Hay ... selamat datang di karya recehanku yang ke-2.
Novel ini sudah tamat, ya. Jadi, mulailah cari posisi yang nyaman buat marathon. Mau rebahan, selonjoran, tengkureb, nungging, pokoknya senyaman mungkin biar enak bacanya. Temukan beberapa twist di bab-bab terakhir dan jangan lupa follow akun Author receh ini sebelum baca.
Oh iya, novel ini sudah terbit cetak juga di Novelindo.
Oke, happy reading, ya, gais ... 😘 jangan lupa like dan komennya. See you.
👇
Namanya Ali Arfan Maulana. Dia seorang polisi yang sangat berprestasi dan loyal terhadap profesinya, meskipun menjadi polisi bukanlah cita-cita yang ingin dia kejar pada awalnya.
Pria tampan dengan usia yang cukup matang ini memiliki kepribadian yang tegas, bertanggung jawab dan berjiwa pelindung bagi orang-orang di sekitarnya.
Namun, siapa yang menyangka. Kisah cintanya yang gagal di masa lalu, membuat dia berubah menjadi pribadi yang tertutup dan sangat menyebalkan.
Sebagai anak satu-satunya di keluarga tentu saja dia menjadi harapan terbesar bagi kedua orang tuanya.
Bu Lastri - Ibu dari Ali berharap di usia Ali yang sudah lebih dari 35 tahun ini bisa segera mengakhiri masa-masa kesendiriannya. Namun, setiap usaha untuk menjodohkannya selalu gagal total.
Pada suatu hari Bu Lastri dan suaminya - Pak Maulana, pergi mengunjungi saudara di kampung halamannya - kota Semarang. Sebelum pulang mereka selalu menyempatkan mampir ke rumah sahabatnya untuk memesan sayuran segar yang biasa mereka bawa pulang ke Jakarta.
“Mbak Lastri, kita tunggu di rumah saja. Biarkan kang Mas yang pergi memetik sayuran di kebun,” ajak Bu Aisyah - istri dari pak Ramlan yang tak lain adalah sahabat dari orang tua Ali.
“Yo, Mbak yuk.” Bu Lastri duduk di sofa sambil memandang ke semua arah. “Iki rumah sampeyan, kok sepi tenan.”
“Lha iya, wong saya cuma tinggal berdua sama suami, Mbak,” jawab Bu Aisyah yang sedang menuangkan air minum ke dalam gelas.
“Anak-anak sampeyan sudah nikah semua, toh?”
“Anak sulungku, dia sudah berkeluarga. Malah sekarang sudah punya anak. Dan anak bungsuku yang perempuan, dia ngajar di asrama. Dia jarang pulang, Mbak. Entah harus dengan cara apa lagi membujuk dia supaya tinggal di rumah.” Bu Aisyah menggelengkan kepalanya sambil berdecak.
“Ayya-anak bungsumu belum bersuami, Mbak?”
“Jangankan suami, calon aja dia ndak punya. Malu aku tuh, Mbak. Tetangga bilang anak gadisku itu perawan tua.”
“Anak gadismu cantik begini, kenapa belum punya calon?” tanya Bu Lastri seraya mengambil bingkai foto di atas meja sudut.
“Yo ik, Mbak. Aku ra ngerti sama anak itu.”
Tiba-tiba ponsel jadul Bu Aisyah berbunyi. Dengan cepat Bu Aisyah mengangkatnya karena yang menelepon adalah anak gadis yang sedang dirindukannya.
“Assalamualaikum Ayy …,” sapa Bu Aisyah di balik telepon.
“Waalaikum salam, Mi. Umi sama Abi gimana kabarnya, sehat 'kan?” tanya Ayya.
“Umi sama Abi sudah terlalu tua Ayy, wajar saja kalau sering sakit-sakitan. Ditambah lagi harus mendengar ocehan para tetangga, telinga Umi sakit banget Ayy,” tuturnya.
“Kenapa mereka selalu bergunjing? memangnya apa yang mereka gunjingkan tentang kita?” tanya Ayya.
“Tentu saja tentang penolakanmu pada setiap lelaki yang datang untuk melamar," terang Ibunya Ayya sedikit menggebu-gebu. “Ayy, kita ini hidup di kampung yang hubungan sosialnya sangat tinggi. Kita ndak bisa menutup mata dan telinga kita begitu saja.”
