Saya bersumpah bahwa
1.Saya akan membaktikan hidup saya untuk kepentingan kemanusiaan terutama dalam bidang kesehatan tanpa membeda-bedakan kesukuan, kebangsaan, keagamaan, jenis kelamin, golongan, aliran politik, dan kedudukan sosial.
2. Saya akan menghormati setiap insani sepanjang daur kehidupannya.
3. Saya akan mempertahankan dan menjunjung tinggi martabat profesi keperawatan dengan terus menerus mengembangkan ilmu keperawatan.
4. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan dan keilmuan saya sebagai perawat, kecuali jika diminta keterangan untuk proses hukum.
5. Saya akan senantiasa memelihara hubungan baik antar sesama perawat.
6. Saya akan membina kerja sama sebaik-baiknya dengan kesehatan dan pihak lain dalan pemberian pelayanan kesehatan.
7. Saya akan memberikan penghormatan yang selayaknya pada guru dan pembimbing saya.
8. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dengan penuh keinsyafan.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan kekuatan kapada saya.
Sebuah sumpah di hadapan Tuhan dan PPNI dengan disaksikan sekian ratus orang telah ia ikrarkan.
Pelukan sayang nan bangga keluarga mengelilingi Zahra, profesi yang ia ambil melengkapi sederet profesi mulia ketiga bersaudara Ananta.
🍂 Beberapa waktu kemudian
STR sudah ia genggam, surat penempatan mengabdi pun sudah diterimanya.
"RSCM, great! Paling enggak masih di ibukota, jadi gue bisa mantau!" ujar Rayyan, setua apapun Zahra ia tetaplah gadis kecilnya keluarga Ananta, apalagi bagi kakak-kakaknya.
Satu layar pipih itu terbagi 4 kolom, Markormar, Batalyon timur, Sabang, dan rumah diiringi lattar berbeda saling bersahutan.
"Kamu masih bertugas di ibukota dalam jangka waktu lama Ray?" tanya Fara.
"Masih kak, gue baru balik dari luar kemaren," wajahnya sedikit kusut dan menguap beberapa kali, mungkin Rayyan baru saja tertidur beberapa jam saja selepas pulang dinas dari luar negri, tapi ada yang membuat perhatian seluruh anggota keluarganya tertawa tergelak.
Sejak tadi Zahra, Fara dan umi tertawa sampai terbatuk-batuk, lain halnya dengan Al Fath dan abi Zaky yang kuat iman, ketebalan iman mereka setebal bedak para SPG kosmetik.
"Lo ubah style rambut bang?" tanya Zahra tergelak. Bagaimana tidak, perwira dengan badan atletis dan tegap itu memakai bandana kelinci berwarna pink, belum lagi jepitan love dan candy yang entah macam apa menempel cantik di atas rambut kiri Rayyan dan parahnya ia pasrah saja sedang di dandani gadis kecil berusia hampir 3 tahun itu.
"Sejak kapan playboy ubah haluan. Kalo siang Rayyan kalo malem jadi Rayyana!" puas sekali mereka mencibir dan mengejek perwira 2 anak ini.
"Cimoy liat ma cut! Cimoy ma cut punya coklat loh! Kalo cimoy mau tinggal sama ma cut, tiap hari ma cut kasih coklat!" seru Zahra pada gadis yang asik mendandani ayahnya itu, saking gemasnya Zahra selalu ingin menculik anak gadis abangnya itu, wajah Cut Daliya Clemira Ananta itu begitu cantik, menggemaskan, dan lucu perpaduan Rayyan dan si cantik Eyi, model tanah air rasa Paris.
"Jangan mau nak! Coklatnya ada racunnya!" timpal Rayyan.
"Engga ih!" seru Zahra manyun.
"Abi---abi liatnya sini belum dipakein eye shadow! Abi mulutnya gini!" ia melipat dan mengecup-ngecup bibirnya sendiri demi memperagakan tutorial meratakan lipstick yang benar pada Rayyan.
Fara bahkan sudah berlinang air mata, "ha-ha-ha, Fara udah pipis! Ya Allah, kapan sih kalian ke timur?!!"
"Abang cimoy belum dikasih minum abis makan, tolongin dulu ih! Eyi lagi cebokin dulu Panji---" teriak Eirene.
"Minum dulu nak, cimoyyy! Nanti cegukan," sahut umi menimpali, melihat cucu perempuannya yang begitu menggemaskan dengan rambut hitam seperti Rayyan yang diikat 2 samping kiri dan kanan namun bergelombang di bagian bawahnya itu berasa pengen langsung terbang ke Jakarta dan ngekepin cucu, bocah ini tengah centil-centilnya, menjadikan ibunya yang notabenenya mantan model sebagai suri tauladan.
