Bab 1 | Pria Yang Telah Merenggut Mahkota
Hotel Empire, pukul 7 pagi.
“Ugh!”
Dari atas sebuah ranjang king size di salah satu suite room hotel itu, seorang wanita melenguh sambil mencoba mengerjapkan mata.
Hangat sinar mentari yang mulai menelusup melalui gorden dan jendela, membuatnya terbangun dari alam mimpi.
“Hah!” Ia mendesah pelan, lelah dan pasrah.
Melihat keadaannya saat ini, ia yakin bahwa apa yang direncanakannya telah berhasil. Tubuh polos yang ia rasa hanya terbungkus selimut putih suci.
Berbeda dengan dirinya yang tidak lagi suci, setelah apa yang ia alami tadi malam. Fakta bahwa sekujur tubuh, terutama pinggang yang terasa mau patah, menambah keyakinan apabila yang ia alami tadi malam bukanlah sebuah mimpi.
Melainkan, keberhasilan sebuah misi.
Demi memastikan keberhasilannya, si wanita menoleh ke samping. Senyum pun melengkung di bibir merah mudanya, kala melihat sesosok tubuh tinggi kekar sedang terbaring membelakangi. Dalam selimut yang sama.
Ia kembali pada posisi semula, sambil merapatkan selimut yang membungkus di bagian dada. Berulang kali ia menahan diri, supaya dadanya tak berdebar. Tapi ia tidak bisa.
Bersama senyum yang terus merekah, meski ia sudah menjepit bibir dengan keras. Jantungnya pun berdetak kian cepat. Ia dapat rasakan dengan cengkeraman tangan di dada.
Meskipun harus mengorbankan sesuatu yang sangat berharga, rasanya impas dan terbalas dengan apa yang ia dapat saat ini. Bibir wanita itu pun semakin merekah sempurna.
“Ugh!”
Kini, suara maskulin dari sebelahnya terdengar. Membuat jantung wanita itu semakin berdebar kencang. Sepertinya, lelaki di sebelahnya juga akan bangun.
Buru-buru ia memejamkan mata. Pura-pura tidur, sebab sebenarnya, wanita itu belum siap untuk menghadapi situasi canggung setelah ini.
Di samping itu, sebentar lagi akan terjadi prahara yang lebih besar. Wanita itu mengintip jam dinding klasik yang ada di sana. Saudaranya di luar sana, pasti sudah mulai bergerak.
Begh!
Sebuah tangan kekar mendadak jatuh dan mendarat di atas tubuh si wanita. Pria tersebut jadi seperti memeluknya dari belakang.
Wanita itu pun semakin berdebar.
Tidak pernah wanita itu bayangkan dalam hidup, bahwa ia akan berada sangat dekat dengan pria yang disukai dan dikaguminya selama ini. Bahkan, telah terjadi skinship yang sangat intim di antara keduanya.
“Emh!” Pria di belakangnya mengerjapkan mata yang masih terasa berat.
Seonggok tubuh yang mendadak ia peluk, membuat ia harus menarik kesadarannya secara paksa. Dengan siapa ia tidur saat ini?
Tidak pernah sekali pun ia tidur dengan seseorang. Kecuali….
“Kau siapa?” Pria itu bertanya.
Dengan nada terkejut, bingung, heran dan curiga. Sebab, tidak satu pun dari orang yang ia kenal, memiliki perawakan dan warna rambut seperti wanita yang ada di hadapannya saat ini.
Ia lekas mendudukkan diri, lalu bersandar pada kepala ranjang. Membiarkan selimut turun sampai ke pinggang. Tak peduli apabila dada bidang, liat dan kekarnya terekspos. Sekarang.
Pria itu terkejut. Tetapi yang lebih terkejut adalah si wanita. Suara bas dan dalam itu, bukanlah milik seseorang yang ia kenal. Seseorang yang ia targetkan sebagai misi.
