"Ayo La disini bagus sekali pemandangannya!!" teriak Farel dari atas pohon. Aku mendongak menatapnya.
"Apa susah naiknya?" tanyaku sambil mendongak.
"Gak!! Pokoknya pegangan yang erat. Merambat pelan keatas. Kaya aku tadi," kata Farel dari atas pohon. Aku penasaran sekali. Kuraih batang pohon itu dan mulai menjejakkan kakiku. Sulit, agak sulit tapi aku penasaran.
Nafasku ngos ngosan saat sampai diatas pohon. Duduk dibatang yang sama dengan Farel.
"Ini susah Rel, lumayan pegel," kataku masih sambil ngos ngosan. Farel tertawa nyekikik.
"Lihatlah pemandangannya," kata Farel sambil merentangkan tangannya. Aku mengarahkan pandanganku kedepan. Woooowww takjub juga. Pemandangan dari sudut pandang lain yang belum pernah kulihat.
"Itu sekolah kita Rel, terlihat dari sini," kataku takjub. Bangunan itu terlihat kecil. Padahal untuk mengitari lapangannya saja sudah cukup ngos ngosan. Ada sungai yang melintang sebelum sekolah. Sungai itu biasa kusebrangi saat mau kesekolah. Nampak berkerlip karena memantulkan cahaya matahari sore itu.
"Sungainya juga bagus. Kaya berkilau gitu. Anginnya juga lebih kenceng," kataku lagi. Desiran angin membuat keringatku mengering dengan cepat.
"Bagus kan. Kubilang apa!" kata Farel bangga.
Sayup kudengar suara Mama memanggilku. Aku melihat kebawah, benar Mama mencariku. Sambil menggandeng tangan Hector. Adik yang hanya selisih setahun denganku.
"Disini Ma, Lala disini," kataku sambil melambai bangga.
"Astagaaa.... ngapain kamu manjat manjat pohon. Nanti kalau jatuh gimana. Turun!!! Turun sekarang juga!! Anak gadis kok manjat pohon!!!" omel Mama padaku. Aku meringis saja. Bergegas turun perlahan. Ternyata turunnya lebih susah dari naiknya.
"Hati hati," kata Mama sambil menangkap tubuhku. Menurunkannya perlahan di tanah.
"Farel, kamu juga turun!!" kata Mama. Hahaha Farel juga kena semprot.
Farel pun nyengir dan turun perlahan. Mama menangkap tubuh Farel juga sama sepertiku tadi. Sampai ditanah Mama memutar mutar tubuh kami.
"Ada yang lecet gak?" tanya Mama dengan raut cemas. Aku geleng ngeleng kepala. Farel juga diputar tubuhnya.
"Lain kali jangan manjat manjat. Bahaya," kata Mama setelah puas ngecek tubuh kami.
"Manjat manjat mirip monyet aja," Hector nyahut.
"Kamu itu yang monyet!!" kataku tidak terima.
"Kamu!!!"
"Kamu!!!" kami saling tuduh siapa yang monyet. Aku emang jarang bisa akur dengan Hector.
"Sudah!! Sudah!! Ayo pulang semua. Lala, kamu harus mandi. Ini jadwalmu kursus tari. Farel juga mandi sana. Ini sudah sore," kata Mama menggandeng tanganku pulang. Beriringan kami bertiga pulang kerumah. Sedang Farel pulang ke rumahnya yang hanya berjarak tiga rumah dari rumahku.
Aku diantar Mama ke pendopo tari. Sudah ramai teman temanku disana. Kami melakukan pemanasan sebelum latihan. Bu Joyo, guru tari kami mulai menghitung gerakan. Aku menggerakkan badanku sesuai hitungan. Pacak kanan, pacak kiri, nyempurit, seblak sampur.
"Sekarang kita pakai musik," kata Bu Joyo mulai menyetel musik. Suara gamelan terdengar. Aku kembali menggerakkan badanku seirama musik. Selaras dengan teman temanku.
"Besok Mnggu jangan terlambat. Kita make up dulu sebelum pentas. Ingat pentas ditonton Bapak Wali Kota Joko Widodo. Kalian harus semangat. Mengerti?" kata Bu joyo mengakhiri sesi latihan kali ini. Kami mengangguk patuh.
