NovelToon NovelToon

Anak Kembar CEO Kaya

1. Gadis Aneh

"Saya pergi ke kota untuk bekerja dengan tetangga saya, tapi mana saya tahu kalau ternyata pekerjaan yang dia tawarkan itu untuk menjadi pelacur."

 

\*

 

Panas terik, jalanan yang ramai, dan debu yang berhambur di depan wajahnya. Gadis yang tengah terbengong di depan sebuah toko itu bahkan tak lagi peduli dengan semua itu. Ia hanya melihat ke depan, menatap kosong pada jalanan yang ramai karena alasan yang tak diketahui orang-orang.

"Dompetku ..." Lirihnya.

Beberapa orang mungkin terlihat acuh, namun beberapa orang lainnya tentu memandang aneh gadis itu. Bagaimana tidak? Ia tidak berpindah sedikitpun dari tempatnya berdiri dan terus menggumamkan kata yang sama sedari tadi. Apa yang sebenarnya terjadi? Tak seorangpun bertanya meski sebenarnya mereka penasaran pada gadis itu.

Ciiiittt

Gesekan ban mobil yang berhenti mendadak di area parkir yang tak jauh darinya itu membuat suara yang cukup keras. Gadis itu menoleh, menemukan seorang pria berkulit eksotis dengan wajah yang terlihat garang turun dari sebuah mobil mewah berwarna hitam. Pria itu, yang tidak ia ketahui namanya berjalan masuk ke sebuah coffee shop tanpa melirik sedikitpun ke arahnya. Penampilannya rapi, dengan setelan jas dan dasi yang membuatnya terlihat berwibawa.

Orang kantoran, ya.

Gadis itu membatin. Ia masih terus menatap ke arah pintu masuk coffee shop, melihatnya dengan tatapan kosong. Pria tadi sangat tampan, namun aura garangnya begitu kentara. Meski wajah dan penampilannya mendukung untuk menjadi incaran wanita, orang lain pasti akan merasa terintimidasi jika tatapannya selalu seperti itu. Dan entah mengapa, rasanya dia mirip dengan seseorang.

Ya, kupikir dia memang mirip dengan orang itu.

Ia akhirnya bisa sedikit tersenyum. Ia yang sibuk dengan pemikirannya tadi menjadi sedikit lupa dengan penderitaannya hari ini. Yah, meski hanya untuk sesaat. Karena tak lama setelah itu, pria yang belum lama masuk ke dalam coffee shop tadi kembali keluar sembari membawa satu cup minuman yang wanginya hampir saja membuat gadis itu menjatuhkan air liur.

Ah, tentu saja. Apalagi tiba-tiba saja pria itu menghentikan langkahnya di depan dirinya yang sibuk melamun. Dan sekarang di depan gadis yang masih menatapnya, dia, pria yang tak dikenalnya itu tiba-tiba berbicara dengan kasar, "Apa yang kau lihat?" Matanya melotot. Dia sudah menyadari bahwa gadis itu terus memperhatikannya sedari tadi, karena itu pria itu mendatanginya.

Apa dia memiliki niat buruk?

Pria itu menatap lekat penampilan gadis itu, menilainya di dalam hati.

Gadis itu mendongak perlahan, tiba-tiba sadar bahwa tinggi mereka ternyata sangat jauh berbeda, "Bapak tanya saya?" Tanyanya seperti anak kecil. Ia berusaha mengalihkan pandangannya saat tanpa sengaja matanya bertemu dengan cup minuman dingin di tangan pria itu yang terlihat menggoda. Gadis itu hanya bisa menelan air liurnya sendiri, berusaha menahan diri.

"Ba---" dia berusaha menahan amarahnya. Gadis yang terlihat seperti anak SD di hadapannya tersebut bahkan tak punya hak untuk memanggilnya dengan asal seperti itu, "Saya tidak merasa punya urusan dengan Anda!"

"Saya juga tidak punya urusan dengan bapak, sih." Jawab gadis itu acuh tak acuh. Hal itu tentu saja membuat pria dihadapannya itu tercengang. Dia bahkan membuka matanya lebar-lebar, tak percaya bahwa gadis itu akan melawan. Semua orang tahu bahwa wajahnya terlihat menyeramkan, namun mengapa gadis itu bahkan tak berkedip saat menjawabnya?

Tak memedulikan pria di hadapannya, gadis itu tiba-tiba menoleh saat seseorang kembali masuk ke dalam coffee shop. Ekspresi wajahnya terlihat menyedihkan. Antara bingung, sedih, dan juga berharap. Setetes air pun tak ada masuk ke dalam mulutnya sedari pagi. Ia tahu dirinya sangat kehausan, tapi ia tak tahu harus melakukan apa dalam keadaannya yang menyedihkan saat ini.

