Sore itu, cahaya matahari condong ke barat, membiaskan sinarnya di atas permukaan sungai yang jernih. Burung-burung berterbangan pulang ke sarang, meninggalkan langit desa Kerangkeng yang perlahan diselimuti warna keemasan senja.
Di tepi sungai berbatu, seorang remaja duduk santai sambil menunggu umpan pancingnya digigit ikan. Rambutnya hitam pekat dan bergelombang, tubuh ramping dengan kulit sawo matang cerah, hidung mancung, serta rahang tegas yang membuat wajahnya tampak menawan. Ia adalah Faisal Basri, enam belas tahun, anak desa sederhana yang tinggal bersama kedua orang tuanya, dua saudara laki-laki, dan seorang adik perempuan.
Ayahnya seorang kuli bangunan, ibunya berjualan makanan ringan di rumah. Hidup mereka pas-pasan, namun penuh kehangatan.
“Haaah… sudah dua jam aku duduk di sini, hasilnya cuma dua ekor ikan sedang. Sial benar nasibku hari ini.” Faisal menghela napas kesal, lalu melemparkan batu kecil ke sungai. “Lebih baik aku pulang sebelum matahari benar-benar tenggelam. Kalau telat, ibu pasti marah.”
Ketika hendak membereskan pancingnya, matanya menangkap sesuatu berkilau di antara bebatuan. Sebuah cincin tua, kusam, seolah tertinggal begitu saja.
“Cincin? Walau tampak karatan, tetap saja barang gratis,” gumamnya sambil meraih benda itu. Setelah diamati, Faisal menyeringai tipis. “Hmmm… karatnya tidak parah. Nanti kubersihkan di rumah.”
—
Malam pun tiba. Di kamar sempit dan lapuk dengan ranjang kayu tua serta sebuah lemari usang, Faisal duduk menatap cincin yang sudah ia bersihkan. Warnanya berubah, ternyata bukan besi berkarat, melainkan logam kelabu mengilat.
“Lumayan. Kukira tadi cincin rusak, ternyata hanya kotor.” Ia lalu mengenakannya di jari.
Sambil menatap langit-langit, Faisal bergumam lirih, “Minggu depan aku pergi ke kota untuk sekolah SMA. Di desa ini pendidikan tidak bagus, jadi ayah dan ibu menitipkanku di rumah bibi. Berat memang meninggalkan mereka… tapi demi masa depan, aku harus kuat.”
Ia memejamkan mata. “Semoga semua berjalan lancar.”
—
Namun, ketenangan itu hancur seketika. Teriakan bergema dari segala arah.
“Bunuh mereka! Jangan sisakan satu pun!”
“Aaaaaaaargh!”
Faisal terbangun kaget. Ia tidak lagi berada di kamarnya, melainkan di tengah medan perang. Api, darah, dan jeritan manusia menguasai sekelilingnya.
“Apa-apaan ini… mimpi?”
Di hadapannya, seorang prajurit tertebas hingga kepalanya terpisah. Dari balik kabut darah, seorang prajurit gagah berteriak, “Yang mulia, cepat bangun! Kita harus pergi!”
Seketika, sebuah panel cahaya muncul di hadapan Faisal:
[Menginstal memori kepada Tuan… hitung mundur dimulai. 5…4…3…2…1…]
Tubuh Faisal melemas. Gelap menelannya.
—
Ketika ia sadar kembali, perang sudah berakhir. Faisal tergeletak dengan tangan dan kaki terikat, dikelilingi tawanan kerajaan Kroas.
“Pangeran bungsu Kroas… menyedihkan sekali nasibmu.” Seorang pria botak berzirah penuh darah berdiri di hadapan, wajahnya penuh luka perang. Dialah Jenderal Noerdin, salah satu dari empat jenderal besar kerajaan Esia, musuh bebuyutan Kroas.
Dengan suara dingin, Noerdin mengangkat Faisal dari tanah. “Aku akan mencincang tubuh pangeran kalian di depan mata kalian semua. Anggap ini tontonan terakhir sebelum kalian menyusulnya.”
Pasukan Kroas yang masih hidup hanya bisa gemetar, sebagian menunduk, sebagian lain menutup mata.
Namun, tepat ketika pedang Noerdin terhunus, Faisal bergerak.