Aku melepas sampurku. Memasukkan dalam tas kecil yang aku bawa. Berjalan keluar dari pendopo tari. Mencari jajanan crepes kesukaanku. Pak De crepes mangkal di depan gapura. Lumayan jauh dari biasanya. Tapi aku tetap mendatanginya. Lagipula Mama juga lewat gapura itu kalau menjemputku. Jadi dia gak akan bingung.
"Pak De crepes satu rasa coklat strawbery," kataku pada Pak De penjual crepes.
"Aku rasa coklat tok satu. Aku dulu saja," kata anak laki laki bersragam karate.
"Enak aja!! Aku yang duluan!!" kataku protes.
"Anak kecil belakangan. Cepet De aku ditunggu Bapakku," katanya sambil menujuk bapaknya yang nangkring diatas motor.
"Gak bisa!! Antri ya antri!!" aku nyolot. Dia melotot, aku memelototinya balik. Emang aku takut gitu!! Walaupun dia cowok dan lebih tua, tapi aku kan yang benar!!
"Udah udah, Adeknya Dulu Mas, kan yang datang adeknya duluan," kata Pak De penjual krepes menengahi. Aku senyum manis.
"Budayakan antri ya De, masak udah gede gak tau antri!" kataku lurus menatap adonan cerpes yang sedang diputar diwajan, tapi menyindir dia yang ada disampingku.
"Heleh dasar kriting bawel. Anak kecil aja bawel," katanya. Aku mendorong tubuhnya kemudian menarik baju karatenya. Berjinjit agar tinggi kami terlihat sama.
"Apa Loe!! Mau ribut? Sini ribut!!" kataku menantangnya. Dia kaget.
"Lalaaaaa!!!" teriakan Mama mengagetkanku. Mama berjalan cepat kearahku. Aku melepaskan cengkramanku di bajunya.
"Vanila Jean Aliee!!! Apa yang kamu lakukan!!!" kata Mama sambil melotot.
"Dia ngajak ribut Ma, dia datang belakangan gak mau antri," kataku. Crepasku sudah jadi. Aku membayarnya dan menjulurkan lidahku pada mas karate tadi. Kemudian menarik Mama menuju mobil.
"Lain kali jangan main tarik baju orang. Kamu yang ngajak ribut kalau gitu," kata Mama.
"Lala gak salah kok. Dia yang salah," kataku membela diri. Mama geleng geleng kepala.
"Kamu ini mirip papamu kalau kayak gini," kata Mama. Aku cuma diam sambil nitilin pinggiran crepes yang renyah.
"Ngomong ngomong papa pulang nanti saat kamu pentas. Kita lihat pentas kamu rame rame nanti," kata Mama lagi.
"Beneran?" tanyaku antusias. Mama mengangguk. Aaaa senangnya...... aku kangen papa juga. Aku makan crepes tadi dengan gembira.
Pulang disambut Mbah Kung yang lagi ngukir kursi. Kegiatan faforit Mbah kung.
"Mbah, kata Mama papa pulang nanti saat aku pentas," pamerku pada Mbah Kung. Mbah kung tersenyum.
"Iya to, kalau gitu Mbah Kung gak usah ikut lihat Lala pantas. Kan udah ada Mama, papa, sama Hector juga," kata Mbah Kung.
"Kok gitu? Ya gak bisa gitu!! Mbah Kung juga harus ikut. Lala mau dilihat semua orang dirumah ini. Malah Mbah Kung gak mau lihat Lala," kataku protes. Sudah pasang wajah cemberut. Mbah Kung tertawa. Mama juga tertawa.
"Iya, iya Mbah Kung ikut. Mbah Kung akan ikut kemanapun Lala pentas. Mbah Kung suka Lala nari, Mbah akan selalu lihat Lala nari dimanapun," kata Mbah Kungku. Kata kata itu menancap dihatiku.
Mbah Kung ini sudah seperti sosok ayah bagiku. Papaku bekerja diluar kota. Aku hanya melihatnya saat akhir pekan. Itu pun saat dia pulang kesini. Apalagi Hector dan aku sama sama kecil dulu. Aku lebih dekat ke Mbah Kung dan Hector ke Mama. Seisi rumah ini tahu aku lah kesayangan Mbah Kung. Hector nomer dua. Hihihihi pokoknya aku mau begitu. Titik.