Dan hanya dengan sekali lihat, pria dihadapannya ini langsung mengerti dengan apa yang dirasakan oleh gadis itu.

"Kau haus?" Tanyanya. Kali ini, dengan suara yang sedikit lembut.

Gadis itu menoleh lalu menggeleng dengan cepat. Ah, tentu saja ia sangat kehausan. Sedari tadi dirinya terus-menerus berdiri di bawah terik matahari yang panas tanpa berpindah. Ia bahkan terlihat sangat lesu dan tak bertenaga dengan wajahnya yang pucat. Dan meskipun keadaannya sudah seperti itu, mengapa dirinya masih menjawab dengan hal yang sangat berlainan?

Aku rasa aku hanya akan menjadi bahan ejekan jika mengaku. Orang-orang seperti mereka kan sangat suka mengatai orang dari kelas bawah, jadi mereka ---

"Nah!" Suara pria itu membuatnya berhenti berbicara dalam hati.

Pria itu menyodorkan minuman yang baru dibelinya pada gadis itu, "Aku rasa aku tidak terlalu haus, jadi ini untukmu saja!" Katanya.

Awalnya ia terlihat ragu, tak yakin juga mengapa pria itu memberikannya minuman secara cuma-cuma. Bukankah mereka tak saling kenal? Dan lagi, sepertinya ia telah mengatakan sesuatu yang membuat pria itu menjadi kesal. Lalu, mengapa pria itu tiba-tiba bersikap baik padanya?

Mengesampingkan semua pertanyaan, tiba-tiba saja gadis itu merebut minuman dingin yang ada di tangan pria itu dan meminumnya sampai habis sebelum sang pemberi berubah pikiran. Bahkan mungkin, sebelum pria itu benar-benar sadar bahwa minumannya kini telah berpindah ke tangannya. Ia sangat kehausan hingga tak lagi punya waktu bahkan hanya untuk sekedar melihat ekspresi wajah pria itu yang terkejut dengan gerakannya yang tiba-tiba.

Bagaimana lagi, ia yang tak mempunyai sepeserpun uang ini tak akan mungkin bisa membelinya sendiri jika tiba-tiba pria itu menarik tawarannya!

Dan orang yang baru saja memberikannya minuman itu lagi-lagi tercengang, tak menyangka akan melihat sosok gadis yang tak sungkan-sungkan untuk terlihat rakus di depan pria.

"Kau sangat kehausan, ya?" Dahinya berkerut dengan suara yang sedikit melemah. Orang yang dimaksud hanya diam sembari menikmati minumannya yang tersisa. Didengar bagaimanapun juga, kesan galak dari pria itu masih tetap terasa meski dia berusaha berbicara dengan selembut mungkin. Gadis itu menatap ke arahnya, terlihat serius.

"Bapak kalau bicara memang pakai nada galak seperti itu?" Tanyanya, "Kalau orang yang tidak terbiasa, mungkin mereka pikir bapak sedang memarahi mereka." Ujarnya kelewat jujur.

Pria itu mengerutkan dahinya saat mendengar penuturan gadis itu. Meski panggilan 'bapak' cukup membuat terganggu, namun sekarang dia justru penasaran pada hal lain.

"Memangnya kau terbiasa?"

Dia tiba-tiba sadar bahwa sepertinya baru kali ini ada orang yang pertama kali berbicara dengannya namun justru terlihat santai-santai saja. Bahkan gadis dihadapannya ini tidak terlihat ketakutan sama sekali.

"Hihi," gadis itu tergelak pelan. Tampaknya tenaganya telah kembali terisi setelah diberi segelas minuman dingin, "Bapak saya galak." Katanya kemudian.

Meski gadis itu tak mengatakan hal itu kepadanya, namun secara tersirat dapat diartikan bahwa gadis itu terbiasa dengan cara bicaranya karena dirinya sama galaknya dengan ayah sang gadis.

"Dasar stress!" Maki pria itu kemudian.

Pria berkulit eksotis itu berniat untuk segera pergi dari sana, tapi gadis yang baru dimatanya stress tersebut tiba-tiba saja menarik lengannya dengan cepat, "Pak, tunggu!" Panggilnya.

"Apalagi?!" Jawabnya dengan kesal.

Gadis itu tampak tersenyum malu-malu, lalu menatap pria di hadapannya dengan memelas, "Anu, bapak bisa pinjamkan saya uang?" Tanyanya yang semakin membuat sang kawan bicara tak habis pikir.

Mata pria itu bahkan sampai berkedut saat melihat keberanian gadis di depannya yang bahkan tidak dirinya ketahui namanya itu.

Benar-benar stress rupanya.

***

"Sial!"