Bagaimana ini? Wanita itu menahan kepanikannya dalam hati. Cengkeramannya di dada pun semakin kuat.
Jadi, dengan siapa ia tidur semalam?
Jadi, pria mana yang telah merenggut mahkota yang selama ini ia jaga?
Sesal dan sesak mulai memenuhi rongga dada. Apakah misinya telah gagal? Bahkan gagal total? Sebab, ia telah menelan kerugian yang begitu besar karena hal ini.
“Hey! Bangun! Jangan pura-pura tidur! Siapa kau sebenarnya? Dan bagaimana kau bisa berada di sini?”
Tidak! Lebih tepatnya mereka! Bagaimana mereka bisa berada di sana?
Tubuh si wanita digoyang-goyangkan pria itu sambil ia berusaha memperhatikan keadaan sekitar. Ini jelas bukan kamar tidurnya. Tapi, ia juga tidak tahu sedang berada di mana.
Terpaksa, mau tidak mau, si wanita pun bangun seraya membalikkan badan. Sembari menjaga selimut, supaya tetap membungkus tubuhnya yang telanjang.
Cantik! Batin pria itu mengakui.
Meski, sempat terpana sebentar, pria tersebut lekas melepaskan tatapan tajamnya pada si wanita.
“Siapa kau? Bagaimana kau bisa ada di sini?” Si pria pun mengulangi pertanyaanya. Namun kali ini, dengan nada jijik dan sinis.
Siapa pria itu? Siapa dia? Siapa pria tampan itu?
Wanita tersebut tak langsung menjawab dan hanya memperhatikan lawan bicaranya. Mencoba mencari tahu, siapakah gerangan yang sedang ia hadapi saat ini. Siapa yang sudah merenggut mahkotanya malam tadi.
“KENAPA KAU DIAM SAJA?! KAU PASTI MENJEBAKKU, KAN?” Mendadak pria itu berteriak. Dengan marah. Sambil memukul tempat tidur di kedua sisi badan. “SIAPA KAU? DAN APA RENCANAMU DENGAN MELAKUKAN HAL INI?! HEH!” Ia berteriak lagi.
Wanita itu, meski terkejut dan terguncang akibat bentakan yang mendadak dan keras, ia hanya memejamkan mata dengan sangat erat. Demi menahan rasa takut dan ngeri yang tiba-tiba menyerang.
“Atau….” Pria tersebut pun mencondongkan tubuhnya dengan wajah bengis. “Siapa orang di belakangmu? Siapa yang memberimu perintah untuk melakukan hal menjijikkan ini?” Di samping telinga si wanita, pria itu membisikkan racunnya yang mematikan.
Tubuh ramping dan langsing itu pun bergidik. Menahan sensasi geli dan ngeri yang ia rasa sekaligus. Napas hangat dan panas itu seakan-akan membakar tubuh dan jiwanya dengan gelora menakutkan. Maka, semakin ia eratkan pejaman matanya. Sampai urat-urat di sekitar mata terlihat jelas.
Tepat ketika pria tersebut hendak menjauhkan tubuh, pria kamar hotel tersebut pun dibuka dari arah luar. Dengan tergesa dan terburu-buru.
Pria dan wanita di atas ranjang langsung terkejut. Belum selesai ia memundurkan tubuh, pria tersebut menoleh bersamaan dengan si wanita. Saat jarak wajah mereka berada sangat dekat.
Situasi ambigu itu pun disaksikan oleh orang-orang yang berbondong-bondong menerobos masuk. Membuat mereka semua salah paham. namun, yang disalah-pahami belum sadar.
Itu dia! Sebut si wanita dalam hati. Sambil melihat ke arah target yang sebenarnya. Dengan mata terbelalak.
Kenapa dia ada di sana?
Bersama begitu banyak orang. Di mana beberapa di antaranya tengah menutup mulut mereka, dengan tak percaya.
“Nadine!”