Dari Mbah Kung juga aku mengenal tarian dan segala dongen pewayangan yang mengagumkan. Dongen yang diceritakan padaku entah sejak aku usia berapa, tapi semua itu melekat kuat dalam benakku. Aku menyukainya. Aku juga sangat menyukai tarian tradisional yang juga entah umur berapa aku bisa menarikannya. Semuanya dikenalkan oleh Mbah Kungku.
***
Hai hai hai ketemu lagi dengan saya Utiyem. Penulis receh seperti koin. Hahahaha jangan lupa subscribe, vote, komen dan obrak abrik yaa....
Selamat menikmati kisah. Semoga suka dengan cerita saya. Lup yu reader.....
Aku sudah dihias. Jarik kecil melekat di pinggangku. Dengan dalaman hitam berhias di bawahnya. Juga mahkota berbentuk cucuk. Aku cantik hihihihi aku suka berdandan seperti ini. Tanganku gemetar menunggu tampil. Mama masih disampingku. Menemani aku sampai aku naik panggung.
"Ma, Lala takut," kataku sambil menggoyangkan tangan Mama di genggamanku. Mama tersenyum. Dia membungkuk, mensejajarkan tingginya denganku.
"Sebelum tampil, tarik nafas panjang dan hembuskan. Lakukan tiga kali. Itu akan mengurangi ketegananmu. Ini minum sedikit," kata Mama sambil menyerahkan botol air mineral kecil. Aku mengguk dan meminumnya.
"Apa Mama dulu juga melakukannya? Apa Mama sering tampil diatas panggung?" tanyaku. Mama menggeleng.
"Mama hanya sering dikirim lomba dulu, hanya disaksikan beberapa juri dan peserta lain. Mama dapat trik itu dari Om mu," kata Mama. Matanya menerawang jauh. Aku mengangguk. Om ku yang katanya dulu seorang artis. Aku beberapa kali dengar cerita tentang beliau.
"Semangat Po," kata Hector muncul dibelakang punggung Mama.
"Pa po pa po!! Namaku Lala. Vanila, bukan Po," aku sewot. Adiku satu satunya itu tertawa jahil.
Hector ini pendiam, tapi kalau bicara pasti menyebalkan. Dia gak pernah manggil Mbak Lala atau apa kek yang menyenangkan. Manggilnya pasti Po. Dia pikir aku anggota teletubies. Tapi memlesetkan nama panggilanku Lala menjadi anggota teletubies paling akhir. Yaitu Po.
"Tapi kamu mirip Po dari pada Lala. Apalagi Vanila hahhh namamu terlalu bagus," kata Hector. Aku menabok lengannya. Dia nyengir saja. Berdebat dengan Hector tenyata membuat aku lupa keteganganku.
Aku tampil dengan tiga temanku lain. Kami nari merak. Tari yang kata Bu Joyo melambangkan tingkah laku merak jantan yang memamerkan keindahan bulunya. Dibahuku tersampir selendang bermotif bulu burung merak yang indah.
Aku lihat Papa dan Mama ada dikursi penonton. Juga Mbah Kung dan Hector. Saat musik berakhir tepuk tangan terdengar dari para penonton. Aku melihat Mbah Kung tepuk tangan paling semangat. Lambaian tangannya juga mengarah padaku. Aku jadi senyum senang.
Aku turun panggung disambut Mama.
"Hebat!! Anak Mama hebat. Gerakanmu cantik, mirip merak sungguhan. Kamu anak Mama yang hebat. Mama bangga sama kamu," kata Mama sambil memelukku. Hector selalu ngekor dibelakang Mama ikut komen.
"Kamu kalau nari kelihatan cantik Po. Gak kaya teletubis, tapi kalau udah gak nari gak cantik lagi," kata Hector. Kuabaikan saja. Aku belum berniat gelud dengannya.
Aku berlari kesamping panggung. Kulihat Papa dan Mbah Kung disana. Aku lari menuju mereka.
"Wooo ini dia penari cilik Papa. Hebat! Lala hebat sekali," kata Papa sambil berjongkok. Kami berpelukan. Kangen sekali sama Papaku ini. Andai dia gak kerja diluar kota. Aku juga memeluk Mbah Kung. Beliau mengelus punggungku dengan sayang.
"Lala hebatkan Mbah?" tanyaku masih minta dipuji. Hihihihi.