Bannya bocor di tengah malam. Padahal sebelumnya dia yakin telah memastikan semuanya baik-baik saja, lalu mengapa mobilnya berulah di waktu dan tempat yang sepi seperti ini?

Pria itu keluar dari mobilnya dengan kesal. Dengan kondisi bannya yang bocor parah seperti ini, sangat tidak mungkin baginya untuk kembali sesuai jadwal. Mobil itu harus segera diperbaiki. Namun karena hari sudah malam seperti ini, paling tidak dia harus menemukan seseorang untuk membantunya. Pria itu pun mencari ponselnya, berencana untuk menghubungi sekretarisnya agar menjemput.

"Kemana ponsel itu."

Ia mencari ke segala tempat, namun tak juga ia temukan ponsel hitam miliknya. Lagi, ia mencoba mencarinya di dalam mobil. Namun seperti yang telah dirinya lakukan, tak sedikitpun ia temukan tanda-tanda keberadaan ponsel tersebut. Apa mungkin ponselnya hilang?

"Bapak juga kecopetan?" Suara tersebut membuat dirinya berbalik. Di halte yang tak jauh dari tempatnya saat ini, sesosok gadis yang terlihat familier itu menatap dirinya dengan wajah serius.

"Hm, sepertinya benar." Gumam gadis itu. Pria itu kemudian mengarahkan tubuhnya ke arah gadis tersebut, merasa heran bagaimana mereka bisa bertemu dua kali.

"Kau mengikuti aku?" Tanyanya.

"Mana mungkin." Gadis itu menjawab dengan cepat, "Saya juga heran bagaimana kita bisa bertemu dua kali dalam sehari." Ucapnya dengan terang-terangan. Seperti tidak terima jika dituduh yang tidak-tidak. Lagipula, bagaimana dirinya bisa tahu jika pria itu akan melewati jalan ini setelah mereka berjumpa siang tadi?

Pria itu menyipitkan matanya, merasa tak percaya akan kebetulan aneh saat ini, "Bagaimana bisa aku percaya padamu? Jelas-jelas ini bukan kebetulan." Tuduhnya.

"Hah ... " gadis itu mendekat sembari menghela napas panjang. Ia tak lagi bersedia untuk mendengarkan tuduhan-tuduhan tersebut hanya dari tempatnya duduk, "Bagaimana saya harus membuktikan? Saya terus ada disini sepanjang hari hingga malam karena tidak berani untuk pulang." Jelasnya. Gadis itu jelas berbicara dengan jujur. Namun apapun yang dirinya katakan, tentu saja tak cukup untuk menghapus semua kecurigaan yang telah dilayangkan pria itu padanya.

Gadis itu kemudian terduduk di pinggir jalan, memeluk lututnya sendiri di depan pria itu, "Saya pergi ke kota untuk bekerja dengan tetangga saya, tapi mana saya tahu kalau ternyata pekerjaan yang dia tawarkan itu adalah untuk menjadi pelacur." Jelasnya.

Bahkan meski pada awalnya dia merasa curiga pada gadis itu, tetap saja pada akhirnya dia terkejut setelah mendengar cerita singkat yang gadis itu bagikan. Kasihan, pria itu percaya bahwa gadis itu pasti telah melewati hari yang buruk. Tanpa ada keluarga maupun uang, gadis itu memang terlihat kebingungan siang tadi. Dan dia percaya itu tidak dibuat-buat sama sekali.

Pria itu menunduk, ingin melihat ekspresi gadis itu sekarang. Ada sedikit rasa tidak tega saat mendengar cerita singkatnya barusan. Sudah banyak kasus pendatang baru yang ditipu seperti itu, tapi syukurlah tampaknya gadis itu berhasil melarikan diri sebelum terjadi suatu hal yang tak diinginkan.

"Siapa namamu?" Tanya pria itu. Gadis itu menoleh, memastikan apakah benar pria itu yang baru saja menanyakan namanya.

"Zoya. Lalu bapak? Siapa nama Anda?"

***

2. Gallen

 

"*Nama saya Gallen, saya bukan bapak kamu*."

 

\*\*\*

 

 

Pria itu menepuk dahinya dengan cukup keras hingga membuat gadis bernama Zoya itu terperanjat. Bapak, bapak katanya? Apakah dia setua itu hingga gadis di depannya ini terus-menerus memanggil dirinya sebagai bapak?

"Memangnya aku terlihat tua? Matamu benar-benar bermasalah jika kau berpikir demikian." Sungutnya.

Zoya hanya menatap pria di depannya dengan dahi berkerut. Sungguh, tampaknya lugu dan bodoh benar-benar menyatu dengan sempurna pada gadis itu. Ia tak takut pada orang yang terus berbicara dengan setengah memaki padanya ini, juga tak memiliki sedikitpun prasangka buruk padanya hingga bisa dengan polosnya mendekat padahal tempat mereka berada saat ini benar-benar sepi. Pria itu menghela napas, tak ada gunanya juga dirinya kesal seperti tadi.