Ayya mulai menghela napasnya lalu dia beranikan diri untuk bicara.
“Baiklah Mi, Ayya tidak akan menolak lagi jika ada lelaki yang melamar, Ayya minta maaf karena sudah membuat Umi dan Abi menjadi bahan gunjingan para tetangga,” ucap Ayya seraya mencoba membulatkan niatnya.
“Kamu yakin Ayy, tidak akan menolak lagi?” tegas Ibunya.
“InsyaaAllah, demi Umi sama Abi,” jawab Ayya.
“Lakukanlah demi dirimu sendiri, karena kebahagiaanmu lebih penting buat Abi sama Umi,” ucap wanita paruh baya itu.
“Baik Mi, Ayya yakin bahwa Umi sama Abi akan melakukan yang terbaik buat Ayya.”
“Syukurlah kalau kamu mengerti Ayy,” pungkas Bu Aisyah mengakhiri obrolannya, dan tak lama kemudian telepon pun ditutup.
Bu Aisyah tersenyum karena tiba-tiba anaknya berjanji tidak akan menolak lagi jika ada lelaki yang melamar.
Bagaimana tidak gelisah, perasaan Bu Aisyah selama ini. Anak gadis bernama Nayna Noor Rayya yang lebih akrab disapa Ayya ini, di usianya yang sudah beranjak 25 tahun masih belum menemukan tambatan hatinya. Kalau dihitung-hitung Ayya sudah enam kali menolak lamaran lelaki yang ingin meminangnya. Bukan tanpa alasan mungkin dalam hatinya, Ayya memiliki seseorang yang sedang ia tunggu-tunggu kedatangannya. Entahlah. Yang pasti kali ini Ayya sudah menyerah pada Ibunya.
Mendengar cerita Bu Aisyah tentang anak bungsunya, tiba-tiba tebersit di pikiran Bu Lastri untuk menjodohkan dengan anaknya. Ia tak peduli lagi jika ada yang menilai bahwa rencananya ini terlalu kolot dan kuno. Yang dia tahu saat ini dia memiliki harapan yang sama dengan sahabatnya yaitu ingin melihat anaknya segera menikah.
Tanpa diduga, rencananya ini disambut dengan baik oleh sang suami dan juga orang tua Ayya. Maka terjadilah perjodohan yang terkesan dipaksa dan serba mendadak ini.
Orang tua Ali menunda kepulangannya ke Jakarta karena harus mengatur pernikahan anaknya sebelum pulang. Hingga Ali menelepon untuk memastikan kapan dia harus menjemputnya ke Semarang.
“Assalamualaikum Bu, Ibu masih di Semarang?” sapa Ali di balik telepon.
“Waalaikum salam. Iya Al, Ibu masih di kampung. Apa kamu ada waktu untuk datang ke sini Al?” tanya Bu Lastri.
“Iya, tentu saja. Ali akan segera datang untuk menjemput Ayah sama Ibu,” ucap Ali yang akan bergegas menutup teleponnya.
“Tunggu Al! Ibu belum selesai bicara,” sela Bu Lastri.
“Kenapa Bu?”
“Ibu … sudah menemukan calon istri untukmu, kamu harus menikahinya saat datang kesini,” ucap Bu Lastri sekaligus perintah buat anaknya.
“Ya ampun, Bu!” jawab Ali kaget. “Sudah berapa kali Ali katakan pada Ibu kalau Ali tidak membutuhkan seorang istri.”
“Kamu butuh Al, mau sampai kapan kamu hidup sendiri? ingat usiamu sudah tidak muda lagi.”
“Iya, tapi jangan sekarang Bu.” Ali berusaha menolak.
“Sekarang atau nanti apa bedanya? lebih cepat akan lebih baik. Jadi, segeralah datang kesini!”
“Ibu kan tahu, Ali tidak bisa menikah sembarangan. Untuk menikah lagi Ali harus mendapatkan izin dari atasan, kalau tidak Ali akan dikenai sanksi tindakan indisipliner.” Ali berkilah hanya untuk mencari alasan saja.