Nahasnya lagi, orang yang ia incar malah mengenali dan menyebutkan namanya dengan lancar.
“Leon!”
Pria itu juga menyebutkan nama seseorang yang kini sedang berada satu ranjang dengannya.
“Kakak!”
“Sayang!”
Dua orang wanita berbeda umur, ikut memanggil dengan wajah terkejut mereka. Tetapi, wanita cantik yang lebih tua, masih bisa mempertahankan ketenangan di wajahnya.
Nadine, wanita yang berada di atas ranjang itu melirik sebentar pada pria di sisi. Sambil mencerna situasi dengan rasa panik yang terus menyerang diri.
Ternyata dia salah jebak! Pria di depan sana adalah pria incaran yang sesungguhnya!
“LEONARD WIRATMADJA! KAU HARUS MENJELASKAN SESUATU PADA AYAH!” Teriakan seorang pria paruh baya nan tampan langsung memenuhi suite room tersebut.
Sontak saja, Nadine langsung menoleh. Begitu juga dengan pria yang namanya barusan disebutkan, Leon. Kemudian, mereka saling menatap dalam jarak yang begitu dekat.
Leonard Wiratmadja? Batin gadis itu dengan keterkejutannya.
Bersambung...
Bab 2 | Tidak Seperti Seorang Lelaki
Leonard Wiratmadja!
Siapa yang tidak mengenal nama itu di seantero negeri ini?
Pria muda yang biasa Tuan Muda Leon itu, merupakan putra tunggal dari Presdir Ken yang terhormat dan terkenal itu, bersama istrinya Nyonya Ana yang terkenal cantik dan berjiwa sosial tinggi.
Tuan Muda Leon merupakan generasi ketiga, sekaligus pewaris selanjutnya kerajaan bisnis keluarga Wiratmadja. Di usianya yang sudah menginjak 25 tahun ini, pamornya tak kalah dengan sang ayah di usia mudanya, dulu.
Tentu saja, Nadine juga mengenal nama itu!
Dia, wanita itu, adalah Nadine Alexander. Seorang gadis cantik nan gigih yang berasal dari keluarga yang tidak terlalu kaya. Hanya sebuah keluarga sederhana yang mencoba mempertahankan perusahaan surat kabar, yang sudah dijaga secara turun temurun.
Gadis dengan rambut cokelat bergelombang yang masih berusia 23 tahun itu, tahu dan hafal betul semua nama yang disebutkan di atas.
Karena sebenarnya, pria yang ia tergetkan juga merupakan bagian dari keluarga Wiratmadja. Yang tak lain adalah sepupu dari Tuan Muda Leon, Joshua Wiratmadja. Atau, orang-orang biasa memanggilnya Tuan Josh.
Nadine juga tahu, apabila yang berada di sisi pemuda incarannya itu adalah adiknya yang bernama Mesha. Seorang gadis manis yang baru saja menginjak masa-masa dewasa di usianya yang ke 20 tahun ini.
Nadine hafal, ia bahkan tahu bahwa masih ada saudara sepupu mereka lagi yang tinggal di luar negeri.
“Hem…, bagaimana kalau kita beri waktu dulu untuk mereka berpakaian. Baru setelah itu, kita bisa minta penjelasan dari mereka!”
Ketika Nadine hendak kembali mencerna situasi tadi malam, yang menyebabkannya berada di situasi canggung yang tidak ia sangka, wanita yang ia yakin adalah Nyonya Ana buka suara dan memecah keheningan yang dibakar emosi dan amarah.
“Aku tidak perlu menjelaskan apapun, Bu! Wanita ini….” Leon menunjuk Nadine penuh emosi. Seketika, gadis itu pun menoleh padanya dengan tatapan tajam. Ia tidak rela ditatap penuh hina dan benci, seperti itu. “Pasti dia sengaja, pasti dia menjebakku, Bu! Ibu tahu, kan, aku tidak mungkin-.” Pembelaannya pun langsung dipotong oleh sang ayah.
