elena agar melakukan operasi plastik, karena itu membuat hati Elena sedikit sakit.
"Gimana? kamu mau gak?"
"Aku gak punya uang buat melakukan operasi plastik."
Tiba-tiba terlintas dipikiran Elena, ia berpikir bahwa Talitha juga telah melakukan operasi plastik.
"Aku boleh tanya sesuatu gak?"
"Boleh," jawab Talitha.
"Kamu operasi plastik ya?"
"Enggak kok. Aku kasih saran ke kamu agar kamu operasi plastik bukan karena aku juga melakukan operasi plastik," ujarnya dengan penuh penegasan.
Padahal Elena hanya bertanya, namun Talitha malah menjawabnya dengan nada kesal. Jadi, itu membuktikan bahwa memang benar bahwa dia telah melakukan operasi plastik.
Elena terus memperhatikan wajah Talitha dengan seksama, tetapi ia bingung dengan bagian wajah mana yang di operasi. Setelah dilihat baik-baik, sepertinya Talitha mengoperasi hidungnya.
"Kamu kenapa lihat aku kayak gitu? pasti kamu mengira aku operasi plastik ya?" sinis Talitha.
"Enggak kok. Aku lihat kamu karena terpesona sama kecantikan kamu."
Talitha tersipu malu dengan perkataan Elena. Yang tadinya dia kesal, kini berubah kembali menjadi ramah.
"Oh iya! habis pulang sekolah, kamu mau kemana?"
"Ya pulang lah."
"Gimana kalau kita jalan-jalan dulu. Soalnya kan aku baru pindah kesini, jadi aku pingin tahu tempat-tempat hits disini."
"Kalau kamu mau cari tempat hits, lebih baik kamu tanya ke yang lain deh. Soalnya aku gak pernah pergi ke tempat kayak gitu."
Hari berikutnya, Elena seperti biasanya berangkat menuju sekolahnya dengan berjalan kaki. Sialnya, dalam perjalanan menuju sekolah, hujan turun dan membasahi seragam Elena.
Buru-buru Elena mencari tempat untuk berteduh. Ia terus menatap jam tangannya dan berharap semoga hujan cepat reda.
Tin! Tin!
Tiba-tiba ada mobil yang berhenti di hadapan Elena. Dan pada saat orang itu membuka kaca mobilnya, Elena terkejut karena ternyata orang itu adalah Austin.
"Ayo masuk!" teriak Austin.
Elena mematung, karena ia agak terkejut dengan sikap Austin. Dia terlihat seperti orang cuek, namun ternyata dibalik itu dia adalah sosok yang perhatian.
"Ayo cepat! takut telat nih."
Akhirnya Elena masuk kedalam mobil Austin. "Makasih." Lalu Austin hanya mengangguk pelan.
Selama diperjalanan, Elena hanya sibuk melihat-lihat kesekitar. Ia tidak berani berbicara sepatah pun karena takut dengan Austin.
Bukan takut karena Austin galak. Namun takut karena ekspresinya yang sangat dingin. Bahkan orang-orang tidak ada yang berani bercanda dengannya dan hanya beberapa orang saja yang bisa membuatnya tertawa.
"Udah sarapan belum?"
Jantung Elena seketika berhenti berdetak saat mendengar ucapan Austin. Ia menoleh kearah Austin untuk memastikan apakah dia benar-benar bertanya kepada Elena atau tidak.
"Kamu bicara sama aku?"
Austin menatap datar kearah Elena. "Gak, aku bicara sama supir," ujarnya dengan nada kesal.
"Saya kan sudah sarapan," sahut supirnya.
Elena sangat malu, ia kira Austin bertanya kepada Elena. Namun ternyata dia berbicara dengan supirnya.
"Nanti kalau udah sampai di sekolah, tolong bangunin," ujar Austin sambil menutup matanya.
Elena merasa lega saat Austin tertidur, karena menurutnya Austin tidak menakutkan jika sedang tidur.
Dug!
Tiba-tiba Austin menyenderkan kepalanya pada pundak Elena dan itu membuat jantung Elena semakin berdebar. Ia takut jika bergerak, ia malah membangunkan Austin. Akhirnya dengan terpaksa Elena hanya diam walaupun badannya sangat pegal.
15 menit kemudian, mereka telah sampai di sekolah. Kebetulan sekali saat tiba di sekolah, hujan menjadi reda.
"Austin," panggil Elena sambil menepuk paha Austin.
Tidak lama, Austin membuka kedua matanya. Ia sangat terkejut karena posisinya menyender di bahu Elena.
Austin bangun dan ia buru-buru keluar dari mobilnya. Lalu, Elena juga keluar untuk menyusul Austin.
Kini posisi Elena berada disamping Austin. "Makasih ya udah kasih tumpangan."