"Hebat dong, tentu saja cucu Mbah hebat. Kamu nari mirip bidadari. Mbah Kung bingung bedain kamu sama bidadari," bisik Mbah Kung.
"Bidadari gak ada yang cerewet Mbah, Po itu terlalu cerewet," komentar Hector. Mama membekap mulut Hector.
"Hari ini saja jangan goda Mbakmu Tor," pinta Mama pada Hector.
Acara selesai. Aku pulang digandeng Papa. Seorang Om Om menghampiri Papa. Papa tersenyum. Mereka berpelukan.
"Sudah lama sekali. Kamu terlihat tua....." mereka ngobrol entah apa. Aku udah capek mau masuk mobil dan tidur.
Seorang anak laki laki nyembul dibalik punggung Om tadi. Haaaa..... Mas karate pengambil antrian cerpes!!! Aku langsung melotot sama dia. Dia mendekat.
"Matamu bisa jatuh kalau terus melotot," katanya. Aku jadi kesal. Kudorong tubuhnya. Tidak bergerak. Posturku yang kecil beda jauh demgan tubuhnya yang agak gendut itu. Dia tertawa mengejek.
"Makan yang banyak!! Anak kecil aja sok ngajak berantem!!" katanya sambil nyengingis. Kami berpandangan sekilas. Aku akhirnya nangis meluk Papa.
"Masnya nakal Pa.... Ngatain aku anak kecil, padahal dia yang kegedean," kataku sambil berurai air mata. Papa menepuk nepuk punggungku.
"Udah gak papa, Lala kan emang masih kecil," kata Papa justru membuat aku makin nangis. Sebalnya para orang tua justru tertawa. Gak ada yang belain aku.
***
Farel menungguku di depan rumahnya. Langsung berdiri saat aku berlari mendekat.
"Gimana pentasnya tadi?" tanya Farel bersemangat.
"Bagus dong, kata Mbah Kung aku mirip bidadari kalau nari," kataku bangga. Farel tertawa.
"Emang bidadari kayak kamu yaa.... aku gak mau ketemu bidadari kalau gitu. Cukup ketemu kamu aja tiap hari," katanya. Aku tertawa. Kami ngobrol apa aja. Aku selalu nyambung ngobrol sama Farel. Kami dekat sejak balita.
Kami bingung main apa. Sudah bosan ngobrol sana sini.
"Main apa enaknya La?" tanya Farel.
"Entahlah, enaknya apa... Masak masakan yuk!" ajakku semangat.
"Gak mau.... Yang laen. Main masakan selalu kamu yang jadi penjual," kata Farel. Akhirnya kami manjat pohon lagi. Melihat sekolah dalam bentuk mini. Enak sekali disini.
Kami turun saat sudah mau magrib. Akan tetapi kakiku tergelincir. Pijakanku pada batang pohon meleset. Aku tidak sempat berpegangan. Jatuh cukup keras ditanah. Aku nangis keras. Farel panik dan buru buru turun.
"Sakit La? Sini aku bantu berdiri," kata Farel. Aku malah nambah keras nangisnya. Farel bingung dan berlari menuju rumahku.
Papa datang memeriksaku sebentar. Kemudian menggendong dan membawaku pulang.
"Kamu juga pulang Rel, ini sudah mau magrib," pesan Papa pada Farel. Dia mengangguk masuk rumah.
"Ada yang sakit?" tanya Papa. Saat kami sudah dirumah. Papa meletakkanku disofa ruang tamu. Aku mengangguk menunjuk punggungku. Papa memeriksanya sebentar.
"Ini cuma memar. Gak papa Sayang. Digosok minyak ya, biar hangat dan gak sakit lagi," kata Papa sambil menatapku. Aku mengangguk.
"Mbah Mar... ambilkan minyak gosok!" perintah Papa. Mbah Mar datang dengan minyak gosok beraroma khas. Papa mengoleskannya pelan.
"Ini cuma memar sedikit. Kenapa nangis kalau kamu sendiri yang manjat?" tanya Papa mengusap sisa air mataku dengan punggung tangannya.
"Tapi Lala kan jatuh Pa, sakit." jawabku.
"Itu namanya resiko, Nak. Kamu manjat, ada kemungkinan jatuh. Seperti tadi juga, kamu yang dorong masnya duluan, tapi kamu yang nangis. Lucu kan? Kamu gak perlu nangis kalau kamu sendiri yang mulai. Berfikir sebelum bertindak. Setiap perebuatan pasti ada resikonya. Oke," kata Papa. Aku terdiam. Papa menggosok pinggang dengan minyak lagi.