“Ibu tidak mau mendengar alasan apa pun lagi, Al. sekarang kamu bisa nikah secara siri dulu, setelah kamu urus perceraianmu dengan Vina baru kamu nikah lagi secara resmi dengan Ayya!”
“Aduh! ini apa lagi, Bu? nikah siri juga tidak akan diperkenankan.” Ali mulai gusar karena kehabisan kata-kata. Bu Lastri seakan tidak mau tahu posisi anaknya sebagai seorang polisi.
“Dari dulu kamu selalu banyak alasan, kali ini kalau kamu tidak segera datang, Ibu sama Ayah tidak mau pulang ke Jakarta!” ancam Bu Lastri sambil menutup teleponnya.
“Hhhh … Ibu selalu saja memaksa dan mengancamku,” guman Ali. Terpaksa Ali segera menyusul orang tuanya ke kampung saat itu juga. Dan seperti perintah Ibunya, Ali langsung menuju rumah orang tua Ayya.
“Ibu, Ali gak bisa lama, karena masih ada tugas di Jakarta,” tukas Ali menahan rasa jengkelnya.
“Kalau begitu, kita siapkan pernikahannya sekarang juga. Karena keadaan darurat, jadi kita lakukan sambil menunggu pengantin wanita. Ingat, Al! Nikah itu yang penting sah, tidak perlu 'Wah' kamu setuju, 'kan?” ucap Bu Lastri terkesan terburu-buru karena takut kalau anaknya akan berubah pikiran.
Ali hanya menggelengkan kepalanya sambil menghela napas, melihat sikap Ibunya yang terlihat seperti kebelet ingin punya menantu.
Pernikahan pun akan segera berlangsung.
Selain pengantin laki-laki, di sana sudah hadir seorang penghulu, wali dan juga saksi. Bu Lastri meminjamkan handphone canggihnya pada Bu Aisyah supaya bisa melakukan penggilan Vidio dengan Ayya.
Note :
-Yo \= Ya
-Iki \= Ini
-Tenan \= sangat/ banget
-Ik/Iku \= Itu
-Ra/Ora \= Tidak
-Wong \= Orang
-Ndak \= Enggak
-Sampeyan \= Kamu (sopan)
Readers yang Budiman, cerita ini hanya fiktif belaka. Tak ada maksud untuk mengeksploitasi satu karakter, profesi dan juga instansi mana pun. Ini hanya sebuah kisah anak manusia dengan segala kekurangan dan kelebihannya, semoga ada sedikit hikmah yang bisa kita ambil dan kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Saya tahu akan ada banyak pertanyaan dalam benak kalian yang tidak bisa saya jawab di bab-bab awal. Jadi, mohon bersabar untuk membaca setiap bab dengan teliti jika ingin mendapatkan jawabannya. Kalian adalah readers yang cerdas dengan komentar yang selalu berkualitas.
Maafkan Author receh ini jika tulisannya masih banyak salah. Oke! 😘
Next 👉
Pernikahan pun akan segera berlangsung.
Di sana sudah hadir seorang penghulu, wali dan juga saksi. Bu Lastri meminjamkan handphone canggihnya pada Bu Aisyah supaya bisa melakukan panggilan vidio dengan Ayya.
“Assalamualaikum Umi? Umi pake handphone siapa ini?” sapa Ayya ketika melihat wajah Ibunya di layar handphone.
“Waalaikum salam, Ayy. Kamu sudah nyampe mana sekarang?” tanya Bu Aisyah tidak sabar.
“Ayya di Asrama, Umi! Memangnya kenapa?” jawab Ayya dengan santai karena ia lupa bahwa ini hari pernikahannya.
“Kamu bercanda, kan, Ayy?”
“Maksud, Umi, apa?”
“Ya ampun! Umi pikir kamu sudah dalam perjalan pulang ke rumah? kita semua menunggu kamu di sini, Ayy!” Bu Aisyah mondar-mandir, khawatir jika Ayya tidak menepati janjinya.
“Maaf, Umi. Ayya--” Ayya belum sempat menyelesaikan ucapannya, Bu Aisyah terlebih dahulu menyelanya.
“Kamu tidak sedang mempermainkan Abi dan Umi, 'kan, Ayy? jika kamu tidak hadir saat ini, berarti kamu sedang mempermalukan keluargamu sendiri, apa kamu mengerti?” Bu Aisyah hampir menangis karena menahan amarah. Pasalnya, Semua pihak sudah hadir di rumahnya. Dia tidak bisa menanggung malu lagi.