“Apa kau pantas bicara seperti itu, Leon?!” tegas Ken. Mata sang ayah sudah melotot dan hampir keluar. “Bicaramu tidak seperti seorang lelaki, sama sekali!” Bukan menghina, tetapi Ken sedang mengutarakan kekecewaannya pada sang putra.
Bagaimana tidak!
Ken dan Ana selama ini sudah mendidik Leon, agar selalu menjadi seorang lelaki sejati. Membuat Leon belajar untuk selalu bertanggung jawab atas apapun yang diperbuat.
Terlebih, masa depan sang putra yang sudah terlihat jelas di depan mata. Sebagai seorang penerus, Leon pasti akan mengemban begitu banyak tanggung jawab di pundaknya.
“Tapi, Ayah! Aku memang tidak-.”
“Kita bicara lagi nanti! Sekarang, lebih baik kalian pakai baju dulu!” Ana, sang ibu yang kini memotong ucapannya.
Jangan salah paham dengan suara lembut ibunya itu! Karena dibalik kelembutan itu, Leon sangat tahu bahwa ibunya pun sedang marah dan kecewa padanya.
Sedari tadi, Nadine benar-benar diam. Bahkan, sampai semua orang keluar dari ruangan itu, ia masih memilih tetap menjepit bibirnya rapat.
Meski, pria di sampingnya kembali menghardik dan menuduh dengan suara keras.
“Ini semua gara-gara kau!” erang Leon. Seumur hidup, ia tak ingin melihat tatapan kecewa dari mata ibunya. “Hey, wanita! Katakan, siapa yang sudah memerintahmu! Lalu, akan ku beri imbalan dua kali lipat dari apa yang dia berikan padamu untuk melakukan hal ini!” Sungguh pun, ucapan Leon terdengar mencemooh sama sekali.
“Seperti kata ibumu, kita bicara lagi nanti, setelah memakai baju!” balas Nadine seraya mengedip pelan.
Dengan suara dan wajah tenang itu, ia tarik selimut yang saat ini masih membungkus tubuh polos mereka berdua. Dengan sekuat tenaga.
Bugh!
“Aww!”
Hingga menyebabkan Leon terjatuh ke samping tempat tidur. Pemuda itu terjerembab di lantai, dengan tanpa sehelai benang pun yang menutupi.
Sambil membalikkan badan, membelakangi posisi Leon, Nadine belitkan seluruh selimut putih itu pada tubuh rampingnya. Tak peduli apabila lelaki tampan dan tegas itu tengah meringis nyeri, sambil memegangi pinggang.
“Heh! Dia kuat sekali!” cibir Leon sembari memijat pelan pinggang yang barusan terbentur lantai.
Sementar dilihatnya, Nadine tengah memunguti pakaian yang berserakan di lantai. Lalu berjalan menuju kamar mandi. Dengan acuh tak acuh dan tanpa menoleh sama sekali.
Sambil menarik bantal untuk menutupi juniornya di bawah perut, Leon mendudukkan diri. Sepasang matanya menyipit, menatap punggung Nadine yang kemudian menghilang di balik pintu kamar mandi.
“Dia datang ke sini atas perintah seseorang, atau mungkin, karena kemauannya sendiri?” Alis pria itu makin menukik dalam, kala ia dilanda kebingungan.
“Situasi ini agak aneh, karena dari tadi, dia tidak membela diri sama sekali. Tapi dia juga terlihat acuh dan tidak mencoba menggodaku, setelah bangun tadi dan tahu apa yang terjadi pada kami.”
Sama seperti apa yang terjadi pada Ken dulu ketika muda, Leon pun kini mengalami hal yang sama. Di mana begitu banyak wanita yang menggilainya.
Beberapa klien pun mencoba yang terbaik untuk menyenangkan hatinya dengan berbagai cara. Termasuk dengan melempar beberapa wanita cantik pada pemuda gagah itu.
