NovelToon NovelToon

Terpaksa Menikahi Kekasih Sahabatku

TMKS 01. Permintaan

Harum aroma khas kaldu ayam kampung yang bercampur dengan olahan mie menguar memenuhi indera penciuman. Suara spatula yang terbuat dari stainless yang beradu dengan penggorengan seakan memanggil para pelanggan untuk berdatangan. Bara api yang berasal dari batu arang di dalam anglo pun juga turut membuat siapapun penasaran. Hingga membuat siapapun yang melintas, menghentikan kendaraan mereka untuk melihat ada apa gerangan.

"Mbak, aku mau dua porsi bakmi godog ya. Dimakan di sini. Tidak usah pakai micin dan garamnya sedikit saja!"

"Mbak, aku tiga porsi nasi goreng magelangan. Dibungkus. Pedas banget ya!"

"Mbak, aku lima porsi bakmi goreng dibungkus ya. Jangan lupa acarnya."

"Baik Pak, Bu, Mbak, Mas. Mohon ditunggu ya. Maaf ini antreannya lumayan banyak jadi mohon bersabar."

Hana Makaira, gadis berusia dua puluh delapan tahun itu tiada henti menyunggingkan senyum kala melihat kumpulan orang-orang yang memesan makanan di warung tenda tempat ia bekerja. Meskipun tubuhnya sedikit lelah, namun sama sekali tidak ia hiraukan. Ramainya warung Bakmi Jawa tempat ia bekerja ini sudah cukup mengobati rasa lelah yang memeluk raga.

"Mas Taka, ini daftar pesanannya ya. Aku mau bikin minuman dulu untuk yang makan di tempat!"

Hana menyerahkan lembaran panjang yang bertuliskan daftar pesanan para pelanggan. Taka merupakan pemilik warung tenda Bakmi Jawa ini. Untuk mempertahankan cita rasa warung tenda yang sudah satu tahun berdiri, dari awal buka pemuda berusia tiga puluh tahun yang masih lajang itu memilih terjun langsung untuk menjadi juru masaknya.

"Oke Han. Pelan-pelan saja. Tidak perlu tergesa-gesa," ucap Taka memberikan nasihat seraya memasukkan bihun ke dalam penggorengan.

Hana mencoba tersenyum tipis meskipun pikirannya begitu panik karena banyaknya pelanggan yang mengantre.

"Bagaimana aku bisa santai Mas? Lihatlah, para pelanggan kita yang makan di tempat masih banyak yang belum mendapatkan minuman. Aku khawatir jika sampai mereka kecewa karena pelayanan kita yang tidak maksimal."

Melihat raut kekhawatiran yang tergambar di wajah Hana, justru membuat Taka semakin gemas saja. Entah mengapa bagi dirinya, wajah Hana benar-benar cantik dan tidak membosankan untuk ditatap. Meskipun ada kacamata yang bertengger di atas hidungnya namun wajah gadis ini seakan memancarkan aura positif sehingga terlihat begitu cantik natural. Apalagi ketika terlihat begitu khawatir seperti ini. Ingin rasanya Taka mencubit hidung mancung gadis berusia dua puluh delapan tahun ini.

"Tenang, mereka pasti akan memaklumi. Kita hanya berdua di sini dan pastinya mereka paham jika kita penuh dengan keterbatasan. Oke?"

"Mungkin ada baiknya mas Taka mencari satu karyawan baru lagi. Barangkali bisa meringankan beban kita," usul Hana.

"Hal itu bisa kita bicarakan setelah ini Han!"

Hana menganggukkan kepala. Gegas, ia berjalan menuju sebuah meja yang biasa ia jadikan tempat untuk mrmbuat minuman. Dengan telaten, ia mulai membuat teh hangat, jeruk hangat, wedang uwuh, wedang jahe sesuai pesanan para pelanggan.

Sesekali Hana mengedarkan pandangannya ke arah para pelanggan yang memenuhi warung tenda ini. Gadis itu mengucapkan rasa syukur atas segala rezeki yang diberikan oleh Tuhan di hari ini.

***

Di sebuah rumah sakit yang berada di pusat kota, terlihat seorang pria berusia senja terbaring lemah di atas hospital bed. Di tubuhnya terpasang berbagai macam alat-alat penunjang kehidupan yang seakan menegaskan bahwa lelaki itu tengah bergulat dengan maut untuk tetap bertahan hidup. Bunyi alat-alat medis itu berdenging di telinga. Membuat siapapun yang mendengar pastinya akan turut tergerus batinnya.