“Astagfirullahaladzim, Umi! Maaf, Ayya benar-benar lupa. Silakan Umi tutup dulu teleponnya, Ayya mau siap-siap pulang sekarang juga.”
“Tapi Nak Ali tidak bisa menunggumu karena dia banyak kerjaan di Jakarta, jadi terpaksa kami melakukan akad nikah saat ini juga.”
“Baiklah terserah Abi dan Umi saja.”
Akhirnya, pernikahan dilakukan tanpa menunggu kedatangan calon pengantin wanita. Ayya menyebutnya 'Pernikahan Online' karena dia hanya menyaksikan akad nikah secara live lewat Vidio call.
Bahkan ketika dia tiba di rumah, Ali sudah kembali ke Jakarta.
“Ayah sama Ibu yakin? Gak ikut Ali pulang sekarang?” tanya Ali pada orang tuanya sesaat sebelum dia berangkat ke Jakarta.
“Ibu akan pulang bersama menantu Ibu besok. Kamu jangan khawatir, nanti Ibu akan mengantar Ayya ke rumahmu,” ucap Bu Lastri.
“Jangan Bu! Sebaiknya di bawa ke rumah Ibu saja.”
“Kenapa memangnya, bukankan rumahmu akan jadi rumah istrimu juga?” tanya Bu Lastri.
“Hmm ... Maksud Ali, kalau di rumah Ali dia akan kesepian. Karena Ali mungkin ga pulang beberapa hari.” Ali masih beralasan.
“Baiklah. Tapi kalau sudah selesai urusanmu, pulanglah ke rumah Ibu.”
Ali mengangguk lalu berpamitan pada mertuanya sebelum pulang ke Jakarta.
Satu jam kemudian, Ayya tiba di rumah. Turun dari angkutan umum dengan langkah terburu-buru. Mengetuk pintu rumahnya sambil mengucapkan salam.
Setelah Ayya duduk, Bu Aisyah mengenalkan orang tua Ali sebagai mertua Ayya yang akan membawanya pindah ke Jakarta.
“Ayy, Bu Lastri dan Pak Maulana ini sekarang mertua kamu, hormati dan sayangi mereka seperti yang kamu lakukan pada Abi dan Umi,” pesan Pak Ramlan pada putri bungsunya.
“Baik Abi,” ucap Ayya sambil menyalami para tetua. “Pak, Bu, Ayya mohon maaf karena datang terlambat.” Ayya tak henti-hentinya menunduk karena merasa bersalah.
“Panggil Ayah, jangan panggil Pak,” ucap Pak Maulana.
“I-iya, baik, Ayah!” ucap Ayya yang masih merasa sedikit canggung.
“Istrahatlah dulu, karena besok kamu ikut kami ke Jakarta,” ucap Bu Lastri.
“Baik, Bu. Kalau begitu, Ayya permisi masuk kamar dulu.”
****
Ayya duduk termenung di tepi tempat tidur. Tangannya mencengkram dan meremas kain sprei sambil memejamkan mata. Berharap semua ini hanya terjadi dalam mimpinya saja.
Mertua ... Suami ... menjadi istri ....
Batin Ayya yang terus meracau semakin kacau. Lalu ia mengguncang pipinya dengan kedua telapak tangan.
Tentang statusnya yang berubah secara tiba-tiba, lalu tentang suami yang dalam sekejap telah menikahinya dan juga tentang pernikahan yang sangat jauh dari bayangannya, ini semua sulit dipercaya.
Aku yakin ini adalah pernikahan yang tidak pernah didambakan oleh gadis mana pun.
Akhh, sudahlah. Walau bagaimanapun pernikahan ini tetap sah di mata Agama, batin Ayya mencoba pasrah dengan keadaan.
Keesokan harinya. Ayya sudah tahu apa yang harus dia lakukan. Bersiap-siap, dan membereskan pakaian juga barang-barangnya. Setelah itu Ayya menemui Ibunya di kamar.
“Umi!” seru Ayya sambil membuka daun pintu kamar Ibunya.
“Ayya, ada apa? Bukannya kamu harus berkemas?” sahut Bu Aisyah.