Leon sudah tidak aneh dengan hal semacam ini. Namun selama ini, ia selalu berhasil menghindar dari berbagai jebakan. Tapi sepertinya, dewi fortuna sedang tidak berpihak padanya kali ini. Akhirnya, ia masuk jebakan juga.
Sambil tak berhenti berpikir, pria itu juga memunguti pakaiannya sendiri. Lalu mengenakannya, sebelum ia dan wanita itu disidang oleh ayah dan ibunya.
Sementara di dalam kamar mandi,
Nadine tengah mengenakan dress hitam top less berlengan yang panjangnya sampai melewati lutut. Lalu, ditatap wanita itu cermin lebar di hadapannya.
Ia basuh wajah kusutnya dengan siraman air dingin yang menyegarkan. Meraup wajah basah itu, lalu menunduk dalam.
“Apa yang terjadi? Kenapa bisa jadi seperti ini?” desahnya frustasi sembari menyugar rambut cokelatnya ke belakang. “Kenapa jadi Tuan Muda Leon? Kenapa bukan Tuan Josh?!” Rasa frustasinya ia tiupkan ke wastafel di bawah wajah.
Berusaha keras wanita itu memikirkan kembali apa yang terjadi malam tadi. Mengapa sampai ia bisa salah jebak begini?
Benar! Nadine ingat ia juga memungut ponselnya yang keluar dari tas, ketika memunguti pakaiannya tadi.
Tutt!
Nadine segera menelepon sang adik, Michael Alexander. Atau biasa dipanggil Mike. Dan panggilan itu lekas tersambung.
“Bagaimana, Kak?” Sang adik langsung bertanya dengan antusias, begitu mengangkat panggilan kakaknya.
“Bagaimana apanya? Bukan Tuan Josh, tapi aku malah tidur dengan Tuan Muda Leon!” seru Nadine yang frustasi dan juga kesal.
Sadar suaranya terdengar agar keras, wanita itu pun buru-buru mengecilkan suara. Jangan sampai, pria di luar mendengar pembicaraannya ini.
“Kalau begitu, bagus malah-!” Suara Mike terdengar ambigu.
“Bagus?” beo Nadine yang kebingungan sembari mengernyitkan alis.
Bersambung…
Bab 3 | Separuh Benar Separuh Salah
Kini, pada saat ini, semua orang telah berkumpul di ruang tengah suite room tersebut. Nadine dan Leon juga telah mengenakan pakaian lengkap. Meski wajah mereka masih nampak sembab. Khas orang baru bangun tidur.
Sebagai kepala keluarga dan pemimpin sidang pada pagi ini, Ken duduk pada sofa tunggal yang terletak di dekat jendela kaca, kamar hotel tersebut.
Sementara Ana, sang istri, dengan setia berdiri di sampingnya. Menyilang tangan di depan, seraya meletakkan sebagian bobot tubuhnya ke sisi sofa. Menatap sang putra dengan tegas. Namun masih penuh kasih sayang.
Tak seperti Ken yang sudah menghunus tatapannya pada Leon semenjak putranya itu berhadapan dengannya lagi setelah berpakaian.
Sebagai tersangka, Leon dan Nadine duduk bersisian pada sofa panjang di sebelah kiri. Meski keduanya tampak berjaga jarak.
Lalu para saksi, Josh dan Mesha, kakak beradik itu memilih untuk tetap berdiri, tak jauh dari posisi Ana dan Ken saat ini.
Walaupun mereka ingin membela Leon, sebagai kentalnya ikatan persaudaraan yang terjalin. Namun, kuatnya pengaruh Ken dan Ana tak dapat mereka lawan dan hindari.
Josh dan Mesha sangat tahu. Maka dari itu, keduanya memilih berada di pihak yang aman. Bagi mereka, tentu.
Jangan sampai kakak beradik itu ikut terseret dalam masalah pelik ini. Sebab, kedua orang tua mereka pun, bukan tipe yang baik hati.