“Duaaak!” Tendangannya mendarat tepat di wajah sang jenderal, membuat tubuh besar itu terpental jauh.
Prajurit Esia terperanjat, lalu serentak menyerbu. Ribuan pasang mata mengarah pada remaja yang barusan dianggap tawanan tak berdaya itu.
“Yang mulia! Lari!” teriak seorang prajurit Kroas.
Namun Faisal hanya tersenyum. Tali yang mengikatnya terlepas begitu saja, seakan rapuh di hadapannya.
“Biar aku saja. Aku yang akan menghabisi mereka.”
Dengan kecepatan yang mustahil, ia meraih senjata dari tanah dan melompat ke kerumunan. Tubuh-tubuh prajurit Esia beterbangan setiap kali pukulan atau tebasannya mengenai.
“Aku dilatih bela diri sejak umur tiga tahun oleh ayah dan kakekku. Di desa, orang-orang sudah segan padaku. Dan kini… dengan kekuatan sistem ini, aku tak terkalahkan.”
Teror menyelimuti barisan Esia. Di sisi lain, semangat pasukan Kroas kembali menyala.
“Itu… Yang Mulia! Musuh kewalahan!”
“Ayo bantu beliau!”
Gelombang perlawanan pun berubah arah.
—
Tiga puluh menit kemudian, medan perang sunyi. Ribuan mayat berserakan. Di atas tumpukan mereka, Faisal duduk dengan tubuh berlumuran darah.
“Jadi… begini rasanya membunuh,” bisiknya. “Aku tidak tahu ini mimpi atau nyata tapi rasa sakit dan perasaan yangku rasakan ini benar-benar seperti sebuah kenyataan" Faisal berjalan ke arah beberapa mayat yang tergeletak.
"Aroma darah dan juga debu terasa benar-benar nyata, sialan aku masuk ke ilusi atau aku bener bener berpindah. Ku harap aku bisa kembali lagi ke bumi jikalau semua ini benar-benar nyata" gumam Faisal sembari melempar pedang.
Wajahnya muram di balik senyum lelah.
...****************...
Bersambung..
Cerita ini di buat berdasarkan imajinasi jika ada kesamaan nama tempat atau nama seseorang mohon maaf namun ini hanya novel fiktif jangan terlalu di bawa hati.
Terimakasih atas dukungan kalian selama ini maaf karena saya jarang up dan tidak konsisten tapi saya selalu berusaha untuk melakuka itu mohon maaf semuanya
Tiba-tiba terdengar sebuah suara.
“Tentu saja anda dapat kembali ke bumi,” suara sistem itu bergema di dalam kepalanya.
Faisal mengerutkan dahi. “Tolong jelaskan mekanismenya.”
[System dapat mengembalikan anda ke bumi, dan juga dapat memindahkan anda ke dunia ini lagi. Ketika anda berada di bumi, tubuh anda di dunia ini akan tertidur. Begitu pula sebaliknya.]
Faisal terdiam, wajahnya menyiratkan kebingungan. “Lalu... apa tujuan dari semua ini?”
[Level anda terlalu rendah untuk mengetahui informasi tersebut. Selesaikan misi dan naikkan level anda untuk membuka informasi lebih lanjut.]
Ia menghela napas panjang. “Sial. Sudah kuduga. Aku sering membaca novel dan komik tentang sistem seperti ini. Awalnya kupikir semua hanya khayalan belaka. Tapi sekarang? Mau tidak mau aku harus percaya.”
Ia turun perlahan dari tumpukan mayat itu, napasnya berat. Namun, sebelum ia sempat melangkah jauh, matanya melebar kaget.
Seluruh prajurit yang tersisa telah berlutut mengelilinginya. Tanpa sadar, mereka memandangnya dengan tatapan penuh hormat—seakan seorang raja baru saja lahir di medan perang.
“Aku harus menjadi orang yang berbeda...” gumam Faisal, suaranya pelan namun penuh tekad.
Ia mengangkat tangannya lalu berseru, “Kumpulkan barang rampasan! Selamatkan prajurit yang terluka! Kita akan kembali ke kota!”
“Siap, Yang Mulia!” teriak prajurit-prajuritnya serempak, menggema di padang perang yang sunyi.