Ayya duduk di sebelah Ibunya lalu meletakan kepalanya di pangkuan Bu Aisyah.
“Kenapa Ayy?” tanya Bu Aisyah seraya mengusap jilbab yang menutupi kepala Ayya.
“Mi, gimana perasaan Umi saat pertama kali nikah sama Abi?” tanya Ayya.
Bu Aisyah menjawab sambil tersenyum pada anak bungsunya itu. “Sepertinya tidak jauh beda denganmu Ayy. Karena Umi juga dulu dijodohkan oleh orang tua.”
“Seperti apa Umi menjalani rumah tangga atas dasar perjodohan? apakah Umi selalu bahagia bersama Abi?”
“Mana ada rumah tangga yang melulu bahagia sepanjang waktu. Yang ada, Umi harus belajar. Belajar mengenal karakter suami Umi, belajar menghadapi masalah demi masalah. Dan untungnya Abimu itu orangnya sabar dan pengertian,” ucap Bu Aisyah. “Belajarlah mengenal suamimu, seperti Umi mengenal Abimu, Ayy.” Tatapan wanita paruh baya itu begitu teduh, nasihatnya menenangkan hati gadis satu-satunya.
Ayya mengangkat kepalanya lalu menghadap wajah sang ibu.“Baiklah, Umi. Ayya akan berusaha menjadi istri yang baik seperti Umi.” Dia menarik napas seraya meremas jemari ibunya. Menata hati untuk memulai kehidupan baru.
“Sekarang cepatlah ajak mertuamu sarapan dulu.”
“Baik Umi.”
Ayya mengetuk pintu kamar Bu Lastri.
“Ayah, Ibuk! sarapan sudah siap,” seru Ayya dari balik pintu.
Bu Lastri membuka pintu kamar sambil tersenyum ramah, ia menggandeng tangan menantunya menuju meja makan, diikuti Pak Ramlan yang berjalan di belakangnya.
“Ayy, kamu sudah mengemasi barang-barangmu?”
“Sudah Buk,” jawab Ayya sambil tersenyum.
“Setelah sarapan, kita berangkat naik bis, gak apa-apa kan Ayy?”
“Ga apa-apa Buk.”
“Nanti Ibu telepon Ali suruh jemput di terminal,” tutur Bu Lastri.
Ayya tersenyum tipis sambil mengangguk.
***
Singkat kata mereka tiba di kota Jakarta, duduk di terminal menunggu Ali yang akan datang menjemput. Dari kejauhan Bu Lastri sudah bisa melihat mobil Ali sudah datang. Bu Lastri segera berdiri memberi isyarat bahwa mereka ada di sana. Mobil berhenti tepat di sampingnya, akan tetapi Bu Lastri sedikit kecewa karena yang mengemudi ternyata bukan Ali, melainkan supir mereka-Sukarman.
“Kemana Ali, Man?” tanya Pak Maulana.
“Den Ali pulang sebentar lalu berangkat lagi,” jawab Sukarman.
“Gimana sih itu anak? Bukannya jemput istrinya yang baru datang, malah ngilang,” gerutu Bu Lastri.
Lalu Bu Lastri memperkenalkan Pak Karman sebagai supir di rumahnya.
“Ohh ya, Ayy. ini Pak Karman supir di rumah kita.”
“Pak karman, Ayya ini istrinya Ali.”
“Ohh, jadi ini istrinya Den Ali? Cantiknya … cocok bener sama Den Ali.”
“Terima kasih Pak Karman,” ucap Ayya dengan senyumnya yang manis.
Pak Karman memasukan barang-barang bawaan ke dalam mobil, setelah itu mereka berangkat. Mereka tiba di sebuah rumah, akan tetapi bukan rumah yang terletak di kawasan perumahan elit karena lelaki yang menikahi Ayya bukanlah seorang CEO atau pun seorang Presdir tampan dengan harta yang melimpah ruah, melainkan hanya seorang polisi biasa, seorang abdi negara.
Rumah berlantai dua yang bergaya klasik ini, memiliki halaman yang sangat luas. Di sekelilingnya banyak pepohonan yang rindang dan udaranya pun sangat sejuk.