Austin hanya diam saja dan ia mempercepat langkahnya menuju kelas. Mungkin juga ia tidak ingin jika orang lain melihatnya bersama Elena, makanya ia cepat-cepat pergi menuju kelas.
Meskipun begitu, Elena jadi tahu bahwa Austin sosok yang sangat baik. Walaupun terlihat dingin, tetapi dia memiliki hati yang hangat.
Seseorang menepuk bahu Elena, spontan Elena menoleh kebelakang.
"Ada apa?" tanya Elena kepada Feby.
Feby menarik tangan Elena dan membawanya menuju toilet yang sudah tidak terpakai.
Disitu Elena ketakutan dan berusaha melepaskan tangannya yang digenggam Feby.
"Feb, lepasin!"
Feby mendorong tubuh Elena sehingga Elena terjatuh dilantai toilet.
"Maksud kamu apa deket-deket sama Austin?"
"Hah? aku sama sekali gak deketin dia kok."
Feby tersenyum sinis. "Aku tadi lihat kamu turun dari mobil Austin."
"Oh kalau soal itu emang Austin yang ajak aku. Soalnya tadi kan hujan, makanya dia ajak aku buat ikut sama dia."
"Oke, kali ini aku maafin kamu. Tapi ingat, kalau kamu dekat-dekat lagi sama Austin, kamu bakal tanggung akibatnya," ujar Feby, lalu ia pergi meninggalkan Elena.
...****************...
Saat ini murid-murid kelas X MIPA 1 sedang berada di lapangan. Mereka semua sedang melakukan pemanasan sebelum berolahraga.
Sesudah pemanasan, kini giliran murid-murid lelaki dulu yang duluan bermain bola voli. Sedangkan murid-murid perempuan duduk dipinggir lapangan sambil menyemangati murid-murid lelaki yang sedang bermain voli.
"Dia ganteng ya," bisik Talitha yang duduk disamping Elena.
Ya, dia sedang memperhatikan Austin yang sedang bermain voli. Lagipula perempuan mana yang tidak tertarik dengan wajah tampan Austin.
"Namanya siapa sih?" tanya Talitha.
"Namanya Austin," jawab Elena.
"Kira-kira dia suka cewek yang kayak gimana ya?"
"Kamu jangan suka sama Austin, soalnya Feby suka sama dia," larang Elena, karena ia tidak mau jika nanti Talitha dibully oleh Feby.
Sedangkan disisi lain, Talitha tidak peduli dengan Feby. Lagipula tidak ada yang salah jika mencintai seseorang.
"Emang Feby pacarnya?" tanya Talitha.
"Bukan sih. Tapi tetap aja jangan suka sama Austin, nanti kalau suka, bisa-bisa Feby akan berbuat jahat sama kamu."
"Aku sih gak peduli. Kalau misalnya dia jahat sama aku, nanti aku laporin aja ke kepala sekolah."
Meskipun yang dikatakan Talitha benar, namun tetap saja nantinya Feby tidak mengakui bahwa dia berbuat jahat. Sebab, itu juga yang dirasakan Elena waktu dulu.
Waktu itu Elena sering sekali disuruh-suruh membeli sesuatu oleh Feby dan jika tidak dituruti pasti Feby akan memukul Elena.
Namun pada saat itu, Elena melaporkannya kepada guru karena ia sudah tidak tahan dengan perlakuan Feby. Tetapi setelah dilaporkan, Feby tidak mengakui perbuatannya. Dia malah menangis seolah-olah Elena memfitnahnya.
Setelah 30 menit, kini giliran murid-murid perempuan yang bermain bola voli.
Ditengah-tengah permainan, Feby selalu memarahi Elena karena Elena tidak bisa bermain. Elena tahu bahwa Feby marah bukan karena itu, melainkan dia masih marah karena Elena berangkat sekolah bersama Austin.
Bugh!
Bola voli mengenai wajah Elena, hingga membuat dirinya ingin menangis. Bukannya cengeng, namun wajahnya terasa sakit akibat bola tersebut.
Semuanya panik karena hidung Elena mengeluarkan darah. "Kamu gak apa-apa, kan?"
"Iya gak apa-apa kok,"
"Tapi hidung kamu berdarah," ujar Talitha.
Elena mengusap darah yang keluar dari hidungnya, spontan saja tubuhnya menjadi lemas saat melihat darah di jemarinya.
Bruk!
Elena terjatuh dan tak sadarkan diri. Lalu, seseorang menggendong dan membawa Elena menuju UKS.
...****************...
Elena membuka kedua matanya dan ia melihat sekitar. Ia ingat bahwa tadi ia pingsan akibat melihat darahnya sendiri.