Hiro hanya bisa menatap nanar wajah sang kakek dari luar ruang ICU. Kaca yang ada di hadapannya ini seakan menjadi sekat antara alamnya dengan alam sang kakek. Pemuda itu teramat risau jika sampai sang kakek tidak pernah bisa bangun dan kembali lagi ke dunia.

"Kamu yang tenang Ro, kakek pasti akan baik-baik saja. Dan sebentar lagi keadaannya pasti akan pulih seperti sedia kala."

Kenji, sang ayah tiada henti menenangkan hati Hiro. Berkali-kali lelaki itu menepuk-nepuk pundak sang anak untuk memberikan kekuatan serta memupus rasa khawatir yang mungkin masih bersemayam dalam dada.

"Bagaimana aku bisa tenang Pa? Saat ini kakek berada diantara hidup dan mati. Aku takut jika sampai kakek tidak bisa bertahan dan ...."

Ucapan Hiro seketika tercekat di dalam tenggorokan. Lidahnya seakan begitu kelu tak mampu untuk melanjutkan kalimatnya. Keadaan sang kakek benar-benar membuatnya risau sepanjang hari.

"Percayalah, kakekmu itu merupakan salah satu lelaki yang kuat. Papa percaya jika kakek akan bertahan dan bisa kembali dari masa kritisnya. Kamu yang tenang Ro!"

"Tapi Hiro benar-benar takut Pa. Hiro takut!"

"Lihatlah, dokter sedang mengupayakan yang terbaik. Papa yakin setelah ini kondisi kakek pasti akan kembali pulih seperti sedia kala."

Hiro mencoba mencerna serta meresapi setiap kata yang diucapkan oleh sang papa. Ia kembali menegakkan wajah, menatap sang kakek yang sedang ditangani oleh tim dokter terbaik di rumah sakit ini.

Hiro sedikit terhenyak kala melihat tim dokter di dalam sana mulai berjalan pelan ke arah pintu. Gegas, Hiro mengayunkan tungkai kakinya untuk menunggu tim dokter itu di depan pintu ruang ICU. Hiro seakan sudah tidak sabar untuk segera mengetahui bagaimana keadaan sang kakek.

Pintu ruangan terbuka, tim dokter pun berdiri di hadapan Hiro yang sudah menunggunya di depan pintu.

"Dok, bagaimana keadaan kakek saya? Kakek saya baik-baik saja kan? Dia sudah melewati masa kritisnya kan? Keadaannya sudah pulih seperti sedia kala kan?"

Hiro seakan tidak sabar untuk bisa segera mengetahui kondisi sang kakek. Oleh karenanya ia memberondong tim dokter dengan pertanyaan-pertanyaan yang sedari tadi berkutat di dalam otaknya.

Kenji kembali memegang pundak sang anak. Berusaha untuk menenangkan. "Ro, tenang. Semua akan baik-baik saja, oke?" Kenji menautkan pandangannya ke arah tim dokter dengan pakaian serba putih itu. "Bagaimana keadaan papa mertua saya Dok?"

Salah satu tim dokter tersenyum penuh arti. Dari senyum yang terlukis seakan menjadi tanda bahwa semua berjalan dengan baik.

"Pak Ichiro sudah melewati masa kritisnya Pak. Saat ini, kita tinggal menunggu beliau sadar dan setelah itu bisa kita pindah ke ruang rawat biasa."

Hiro dan juga Kenji saling melempar pandangan dan sama-sama membuang napas penuh kelegaan. Akhirnya, apa yang mereka doakan dikabulkan oleh Tuhan.

"Lantas, apa yang saat ini harus kami lakukan untuk pemilihan keadaan papa mertua saya Dok?"

"Sederhana saja Pak. Jaga suasana hati pak Ichiro agar senantiasa bahagia. Jangan sampai ia mengalami hal-hal yang akan memporak-porandakan emosinya. Jika sampai hal itu terjadi, mungkin pak Ichiro akan kembali anfal."

Hiro dan Kenji sama-sama menganggukkan kepala. Mereka paham akan apa yang harus mereka lakukan.