Bu Lastri juga mengenalkan pembantu di rumahnya, yaitu Bik Nur yang tak lain adalah istrinya Pak Karman. Mereka menempati rumah kecil di ujung kolam.
“Jadi, inilah rumah kita Ayy. Tidak terlalu besar sih, mudah-mudahan kamu betah,” ucap Bu Lastri.
“Rumahnya nyaman sekali, Buk. Ayya betah di sini.”
Bu Lastri tersenyum lalu membawa Ayya ke sebuah kamar di lantai atas.
“Ini kamar Ali, dan akan menjadi kamar kamu juga. Beristirahatlah dulu, jika makan siang sudah siap, Ibu akan memanggilmu.”
Ayya mengangguk. Setelah Bu Lastri pergi, Ayya menutup pintu dan melihat-lihat sekeliling kamar lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Karena kelelahan Ayya tertidur pulas di sana.
Setelah beberapa jam tertidur, perlahan mata Ayya terbuka. Seseorang membuka pintu kamarnya dan masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu.
Seorang laki-laki yang penuh bulu di wajahnya, brewoknya sangat lebat hampir menutupi mulutnya, menoleh ke arah Ayya sambil meletakan tasnya di lantai lalu ia masuk ke kamar mandi.
Ayya segera bangun dari tidurnya, mengucek-ngucek matanya seakan tak yakin dengan penglihatannya sendiri.
Apakah dia suamiku? Jadi dia setua itu? ucapnya dalam hati sambil duduk di ujung tempat tidur.
Ayya spontan berdiri sambil menunduk ketika suaminya keluar dari kamar mandi dengan sikat gigi di mulutnya. Ali mengambil handuk kecil dari lemari lalu menoleh sebentar ke arah Ayya sebelum kembali masuk ke kamar mandi.
“Kenapa masih berdiri disitu? Keluarlah! Aku tidak mau kalau kamu sampai melihatku telanjang,” ucap Ali lalu masuk ke kamar mandi.
Ayya kaget, dan bertanya-tanya. Kenapa suaminya berkata sangat kasar, kesalahan apa yang telah di perbuatnya?
Sambil berpikir Ayya keluar dari kamarnya, lalu berjalan menuju ke dapur.
“Ayy, kamu sudah bangun?” tanya Bu Lastri.
“Sudah Bu. Maaf ya Bu, Ayya gak bantu masak di dapur, tadi ketiduran,” ujarnya.
“Gak apa-apa Ayy, ada Bik Nur, kok, yang biasa masak.”
“Oh ya, Buk. tadi yang …,” ucap Ayya sambil nunjuk-nunjuk ke kamarnya lalu meraba dagunya sendiri.
“Kenapa Ayy?” tanya Bu Lastri sedikit bingung.
“Anu, Buk. Tadi yang brewokan itu … apa dia Mas Ali?” tanya Ayya terbata-bata.
Bu Lastri tersenyum lalu bertanya, “Maksud kamu, orang yang sedang berdiri di belakangmu?” sambil menunjuk ke arah belakang Ayya.
Ayya menoleh kebelakang lalu dia spontan menggeser badannya, ketika melihat laki-laki yang berbeda, ada di belakangnya.
BERSAMBUNG ...
pertama tekan like 👍, terus tekan love ❤️ supaya dpt notif kalau eps baru sudah up, selanjutnya boleh komen positif, kasih bintang 5 dan vote juga, makasih 😘
“Ini siapa, Bu?” tanya Ayya sambil menunjuk laki-laki itu.
“Lho, bukannya dia yang kamu tanyakan pada Ibu tadi?” tanya Bu Lastri.
“Bukan, Bu! Ayya tanya laki-laki yang tadi banyak bulu di wajahnya, dia masuk ke kamar Ayya.”
Bu Lastri tertawa terpingkal-pingkal tanpa memberi jawaban.
Sedikit pun Ali tidak menghiraukan percakapan antara menantu dan mertua di depannya. Dia langsung duduk lalu memanggil pembantunya.
“Bik Nur! saya mau makan sekarang, tolong disiapkan!” perintah Ali sambil menyilangkan tangan di dadanya. Bu Lastri pun menyuruh Ayya duduk di depan Ali. Wanita paruh baya itu ikut duduk meskipun dia sudah makan duluan saat Ayya sedang tidur beberapa saat yang lalu.