Faisal mengalihkan pandangannya ke tubuh yang kini ditempatinya. “Nama dari pemilik tubuh ini sebelumnya adalah Alex Ferguson. Ia pangeran terakhir dari Kroas... Satu bulan lalu, raja mengadakan sayembara untuk menentukan siapa yang layak meneruskan tahta.”
Ingatan samar melintas di kepalanya. Alexander, anak haram dari seorang putri kerajaan. Ibunya meninggal saat melahirkannya, ayahnya entah siapa. Sejak kecil, ia tumbuh dalam hinaan dan siksaan, kecuali dari beberapa sepupu yang berbelas kasih serta sang raja yang masih menaruh simpati. Hidupnya keras, penuh penderitaan—hingga akhirnya jiwa Faisal datang menggantikan.
---
Malam Hari
Angin malam berhembus menusuk kulit, membawa aroma asap api unggun. Langit gelap bertabur bintang yang berkilauan, seolah melukiskan kedamaian di atas dunia yang penuh darah.
Pasukan yang tersisa mendirikan tenda sederhana, menyalakan api unggun untuk menghangatkan tubuh mereka yang kelelahan.
Di dekat api, Faisal duduk bersama beberapa prajurit. Nyala api menari di wajahnya, memantulkan cahaya merah pada sorot matanya yang dingin.
“Yang Mulia...” suara seorang pria terdengar ragu. Itu Daniel, komandan kota yang menjadi salah satu bawahan terdekat Alex. “Tentang apa yang terjadi hari ini...”
Faisal mengangkat tangannya, menyela sebelum Daniel melanjutkan. “Daniel, aku bukan Alex yang dulu. Aku bukan sampah yang hanya tahu menunduk. Kau tidak perlu menjelaskan apa pun. Biarkan dunia mengetahui kebenaran dengan sendirinya.”
Daniel menunduk dalam. “Baik, Yang Mulia. Saya mengerti.”
“Bagus. Aku akan beristirahat. Kau atur penjagaan malam ini. Besok sebelum matahari terbit, kita harus bergerak.”
“Siap, Yang Mulia!” jawab Daniel mantap.
Tatapannya mengikuti punggung Faisal yang melangkah menuju tendanya. Bibir Daniel bergetar, lalu bergumam lirih, “Hanya dalam sekejap, seorang pemuda yang bahkan dulu akan berteriak melihat darah... kini berubah menjadi monster yang mandi dengan darah. Masa depanmu cerah, Yang Mulia. Sangat cerah.”
Ia mengepalkan tangan. “Mungkin ini saatnya anda membalas semua siksaan dan penderitaan yang selama ini anda alami.”
---
Dalam Tenda
Faisal merebahkan tubuhnya di atas kasur jerami. Hening, hanya terdengar suara detak jantungnya sendiri.
“System,” panggilnya pelan. “Keuntungan apa yang kudapat?”
[Anda dapat membawa barang-barang dari dunia ini ke bumi, dan anda dapat memperoleh kekuatan yang hebat.]
Mata Faisal membesar. “Kalau begitu... keluarga ku. Mereka sering kesulitan ekonomi, ditindas, diremehkan. Dengan sistem ini, aku bisa mengubah kehidupan mereka...”
[ Misi pertama: Kembali ke kota dan memperbaiki kondisi kota.
Hadiah: Satu kali kesempatan undian putih.
Batas waktu: 10 hari. Jika gagal, anda akan mati. ]
“Hmm, akhirnya ada misi. Tapi... tunggu. Aku sudah membunuh ribuan orang, kenapa aku tidak mendapat hadiah?” tanyanya kesal.
[Anda mendapatkan peningkatan level.]
“Level?” alisnya terangkat.
[ Nama: Alexander
Umur: 16 tahun
Level: Manusia > Warrior menengah
Spirit: —
Kekuatan: 43
Kecepatan: 32
Ketahanan: 29
Mana: 0 ]
“Hmmm... aku mulai mengerti. Ada berapa tingkatan level?”
[Level dibagi menjadi 9:
Manusia
Warrior
Elite
Master
Grand Master
Elder
Holy Elder
Lord
Emperor
Setiap level terbagi lagi menjadi tiga: rendah, menengah, dan puncak. Saat ini anda berada di level Warrior menengah.]