"Panji udah sembuhkah diare-nya, Ray?" tanya umi.
"Kasih oralit bang, kalo ngga cairan isotonik buat gantiin cairan tubuh, biar ngga dehidrasi!" sahut Zahra.
"Udah mi, dek Ra. Abang Saga sudah mau masuk SD kan kak? Mana dia?" tanya Rayyan.
"Udah--udah, lagi belajar ngaji sama abang Fath tuh!" Fara mengedarkan layar ponselnya pada si ganteng kalem bersongkok hitam dengan bordel emasnya. Saga merupakan jiplakan abi dan abba-nya begitu teduh nan menyejukkan sesejuk air, seperti namanya Sagara.
Terdengar lantunan surat pendek dari mulut mungil dan suara syahdu khas anak kecilnya di telinga orang-orang.
"Abang Caga, lagi ngaji ya umi Fala? Itu sulat At-tin kan?!" tanya cimoy.
"Iya sayang,"
Melihat interaksi lucu keluarganya, Zahra merasa semua sudah lengkap untuknya, tapi bagaimana dengan nasib kisah cintanya? She does'nt care!
Tapi beberapa bulan setelah panggilan terakhir mereka, tiba-tiba saja umi dan abi memanggilnya ke rumah di ibukota, Yap! Semenjak bekerja, Zahra memilih nge-kost di kawasan dekat dengan rumah sakit.
"Apa?!!!! Dijodohin?!!"
Al Fath yang baru sampai karena panggilan darurat umi dan abi sempat syok mendengar perjodohan Zahra, gadis itu bukan lagi. Sementara Rayyan? Ia anteng saja nyemil kacang salut gula di ruang depan. Sejenak suara kunyahan Rayyan menjadi suara satu-satunya yang terdengar disana.
"Emang umi udah dapet calon?" tanya Ray.
"Ada, temen tk nya Zahra dulu!" jawab umi Salwa.
"Enggak--enggak! Umi, abi--ini tuh udah ngga jaman lagi jodoh-jodohan dikirain anaknya ini segitu ngga lakunya!"
Baik Rayyan maupun Al Fath sudah mengusulkan beberapa kandidat calon untuk Zahra dan tentunya setelah melewati beberapa poin kualifikasi tersendiri standar *mereka*, tapi Zahra menolak, ia tak mau memiliki pasangan abdi negara yang harus siap di nomor dua kan. Padahal ia sendiri pun nakes yang sudah bersumpah. Pun sudah pasti menomor dua kan pasangan juga keluarga.
"Pokoknya Zahra ngga mau!" gadis itu menghentakkan kaki dan bersidekap dada.
"Bukan dijodohin, tapi ta'aruf. Dicoba dekat dulu. Kalau memang nggak sreg ya udah kita batalkan, umi cuma mau yang terbaik buat anak-anak umi,"
"Padahal calon pilihan gue tuh bekas taruna gue dulu, sekarang udah pangkat kapten, cakep pula. Dia mirip bang Fath lah, ubin mushola!" ujar Rayyan tanpa disaring, yang sontak dihadiahi tatapan killer abangnya.
"Sorry bang, maksud gue cocok buat jadi pendingin dek Ra yang heboh!" ralatnya membenarkan kosa kata yang memang sebagian besar menusuk empedu. Kalau bisa jangan sampai seperti dirinya dan Eirene, sama-sama sengklek dan heboh akhirnya boom, kemana-mana dunia selalu diguncang gempa. Cukup mereka saja pasangan yang bisa membuat para penghuni langit lempar batako ke bawah bumi saking berisiknya.
"Begini saja umi, abi---dicoba saja namun tidak memaksakan. Kalau dek Ra tak mau ya sudah kita batalkan tanpa menjanjikan hubungan ke jenjang berikutnya terlebih dahulu pada keluarga calon?" usul Al Fath, diangguki Rayyan, "gue mah iya aja lah!"
"Zahra, abi ini sudah tidak muda lagi. Merupakan tanggung jawab abi menitipkan kamu pada orang yang tepat, demi membimbing kamu ke jannahnya Allah, pergaulan jaman sekarang bikin abi sama umi ngelus dada. Umurmu juga sudah cukup matang untuk menikah, kalau memang kamu nantinya tidak cocok dengan pilihan umi dan abi, juga abang-abangmu, maka silahkan kamu pilih sendiri dengan membawanya pada kami," jelas abi Zaky.