Ayya masih bingung dengan dua orang laki-laki yang baru saja ia lihat di rumah ini, yang satu adalah laki-laki tua yang sangat berantakan sudah bisa dipastikan bahwa dia adalah suaminya karena dia masuk kamar yang sama dengan Ayya. Tapi, siapa laki-laki yang sedang duduk di hadapannya? dia tampan, rapi dan bersih.
“Al, ceritakanlah tentang pekerjaanmu pada Ayya, supaya dia tidak bingung,” ucap Bu Lastri yang sudah bisa membaca kebingungan yang ada di wajah menantunya.
Ali meletakan sendok dan garpunya lalu ia berdiri.
“Maaf, Bu. Ali baru ingat, ada yang harus Ali kerjakan,” ucapnya sambil buru-buru ke kamarnya.
“Sshhh, dasar anak itu!” desis Bu Lastri pelan sambil menggelengkan kepala karena kesal dengan sikap anaknya yang selalu menghindar.
Sementara Ayya hanya menundukan kepalanya. Dia bisa mengerti sikap Ali, karena seperti halnya Ayya yang sulit menerima pernikahan yang dipaksa ini, begitu pun dengan laki-laki yang saat ini menjadi suaminya, ini pasti tidak mudah.
“Maaf, Ayy. Ali memang sibuk belakangan ini, dan kamu jangan kaget jika tiba-tiba Ali pulang dengan wajah yang berbeda, itu salah satu pekerjaannya sebagai polisi, melakukan penyelidikan rahasia kadang dengan cara menyamar,” jelas Bu Lastri.
“Ohh, begitu ya Bu? Ayya sempat berpikir tadi itu ada dua orang yang berbeda, ternyata sama-sama Mas Ali.”
Bu Lastri kembali tertawa sambil berkata,
“Itu artinya, penyamaran Ali berhasil kan, Ayy?”
Ayya tertawa kecil sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
***
Malam tiba, bahkan waktu menunjukan sudah lewat tengah malam. Ketika Ayya bangun dari tidurnya dia tidak melihat sosok suami di kamarnya.
“Ya, sudahlah. Sepertinya Mas Ali memang jarang tidur di rumah,” ucap Ayya sambil kembali tidur.
Keesokan harinya, dan keesokan harinya lagi. Ali tetap tidur di sofa. Sejak kedatangan Ayya, Ali tidak pernah tidur di kamarnya. Lama-lama Ayya mulai merasa tidak dihargai oleh suaminya sendiri. Tapi, mau bagaimana lagi pikirnya. Lambat laun mungkin waktu akan merubah sikap suaminya itu.
Pagi-pagi saat Ali akan bersiap-siap berangkat kerja, Ayya harus buru-buru keluar kamar, jika tidak dia akan kena semprot lagi. Ayya lebih memilih menunggu di meja makan untuk sarapan bersama. Meskipun wajah suaminya tetap kecut, setidaknya saat di meja makan ada mertua yang selalu siap membelanya. Namun ternyata ohh ternyata, pagi-pagi sekali mertuanya sudah berangkat.
Ali keluar tanpa baju dinas, karena ini hari liburnya. Biasanya dia gunakan waktu libur untuk mengantar Ibunya belanja kebutuhan rumah.
“Bik! Ibu kemana? bukannya hari ini jadwal Ibu belanja?” tanya Ali.
Setelah selesai makan, Bik Nur menyampaikan pesan Bu Lastri sebelum dia berangkat.
“Bapak sama Ibu berangkat pagi-pagi sekali tadi, karena mendapat telepon dari adiknya bapak yang sakit. Ibu berpesan supaya Den Ali mengantar Non Ayya belanja hari ini. Ibu bilang, mulai hari ini non Ayya lah yang akan belanja kebutuhan rumah,” terang Bik Nur.
“Bik, minta pak Karman saja yang antar Ayya belanja,” ucap Ayya yang tidak mau mengganggu suaminya.
“Pak Karman belum pulang mengantar Ibuk dan Bapak, Non.”
Ali kembali menaruh sendok dan garpunya dengan kasar di meja makan seperti biasa. Lalu pergi keluar menuju mobilnya.
“Non, cepet susul Den Ali. Dia tidak suka menunggu,” ucap Bik Nur.