Faisal menutup matanya, membiarkan semua informasi itu meresap. “Jadi... membunuh akan memberi exp untuk naik level, dan menyelesaikan misi akan memberiku hadiah acak. Baiklah. Aku paham.”
Ia tersenyum tipis. “Lebih baik aku tidur. Besok perjalanan masih panjang.”
---
Esok Pagi
Fajar baru saja menyingsing, udara dingin menusuk tulang. Rombongan pasukan yang tersisa bergerak perlahan, kuda-kuda berderap di jalan bersalju.
Faisal menoleh pada Daniel. “Berapa banyak prajurit yang tersisa?”
Daniel menarik napas. “Yang Mulia, kita berangkat dengan 5000 pasukan. Kini hanya tersisa 1200 yang masih sehat, dan 700 terluka. Sisanya... gugur di medan perang.”
Faisal terdiam sejenak, lalu bergumam, “System, tampilkan status Daniel.”
[ Nama: Daniel
Umur: 39 tahun
Level: Manusia puncak
Spirit: Api rendah
Kekuatan: 19
Kecepatan: 21
Ketahanan: 22
Mana: 0 ]
Faisal mengangguk kecil. “Baiklah. Kita mengalami kerugian besar. Bagaimana dengan rampasan?”
“Kita mendapatkan 250 kuda sehat, 2500 pedang dan senjata lainnya. Selain itu, dua peti emas berhasil diamankan.”
Faisal tersenyum samar. “Lumayan. Dengan pasukan lebih sedikit, kita berhasil mengalahkan 8000 musuh. Itu bukan hal kecil.”
Daniel menunduk hormat, lalu berbisik lirih, “Tapi anda sendiri membunuh 2000 orang sendirian, Yang Mulia...”
Faisal hanya terdiam, tatapannya lurus ke depan.
“System,” gumamnya pelan. “Apa itu spirit?”
[Spirit adalah kekuatan yang dibangkitkan saat seseorang berusia 17 tahun. Semua orang pasti memilikinya. Spirit terbagi tiga:
Petarung (api, angin, air, tanah, dsb.)
Penyembuh (kekuatan cahaya atau suci)
Perkakas (benda-benda atau peralatan) ]
“Begitu... Jadi aku akan membangkitkan spirit tahun depan,” ucap Faisal.
Ia kembali teringat pada satu hal. “System, kapan aku bisa kembali ke bumi?”
[Kapanpun anda mau. Cukup ucapkan, maka kesadaran anda akan berpindah.]
Mata Faisal berbinar. “Kalau begitu aku bisa pulang ke sekolah kapan saja... tapi tunggu, bagaimana perbandingan waktunya?”
[Satu jam di bumi sama dengan lima hari di dunia ini.]
Faisal terdiam, lalu terkekeh kecil. “Hah... sungguh keberuntungan.”
---
Perjalanan panjang akhirnya membawa mereka ke sebuah kota yang dikelilingi pagar kayu rapuh. Salju menutupi jalanan sempit, rumah-rumah reyot berdiri tak beraturan. Warga menatap kedatangan rombongan itu dengan mata kosong, sebagian ketakutan, sebagian acuh.
Faisal menatapnya lekat-lekat. “Jadi... ini kotaku? Ini lebih mirip desa kumuh. Tidak ada tembok pelindung, hanya pagar sederhana.”
Daniel menunduk hormat. “Yang Mulia, kami bukan pasukan kota ini. Kami adalah prajurit yang diutus Raja untuk mendampingi anda. Pasukan kota hanyalah tambahan kecil, tidak termasuk di bawah kendali anda.”
Faisal mengepalkan tangan. “Jadi begini kondisi wilayah yang harus kujaga...”
Namun, belum sempat ia merenung lebih jauh—
“Dasar bajingan...!” teriak seorang wanita dari kejauhan.
Suara itu bergema di udara dingin, membuat seisi kota terdiam.
...****************...
Bersambung.
Nama: Daniel
umur: 39 tahun
level: manusia puncak
spirit: api rendah
kekuatan: 19
kecepatan: 21
ketahanan: 22
mana:0
Gambar hanya ilustrasi bukan karya sendiri
Mendengar teriakan itu, Faisal dan para prajuritnya sontak menoleh.