"Nama saya Gallen, saya bukan bapak kamu." Ujar pria itu kemudian. Zoya menatap Gallen dengan serius, lalu tiba-tiba membuka mulutnya setelah beberapa saat terdiam.

"Tumben bapak bicara sopan sama saya." Katanya. Antara bangga dan juga heran, tapi jelas saja hal itu membuat Gallen semakin tidak percaya bahwa ada makhluk seaneh itu di muka bumi ini.

Bahkan saking tak percayanya, Gallen sampai terdiam dengan mulut yang terbuka.

Dia tuli, ya? Bukankah aku sudah bilang kalau aku bukan bapaknya? Kenapa masih juga memanggilku dengan panggilan macam itu?

Gallen tak tahu harus menjawab bagaimana lagi. Gadis di depannya ini benar-benar membuatnya kesal sendiri. Apa kata-katanya tak cukup jelas untuk dapat gadis itu pahami? Atau justru gadis itu yang terlalu bodoh untuk dapat memahami kata-katanya?

"Terserah!"

Gallen berbalik untuk mengambil dompet dan tas miliknya, kemudian memilih untuk berjalan pergi dari sana. Lebih baik dia mencari tempat bermalam dan meminjam ponsel orang lain untuk dapat menghubungi asistennya daripada terus disana dan mati kesal karena gadis itu.

"Pak! Pak, tunggu!"

Gallen tak ingin berhenti. Dia tahu jika dirinya berhenti maka gadis itu hanya akan membuatnya lebih kesulitan. Bukankah keadaan mulai aneh sejak dia bertemu dengan gadis itu? Maka dengan menghiraukan panggilan tersebut, dia semakin mempercepat langkah kakinya untuk pergi dari sana.

"Pak!"

Sial, ternyata gadis itu cepat juga.

Zoya memegang lengan Gallen cukup kuat. Dengan napas terengah akibat mengejar pria itu yang berlari menghindar saat dirinya panggil, Zoya secara perlahan mengangkat kepalanya dan memelas kembali pada pria itu, "Pak, boleh saya minta tolong lagi?" Pintanya.

Jika diperbolehkan, ingin sekali Gallen menjawab 'tidak' atas pertanyaan itu. Tapi seperti yang terjadi tadi siang, dia yang berwajah sangar namun berhati Hello Kitty ini sama sekali tidak bisa membiarkan orang malang seperti gadis itu begitu saja saat dirinya meminta pertolongan. Tidak tega, begitulah kira-kira. Jadi meskipun Zoya sudah membuatnya kesal dan Gallen pun memandang gadis itu dengan tatapan seolah menyuruhnya pergi, pada akhirnya kata yang terucap dari bibir pria itu adalah kata-kata yang berkebalikan.

"Hah, baiklah. Tapi lepaskan tanganmu dariku!" Ucapnya dengan setengah berteriak.

Zoya terkekeh dengan senang, lalu segera melepas pegangan tangannya pada pria itu, "Hehe, terimakasih, Pak."

Gallen memutar mata. Sungguh, sepertinya dia akan menyesali keputusannya barusan.

***

Gallen membawa gadis itu untuk ikut bersamanya. Meskipun malam sudah larut dan orang yang lewat hampir jarang, pria itu tahu bahwa disekitar sana ada sebuah hotel yang cukup bagus. Memang cukup jauh jika harus berjalan sampai sana, tapi keduanya tidak punya pilihan lain yang lebih baik daripada itu. Gallen berjalan beberapa langkah di depan. Sedang Zoya yang periang dan lugu terus berbicara di belakang seperti seekor burung yang berkicau.

"Pak, umur bapak berapa?" Tanyanya setelah sekian banyak pertanyaan. Gallen memutar mata, menjawab pertanyaan tersebut dengan sangat terpaksa.

"Dua puluh lima tahun." Jawabnya. Seolah tak percaya, gadis itu kembali bertanya dengan suara yang naik beberapa oktaf.

"Dua puluh lima? Berarti cuma beda lima tahun dari saya, dong." Katanya lagi. Gadis itu lalu bergumam kecil, mulai menyadari caranya memanggil pria itu ternyata salah.

"Baru sadar kalau salah?"

"Ya." Ia mengangguk. Jika hanya beda lima tahun, tentu saja tidak cocok dipanggil dengan sebutan bapak, "Saya pikir bapak setidaknya sudah berusia tiga puluh tahun, karena bapak terlihat jauh lebih dewasa dibandingkan saya. Tapi ternyata hanya lima tahun? Wah, sepertinya kemampuan saya menilai orang semakin menurun." Katanya.