Tetapi yang dipertanyakan saat ini, siapakah pangeran yang membawanya ke UKS?
Ia yakin betul bahwa tadi yang menggendongnya adalah seorang lelaki. Tetapi ia tidak tahu siapa orang itu.
Ketika melihat ke samping, Elena menemukan roti beserta susu kotak yang ia tidak tahu itu punya siapa. Karena sangat lapar, akhirnya Elena memakan roti tersebut.
Cklek!
Seseorang masuk kedalam UKS, ia menghampiri Elena dengan tatapan dingin. "Senang dapat perhatian dari Austin?" sinis Feby.
"Maksudnya?"
"Kamu sengaja kan pasang tampang sedih biar Austin peduli sama kamu," tuduh Feby.
"Aku sama sekali gak ngerti dengan apa yang kamu bicarakan," ujar Elena, lalu ia buru-buru pergi karena ia sedikit takut dengan Feby.
Kebanyakan orang mungkin akan langsung pulang ke rumah setelah dari sekolah. Namun tidak denganku, terkadang aku selalu pergi ke dermaga untuk melihat-lihat perahu sambil merenungkan nasibku.
Aku memang sering merenung, entah itu memikirkan masalah keluarga ataupun hal lainnya.
Jika bertanya soal orang tua, jujur aku capek mendengarkan ucapan mereka yang selalu membahas mengenai uang.
Ya, mereka selalu meributkan masalah uang. Bahkan saking tidak mempunyai uang, ayahku sering meminjam uang kepada kedua orang tuanya, alias pada nenek dan kakekku.
Tanpa sadar, air mataku menetes. Sebenarnya ada satu hal yang membuatku menangis, yaitu aku ingin mempunyai banyak teman. Aku ingin orang-orang menghargai aku walaupun aku tidak memiliki wajah yang cantik.
Beruntung sekali orang-orang yang memiliki wajah cantik, pasti ia menikmati kehidupan dengan mudah.
Dengan posisi sekarang, aku jadi berniat ingin menjatuhkan diri ke laut, supaya aku tidak memikirkan beban lagi.
Aku berdiri dan berjalan lurus kedepan. Entah kenapa pikiranku sangat kacau hari ini, bahkan terdengar suara-suara yang menyuruhku untuk mengakhiri hidup.
Byurrr!
Aku tenggelam kedalam laut. Mungkin dalam beberapa menit saja, aku akan mati.
"Elena!"
Terdengar samar-samar suara yang memanggilku. Aku tidak tahu itu siapa, tetapi aku harap dia tidak menolongku.
...****************...
Kring! Kring!
"Alena, bangun!" teriak seseorang.
Spontan aku membuka mataku. Aku terkejut saat seseorang membangunkanku.
"Cepat mandi, habis itu sarapan."
Aku masih mematung, karena aku tidak tahu ini dimana. Yang aku ingat, aku tenggelam di laut. Tapi mengapa aku masih hidup?
"Kok malah bengong sih."
Aku menatap pada orang itu. "Anda siapa?"
Orang itu hanya tertawa. "Pagi-pagi udah ngelawak."
Aku semakin bingung karena aku sama sekali tidak mengenal orang itu.
"Cepat mandi! oh iya, nanti Mamah aja ya yang antar ke sekolah baru kamu," ujarnya, lalu ia keluar dari kamar.
Ada apa ini? mengapa orang itu menyebut dirinya Mamah?
Aku memandang kesekitar. Melihat keadaan kamar ini, membuat aku yakin kalau ini rumah orang kaya.
Apa jangan-jangan keinginanku untuk menjadi orang kaya terkabul? kalau hal ini terkabul, mungkin wajahku juga akan berubah menjadi cantik.
Aku berjalan kearah cermin besar dan betapa terkejutnya aku saat melihat diriku.
Cantik.
Itulah kata yang mendefinisikan diriku saat ini. Mungkin aku sangat percaya diri, namun kenyataannya sekarang aku memang cantik.
Cklek!
Orang yang menyebut dirinya sebagai Mamah datang lagi menghampiriku.
"Alena, kamu kenapa sih? Mamah kan udah bilang cepetan, tapi kok kamu malah senyum-senyum sambil lihatin cermin."
Alena? jadi namaku berganti menjadi Alena?
"Iya. Alena sekarang mau mandi kok," ujarku.
Skip
Aku menikmati sarapan pagi bersama kedua orang yang menyebut dirinya sebagai Mamah dan Papah.
Oke, mulai sekarang aku harus melupakan kehidupanku yang dulu dan fokus untuk kehidupanku yang baru. Mulai sekarang namaku Alena, bukan Elena. Dan mulai hari ini juga, kedua orang yang kini bersamaku akan ku anggap sebagai kedua orang tuaku.