Terlihat seorang wanita tersungkur di tanah, berusaha menutupi dadanya yang terbuka karena pakaiannya telah dirobek secara paksa. Tubuhnya bergetar, wajahnya memerah menahan amarah sekaligus rasa malu, sementara air mata terus mengalir di pipinya.
Wanita malang itu dikepung oleh beberapa lelaki berseragam tentara, dipimpin oleh seorang remaja yang tampak congkak.
Ekspresi Faisal langsung berubah datar dan dingin. Dengan tatapan tajam, ia menggerakkan kudanya perlahan menuju lokasi kejadian, diikuti barisan prajuritnya yang membuat suasana semakin mencekam.
“Kau sudah menunggak dua bulan! Cepat bayar upeti!” bentak sang pemimpin kelompok dengan nada angkuh.
“Dasar bajingan! Kau menaikkan upeti sampai tiga kali lipat! Aku tidak mampu membayarnya, anakku sedang sakit! Dan kalian… berani merobek pakaianku!” teriak wanita itu, suaranya bergetar di antara amarah dan rasa hina.
“Dasar jalang!” teriak remaja itu, lalu mengayunkan pecut di tangannya ke arah wanita.
Namun sebelum cambuk itu mengenai tubuh sang wanita, tangan Faisal sudah lebih dulu menangkapnya. Dari atas kuda, ia mencengkeram pecut itu dengan mudah, membuat semua orang di tempat itu terperanjat.
Sunyi sesaat. Tatapan terkejut bercampur takut kini mengarah pada Faisal.
“Bajingan! Siapa berani menggangguku!” teriak pemimpin kelompok itu. Dialah Low Grind, anak dari Baron Welfis yang berkuasa di kota tersebut.
“Daniel, siapa dia?” tanya Faisal tanpa sedikit pun melirik Low.
Daniel menjawab singkat, “Itu Low Grind, anak Baron Welfis, yang mulia.”
“Aku sendiri yang akan memperkenalkan diriku! Aku Low Grind, putra Baron Welfis!” teriak Low dengan wajah memerah karena marah.
Faisal hanya menatapnya dingin lalu tertawa keras. “Hahahaha!” tawanya menggema membuat orang-orang semakin bingung.
Low tersenyum sinis. “Apa kau sudah gila? Kau ketakutan setelah tahu siapa aku, hah?”
Namun seketika suasana berubah tegang. Faisal mencondongkan tubuhnya dari atas kuda, lalu dalam satu gerakan cepat, ia mencekik leher Low dengan satu tangan dan mengangkatnya ke udara.
“Kuukkhh…!” Low tercekik, wajahnya membiru, kakinya meronta tak berdaya.
“Aaakhh…! T… tolong aku!” teriak Low dengan suara terputus-putus.
“Sialan! Lepaskan tuan muda!” teriak delapan prajurit Low yang langsung menyerang Faisal.
Namun sebelum mereka sempat mendekat, terdengar suara tajam—
Strup!
Anak panah menancap di kaki para prajurit itu satu per satu, membuat mereka jatuh tersungkur, menjerit kesakitan.
“Aaarghhh!”
Keributan ini segera menarik perhatian penduduk kota. Mereka berdatangan, berkerumun, menyaksikan kejadian yang jarang mereka bayangkan: seorang pangeran yang biasanya dicibir, kini berdiri gagah menghadapi anak Baron.
Faisal melemparkan tubuh Low ke tanah seperti membuang sampah.
Bruk! Low jatuh tak sadarkan diri.
“Di wilayahku… kau berani berbuat seenaknya,” ucap Faisal datar, suaranya rendah namun penuh tekanan.
Keheningan menyelimuti. Tak ada seorang pun yang berani bersuara, bahkan napas mereka pun terasa ditahan, takut mengusik suasana.
“Daniel, kirim pesan pada keluarga Grind. Suruh mereka datang menjemput anaknya,” ucap Faisal seraya menarik kendali kudanya untuk pergi.
“Siap, yang mulia,” jawab Daniel cepat.
Pasukan pun bergerak mengikuti Faisal yang meninggalkan lokasi dengan tenang, meninggalkan ketegangan yang belum hilang dari wajah para warga.
Saat mereka menjauh, bisikan mulai terdengar.
“Itu… bukankah Pangeran Alex? Bagaimana mungkin dia masih hidup? Bukankah dia dikirim berperang?”
“Benar! Dan kenapa dia bisa seberani itu sekarang?”