Zahra menghirup nafas dalam-dalam, ia sendiri bingung di usianya yang sudah bukan usia remaja lagi belum juga memiliki kekasih, ditambah...sepertinya syarat lulus kualifikasi dari keluarganya pasti akan sulit, bukan tidak mungkin nanti calon yang ia pilih akan gugur sebelum menginjakkan kakinya di rumah, apalagi melihat kedua abangnya, belum apa-apa sudah pi pis duluan di celana.
Zahra tau maksud keluarganya itu baik, intinya---umi sama abi kepengen cepet-cepet nikahin Zahra, biar ada yang jagain apalagi kalau dinas malam atau mengharuskannya keluar di malam hari, fisik yang sudah tak muda lagi membuat Salwa dan Zaky tak bisa untuk selalu memantau si bungsu ini, mengingat perjalanan dari rumah yang jauh.
Tak ada penolakan sampai kabur, ataupun mewek sampe bentak-bentak orangtua. Umur yang sudah lewat dari usia remaja, membuat Zahra memiliki pemikiran yang dewasa.
"Oke, Zahra coba." umi tersenyum lebar.
"Tapiii! Kalau Zahra ngga cocok, Zahra ngga mau lanjut!"
"Oke!"
.
.
.
.
Hay kaleean, ketemu lagi dengan karya recehku yang ke sekian. Please jangan membandingkan cerita ini dengan kenyataan atau karya penulis lain dengan genre yang sama ya, karena jelas cerita ini HANYA FIKTIF BELAKA dan halusinasi otak sisa kemarin sore, jikalau ada kesamaan nama, tokoh, gelar, tempat dan setting maka semua itu kebetulan semata. Ngga mau banyak berkokok yang bikin pusing cuma mau bilang, "jadilah pembaca yang bijak, dengan tidak menghina, julit, nan nyinyir, jika tak suka dan bosan silahkan skip dan tak usah dibaca saja tanpa meninggalkan luka yang menancap di kantung empedu mimin!" 😂 Ketikan Jarimu adalah cerminan pribadimu.
Catatan 📝 : Dilarang berharap karya ini bakalan bikin ngakak terus menerus, karena mimin bukan sedang buat sketsa komedi, tapi jika ada kalimat absurd silahkan keep saja sendiri dan anggap itu bonus.
Happy reading all!
.
.
.
.
Pria yang umurnya separuh usia bumi ini melirik arloji di tangannya, "dek kamu yakin dengan ini?" tanya Zaky sedikit ragu, pasalnya nasib putri bungsunya ini dipertaruhkan. Baru kali ini Zaky merasa ragu dengan keputusannya.
Bagaimana jika perjodohan ini tidak semulus saat dulu ia dan sang istri dijodohkan? Perjodohan itu bukan perkara mudah, menyatukan dua pribadi yang berbeda karakter dan terpisah jauh saling tak mengenal itu begitu sulit, apalagi keduanya berusia sepantaran.
"Insyaallah! Kak Meta sudah tau siapa dia, siapa keluarganya, bahkan Salwa udah sering ketemu sama Ica," jawab Salwa, seringnya versi Salwa itu 2 sampai 3 kali. Ada helaan nafas berat dari keduanya mengambil keputusan, tapi mengingat apa yang terjadi dengan Rayyan dan Eirene dulu, adalah bukti nyata jika mereka hanya ingin marwah Zahra terjaga. Selain itu, biar Zahra ada yang jaga, karena fisik mereka sudah tidak muda lagi untuk bolak-balik Aceh-Jakarta.
"Salwa beri waktu untuk mereka bang, jikalau memang tak cocok ya sudah...kita batalkan, Salwa dan Ica tidak memaksakan kehendak." jelasnya bijaksana.
"Janji tidak memaksa? Kalau mereka tidak setuju, maka perjodohan batal?" tanya Zaky, terakhir kali ia berjanji, janjinya itu adalah janji semu.
"Janji!" balas Salwa mengecup kening suami ex camatnya.
🍂 **Lempengan bumi lain**
"Dewaaaaaa!!!!"
"Abaanggggg! Dewa ngga ada!" teriak Ica pada Jihad panik, sampai-sampai rumah segede gambreng gempa dibuatnya.
Jihad menutup telinganya seraya menggertakan gigi, "gue kunyah juga nih, punya bini satu aja dunia berasa ada di dalem sound sistem. Berisik bakwan sayang!" dasi yang sudah setengah terlepas, dan kancing kemeja yang sudah terbuka adalah tanda jika ayah 2 anak ini baru saja akan menanggalkan pakaian kantornya.