"Dok, apakah saya boleh masuk ke dalam? Saya ingin sekali bertemu dengan kakek," ucap Hiro meminta izin untuk masuk ke dalam ruangan.

Para tim dokter saling bertatap netra dan sejenak kemudian mereka menganggukkan kepala.

"Silakan, tapi saya harap tetap menjaga ketenangan di dalam ruangan. Jangan sampai mengganggu kenyamanan pak Ichiro."

"Baik Dok, terima kasih banyak."

"Kalau begitu saya dan tim dokter mohon undur diri Pak. Jika ada sesuatu bisa langsung menghubungi perawat yang berada di nurse station."

Tiga orang dokter itu melenggang pergi meninggalkan Hiro dan juga Kenji. Sedangkan ayah dan anak itu masuk ke dalam ruangan. Keduanya menggunakan pakaian steril berwarna hijau dan mulai mendekat ke arah Ichiro yang terbaring lemah.

Hiro tak kuasa menahan air mata melihat tubuh sang kakek yang terlihat begitu lemah tiada berdaya. Air mata itu menetes satu persatu membasahi pipi. Baru kali ini ia merasakan begitu memprihatinkan keadaan kakeknya ini.

"Kek, apa kakek tidak lelah memejamkan mata terus menerus? Bangunlah Kek, Hiro merindukan Kakek!"

Meskipun Hiro tahu bahwa kakeknya ini tidak dapat merespon apa yang ia ucapkan, namun ia yakin jika sang kakek bisa mendengar setiap kata yang terucap dari bibirnya. Ia seakan tidak menyerah untuk berkomunikasi dengan Ichiro.

"Kakek masih memiliki janji kepada Hiro yang belum sempat Kakek tepati. Bangunlah Kek, setelah bangun, ajak Hiro untuk memancing di danau seperti janji kakek."

Ichiro masih setia memejamkan mata. Namun tak selang lama, jemari lelaki berusia senja itu tiba-tiba bergerak pelan. Bola matanya juga bergerak-gerak meskipun kelopaknya masih tertutup rapat.

Apa yang terjadi dengan Ichiro membuat Hiro dan Kenji terkejut setengah mati. Apa yang mereka lihat ini seakan menjadi sebuah sinyal bahwa Ichiro akan segera sadar.

"Pa, lihatlah! Jemari kakek bergerak-gerak. Kakek sadar Pa. Kakek sadar!"

"Tenang Ro, kita tunggu apa yang terjadi!"

Bola mata itu semakin bergerak cepat. Tak selang lama kelopak mata Ichiro perlahan terbuka. Kedua bola matanya bergerak-gerak untuk melihat ke semua penjuru.

"Syukurlah, Kakek sudah sadar. Hiro benar-benar bahagia Kek!"

Ichiro mengulas sedikit senyumnya kala melihat sang cucu kesayangan sudah berdiri di samping ranjangnya.

"Hiro ... Menikahlah! Kakek ingin melihatmu segera menikah!"

.

.

.

TMKS 02. Tragedi

Ichiro masih terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Bedanya, lelaki yang sebelumnya berada di dalam ruang ICU, untuk saat ini ia dipindahkan ke ruang rawat kelas VVIP. Wajah yang sebelumnya terlihat pucat pasi, kini perlahan segar kembali. Bahkan raut penuh kebahagiaan terlukis jelas di wajah saat melihat seluruh anggota keluarganya berkumpul di ruangan ini.

"Pa, Ayumi dengar dari Hiro jika setelah Papa membuka mata, Papa meminta Hiro untuk segera menikah. Apa itu benar Pa?"

Ayumi yang sebelumnya pulang ke rumah untuk berganti pakaian, bergegas kembali ke rumah sakit kala mendapatkan kabar bahwa sang ayah sudah sadar. Bahkan wanita berusia paruh baya itu tidak sempat memoles wajahnya dengan make-up agar bisa segera melihat kondisi sang papa. Meski tidak dipoles make-up namun cantik natural wanita itu masih terpancar jelas.

Ichiro menganggukkan kepala pelan. "Apa yang Hiro katakan benar. Aku meminta agar dia segera menikah. Aku ingin melihat cucuku menikah sebelum aku pulang ke pangkuan Tuhan."