"Kamu mau main kemana besok?" tanya Papa setelah selsai meminyaki punggungku.
Aku girang dan langsung lupa dengan sakit dipinggangku. Bingung mau ngapain besok sama Papa. Hal langka yang jarang aku rasakan.
"Torr, Sentoooor kamu mau main kemana besok?!!" teriakku sambil mencari Hector di sekeliling rumah.
Dia ternyata lagi main kayu dengan Mbah dekat garasi.
"Aku mau mancing!!" kata Hector semangat.
"Enak ketaman air lah," aku berpendapat.
"Mancing!!"
"Taman air !!"
"Mancing Pooo!!! Mancing aja!!"
"taman air. Kolam renang!!" kami terus berdebat. Mbah Kung cuma lihat sambil senyum geleng geleng kepala. Akhirnya Mama yang memutuskan.
"Kita renang, kemudian makan ikan dipemancingan," teriak Mama dari arah dapur. Sedang menyiapkan makan malam sama Mbah Mar.
"Sekarang mandi sana, udah sore banget ini," perintah Mama. Aku dan Hector kembali berebut mandi di kamar Mama.
Ternyata Om yang tadi diundang makan malam kerumah. Sekeluarga lagi. Ketemu lagi sama mas tengil deh!!! Sebelll!!! Mukaku sudah ditekuk saat disuruh Mama menyambut mereka.
"Bukankah ada yang harus kamu sampaikan No?" kata Om Dedi sambil memandang anaknya. Yang dipandang mendekat kearahku takut takut. Di tangannya ada boneka koala coklat.
"Lala, Mas minta maaf yaa," katanya sambil mengacungkan boneka itu di depanku. Aku diam buang muka.
"Lala Masnya minta maaf itu lho. Di terima itu bonekanya," kata Mama. Aku pun menerima boneka koala itu. Dia mengacungkan tangannya untuk salaman. Aku terpaksa menerima jabatan tangannya.
"Naa gitu dong. Mulai sekarang kalian harus berteman. Anggap Lala ini sebagai adikmu ya No... adik itu harus disayang," kata Om Dedi.
"Mereka ketemu saat berebut jajanan krepes tempo hari, Brow. Vano yang salah, dia nyrobot antrian cerpes anakmu. Ternyata pertengkaran mereka berlanjut tadi. Hahaha aku gak tahu kalau Lala itu anakmu kemarin. Makanya aku suruh dia minta maaf sama Lala sekarang," jelas Om Dedi pada Papaku dan Mamaku. Papaku manggut manggut. Aku berusaha melepas jabatan tangan Mas ini, tapi dia mencengkeram tanganku terlalu erat.
"Dunia anak anak sejam marahan, sejam akur. Biasa itu. Ayo masuk, makanannya keburu dingin nanti," kata Papa sambil menepuk pundak Om Dedi. Mereka pun masuk rumah. Tertinggal aku dan Vano. Tangannya masih erat menggenggam tanganku.
"Udah lepasin!" kataku sebal. Vano nyengir melepas jabatan tangan itu.
Kami masuk rumah dan makan malam bersama. Percakapan makan malam itu di dominasi sama Om Dedi dan Papa. Mereka cukup dekat ternyata. Sepertinya satu sekolah dulu.
"Mas kelas berapa?" tanya Mama pada Vano.
"Udah SMP kelas satu, Tante," jawab Vano.
"Ikut karate dekat pendopo tari Lala yaaa?" tanya Mama lagi. Vano mengangguk saja.
"Buat ngisi kegiatan sore, Dik. Kalau Lala kelas berapa?" tanya Tante Winda pada Mamaku.
"Lala sekarang kelas tiga, Hector kelas dua," jawab Mama.
"Lala suka nari yaa?" tanya Tante Winda. Aku senyum sambil mengangguk. Mereka terus mengobrol. Obrolan orang dewasa. Aku fokus sama piringku saja. Sambil nguping dikit dikit.
Ayahnya Vano ternyata seorang polisi. Mereka masih ngobrol asik, bahkan setelah makan malam usai. Hector dan Mas Vano ngobrolin robot mobil. Mama juga cekikikan sama Tante Winda. Aku gak tau mau ngapapin habis makan. Nyender nyender Mbah Kung minta pangku. Mbah Kung menaikkan aku dalam pangkuannya.