Gallen menyipitkan mata. Sepertinya bukan itu yang ingin gadis itu katakan.

Dewasa atau tua? Rasa-rasanya dia menghinaku secara halus.

Gallen hanya bisa bergumam dalam hati.

"Kalau panggilan bapak tidak cocok, harus panggil apa, ya?" Gumamnya yang masih terdengar oleh Gallen. Pria itu lantas menoleh ke belakang sejenak, sebelum akhirnya kembali menatap ke depan.

"Panggil Gallen saja." Katanya. Mungkin dia tidak ingin suasana semakin terasa canggung, namun Zoya langsung menggeleng kuat-kuat mendengar saran dari pria itu.

"Mana mungkin, ba--- ekhem, Anda kan sudah sangat baik dan dermawan pada saya, tidak sopan jika hanya memanggil nama."

Gallen hanya diam sembari memperhatikannya saat mendengar jawaban tersebut. Meski demikian, sepertinya dia mulai mengubah pemikirannya sedikit demi sedikit. Memang benar jika Zoya sangat menyebalkan, namun lama-kelamaan rasanya lucu juga.

Tapi, tetap saja dia menyebalkan. Huh.

"Terserah." Dia tiba-tiba melajukan langkah kakinya. Zoya yang sibuk dengan pemikirannya sendiri langsung terkejut, lalu kemudian sadar bahwa dirinya ternyata ditinggal.

"Pak! Tunggu!"

***

"Wah." mata gadis itu berbinar. Apa benar mereka akan menginap di tempat ini? Di tempat sebesar dan semewah ini?

"Pasti harganya mahal. Saya berhutang berapa banyak lagi kalau begini?" Ekspresi wajahnya berubah. Sepertinya kekagumannya langsung menghilang saat ingat bahwa dirinya harus membayar kembali semua uang yang pria itu keluarkan untuknya.

"Kalau begitu, tidak usah dipikirkan. Begitu saja repot." Katanya yang kemudian mulai melangkah menuju lift. Zoya mengikut di belakang pria itu, lalu masuk bersama dengannya.

"Wuah, seperti di TV!" Kagumnya lagi. Gadis itu menyentuh dinding lift dengan mata yang berbinar, sebelum tiba-tiba teringat kembali dengan hutang yang harus dibayar.

"Aduh, hampir saja lupa." Gumamnya pelan. Kemewahan yang tak pernah ia lihat sebelumnya itu jelas saja membuatnya mudah lupa diri. Zoya menarik tangannya yang semula menyentuh dinding lift, berusaha untuk tenang. Ia tak pernah membayangkan akan bisa melihat tempat seperti ini secara langsung, apalagi sampai menginap seperti ini. Namun, ia harus ingat. Dirinya telah meminjam sejumlah banyak uang dari pria di sampingnya dan ia harus membayarnya.

Segera setelah dirinya tersadar, Zoya langsung menatap pria berkulit eksotis di sampingnya tersebut dengan tatapan serius, "Saya pasti akan membayar kembali semua uang yang Anda keluarkan untuk saya." Katanya. Dari sorot matanya, terlihat bahwa gadis itu telah yakin dengan keputusannya. Tidak ada sedikitpun keraguan yang terpancar dari wajah serius yang tengah menatapnya tersebut.

Gallen hanya menatapnya sejenak, lalu kembali memandang lurus ke arah pintu lift. Dia jadi berpikir. Sebenarnya apa mau gadis itu? Toh Zoya pun tak punya uang, lalu mengapa gadis itu justru sibuk ingin membayar hutang?

Aku tidak mengeluarkan uang terlalu banyak untuknya. Bukankah dia miskin? Kenapa dia harus memaksa untuk membayar padahal aku sudah bilang untuk melupakannya saja?

Matanya mencuri-curi pandang pada gadis itu. Setelah berbicara dengan penuh percaya diri, kini Zoya justru sibuk menundukkan kepala sambil menatap ke ujung sepatunya sendiri. Dahi Gallen mengkerut melihat pemandangan di sampingnya tersebut. Apakah gadis itu mulai menyesali kata-katanya sendiri? Jika iya, Gallen pun tidak akan mempermasalahkan hal tersebut dan akan dengan senang hati membiarkannya pergi pada keesokan hari.

Pintu lift terbuka. Keduanya sama-sama melangkah menuju kamar masing-masing. Gallen mengerti bahwa gadis itu pasti tak tahu bagaimana cara kerja hotel. Dia kemudian menjelaskan secara singkat, padat, dan jelas mengenai hal-hal tersebut, beserta aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar olehnya.

"Jangan mengetuk pintu kamar Anda?" Tanyanya dengan bingung.