"Pa ... Papa tidak boleh berkata seperti itu. Lihatlah, kondisi Papa berangsur membaik. Papa pasti akan sembuh," ucap Kenji mengingatkan bahwa sejatinya ucapan sang mertua tidaklah pantas untuk dilontarkan.

"Umur seseorang tidak ada yang tahu, Ken. Selagi Papa masih bisa membuka mata dan menghirup udara, Papa ingin melihat cucu kesayangan Papa menikah." Ichiro menautkan pandangannya ke arah Hiro yang terlihat sedikit gusar. "Kamu bisa memenuhi permintaan kakek kan Ro?"

Hiro membuang napas sedikit kasar. Situasi seperti ini sungguh membuat keadaannya semakin terjepit. "Hiro bisa memenuhi permintaan Kakek. Namun kekasih Hiro baru bisa Hiro nikahi enam bulan mendatang Kek. Dia harus menyelesaikan kontrak sebagai bintang iklan terlebih dahulu."

"Itu artinya dia tidak benar-benar mencintaimu Ro. Jika dia benar-benar mencintaimu dan ingin membina rumah tangga denganmu, dia pasti dengan sukarela melepaskan karirnya untuk menikah denganmu."

"Lalu, Hiro harus bagaimana Kek? Hiro tidak bisa memaksa Nara untuk segera menikah dengan Hiro karena masih ada kontrak kerja yang harus ia selesaikan. Jika tidak, dia harus membayar pinalti yang pastinya tidak sedikit nominalnya."

Dengan penuh kesabaran, Hiro memberikan pengertian kepada sang kakek. Satu hal yang menjadi tujuannya. Berharap Ichiro mau mengerti keadaannya.

"Carilah wanita lain. Kakek juga merasa jika kekasihmu itu bukanlah wanita baik-baik. Tidak ada aura keibuan dari wajahnya. Hidupmu tidak akan pernah bahagia jika kamu tetap bersikeras menikah dengan Nara."

"Tapi Kek, hanya Nara yang Hiro cinta. Hiro hanya ingin menikah dengan Nara, bukan dengan yang lain," ucap Hiro dengan lirih.

Kali ini ia harus lebih berhati-hati dalam bertutur kata agar tidak membuat emosi Ichiro memuncak. Jika sampai hal itu terjadi, pastinya akan berdampak buruk bagi kesehatan sang kakek.

"Hiro, kali ini percayalah pada Kakek. Kakek bisa melihat bahwa Nara bukanlah wanita baik-baik. Dan satu hal yang ingin Kakek sampaikan kepadamu dan semua yang ada di sini."

Hiro, Ayumi dan Kenji saling melempar pandangan. Dari kata yang diucapkan oleh Ichiro seakan ada satu hal yang teramat penting yang ingin disampaikan oleh lelaki berusia senja itu.

"Jika dalam waktu satu bulan ini kamu bisa mendatangkan gadis baik-baik di depan Kakek dan jika Kakek menyetujuinya lalu kamu bergegas menikahinya, perusahaan yang saat ini kamu pegang akan langsung Kakek berikan kepadamu. Tanpa harus menunggu Kakek mati terlebih dahulu."

Hiro terhenyak. "Kek, tapi bukan dengan cara seperti ini Kek!"

"Bukan hanya itu saja. Sudah Kakek menyiapkan sebuah rumah mewah yang terletak di tepian danau. Rumah itu bisa kamu tempati bersama istrimu nanti. Rumah itulah yang akan menjadi kado pernikahan untukmu."

Siapapun yang mendengar perkataan Ichiro pasti akan bahagia tiada tara mendapatkan segala kemewahan dan juga perusahaan. Namun sepertinya hal itu tidak terjadi pada Hiro. Hatinya justru dilanda oleh kegampangan dan kegalauan yang luar bisa. Ia memijit-mijit pelipisnya untuk mengurangi rasa pening di kepalanya.

Sekarang aku harus bagaimana Tuhan?

***

Seorang lelaki paruh baya mengendarai motor dua tak warna biru menembus jalanan yang nampak sedikit lengang di malam ini. Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Seperti biasa di jam-jam seperti ini, ia harus menjemput sang anak yang sudah selesai bekerja. Pekerjaan sang anak memang dimulai menjelang petang hari, oleh karena itu di tengah malam seperti ini, ia baru selesai dari pekerjaannya.