"Abang, Dewa ngga ada!" paniknya berlarian kaya b4n cii dikejar satpol PP.
"Kemana?" tanya Jihad menegang.
"Ck--kalo aku tau ngga akan bilang sama abang!" jelasnya. Jihad kemudian merogoh ponselnya menghubungi anak keduanya.
"Hallo dad!"
Tak perlu menunggu lama sampai krakatau kembali meletus, atau dunia dilanda demam pokemon lagi untuk mendapatkan balasan, pemuda ini memang hampir mendekati sempurna, selain pintar, tampan, baik, ramah, muda, tinggi pokoknya segala jenis kebaikan ada di dalam dirinya sampai-sampai orang ngga bisa bedain yang mana Ganesha dan mana madu perhutani asli yang memiliki segudang manfaat bagi manusia sekitar, sama-sama mengandung seribu kebaikan. Ia begitu hormat pada kedua orangtuanya tak seperti si kakak Dewa yang jelas kebalikan dari Ganesha kecuali tampannya.
Sorot mata Ganesh tersenyum getir, tapi kemudian ia mengiyakan.
"Ganesh pulang dad," jawabnya.
"Gea, jadwalkan kembali meeting dengan Agum Sedaya grup, ada urusan keluarga mendadak yang tak bisa saya tinggalkan," ucapnya merapikan jas yang memang sudah rapi. Bahkan wangi jas seharga motor bebek si komeng itu masih menguarkan aroma maskulin hingga ke ujung parkiran, saking si empunya bersih dan rajin merawat diri. Tak ada bawahan yang tak menyukainya sampai-sampai ob pun suka! Hah?! Ob Thor? Yang bener aja! 😂😂 pokoknya saking perfect lah gitu, ngga bisa dijabarkan dengan kata-kata karena si mimin ngga pandai menghalu tingkat *ihsan* (tingkatan tertinggi seorang muslim).
Detak sepatu pantofel mewah terdengar bagai melodi yang mengalun detak jantung para kaum hawa, menyusuri lorong kantor di sela-sela jam istirahat.
"Ya, putar arah kemudi ke rumah. Momy sama daddy minta gue balik," Yahya sang asisten mengangguk.
"Siap! Loh, meeting sama Agum Sedaya grup gimana?" tanya nya, hubungan keduanya memang hanya sebatas atasan dan asisten namun mereka adalah sahabat karib sejak kuliah.
Ganesh menyenderkan kepalanya di sandaran kursi mobil, menumpahkan semua rasa lelah hari ini, "gue udah minta Gea jadwalin ulang," Ganesh melonggarkan dasinya capek.
Raut wajahnya terlihat sangat lelah dan tertekan, "ada apa Nesh?"
"Asisten dilarang penasaran sama urusan bos!" kekeh Ganesha tersenyum miring seraya memijit pangkal hidungnya.
"Ini di luar kantor Nesh, asisten sama bos cuma di dalam kantor!" sewotnya menginjak pedal gas, mulai melajukan mobil mewah nan mengkilat itu keluar dari gedung kantor.
"Ini masih area kantor," debatnya.
"Tuh! Udah keluar!" tunjuk Yahya. Ganesh memang tak pandai berbohong, atau biasa disebut bad liar.
"Bang Dewa kabur, siang ini momy sama daddy rencananya ketemu sama keluarga si perempuan."
"So??" Yahya penasaran, dan pastinya sudah menduga, "lo gantinya?!"
"Yap! *One hundred percent right*! " angguk Ganesh.
"Mau, kita cari Dewa? Gue heran Nesh, apa sih yang ada di otak kembaran lo itu, tiap hari kerjanya kalo ngga balapan liar bareng Lendra, clubing, ya ngacauin orang?!" Yahya sedikit menggerutu menjabarkan semua perilaku negatif kembaran bos sekaligus sahabatnya itu.
"Entah! Ngga usah lah!" geleng Ganesh, tanpa harus mencari Dewa sampai mengerahkan densus 88 pun ia sudah tau dimana kembarannya berada.
"Perusahaan om Ji, lo yang urus. Perusahaan start up tante Ica, lo juga yang awasin. Sementara dia?"
"Udahlah Ya, bukan saatnya kita bahas bang Dewa. Mau seburuk apapun dia tetep abang gue," Ganesha memejamkan matanya, jakun pelengkap wajah tampannya itu naik turun saat ia menelan saliva, bikin cewek-cewek ngiler pengen ditelen.
Srekkkhhhh!