"Ya! Pastikan kau tidak akan pernah mengetuk pintu kamarku mau apapun yang terjadi." Ekspresi wajahnya yang serius, cukup untuk membuat orang-orang merasa takut. Gallen rasa dirinya sudah cukup sabar menanggapi semua pertanyaan yang diajukan oleh Zoya sedari tadi. Sekarang, dia ingin menikmati waktunya sendiri tanpa harus mendengar suara gadis itu lagi. Lalu, apa yang diharapkan oleh gadis itu? Mengganggunya di malam hari? Haha, jangan harap itu bisa terjadi!

"Baiklah. Saya tidak akan mengetuk pintu kamar Anda." Jawaban tegas yang cukup membuat Gallen merasa lega. Akhirnya, dia bisa beristirahat dengan tenang tanpa takut merasa terganggu karena gadis itu!

"Sekarang masuklah. Aku juga akan kembali ke kamarku."

Zoya mengangguk. Segera setelah diperintahkan, gadis itu langsung masuk ke dalam kamar. Ia tak ingin membuat Gallen  merasa kesal dan menyesal karena telah membawanya. Tampaknya, kini ia tahu bagaimana caranya agar ia dapat membayar semua hutang-hutangnya pada pria itu.

Gallen baru meninggalkan tempat itu begitu yakin bahwa Zoya telah masuk. Gadis itu tidak terlalu pintar. Ia bisa saja lupa bagaimana cara untuk masuk ke dalam kamar meski Gallen telah menjelaskan. Dan untuk mengantisipasi tiba-tiba dirinya dipanggil, Gallen lebih memilih untuk memastikan gadis itu masuk lebih dulu sebelum meninggalkannya.

Dan disinilah Gallen sekarang. Memandang langit-langit kamar hotelnya dengan tubuh terbaring di atas kasur. lelah, dia ingin beristirahat.

Akhirnya aku sendiri. Tidak ada gadis cerewet yang terus bertanya, apalagi para tetua yang terus marah-marah. Akhirnya, sekarang aku bisa tidur dengan nyenyak.

***

3. Melamar Pekerjaan

"Lebih baik kau kembali saja, tidak perlu membayar hutang atau apalah itu, karena aku tidak perlu!"

\*\*\*

Saat pagi tiba, Gallen yang akhirnya bisa tidur nyenyak terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang baik. Pria itu kemudian mandi, menyegarkan diri untuk menyambut pagi harinya yang menyenangkan di akhir pekan. Dia sudah bekerja keras selama satu Minggu penuh, jadi sekarang dia bisa sedikit bersantai tanpa perlu memikirkan pekerjaan.

Setelah semua persiapan selesai, pria itu menatap ke luar jendela selama beberapa saat. Sinar matahari terlihat cukup cerah, bahkan meski pagi baru menunjukkan pukul setengah tujuh.

Gallen menghubungi asistennya semalam. Karena sulit menemukan bengkel di malam hari, Alby -- asistennya itu berjanji akan mencarikannya pagi ini. Dan Gallen tidak perlu khawatir untuk jemputannya nanti. Karena meskipun ini hari libur, Alby yang akan menjemputnya nanti untuk membawanya kembali ke rumah.

Jadi, sekarang Gallen hanya perlu bersantai dan sarapan dengan tenang. Sarapan yang disiapkan oleh hotel terlihat menggoda, cukup untuk mengisi perutnya. Dan karena tidak ada sesiapapun disini yang akan mengganggunya, Gallen pun bisa menikmati makanannya dengan tenang hingga habis.

Setelah selesai sarapan, dia berencana untuk keluar dari kamar dan melihat-lihat sekitar. Gallen telah selesai bersiap-siap dan sekarang dia akan membuka pintu kamarnya untuk keluar.

"Selamat pagi!"

Raut wajah Gallen berubah dalam sekejap. Ah, benar juga. Dia lupa bahwa semalam gadis itu datang bersama dengannya. Apa yang gadis itu lakukan? Menunggunya untuk mengucapkan selamat pagi?

"Bodoh, berapa lama kau menunggu disini?" Meski terdengar kasar, namun Gallen sebenarnya khawatir. Apa gadis itu menunggunya sedari tadi? Itu pasti sangat melelahkan, tapi mengapa gadis bodoh itu mau melakukannya?

Zoya yang tidak pernah mengambil pusing dengan setiap perkataan pria itu hanya tersenyum manis, "Tidak lama, kok. Hanya sekitar satu jam."

Gallen memerhatikan penampilan Zoya dari atas sampai bawah. Gadis itu sudah terlihat rapi. Sepertinya dia telah bersiap pagi-pagi sekali karena ingin menyambut pria di hadapannya itu seperti ini. Gallen hanya menghela napas, lalu menatap gadis itu dengan serius, "Kau seharusnya tidak perlu seperti itu. Kau tidak punya kewajiban untuk melakukannya." Gallen tidak ingin Zoya melakukan tindakan sia-sia. Lagipula mereka akan segera berpisah. Jadi, mereka tidak perlu terlalu dekat, bukan?