"Mbah, Lala ngantuk," bisikku. Beliau senyum, kemudian menuntunku kedalam. Masuk keruang tengah.
"Lala bosen?" tanya Mbah Kung. Aku mengangguk.
"Mau Mbah dongengin aja disini?" tanya Mbah sambil tiduran depan TV. Aku ikut tiduran disamping Mbah. Ndusel sama mbahku ini. Mencium aroma tubuhnya yang khas.
"Apa Mbah ceritanya apa?" tanyaku semangat. Kalau Hector tidak pernah tertarik dengan cerita Mbah Kung, aku justru sebaliknya. Cerita Mbah Kung selalu bikin aku terkagum.
Mbah pun mulai mendongeng. Tentang tokoh pewayangan bernama Parikesit. Seorang raja penerus Kerajaan Astino. Yang terkenal adil dan bijak. Meninggal karena digigit naga yang menyamar sebagai ulat dalam jambu yang di sajikan padanya. Itu karena kutukan dari seorang resi yang tidak terima ayahnya dikalungi bangkai ular oleh Sang Raja. Raja Parikesit sebal karena ayah pertapa tersebut tidak menjawab saat ditanya kemana hewan buruannya berlari.
***
Aku bangun sudah pagi. Sudah berada di kamarku. Dongeng Mbah Kung selalu ampuh menjadi pengantar tidur untukku. Aku semangat melompat dari tempat tidur. Saatnya bersenang senang dengan Papa. Yeeee.... mumpung Papa pulang kesini. Aku keluar kamar mencari Papa.
"Papa...!! Papa!! Papaa!" teriakku mencari Papa di kamarnya. Hector ternyata udah duluan di sana. lagi asyik naik di punggung Papa. Aku ikut naik.
"Wow, wow, pelan pelan Nak," protes Papa. Mama masuk kamar tertawa tawa.
"Papamu udah tua itu," kata Mama.
"Ayo mandi, sarapan dan kita berangkat," lanjut Mama. Aku langsung lari ke kamar mandi dikamar ini. Hector teriak teriak. Hahahaha dia kalah cepat.
Sesuai janji kemarin, Papa mengajakku berenang. Kolam renang dengan wahana seluncuran muter muter yang indah.
"Ayo naik itu!!" Hector bersemangat dan menggandeng tanganku.
"Aku takut Tor... itu tinggi," kataku sambil ngeri menatap awal seluncuran dipuncak ketinggian. Aku suka ketinggian, tapi tidak setinggi itu juga kali. Belum nanti meluncurnya. Ngeri.
"Papa temani. Ayo! Jangan takut," kata Papa sambil menggandeng tanganku dan Hector. Walaupun berdebar, aku bisa melewatinya. Aku main air sama Papa dan Hector. Aku sudah bisa berenang, walau tidak sebaik Hector. Papa lebih banyak menjagaku daripada jagain Hector. Dia udah mirip ikan kalau masuk air.
Mama tidak ikut berenang. Duduk di tepi kolam menghadap camilan dan laptop. Sepertinya kerja. Mamaku itu memang wanita karir, tapi aku gak pernah kehilangan perhatian Mama.
***
Senin pagi sekali Papa masuk kekamarku. Sudah siap bekerja rupanya. Menciumi rambutku banyak. Aku jadi menggeliat bangun.
"Papa pergi dulu ya Nak, jangan nakal dirumah," pamit Papa. Aku merentangkan tanganku, masih setengah mengantuk.
"Aku mau nganterin Papa sampai depan, tapi aku males jalan. Gendooong," kataku manja. Papaku tertawa, tapi dia mengambil tubuhku dalam gendongannya.
Aku keluar kamar di gendong Papa. Hector juga keluar kamar dengan rambut acak acakan.
"Astaga Lala, malu masak udah kelas tiga minta gendong," Mama protes. Sepertinya Papa juga sedikit berat menggendongku sekarang. Berkali kali dia membenarkan letak tubuhku hihihihi. Padahal Hector saja jalan sendiri. Aku yang udah gede minta gendong. Aku dan Hector melambai pada Papa sampai mobil Papa tidak terlihat. Berharap akhir pekan menyenangkan segera datang lagi.
