NovelToon NovelToon

Pesona Cinta Majikan

Bab 1 - PCM

“Ada masalah lagi?” tanya Indra saat melihat kedatangan Edwin dengan wajah tidak biasa. Walaupun sebenarnya setiap hari Edwin memang berwajah masam cenderung galak. Edwin Adiputra (35 tahun) adalah seorang CEO pada perusahaan keluarganya. Sedangkan Indra (36 tahun) adalah personal asisten dari Edwin, yang juga teman kecilnya.

“Pengasuh Aiden mengundurkan diri.”

“Lagi?”

Edwin hanya menganggukkan kepalanya tapi Indra malah terkekeh. “Sebenarnya yang dibutuhkan Aiden itu seorang Ibu bukan pengasuh.”

Edwin berdecak mendengar ucapan Indra, mengingat kembali kepergian Amira Ibu dari Aiden. Edwin dan Amira sangat bahagia saat kehadiran Aiden. Tapi kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.  Beberapa bulan setelah melahirkan, Amira meninggalkan Edwin dan Aiden untuk selamanya. 

 “Jadi bagaimana?” tanya Indra membuyarkan lamunan Edwin.

“Apanya yang bagaimana?”

Indra berdecak, “Dari tadi aku bicara, sepertinya tidak didengar. Sekretaris pengganti kamu sudah berada di ruang HRD, aku sudah minta dia kesini.”

“Hm.”

Ponsel Edwin bergetar, ternyata panggilan dari sekolah Aiden. Sebelum menjawab panggilan tersebut, Edwin menghela nafasnya dan melambaikan tangan meminta Indra keluar dari ruangannya.

“Halo.”

Edwin memijat kepalanya setelah panggilan berakhir. Aiden kembali berulah di sekolah, baru saja pihak sekolah menyampaikan kenakalan yang dilakukan Aiden.

Terdengar ketukan pintu lalu masuklah Indra bersama dengan seorang wanita. “Pak Edwin, ini adalah Ayu sekretaris baru anda,” ujar Indra mengenalkan Ayu pada Edwin. Ketika ada orang lain, Indra dan Edwin akan berbicara formal dan profesional tapi ketika berdua mereka bicara sebagai dua orang sahabat. 

Edwin menjabat tangan Ayu, sebagai tanda perkenalan. “Saya Ayu, Pak. Mohon arahan dan bimbingannya.”

“Kamu di sini bukan untuk dibimbing lagi tapi implementasi kerja.” Wajah Ayu yang tadinya ceria berubah datar karena teguran dari Edwin.

Yaelah, belum apa-apa udah di skak duluan. Ganteng tapi mulutnya pedes, mana wajahnya nggak ada manis-manisnya, batin Ayu.

“Oke, cukup perkenalannya. Ayu kita keluar, saya akan tunjukkan meja kerja dan tugas-tugas kamu,” ajak Indra.

“Permisi, Pak,” pamit Ayu tapi tidak dijawab oleh Edwin.

Busyet, kaku amat kayak kanebo kering, batin Ayu lagi.

“Ini meja kerja saya, Pak?” tanya Ayu.

“Betul, semoga kamu kerasan ya. Ini list yang harus kamu kerjakan dan ini list file-file yang kamu butuhkan. Semangat Ayu.”

“Semangat, Pak.”

Jenar Ayu Santika saat ini baru berumur dua puluh empat tahun. Dua tahun ini dia bekerja di kantor ekspedisi. Mendapatkan informasi jika di perusahaan tempatnya berada saat ini sedang membutuhkan sekretaris, Ayu pun mencoba peruntungannya dan ternyata takdir berpihak kepada Ayu.

Saat ini Ayu sedang membaca dan memahami apa yang harus dia kerjakan, termasuk membuka file-file yang dibutuhkannya. Sangat fokus dengan aktifitasnya dia tidak menyadari kalau Indra sudah berada dihadapannya.

Tok tok tok

Indra mengetuk meja Ayu membuat wanita itu menatapnya. “Maaf Pak, ada yang bisa saya bantu?” tanya Ayu pada Indra.

“Hm, bawakan kopi untuk Pak Edwin. Kami akan berdiskusi sebelum rapat setelah makan siang.”

“Baik, Pak.”

Ayu pun menuju pantry, membuatkan kopi untuk atasannya. “Waduh, aku lupa tanya selera Pak Edwin macam mana.” Salah satu office boy masuk ke dalam pantry dan tidak disia-siakan oleh Ayu.

“Mas, pernah buat kopi untuk Pak Edwin?”

“Kopi hitam, dengan gula cukup satu sendok,” jawab office boy tersebut.

“Owh, oke.”

“Mau saya yang buatkan saya Mbak?”

“Nggak usah biar saya aja.”