“Selama ini dia hanya bermalas-malasan di istana, membiarkan kita kelaparan. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?”
Namun suara wanita yang tadi ditolong memecah gumaman itu. Dengan mata masih basah, ia berbisik lirih, “Apapun yang terjadi… dia sudah menyelamatkanku. Aku berhutang nyawa padanya.”
---
Rombongan Faisal akhirnya tiba di sebuah bangunan besar dari kayu.
“Ini istana kota…? Astaga, buruk sekali. Bahkan mirip rumah kakekku di bumi,” gumam Faisal, geleng-geleng kepala saat turun dari kuda di depan gerbang.
“Daniel, cari tempat tinggal untuk para prajurit untuk sementara. Aku akan atur semuanya besok,” ujarnya seraya menyerahkan kendali kuda.
“Yang mulia, lalu dua peti emas rampasan itu…?” tanya Daniel.
“Bawa masuk,” jawab Faisal singkat, berjalan menuju dalam istana.
Dari kejauhan, seorang pria tua berlari terburu-buru. Begitu sampai di hadapan Faisal, ia langsung bersujud.
“Maafkan hamba, yang mulia! Hamba tidak menyambut Anda di pintu kota!” ucapnya terbata-bata.
“Bangkitlah, kau tak perlu bersujud begitu,” ucap Faisal sambil membantu pria tua itu berdiri.
Air mata nyaris menetes dari mata pria itu. “Terima kasih, yang mulia. Hamba sangat senang… Anda selamat dari medan perang. Ini benar-benar sebuah berkah.”
“Cedric, siapkan makanan untukku. Aku lapar setelah perjalanan panjang,” ucap Faisal lembut.
Cedric tertegun mendengar nada bicara itu, lalu cepat-cepat menjawab, “Si… siap, yang mulia!”
Faisal melangkah masuk ke dalam istana. Dalam hati ia bergumam, Satu-satunya orang yang tulus bersikap baik padaku di kota ini hanyalah Cedric. Dia yang merawat tubuh ini selama ini.
---
Beberapa saat kemudian, di ruang makan istana.
Sebuah meja kayu besar berdiri di tengah, cukup untuk delapan orang makan bersama. Lilin-lilin menyala, perapian berderak hangat.
Faisal duduk makan dengan tenang, Cedric berdiri di sampingnya, siap melayani.
“Makanan di sini… buruk sekali dibandingkan di bumi. Bumbu langka, bahkan garam pun tidak ada,” gumam Faisal sambil mengunyah.
“Tapi… untuk seseorang sepertiku yang terbiasa makan seadanya, ini masih cukup bisa ditelan,” tambahnya pelan.
Kemudian ia menoleh pada Cedric. “Sekarang, jelaskan kondisi kota ini secara rinci.”
Cedric terkejut. “Apakah yang mulia… berniat membangun kota?” gumamnya tak percaya.
“Yang mulia, penduduk kota kini menderita kelaparan karena musim dingin yang panjang. Ditambah lagi, keluarga bangsawan Grind menaikkan pajak sampai tiga kali lipat. Warga benar-benar tercekik,” jelas Cedric.
“Berapa jumlah penduduk?” tanya Faisal.
“Empat ratus lima puluh jiwa, yang mulia. Sebagian besar petani, pemburu monster, penempa, dan sisanya berdagang.”
“Lalu berapa banyak uang yang kita punya sekarang?”
Cedric menunduk. “Saat tiba, Anda diberi dua ribu keping emas… tapi semua sudah habis. Kini hanya tersisa dua puluh lima keping.”
Faisal berdiri, membuat Cedric terkejut. “Hitung emas yang ada di dua peti jarahan tadi. Simpan baik-baik. Aku mau beristirahat.”
“Peti emas?” Cedric melongo.
“Itu rampasan perangku kali ini,” jawab Faisal ringan, lalu melangkah pergi.
Cedric menatap peti itu dengan ragu, lalu membukanya.
Creekk…
Matanya terbelalak. Tumpukan emas batangan tersusun rapi memenuhi peti besar itu.
“Emas… batangan…” gumamnya sambil mengambil satu batang. Tangannya bergetar hebat.
...****************...
Bersambung..
Nama: Cedric
umur: 59 tahun
level: ????
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!