“A-apa yang harus Ayya lakukan Bik?” tanya Ayya pada Bik Nur.
“Ya belanja, Non. Langsung naik ke mobil aja sebelum Den Ali marah besar, cepetan Non!” ucap Bik Nur sambil mendorong tubuh Ayya keluar.
"Bentar, Bik. Ayya ambil tas dulu di kamar," ucapnya.
Ayya berjalan ke luar dengan ragu-ragu, sambil menarik napas ia memejamkan matanya sebentar lalu membuka pintu belakang mobil Ali yang sudah siap berangkat, belum sempat ia membenahi duduknya, Ali sudah melajukan mobilnya dengan cepat.
“Astagfirullahhaladzim! apa seperti ini cara seorang polisi mengemudikan mobilnya?” ucap Ayya kaget sambil memegang keningnya yang kepentok sandaran jok depan.
“Mas! kenapa tidak menunggu pak Karman saja biar dia yang mengantar Ayya belanja, dari pada harus mati konyol dengan cara seperti ini?” ucap Ayya yang mulai kesal, karena bukannya menggubris Ali malah semakin menjadi-jadi.
Ali langsung menghentikan mobilnya lalu menyuruh Ayya keluar
“Kalau begitu, keluarlah dari mobilku sekarang juga!” perintah Ali.
“Mas, kamu jangan bercanda ya, kamu tidak bisa menurunkanku di tengah jalan seperti ini,” ucap Ayya.
“Kalau begitu, tutuplah mulutmu dan jangan banyak bicara,” ucap Ali sambil melajukan kembali mobilnya.
Ayya pun langsung diam, menurut pada suaminya karena takut di tinggalkan di tengah-tengah kota yang sangat besar dan belum di kenalnya ini.
Ali menghentikan mobilnya di depan supermarket langganan Ibunya.
“Belilah hanya barang-barang yang penting saja, dan gunakan waktumu sebaik mungkin karena aku tidak bisa menunggu lama-lama, jika kamu menghabiskan waktu lebih dari 30 menit, maka pulanglah sendiri naik taxi,” ucap Ali sambil menoleh ke arah Ayya, “Ayo! Cepatlah Keluar!” perintah Ali.
“Baik.” ucap Ayya seraya membuka pintu mobilnya. Masuklah ke sebuah supermarket besar dan mulai memilih-milih barang yang diperlukan, setelah dirasa cukup, Ayya melakukan pembayaran di kasir lalu berjalan secepatnya menuju pintu keluar, akan tetapi pandangannya tertuju ke arah kue-kue yang terpajang dan sangat menarik.
Ayya tergoda untuk membuatnya di rumah lalu ia masuk kembali untuk sekadar membeli bahan-bahan yang dibutuhkan. Sepertinya Ayya lupa kalau waktu yang dimilikinya cuma 30 menit.
Pikirnya ini adalah kesempatan untuk membeli barang-barang yang dibutuhkan, supaya di rumah ada kegiatan yang bisa dikerjakan dengan barang itu.
Namun sialnya dia membelanjakan uangnya sampai habis dan ketika keluar dari supermarket, Ayya sudah tidak melihat lagi mobil suaminya terparkir di sana. Ia pun baru menyadari bahwa handphonenya tertinggal di meja makan karena terburu-buru.
Ayya menghela napasnya, rasanya ia ingin menangis karena tidak tahu apa yang harus dilakukan saat ini. Di tangannya hanya ada sisa beberapa lembar uang dua ribuan saja, mana cukup untuk ongkos taxi. Mau berjalan pun dia lupa arah menuju ke rumah.
Jakarta ini benar-benar asing buat Ayya. Dia mencoba mengingat-ingat arah rumah lalu berjalan dengan membawa kantong belanjaan di tangannya. Saat dirasa tangannya mulai sakit dia berhenti sejenak, melepaskan kantong-kantong belanjaan yang dibawanya, lalu ia ambil kembali dan melanjutkan perjalanan. Ayya lakukan berulang-ulang sambil berjalan.
BERSAMBUNG ...
pertama tekan like 👍, terus tekan love ❤️ supaya dpt notif kalau eps baru sudah up, selanjutnya boleh komen positif, kasih bintang 5 dan vote juga, makasih 😘
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!