"Ah, mengenai ini. Semalam saya sudah berpikir panjang. Saya rasa, saya punya banyak hutang pada Anda." Jelasnya.

Gallen menatapnya dengan waspada. Firasatnya tidak terlalu baik. Apa yang gadis itu inginkan? Gallen tidak memintanya untuk membayar semua hutang-hutang itu!

Lebih baik kau kembali saja, tidak perlu membayar hutang atau apalah itu, karena aku tidak perlu!

"Bagaimana jika saya menjadi ART Anda?" Matanya tampak berharap penuh.

Lagi, Gallen menatapnya dengan tatapan kosong. Kenapa? Kenapa gadis itu berusaha sampai segitunya untuk membayar hutang? Gallen hanya ingin gadis itu segera pergi. Dia tidak perlu semua itu!

"Tidak perlu. Lebih baik kau pergi saja." Gallen merasa putus asa untuk mengusir gadis itu. Selain bodoh dan lugu, ternyata ia juga sangat keras kepala.

"Tapi, utang tetaplah utang. Bapak dan ibu saya bilang hutang haruslah dibayar atau saya tidak akan tenang bahkan ketika saya mati!" Jelasnya dengan bersungguh-sungguh.

Gallen diam, hanya mendengarkan gadis itu berbicara sendirian.

Sekarang dia membawa-bawa kematian?

Zoya tak kelihatan sedang bercanda. Mungkin memang benar bahwa gadis itu memegang prinsip bahwa hutang haruslah dibayar, tapi bukankah Gallen juga sudah bilang bahwa ia tak perlu memikirkan itu? Gallen tak menganggap keberadaan hutang itu, Zoya tak berhutang sedikitpun pada Gallen. Bukankah masalah harusnya selesai? Lalu mengapa gadis itu masih ingin bekerja dengannya?

Aku bahkan tidak mempekerjakan ART secara tetap karena tidak nyaman dengan keberadaan orang lain, tapi dia malah ingin bekerja denganku? Yang benar saja!

"Bodoh. Aku tidak perlu ART, mengapa kau masih ingin bekerja juga? Lebih baik kau mencari pekerjaan lainnya!" Gallen ingin pergi saja darisana. Namun, seperti yang terjadi tadi malam, Zoya langsung menahan salah satu tangan pria itu.

"Apa kau tuli? Jika aku berkata tidak maka artinya tidak! Mengapa kau terus memaksa, hah?!"

Gallen menyingkirkan tangan gadis itu, membuat Zoya sedikit terhuyung ke belakang. Tanpa menoleh lagi, Gallen langsung meninggalkannya begitu saja sendirian.

***

"Bos!" Sosok pria berpenampilan rapi melambai jauh dari jarak beberapa meter. Gallen menoleh, menatap Alby dengan tatapan serius.

"Sepertinya aku menyakiti seseorang." Ujarnya. Gallen telah lama menunggu pria itu tanpa berani beranjak sedikitpun dari tempatnya saat ini. Dia merasa bersalah, namun juga sulit untuk meminta maaf. Satu-satunya harapan yang dirinya punya adalah menunggu Alby datang dan meminta saran padanya.

Alby sedikit terkejut. Dia tahu bahwa bosnya ini memang berwajah sangar, namun tidak pernah sedikitpun dia melihat Gallen melakukan tindak kekerasan pada seseorang. Siapa yang sebenarnya dia sakiti?

"Bos, tenanglah dulu. Kita bisa bicarakan ini secara baik-baik. Siapa yang Anda sakiti? Kita bisa memberikan perawatan juga ganti rugi jika dia menginginkannya." Alby berusaha menenangkan bosnya. Namun diluar dugaan pria itu, Gallen justru menggeleng dan menyahut.

"Bukan, bukan yang seperti itu. Tapi yang lain."

"Yang lain?"

Gallen mulai menceritakan semuanya satu persatu, mulai dari ketika dia bertemu dengan gadis itu, hingga ketika dia menepis kasar tangan Zoya yang memegang lengannya. Alby mendengarkan setiap cerita Gallen tanpa menyela. Meskipun mungkin tindakan gadis itu salah, tapi tindakannya yang kasar pada wanita juga tak bisa dibenarkan!