"Pah, biar Mamah aja ya yang antar Alena ke sekolah," ujar Mamah.
"Ya udah, tapi bawa mobilnya hati-hati," ujar Papah.
"Iya, Pah."
Tiba-tiba Papah memberikan sesuatu kepadaku. "Ini handphone baru buat kamu. Tapi ingat, jangan dihilangkan lagi handphonenya." Lalu, aku hanya mengangguk mengiyakan ucapan Papah.
...****************...
Selama diperjalanan, Elena hanya tersenyum. Baru kali ini ia merasakan kehidupan yang sangat menyenangkan.
Entah mimpi atau bukan, tapi yang pasti Elena sangat menyukainya.
"Mah, sekolah baru aku dimana?."
"Kamu aneh deh. Kamu waktu itu kan bilang kalau kamu mau sekolah di SMA Merdeka."
Kebetulan macam apa ini? bisa-bisanya aku ke sekolah itu lagi. Padahal aku ingin sekali pindah dari sekolah yang sebagian isinya adalah pembully.
"Mah, aku gak mau sekolah disana."
"Kamu udah daftar disitu loh, masa iya harus pindah lagi."
Aku terdiam dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Semoga nanti orang-orang tidak mengejekku lagi.
"Kamu kenapa berubah pikiran sih? padahal kamu sendiri yang ingin sekolah disitu."
"Aku takut di-bully, soalnya ada rumor yang bilang kalau sekolah itu banyak pembully."
"Kamu tenang aja. Kalau kamu di-bully, nanti bilang aja ke Mamah sama Papah."
Setelah menempuh jarak yang lumayan jauh, akhirnya Elena sampai di sekolahnya.
Elena dan Mamahnya pergi menuju ruang guru. Disepanjang perjalanan kesana, banyak sekali orang yang menatapnya.
Elena takut dengan tatapan mereka. Mungkin juga karena ia sering di-bully, makanya dirinya merasa ketakutan.
"Kamu kenapa nunduk jalannya?"
"Aku malu. Soalnya aku gak cantik."
"Kamu ngomong apa sih. Kamu itu cantik Alena. Lihat! orang-orang memperhatikan kamu karena mereka terpesona sama kamu."
Elena menatap kesekitar, lalu orang-orang tersebut tersenyum kepada Elena. Sepersekian detik, Elena tersadar bahwa sekarang dirinya memang menjadi perempuan yang cantik.
"Jadi gini rasanya jadi orang cantik," batin Elena.
...****************...
Elena masuk kedalam kelas bersama wali kelasnya. Sejujurnya ia sedikit takut, karena ia berada dikelasnya, yaitu kelas X MIPA 1.
Wali kelas menyampaikan kepada murid-muridnya bahwa ada murid baru. "Alena, silahkan perkenalkan diri kamu," perintahnya.
"Selamat pagi semuanya. Perkenalkan nama saya Alena."
"Hallo Alena," sahut beberapa murid lelaki.
"Alena silahkan duduk dikursi yang kosong," tunjuk wali kelas pada kursi disebelah Talitha.
Elena berjalan kearah Talitha. Lalu, ia duduk disebelah Talitha.
Saat duduk, semua pandangan tertuju pada Elena. Akhirnya ia menunduk karena sedikit canggung.
"Nama kamu Alena?" tanya Talitha. Kemudian, Elena hanya mengangguk.
"Oh iya! kenalin nama aku-"
"Talitha," ujarku.
"Kok kamu bisa tahu," heran Talitha.
Elena bingung harus menjawab apa, harusnya tadi ia tidak menyebutkan nama Talitha.
"Pasti kamu salah satu followers aku ya?" tanya Talitha. Lalu, Elena hanya mengangguk.
"Btw, aku denger katanya ada murid yang bunuh diri. Menurut kamu, dia gimana orangnya?" tanya Elena, karena ia ingin tahu bagaimana reaksi Talitha tentang Elena yang bunuh diri.
"Aku gak tahu sih, soalnya aku juga murid baru di sekolah ini. Jadi aku gak begitu tahu sifat asli dia," jelas Talitha.
Benar juga apa kata Talitha, wajar jika dia bilang seperti itu. Harusnya Elena bertanya kepada yang lain tentang pendapat mereka mengenai Elena.
"Tapi aku yakin kalau dia orang baik kok, cuma ya minusnya dia kurang bergaul sama teman-teman," ujar Talitha tiba-tiba.
"Dia gak bergaul mungkin karena ada alasan."
"Iya sih, waktu itu dia sempat bilang kalau dia di-bully sama beberapa teman di kelas," ujar Talitha.
Ternyata Talitha memang orang yang baik, terbukti dengan perkataannya yang persis dengan apa yang Elena katakan padanya waktu itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!