Terkadang, ada rasa kasihan kepada sang anak. Untuk menyambung hidup, ia rela bekerja sampai tengah malam hanya demi asap dapur tetap mengepul. Meskipun ada rasa iba dan tidak tega, namun lelaki itu harus menampakkan wajah bahagianya ketika nanti ia berhadapan langsung dengan Hana.

Perasaan getir menguasai hati lelaki paruh baya itu. Sang anak yang seharusnya berbahagia dengan menikmati masa muda, yang terjadi justru sebaliknya. Hana harus pontang-panting bekerja keras untuk memenuhi segala kebutuhan hidup.

Lima belas menit menyusuri jalanan kota, pada akhirnya, lelaki itu tiba di tempat yang ia tuju. Sejenak, ia hentikan motornya di bahu jalan dan ia tatap dari kejauhan sang anak yang sedang membereskan kursi-kursi plastik yang sebelumnya digunakan sebagai tempat duduk para pelanggan.

"Hana!" teriak lelaki itu ke arah sang anak.

Hana yang baru saja selesai membereskan kursi-kursi plastik, seketika menoleh ke arah sumber suara. Seutas senyum terbit di bibir kala melihat siapa gerangan yang memanggilnya. Seorang laki-laki yang begitu ia cintai terlihat melambaikan tangannya dari seberang jalan.

"Ayah!"

Hana selalu saja terlihat bahagia jika tiba waktunya dijemput oleh sang ayah setelah menyelesaikan pekerjaannya. Satu-satunya orang tua yang ia miliki sekaligus menjadi harta paling berharga yang ia punyai setelah ditinggal pergi oleh sang ibu untuk selama-lamanya pada saat melahirkannya ke dunia. Maka, untuk saat ini tidak ada lagi mimpi yang ia punya selain membuat hidup sang ayah bahagia. Ia rela bekerja hingga larut malam seperti ini hanya demi kebahagiaan sang ayah.

Sejatinya, ia memiliki sebuah profesi yang bisa menghasilkan uang dengan menjadi penulis di sebuah platform online. Namun, hasil yang ia dapatkan dari menulis belum sanggup untuk memenuhi semua kebutuhannya. Hingga ia pun juga memutuskan untuk bekerja di warung bakmi Jawa milik Taka.

"Tunggu sebentar Nak!"

Hana mengerutkan kening kala sang ayah memintanya untuk menunggu. Pandangannya tertuju pada gerak-gerik sang ayah. Ia memberhentikan motor yang ia bawa di bahu jalan dan memilih untuk berjalan kaki menuju suatu tempat.

Hana sedikit kebingungan, mau kemana ayahnya ini. Ternyata Ndaru menuju penjual balon gas yang berada di persimpangan jalan. Hana tersenyum. Ia baru mengerti bahwa sang ayah berniat membelikan balon gas untuknya.

Ndaru, yang tak lain adalah ayah Hana menghampiri penjual balon gas di depan minimarket di persimpangan jalan. Lelaki paruh baya itu sedikit terenyuh melihat penjual balon gas ini. Seorang ibu dengan membawa dua anaknya yang masih kecil-kecil.

"Tengah malam seperti ini mengapa masih berjualan Bu?" ucap Ndaru sedikit penasaran.

"Ini saya tidak sedang berjualan Pak," jawabnya yang justru membuat Ndaru kebingungan.

"Tidak berjualan tapi mengapa Ibu masih ada di depan minimarket seperti ini?"

Si penjual balon hanya tersenyum tipis. Entah ada gejolak apa yang ada di dalam hatinya karena mata penjual itu tiba-tiba memanas dan membentuk titik-titik air di sudut mata.

"Setiap malam saya memang tidur di sini Pak, karena saya tidak memiliki tempat tinggal. Dan jika pagi sudah datang, saya meninggalkan tempat ini dan mulai berkeliling untuk berjualan balon."

Ndaru semakin terhenyak dengan cerita yang disampaikan oleh penjual balon gas ini. Pandangannya tertuju pada dua anak balita yang tengah tertidur pulas meskipun hanya beralaskan kardus bekas.

Hati Ndaru seakan tercubit. Ia baru sadar jika masih banyak orang-orang yang berada jauh di bawahnya. Namun mereka masih bisa tersenyum untuk menjalani hari-hari meskipun terasa begitu berat dan pahit.