Di dalam ruang kerja Edwin. “Kenapa tidak mencari sekretaris pria saja?” tanya Edwin.

“Sulit Pak, rata-rata pelamar yang masuk adalah perempuan.”

“Menurut kamu, perempuan itu bisa bekerja dengan baik. Aku sepertinya ragu.”

Diskusi Edwin dan Indra terhenti karena Ayu datang membawa secangkir kopi. “Ayu, bawakan proposal PT. ABC,” titah Indra.

Ayu kembali ke dalam ruangan untuk menyerahkan dokumen yang diminta Indra. Tapi malang karena tidak hati-hati tangannya menyenggol cangkir yang dia letakan di atas meja. Cairan kopi mengotori meja dan beberapa lembar dokumen yang ada di atas meja .

Edwin menghela pelan sebelum berkata, “Apa kamu selalu ceroboh seperti ini?” 

\=\=\=\=

Hai, kembali lagi dengan aku. Ini karya baru aku, dukung terus yaaaa.

Bab 2 - PCM

Ayu sudah kembali ke meja kerjanya. Menundukkan wajah memikirkan ulahnya tadi, bahkan sampai membuat Pak Edwin marah. “Benar-benar kesan yang buruk,” keluh Ayu. Edwin bahkan menolak saat Ayu ingin membersihkan mejanya, memilih meminta Indra memanggil OB.

Menjelang jam makan siang, Indra keluar dari ruangan Edwin. “Sabar ya Ayu, kamu hanya gugup. Ingatkan OB untuk mengantarkan makan siang Pak Edwin,” titah Indra.

“Baik, Pak.”

Seharusnya Pak Indra yang jadi atasan aku, lebih kalem dan baik. Nggak seperti yang ada di dalam, batin Ayu sambil mencibir.

Setelah memastikan makan siang atasannya sudah diantar, Ayu menghubungi para peserta rapat project yang akan dihadiri oleh beberapa orang manager dan staf. “Oke, beres. Aku makan siang dulu,” ujar Ayu dengan penuh percaya diri dia meninggalkan meja kerjanya.

Sesuai dengan jadwal bahwa setelah makan siang akan ada rapat mengenai project baru. Edwin pun menuju ruang rapat bersama dengan Indra. Keduanya terkejut saat melihat ruangan masih sepi, hanya ada staf IT yang sedang memastikan layar dan proyektor dapat digunakan.

“Apa aku salah membaca jadwal?” tanya Edwin lalu meninggalkan ruangan rapat.

Saat ini Edwin sudah berada di depan meja Ayu. “Kamu sudah mengatur jadwal rapat hari ini?”

“Sudah Pak.” Dengan penuh keyakinan Ayu mengingat bahwa dia sudah mengirimkan pesan pada para peserta rapat juga sudah memesan konsumsi untuk rapat tersebut sesuai dengan list tugas yang dibuat oleh sekretaris sebelumnya.

“Coba kamu buka lagi jadwalku hari ini dan bacakan!” perintah Edwin masih berdiri dengan kedua tangan dilipat di dada.

Ayu membacakan jadwal Edwin, ucapannya terhenti saat membacakan jadwal rapat. “Rapat manajemen project … pukul tiga belas tiga puluh.”

“Hm.”

Ayu menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu, “ Hehe, maaf Pak. Sepertinya saya keliru membaca jadwal. Saya pikir jam tiga sore.”

“Bukan hanya kamu yang keliru. Indra dan bagian HRD sepertinya keliru menerima kamu di sini.”

“Hahh.”

“Pastikan peserta rapat kumpul dalam lima belas menit!” teriak Edwin lalu masuk ke dalam ruangannya.

“Ba-baik Pak.”

Ayu mengetuk dahinya. “Ceroboh, ceroboh banget sih. Kenapa bisa salah baca jam,” keluh Ayu lalu meraih gagang telepon yang ada di atas meja, menghubungi kembali para peserta rapat.

***

Pagi ini, Ayu tiba di kantor tidak semangat seperti hari pertama dia bekerja. Kemarin dia bekerja cukup memberikan kesan buruk dengan menumpahkan kopi dan salah mengundang rapat.

Huftt.

“Semangat Ayu,” ujarnya bermonolog saat akan melangkah masuk ke dalam lobby.

Memastikan meja kerjanya sudah aman, Ayu juga memastikan ruangan Edwin sudah aman dan nyaman sebelum pemilik ruangannya itu datang.

Sedangkan di kediaman Edwin.

“Papah, kenapa Aiden tidak ke sekolah hari ini?” tanya Aiden saat Edwin bergabung di meja makan.

Sebenarnya Aiden baru duduk di Taman Kanak-kanak karena umurnya baru lima tahun. Tapi Edwin cukup kesulitan dengan tingkah Aiden di sekolahnya. Termasuk kejadian kemarin.