"Hm," Alby tampak berpikir. Sebenarnya, mereka berdua itu sama. Sama-sama tak berpengalaman dalam hal mengurus wanita dan mengetahui perasaan maupun kemauannya. Namun sebagai asisten Gallen, sudah sewajarnya dia turut membantu pria itu untuk memikirkan pemecahan masalah yang tengah dihadapinya saat ini. Jawaban apa yang seharusnya dia berikan? Jawaban yang bisa menyenangkan gadis itu, namun juga bisa diterima oleh bosnya, "Wanita adalah makhluk yang sulit untuk dimengerti. Mereka cukup emosional, jadi akan sulit untuk mengembalikan kebahagiaan mereka jika kita terlanjur menyakitinya." Ucapan yang semakin membuat Gallen merasa bersalah.

"Sialan, aku juga tahu itu. Makanya aku bertanya padamu!"

Alby tersenyum kecil dan mencoba menenangkan bosnya kembali, "Bos, saya sama sekali tidak tahu bagaimana cara mengatasi wanita. Bagaimana jika bos turuti saja kemauannya? Lagipula dia hanya ingin membayar hutang, kan? Jadi bos hanya perlu mempekerjakannya sampai semua hutangnya lunas. Satu bulan, mungkin? Dengan begitu kalian bisa sama-sama melepaskan diri." Sarannya.

Gallen memikirkan saran itu baik-baik. Sebenarnya dia masih agak sulit untuk menerima orang lain di rumahnya, tapi sepertinya memang tidak ada cara lain yang dapat dirinya lakukan untuk meminta maaf atas kata-kata dan perlakuan kasarnya barusan. Zoya mungkin memang terlihat ceria, namun bagaimana jika keceriaannya hilang karena tindakannya barusan? Gallen tentu harus mengambil tanggung jawab untuk hal itu.

Akhirnya setelah diskusi panjang, Gallen setuju untuk melakukan saran dari asistennya. Ia bersama Alby kemudian segera beranjak menuju lift, menekan tombol tujuan dan naik ke lantai atas.

Hal pertama yang dapat mereka lihat saat pintu lift terbuka adalah keberadaan Zoya yang tengah terduduk di depan pintu kamarnya dengan tubuh yang memeluk diri sendiri. Kasihan, begitulah yang dipikirkan keduanya. Mungkin Zoya terlalu syok atas tindakan Gallen barusan hingga tak lagi bisa beranjak. Alby menepuk ringan pundak bosnya, memberikannya semangat. Keputusan yang tepat untuk mereka memilih kembali ke tempat ini dan meminta maaf. Gallen mengangguk kecil, bersiap untuk pilihan yang telah dia ambil.

"H-Hai." Sapanya dengan kaku. Zoya melihat ke atas, tersenyum lebar saat melihat pria itu kembali.

"Sa --- "

"Aku akan membiarkanmu bekerja denganku!" Lagi-lagi Gallen berbicara dengan setengah berteriak. Zoya awalnya sedikit terkejut. Ia tak menyangka pria di hadapannya ini akan langsung berteriak seperti itu. Cukup menyebalkan, memang. Namun setelah apa yang dikatakan Gallen terproses di kepalanya, ekspresi wajah gadis itu pun langsung berubah menjadi gembira.

"Sungguh? Anda benar-benar menerima saya?" Gallen berdecak mendengar pertanyaan gadis itu. Tentu saja, tak mungkin dia berubah pikiran dan menarik kembali perkataannya. Itu adalah pantangan yang tak mungkin dilakukan oleh pria itu.

"Terimakasih, saya pasti akan bekerja dengan baik!" Zoya benar-benar terlihat bahagia.

Gallen menengok ke belakang, menemukan Alby yang memberikan dua jempolnya pada sang bos. Yah, sudahlah. Memang benar bahwa dia tak suka jika ada orang lain di rumahnya. Namun jika itu dilakukan untuk menyenangkan orang lain, Gallen tidak punya pilihan lain.

"Seharusnya kau tidak perlu sampai putus asa seperti ini hanya karena aku menepis tanganmu. Dasar bodoh." Gallen mengalihkan pandangannya. Entah mengapa rasanya malu sendiri. Bukankah gadis ini sampai melakukan hal itu demi dirinya? Apakah mungkin ...

Dia menyukaiku?

"Hah?"

Gallen menatap wajah bingung Zoya. Apa katanya tadi? Hah? Apa dia terkejut karena Gallen mengetahui keputusasaannya atau jangan-jangan ...

"Saya tidak melakukan itu karena putus asa atas tindakan Anda, kok. Saya lupa bagaimana cara masuk ke kamar, saya juga lupa bagaimana cara masuk ke lift, tapi Anda kan sudah meninggalkan saya dan turun sendirian. Makanya saya diam disini untuk menunggu Anda pulang." Katanya.

Gallen tak menjawab, hanya menatap gadis itu dengan tatapan seolah berkata 'lebih baik kau tidak bicara lagi'.

Kan, benar. Justru aku yang kelihatan terlalu berharap. Dasar bodoh!

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!