Masih sebelas dua belas dengan paman dan bibi yang sedang keduanya ikuti. Saat ini.
“Nona!”
Panggilan lembut itu mendadak menggetarkan batin Nadine yang belum siap. Pasalnya, saat ini, Nadine sedang mempersiapkan banyak alibi dan alasan untuk ia gunakan sebagai senjata.
Yang akan menyatakan dan mendukung bahwa dirinya adalah korban dalam masalah ini.
“Y-ya, Nyonya!” jawabnya. Menatap Ana dengan cepat, lalu menatap ke depan lagi.
Sungguh pun Nadine tak berani menatap mata indah tapi tajam itu terlalu lama. Ia sadar betul bahwa terdapat sinyal berbahaya dari sinar yang disorotkan oleh Ana.
Meskipun matanya tampak tersenyum.
“Bisakah kau jelaskan pada kami apa yang terjadi pada kau dan putraku, semalam?”
Sesungguhnya, Ken yang hendak melontarkan pertanyaan tersebut. Namun dirinya terlalu emosi, maka ia mempersilakan istrinya yang buka suara terlebih dahulu. Untuk membuka persidangan kali ini.
Kekecewaan mendalam masih bergumul dan membatu di dada. Terhadap putra kebanggaannya. Sehingga mulutnya terkunci rapat akan emosi yang membelenggu jiwa.
“Ch!” Leon sontak berdecak sembari melirik jijik.
Melihat hal itu, Ken hendak menegur. Tapi sang istri buru-buru meredam emosi dengan menyentuh lembut telapak tangan yang terkepal.
Putra mereka tidak sopan pada wanita yang sudah ia nodai. Begitulah Ken jadi sangat kesal. Tetapi Ana mampu membuat pria paruh baya itu menjadi lebih tenang. Dengan satu kedikan kepala dan kedipan pelan.
Dia pasti akan bicara omong kosong! Erang Leon dalam hati.
Pria muda itu masih menyangka bahwa Nadine adalah wanita suruhan dari salah satu kliennya. Supaya mereka bisa mengendalikan Leon dengan cara menjijikkan seperti ini.
Nadine melirik Leon sebentar. Dengan tajamnya, sambil menarik napas yang tertahan di dada. Dia kesal sekali dengan sikap Leon yang kurang ajar.
Akan tetapi Nadine tahu bahwa dia harus menahan diri. Sembari membuka mulut untuk bicara, ia embuskan gugupnya melalui udara.
“Saya..., tidak begitu mengingat apa yang terjadi semalam.”
Bohong! Leon langsung menanggapi dalam hati. Dengan marah.
Kini, Nadine beranikan diri untuk menatap Ken dan Ana secara bergantian.
“Saya hanya ingat sedang minum sendirian di sudut hall. Kemudian kepala saya terasa pusing dan sangat berat. Saya pun memutuskan untuk pulang karena sudah tidak tahan.”
“Lalu setelah itu...?” Ana bertanya dengan penasaran dan sabar.
“Saya tidak begitu yakin. Sepertinya saya bertabrakan dengan seseorang. Lalu setelah itu..., saya tidak dapat mengingatnya lagi, Tuan, Nyonya!” Ia tertunduk dengan menyesal.
“Heh! Klise sekali skenario yang kau buat! Apa kau tidak bisa kreatif sedikit dalam mengarang cerita, Nona?!” Kali ini Leon menanggapi dengan suara. Sinis dan nyinyir.
“Leon! Jaga bicaramu!” bentak Ken yang sejak tadi menahan diri.
“Tapi Ayah..., aku sangat yakin kalau dia memang sengaja menjebakku! Instingku tidak pernah salah, Ayah tahu itu!”
DEG
Bola mata Nadine seketika membola. Sungguh pun apa yang dikatakan Leon memanglah benar.