***
Aku berangkat sekolah bareng Farel. Jalan kaki dari rumah. Sekolah kami memang tidak jauh.
"Itu dia Lala!!" kata teman sekelasku tidak santai. Dia mendekat dan mendorongku. Aku masih sanggup mengendalikan tubuhku, jadi tidak jatuh. Hanya mundur saja.
"Apaan sih!!" kataku gak kalah nyolot.
"Kamu kan yang mempengaruhi Bu Guru, aku jadi gak dikirim lomba. Kamu yang gantiin. Kamu seneng banget cari muka!!" katanya mendorong lagi. Kali ini aku terdorong cukup keras. Farel menangkap tubuhku, jadi aku tidak jatuh lagi.
Lomba? Oooohhh lomba nari antar SD. Aku baru sadar apa yang dia ributkan.
"Maaf ya Nov, aku emang gantiin kamu, tapi itu bukan karena aku cari muka. Itu karena aku emang lebih pinter nari dari kamu," kataku sambil centil. Yakin dia makin ngamuk. Dia menjambak rambutku. Aku jambak balik. Aku tendang perutnya. Dia mental sampai tembok. Aku buka ranselku. Ku tampari dia sambil mencengkeram krah bajunya. Sambil terus memepetkannya ketembok.
Bu Guru datang. Beliau langsung melerai kami.
"Siapa yang mulai!!" tanya Bu Guru galak. Kami sama sama saling tunjuk. Kemudian saling melotot.
"Ibu tanya siapa yang mulai!!" Bu Guru mulai marah.
"Novi yang mulai Bu. Saya lihat sendiri," kata Farel. Farel terus membelaku, walaupun terus dibantah Novi. Aksi saling bantah terjadi. Membuat guru semakin pusing. Akhirnya kami bertiga tetep dihukum.
"Sikat tiga toilet itu! Kemudian lari muter lapangan lima kali!" kata Bu Guru.
Kami akhirnya ngos ngosan bertiga. Aku ambruk di lorong kelas bersama Farel. Novi entah kemana.
"Maaf ya Rel. Kamu jadi ikut dihukum," kataku merasa bersalah. Farel manggut manggut.
"Gak papa. Kamu benar kok. Aku gak nyesel membela kamu," jawab Farel. Aaaaahhhh Farel emang bestie yang paling bastie.
Hector datang membawakan dua es lilin pada kami.
"Kalau mau aman gak ketahuan mama, nanti jajanin krepes ya Po," katanya kemudian berlalu. Hah! sial memang adik satu suka cari kesempatan dalam kesempitan. Aku tahu benar nanti kalau tidak di jajanin krepes perkelahianku pasti di laporin Mama.
Ternyata perkelahianku tetap sampai ditelinga Mama. Bu guru menghubungi Mama.
"Gak baik anak cewek kok berkelahi kaya gitu. Malu maluin....." kupingku sampai panas karena diomelin Mama lama.
"Udah Nduk, Biar Mbah yang bicara," kata Mbah Kung. Mama mengangguk.
"Mirip papanya dia Mbah, suka bikin ribut," kata Mama sebelum pergi. Mbahku tertawa.
"Iya, cuma yang ini agak melankolis mirip Mbahnya," kata Mbah Kung. Mama ikut ketawa. Kemudian meninggalkan aku dan Mbah Kung berdua di ruang tamu.
Mbah Kung duduk disampingku. Mengelus kepalaku sayang. Aku langsung ndusel saja.
"Kamu tahu La, gak semuanya bisa di selesaikan dengan kekerasan. Gak harus berkelahi untuk membuktikan yang terbaik," kata Mbah Kung. Beliau kemudian bercerita tentang Kresna yang memiliki watak cerdik. Tidak semua musuh Kresna dikalahkan dalam medan perang. Ada beberapa dikalahkan dengan kecerdikannya.
"Terkadang otak lebih baik dari otot. Dan kecerdikan lebih baik dari kekerasan. Kamu ini mirip papamu, tapi juga lembut dan manja mirip mamamu. Dua orang tuamu itu pandai. Kamu juga anak yang pandai. Berfikir sebelum bertindak Nduk. Jangan pernah terbawa emosi duluan," kata Mbah Kung mengakhiri kisah. Nasehatnya terngiang dikepalaku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!