“Kamu dihukum tidak boleh sekolah hari ini dan besok. Papah akan mengijinkan kamu sekolah kalau sudah mendapatkan pengasuh yang baru.”

“Tapi ….”

“Tidak ada tapi Aiden, habiskan sarapanmu dan ikut Papah ke kantor. Sebaiknya hilangkan kebiasaan usil kamu, karena bisa membuat orang lain celaka.”

“Aku bukan usil, hanya memperingatkan orang supaya lebih hati-hati.”

Edwin menghela pelan, mendengar jawaban putranya. Untuk ukuran anak seusianya, Aiden cukup cerdas dan memiliki karakter usil sering mengganggu orang lain.

Edwin dan Aiden pun akhirnya tiba di kantor.

“Papah, aku duduk di sana ya,” pinta Aiden menunjuk sofa yang ada di lobby.

“Jangan keluar, kalau sudah selesai kamu ke ruangan Papa.”

Aiden hanya menganggukkan kepalanya. Edwin menitipkan pesan pada resepsionis untuk mengawasi putranya.

Ayu dengan sigap menyambut kedatangan Edwin, berjanji kalau hari ini akan melakukan tugas dengan baik. Membacakan jadwal hari ini termasuk mengantarkan kopi untuk atasannya. Semua dilakukan oleh Ayu dengan hati-hati.

“Ayu, pastikan orang-orang yang namanya tertera di dokumen ini memberikan tanda tangan di kolom yang tersedia,” perintah Indra.

“Sekarang, Pak?”

Indra terkekeh, ingin sekali dia menjawab melenceng dengan mengatakan tahun depan atau terserah kamu. “Tentu saja sekarang.”

Ayu pun menuju beberapa divisi untuk memenuhi tugas dari Indra. Terakhir adalah perwakilan dari resepsionis, Ayu sudah berada di lobby. Setelah mendapatkan tanda tangan yang lengkap, dia masih berdiri di meja resepsionis memandang ke arah sofa. Merasa aneh ada anak kecil yang sedang duduk di sana, dia pun menghampiri bocah yang asyik dengan ponselnya.

“Woww,” ujar Ayu melihat game yang dimainkan sang bocah. Ayu duduk di samping bocah tersebut, kemudian menyampaikan trik agar memenangkan game yang dimainkan oleh bocah itu.

“Yess,” ujar bocah itu saat dia memenangkan permainan.

“Kalau mau menang terus, pakai trik yang aku bilang tadi.”

Aiden memicingkan matanya menatap perempuan yang duduk di sampingnya. “Tante main game juga?”

“Hm.”

“Tapi aku punya trik lain untuk menang.”

“Benarkah? Kapan-kapan kita harus main bareng,” ujar Ayu. “Oke, bocah.” Ayu mengusap kepala Aiden dan mengacak rambutnya membuat Aiden mendelik tidak suka. Ayu melambaikan tangannya dan meninggalkan Aiden.

“Hm, aku suka tante itu. Sepertinya dia lawan yang seimbang.”

 

Bab 3 - PCM

Aiden hendak menemui Papahnya, berjalan melewati meja Ayu.

“Eh, mau kemana?” tanya Ayu melihat Aiden ingin membuka pintu ruangan CEO.

“Ketemu Papah.”

“Aduh, jangan sembarangan masuk. Ini bukan tempat bermain, kamu ke sini sama siapa?”

Aiden menatap aneh pada Ayu, “Tante pasti karyawan baru.”

“Iya, aku baru dua hari kerja disini dan kamu jangan tambah masalah aku. Seharusnya kamu sekolah, bukan bermain di sini. Kenapa kamu tidak sekolah?”

“Hm, Ibu guru bilang aku tidak boleh sekolah karena dihukum.”

“Maksudnya di skors?” Aiden menganggukan kepalanya.

“Mama kamu kemana? Ayo Tante antar,” ajak Ayu yang ditolak oleh Aiden.

“Mamaku sudah pergi Tante,” jawab Aiden.

Ayu pun berjongkok dihadapan Aiden. “Aku kalau punya anak seperti kamu juga sudah pergi.” Aiden tidak suka dengan ucapan Ayu yang berkesan semua orang akan meninggalkannya karena nakal. Tubuh Ayu di dorong oleh Aiden hingga jatuh terjungkal, kemudian Aiden berlari dan membuka pintu ruangan Edwin.

“Hei, jangan,” teriak Ayu sambil beranjak bangun dan mengejar Aiden.

“Papaaaa,” teriak Aiden.

“Ayo keluar,” ajak Ayu.

“Ada apa ini?” tanya Edwin.

“Maaf Pak, anak ini … hahh, Papa?”

Aiden menatap sinis Ayu, bahkan saat ini kedua tangannya dia lipat di dada bersikap layaknya orang dewasa. Ayu menatap gantian Aiden dan Edwin.