Ndaru terhenyak. Tanpa terasa ia larut dalam pikirannya sendiri. "Kalau begitu, saya beli lima balon ini ya Bu."

Wajah Ibu penjual balon itu nampak terkejut namun tidak dapat diingkari jika ada binar kebahagiaan yang terpancar di sana.

"Bapak serius? Beli lima balon?"

Ndaru menganggukkan kepala. "Serius Bu. Kebetulan putri saya senang sekali dengan balon gas seperti ini. Saya ingin membelikannya."

Penjual balon itu terlihat bersemangat mengambil lima balon untuk Ndaru. Bahkan wanita itu tiada henti menyunggingkan senyum di bibirnya.

"Ini balonnya Pak. Semoga putri Bapak senang."

"Berapa ini Bu?"

"Lima puluh ribu saja Pak!"

Ndaru merogoh saku celananya. Ia ulurkan lembaran uang seratus ribuan. "Nah, ini uangnya ya Bu. Kembaliannya Ibu simpan saja untuk jajan anak-anak Ibu."

Penjual balon seakan tak mampu untuk berkata apa-apa. Dengan tangan bergetar ia menerima uang dari Ndaru.

"Pak, ini..... Terima kasih banyak Pak, terima kasih!"

"Sama-sama Bu. Kalau begitu saya permisi."

Ndaru kembali mengayunkan tungkai kaki untuk menuju motor yang ia tinggal di bahu jalan. Ia berencana menyeberang jalan untuk menghampiri Hana yang masih sibuk membereskan tenda.

Dengan santai, Ndaru menyebrangi jalan. Namun tanpa disangka dari arah kiri terlihat sebuah motor yang melaju dengan kecepatan tinggi. Ndaru terkejut setengah mati. Apalagi lampu motor pengendara itu terasa begitu menusuk kornea mata.

Ckiiiiiiitttttttt......

"Aaaahhhhhhh .....!!!"

Brak.... Brak.... Brak.....

Suara decitan rem, teriakan seseorang dan dan sesuatu yang terjatuh terdengar memenuhi udara. Hana membalikkan badan. Seketika kedua bola matanya terbelalak dan membulat sempurna kala mengetahui sang ayah yang sudah terkapar di tengah jalan dengan bersimbah darah. Dan balon-balon gas yang sebelumnya dibeli oleh Ndaru berterbangan di angkasa.

"Ayahhhhhh!!!!"

.

.

.

TMKS 03. Operasi

Suara sirine mobil ambulans terdengar memenuhi ruas-ruas jalanan kota. Suaranya yang memekakkan telinga seakan memecah keheningan malam di mana para penduduk bumi tengah larut dalam lautan mimpi mereka. Lajunya yang begitu kencang seolah menjadi pertanda bahwa saat ini, kendaraan khas rumah sakit itu sedang berada dalam situasi genting. Bagaimana tidak genting jika di dalam sana terbaring seorang laki-laki yang sedang bergelut dengan maut setelah mengalami tragedi kecelakaan.

"Ayah .... Hana mohon bertahanlah. Jangan tinggalkan Hana sendirian, Ayah. Hana masih membutuhkan Ayah!"

Laksana sebuah tanggul yang jebol setelah dihantam oleh banjir bandang, air mata Hana tiada henti mengalir deras dari bingkai matanya. Air mata dengan dipenuhi oleh duka dan lara setelah sang ayah menjadi korban kecelakaan.

Hana masih saja menangis tergugu sembari menggenggam erat jemari tangan sang ayah yang terbaring di atas brankar. Tubuh lelaki ini bersimbah darah, karena baru saja mengalami kecelakaan hebat di pinggir kota.

Wajahnya pun semakin memucat seakan tidak ada aliran darah yang mengalirinya. Lelaki itu masih berada dalam posisi sadar meskipun tidak sepenuhnya. Lelaki itu masih berusaha keras untuk tetap berada di dalam alam sadarnya. Meski rasanya ingin sekali ia memejamkan mata, menyerah, dan mengaku kalah.

"Jangan menangis, Hana. Ayah baik-baik saja!"

Dengan terbata-bata, Ndaru mencoba untuk berkomunikasi dengan sang putri. Menenangkan serta menyakinkan Hana bahwa keadaannya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan ataupun ditakutkan.