Dia memang sengaja melakukan hal ini. Nadine memang bermaksud menjebak seseorang. Tapi sayangnya, bulan Leon target yang sudah ia tentukan.
Separuh dari tudingan Leon benar. Tapi separuh lagi salah. Karena memang, ia tidak berniat menjebak Leon sama sekali. Sedikit pun.
Sudah terlanjur basah. Nadine tak dapat mundur meskipun ia semakin gugup sekarang. Iya tetap harus maju dengan tetap memasang wajah setenang mungkin.
Kedoknya tidak boleh terbongkar sekarang!
Dari sisi Ken dan Ana, Josh dan Mesha memperhatikan. Terutama sang kakak yang begitu saksama melihat ke arah Nadine.
Mengamati setiap mikro ekspresi dan gestur tubuh si wanita cantik. Josh tampak menemukan sesuatu. Namun ia memilih untuk menyimpannya sendiri. Untuk saat ini.
Nadine merasakan Josh menatapnya dengan intens. Namun ia tak berani membalas tatapan itu dan hanya melihat pria incarannya melalui ujung mata. Sebab pandangannya kini ia arahkan pada kedua orang tua pria di sampingnya.
“Dengan posisi dan situasi saya saat ini, saya tidak berharap semua orang akan percaya pada saya. Tapi..., saya yakin dengan apa yang saya ucapkan, bahwa saya tidak punya niat sedikit pun untuk menjebak putra Tuan dan Nyonya.”
Nadine hanya mengatakan yang sebenarnya. Namun masih ada yang belum terungkap, bahwa bagaimana bisa jebakannya ini jatuh pada seorang Tuan Muda Leon yang terhormat.
Ia masih tidak menyangka.
“Berhenti bicara omong kosong, Nona! Kau pikir, dengan memasang wajah tenang dan sok polosmu itu, kami akan percaya padamu?! Hah!” bentak Leon emosi.
“LEON!”
“Aku percaya....”
Leon langsung memandang yang barusan bicara. Sementara Ken segera menoleh setelah meneriaki sang putra, saking kesalnya.
“Apa maksudmu, Josh? Bisakah kau menjelaskannya pada Bibi?” Ana menanggapi dengan tenang.
Meskipun memiliki pendapat yang sama, dia tetap penasaran dengan penjelasan keponakannya itu.
“Sulit menjelaskan secara detail, Bi! Aku hanya menggunakan instingku, seperti bagaimana Leon melakukannya.
“Well! Instingku mengatakan bahwa nona ini tidak mungkin sampai melakukan hal rendah seperti ini. Bagaimana menurutmu, Mesha?” Josh menanyai adiknya.
Tadinya Nadine sempat merasa senang, berpikir bahwa Josh memihak padanya. Dibela oleh seseorang yang ia suka, siapa juga yang tidak senang?!
Hal rendah?
Sayang sekali wanita cantik itu langsung meneguk salivanya dalam, setelah menyadari bahwa Josh hanya sedang menyindirnya secara halus.
Ternyata, tak ada siapapun di pihaknya. Walaupun begitu, Nadine tetap harus bertahan.
“Pendapatku juga begitu, Kak! Menurutku nona Nadine ini tidak secara sengaja bisa bermalam bersama kak Leon.”
Sedangkan penuturan Mesha adalah sebuah pemikiran seseorang yang lugu dan polos. Yang tak mengetahui dan menyadari bahwa memang terdapat maksud tertentu yang terkandung dalam kejadian ini.
Namun Josh dan yang lainnya menanggapi dengan tersenyum. Mereka menghormati hasil pemikiran wanita muda itu.
Kecuali Leon yang semakin sangar wajahnya, melihat semua orang mendukung opini tersebut.
“Baiklah...,” desah Ken dengan suara berat dan dalam.
Kaki yang tadinya menyilang pun kini bertumpu bersama. Ia pun menegakkan punggungnya.
Membuat semua orang ikut menegang dan menarik punggung ke belakang.
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!