“Kamu anaknya Pak Edwin?” lirih Ayu.

“Papah, dia bilang kalau punya anak seperti aku dia akan pergi seperti Mama. Apa aku semenyebalkan itu, Pah?”

Ayu menggelengkan kepala dan menggoyangkan kedua telapak tangannya, “Bukan begitu maksudnya Pak.”

Edwin menghela nafasnya, ternyata bukan hanya ulah Aiden yang menyita pikirannya tapi ulah dari Ayu pun cukup mengganggu.

“Kamu lanjutkan pekerjaanmu,” titah Edwin pada Ayu. “Aiden, tunggu di sana dan jangan berulah,” ujar Edwin sambil menunjuk sofa.

Tidak lama Aiden pun terlihat bosan, apalagi saat Ayu kembali ke ruangan itu untuk menyerahkan dokumen sempat mengejek Aiden dengan menjulurkan lidahnya.

“Gandakan berkas yang ini, pisahkan yang asli dan copyan.”

“Baik, Pak.”

Lagi-lagi, Ayu melewati Aiden sambil mengejeknya.

Huft, kesal Aiden.

“Papah, aku boleh keluar?”

Edwin yang sedang fokus menatap layar komputer menoleh. “Mau kemana? Jangan mengganggu orang yang sedang bekerja.”

“Nggak, aku hanya ingin keluar. Bosan di ruangan ini.”

Edwin menganggukkan kepalanya dan kembali fokus pada layar komputer. Aiden menyeringai, semangat untuk membalas Ayu.

“Tante, toilet dimana?”

“Di … bukannya di dalam ada toilet.”

“Benarkah? Aku tidak tahu,” sahut Aiden.

“Disana, hati-hati saat memutar kran dan jangan lupa cuci tangan,” nasihat Ayu lalu kembali mengerjakan perintah Edwin untuk menggandakan naskah. Setelah kembali dari toilet Aiden menghampiri Ayu dan menyentuh semua barang yang ada di atas meja.

“Hei, letakan itu. Jangan dimainkan nanti tanganmu terjepit,” ujar Ayu saat Aiden memainkan steples.

Aiden tertarik dengan mesin penghancur kertas, karena menghasilkan bentuk kertas seperti mie. “Ini untuk apa?”

“Menghancurkan dokumen,” jawab Ayu.

“Bagaimana cara kerjanya?”

Ayu mengajarkan Aiden menggunakan mesin itu. “Hati-hati, aku ke pantry dulu. Sudah waktunya mengantarkan kopi untuk Papahmu.”

Aiden kembali menghancurkan kertas yang belum terpakai. Tatapannya mencari sesuatu selain kertas kosong yang bisa dihancurkan. Senyum terbit di wajah Aiden melihat dokumen yang tadi sudah digandakan oleh Ayu. Mengambil lembaran yang paling atas dimana diberi tanda dengan menggunakan stick note, tertera kalimat berkas asli. Mengarahkan pada mesin penghancur kertas dan perlahan kertas itu berubah menjadi potongan seperti mie.

Saat Ayu mengantarkan kopi, Edwin menanyakan dokumen yang tadi digandakan oleh Ayu. “Sebentar, saya ambilkan dulu,” jawab Ayu. Sedangkan Aiden kembali asyik dengan game di ponselnya sambil duduk di hadapan meja Ayu.

“Loh, kemana yang aslinya ya?” gumam Ayu sambil meneliti meja dan area kerjanya. Benar-benar tidak menemukan dokumen yang dimaksud. Ayu bahkan sampai berjongkok memeriksa kolong meja, khawatir jika dokumennya terjauh atau tercecer. Sekilas pandangannya melihat ke arah mesin penghancur kertas lalu meraih kertas-kertas yang masih menyangkut pada mesin.

“Ini ‘kan dokumen ....” Ayu mendengus kesal. “Aiden,” teriaknya membuat Aiden terkejut, bahkan Edwin pun keluar dari ruangan karena khawatir jika terjadi sesuatu dengan putranya.

“Ada apa dengan Aiden?” tanya Edwin lalu memandang kertas yang sudah terpotong-potong di tangan Ayu. “Jangan bilang kalau itu ….”

“Ini ulah Aiden Pak.”

“Maksud kamu ini salah Aiden? Bagaimana kalau dia terluka saat menggunakan mesin itu, kamu ceroboh sekali. Lagi pula dokumen itu sangat penting, bukankah aku sudah sampaikan padamu untuk hati-hati.”

Aiden terkekeh melihat Ayu yang dimarahi oleh Papahnya.

“Ada apa, Pak?” tanya Indra yang datang karena mendengar keributan yang terjadi.

“Urus dia, baru bekerja dua hari sudah berhasil mengacau. Kalau perlu pecat saja,” titah Edwin. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!