"Bagaimana Hana tidak menangis, Ayah? Keadaan Ayah seperti ini. Hana takut jika sampai hal buruk menimpa Ayah. Hana takut, Yah!"

"Ayah tidak akan kemana-mana Han. Ayah akan tetap berada di sini untuk menemanimu. Hapus air matamu Nak. Jika kamu menangis, hati Ayah serasa berdenyut nyeri. Luka yang ada di sekujur tubuh Ayah ini tidak ada apa-apanya daripada Ayah harus melihatmu meneteskan air mata seperti ini."

"Tapi Yah ..." Suara Hana terpangkas kala melihat kelopak mata Ndaru perlahan mulai mengatup. Hingga pada akhirnya, lelaki itu memejamkan mata.

"Ayah!!!" pekik Hana. Ia pun menautkan pandangannya ke arah perawat yang ikut di dalam mobil ambulans ini. Ia mengguncang-guncang tubuh perawat ini. "Sus, apa yang terjadi dengan ayah saya Sus? Mengapa dia memejamkan mata? Kenapa Sus?"

Hana meracau seperti seseorang yang kehilangan kendali. Ia teramat takut jika sampai terjadi hal serius terhadap sang ayah. Pikirannya tiba-tiba saja tertuju pada satu sesuatu yang buruk. Ia takut apabila keadaan ayahnya ini tidak bisa terselamatkan.

Perawat itu mulai memeriksa keadaan Ndaru dengan memeriksa denyut jantung pasien. Ia sedikit lega karena pasien masih bernyawa.

"Tenang ya Mbak. Ayah Anda hanya hilang kesadaran untuk sementara waktu. Setelah tiba di rumah sakit akan langsung kami tangani."

"Tapi Ayah saya baik-baik saja kan Sus? Tidak ada luka serius kan?"

Mungkin bagi siapapun yang mendengar pertanyaan Hana di situasi seperti ini akan tergelak. Dengan keadaan Ndaru yang sudah bersimbah darah sudah barang tentu lelaki paruh baya itu dalam keadaan luka yang cukup serius. Namun suster yang tengah berkomunikasi dengan Hana hanya bisa tersenyum simpul. Ia sangat paham akan kekalutan yang dirasakan oleh wanita ini.

"Kita sama-sama berdoa ya Mbak, semoga ayah Anda baik-baik saja serta bisa melewati masa-masa sulitnya ini."

Hana menyenderkan bahunya di kaca mobil khas rumah sakit ini. Derai air matanya tiada henti mengalir memikirkan kondisi sang ayah. Ia merasa akan sangat berdosa sekali jika impiannya untuk membahagiakan Ndaru dengan menjadi penulis novel terkenal belum sempat terealisasi dan sang ayah lebih dulu berpulang ke pangkuan Tuhan.

Ya Tuhan ... Tolong beri aku kesempatan untuk membahagiakan ayah terlebih dahulu.

***

Dengan langkah tergesa-gesa, Hiro memasuki kawasan apartemen milik Nara pagi ini. Kali ini ada hal penting yang harus ia bicarakan dengan Nara tentang permintaan sang kakek yang menginginkannya untuk segera menikah.

Lift yang berada di apartemen ini membawa tubuhnya tiba di lantai dua puluh. Ia menyusuri lorong-lorong unit apartemen hingga tiba di depan milik sang kekasih.

Tak perlu permisi ataupun mengetuk pintu, dengan accses card yang ia miliki, ia bisa dengan mudah dan bebas melakukan apapun di apartement milik kekasihnya ini.

"Astaga, sudah jam delapan dia masih bergelung di bawah selimut? Ya Tuhan, calon istri macam apa ini!"

Hiro mendengus kesal kala melihat Nara masih tertidur lelap di bawah selimut tebal. Gegas, ia mendekat ke arah tempat tidur sang kekasih dan ia tarik selimut itu.

"Ra, bangun. Ini sudah siang! Hei, ayo bangun!"

Ia bangkit dari posisinya. Sembari menyibak tirai warna putih yang masih menutupi jendela-jendela apartement, Hiro belum menyerah juga untuk membangunkan Nara.

Merasakan sedikit hawa dingin yang berasal dari pendingin ruangan, tubuh Nara menggeliat. Dalam keadaan mata masih terpejam ia meraba-raba untuk mencari di mana selimutnya. Ketika sudah berhasil ia dapatkan, ia tarik kembali selimut itu dan kembali terlelap.

"Ya Tuhan, tidak bangun juga?" ucap Hiro dengan sedikit kesal. Ia mengguncang-guncang tubuh Nara. "Hei Ra, bangun! Aku ingin bicara serius kepadamu!"

Merasakan seperti ada guncangan tremor, kedua bola mata milik Nara yang sebelumnya terpejam, perlahan terbuka. Ia mengerjapkan mata kala sinar matahari terasa begitu menusuk kornea mata.

"Apa sih Ro? Pagi-pagi seperti ini sudah membangunkan aku. Aku masih ngantuk!" protes Nara tidak terima jika waktu tidurnya diganggu oleh Hiro. Bahkan ia bermaksud untuk melanjutkan tidurnya lagi.

Hiro bergegas naik ke atas ranjang. Ia tarik lengan tangan Nara agar bisa menggeser tubuhnya untuk bersandar di head board ranjang.

"Bangun Ra! Aku ingin bicara kepadamu. Ada hal penting yang ingin aku sampaikan. Bangunlah!"

"Hal penting? Nanti saja lah Ro. Beri aku setengah jam lagi untuk kembali melanjutkan tidurku. Setelah itu baru kita bicara. Sumpah, aku ngantuk sekali. Baru subuh tadi aku tidur!"

Hiro kembali membuang napas kasar. Jika sudah seperti ini, ia hanya bisa menuruti kemauan sang kekasih. Karena akan percuma jika dalam posisi ngantuk, ia membicarakan hal penting seperti ini bersama Nara. Pastinya ia tidak akan fokus dalam mendengarkan dan tidak akan menemukan jalan keluar tapi bisa jadi malah menemukan kebuntuan.

Hiro turun dari ranjang. Ia berjalan menuju balkon untuk menikmati hiruk pikuk jalanan kota di pagi hari ini. Dari tempatnya terduduk saat ini bisa ia lihat dengan jelas lalu lalang kendaraan bermotor yang memenuhi setiap ruas jalan raya.

***

Hana terduduk lemas di samping tubuh sang ayah yang tengah terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Sejak mendapatkan pertolongan medis, ayahnya masih belum juga sadar. Dan dokter pun juga masih belum mengatakan apapun tentang tindakan apa yang harus diambil setelah ini. Ia hanya bisa menunggu sampai dokter menemuinya kembali.

Suara daun pintu yang dibuka dari arah luar, membuyarkan lamunan Hana. Ia menoleh ke arah sumber suara dan terlihat seorang dokter dan seorang perawat memasuki ruangan ini.

"Selamat pagi Mbak. Apa Anda ini keluarga pasien?" ucap dokter itu membuka pembicaraan.

Hana bangkit dari posisi duduknya dan sedikit menundukkan badan sebagai bentuk rasa hormat kepada yang lebih tua.

"Selamat pagi Dok. Iya benar Dok, saya anak dari pasien ini. Bagaimana keadaan ayah saya ini Dok?"

Dokter itu tersenyum tipis seolah memberikan sugesti agar Hana tidak terlalu khawatir. Meskipun mungkin nantinya kabar yang akan ia bawa cukup membuat Hana shock.

"Ada benturan yang cukup keras di bagian kepala pasien sehingga membuat pasien terkena gegar otak. Oleh karena itu kita harus segera melakukan tindakan operasi untuk bisa menyelamatkan nyawa pak Ndaru."

"Apa Dok? Gegar otak? Dokter ssrius?"

Kedua bola mata Hana membulat penuh. Jantungnya terasa berdenyut nyeri saat mendengar sang ayah mengalami gegar otak.

"Seperti itulah kondisi pasien Mbak. Di samping itu tulang kaki ayah Anda juga patah jadi harus segera kita lakukan tindakan operasi."

Hana semakin dibuat lemas tiada berdaya dengan berita yang disampaikan oleh dokter. Tidak ia sangka jika kondisi sang ayah benar-benar parah.

"Lakukan apapun yang terbaik untuk kesembuhan ayah saya Dok. Lakukan sesegera mungkin agar beliau bisa selamat."

Dokter itu mengangguk pelan. "Baik Mbak, kami akan segera melakukan tindakan operasi. Namun sebelumnya, silakan selesaikan administrasi terlebih dahulu di bagian kasir!"

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!