Tirai kamar apartemen dibuka selebar pa ha gajah.
"Sampai kapan lo ngumpet Wa, om Ji sama tante Ica nyariin lo?! Gue ngga mau ya, sampe kebawa-bawa sama masalah lo, ngga inget kalo kesalahan terakhir kita aja, gue masih kena amukan mama sama papa?" ujar Lendra meminum softdrink sampai setengah tandas dan duduk di tepian jendela, landscap dari apartmentnya ini memang paling indah, salah satu apartment yang dibuat oleh Jihad bersama Armillo atas nama Caramel memiliki 40 lantai dengan beberapa kelas suite, bussines, dan vip class.
Dewa menggeliat macam ulat, sinar mentari pukul 12 siang tak terlalu kentara mengganggu tidurnya, berhubung rambutnya yang sedikit gondrong menghalangi sebagian wajah Dewa, dia terlalu malas untuk sekedar memotongnya, ditambah menurutnya gondrong itu definisi keren yang sebenarnya, padahal Ica menyebutnya mirip brand ambassador sampo.
"Tutup Ndra! Gue masih ngantuk, semalem gue pulang jam 3," katanya parau membalikkan wajah ke lain arah dan menarik selimut.
"Apa lo tega, kesekian kalinya Ganesh harus nanggung perbuatan lo lagi?!" Lendra menaruh kaleng softdrink di nakas kecil samping tempat tidur.
"Biarin lah! Emang gitu kan suratan nasibnya!" jawab Dewa dengan tanpa hati.
Lendra terkekeh sumbang, "abang ngga ada akhlak lo! Buru balik, kalo dalam hitungan 5 lo ngga bangun, sorry---kali ini gue berpihak sama om Ji!"
"1---2---3---,"
Dewa mengacuhkannya, paling-paling cuma gertak sambel yang dilakukan Lendra, masa iya sohib sehidup semati, sepiring berdua, seguru, seilmu tega nian laporin Dewa ke bapaknya.
Tapi yang Lendra lakukan kali ini memang benar adanya, ia menggeser layar ponsel, "hallo om Ji, Dewa ada disini...kawasan puncak! Apartment Lendra, passwordnya tanggal lahir mama Kara!"
Dewa langsung terjengkat bangun, "si_alan lo! Umpatnya.
Lendra tertawa renyah, sambil mengunci kamar dimana Dewa berada. "Mau kabur?! Silahkan, paling abis ini lo kaburnya ke rahmatullah!" teriak Lendra dari balik pintu kamar.
Gadis ber'dress pink bunga itu adalah Cut Aisyah Zahra Ananta, anak seorang pengusaha kopi ternama asal Aceh Teuku Zaky Ananta, dan Salwa Zahratunnisa. Sementara kedua kakak laki-lakinya sedang tak berada di ibukota karena pekerjaannya sebagai abdi negara mengharuskan keduanya berada di luar pulau, dan kini gadis itu sudah menyandang status perawat memiliki STR keperawatan (Surat Tanda Registrasi).
Dari sambungan video call Al Fath dan Al-Rayyan ikut bergabung, meski raga mereka tak ada disana. Namun keduanya tetap ikut andil dalam acara.
Lihatlah betapa gagahnya kedua kakak Zahra berseragam loreng, begitupun kedua orangtuanya, Ica dan Jihad merasa kerdil jika harus menjodohkan Dewa dengan Zahra, hingga akhirnya mereka memutuskan mengubah haluan untuk menjodohkan Zahra untuk Ganesha.
Rasa penat, kecewa, tak terima itu hilang tatkala melihat teman kecilnya duduk di sebrang Ganesh, bocah perempuan yang gemuk, berani, nan cerewet dan musuh bebuyutan abangnya Dewa, kini sudah menjelma menjadi gadis yang cantik, berpendidikan dan tentunya tetap menggemaskan.
"Ganesh?!"
"Zahra?!" keduanya tertawa, menghangatkan suasana hati kedua keluarganya.
"Jadi yang waktu di lift itu kamu?" tanya Ganesh setengah menahan tawa, pasalnya saat tak sengaja bertemu tampang Zahra seperti suster ngesot baru saja mati karena ditabrak.
"Tunggu! Kamu yang...." Zahra menunjuk Ganesh.
"Yang ketemu kamu di lift, yang kamu timpuk pake tong sampah," Jawab Ganesh.
"Bukan cowok dari planet mars yang minim akhlak itu kan?!" tuduh Zahra dengan mata menginterogasi, daebakk! Dalam satu hari hampir bersamaan Zahra bertemu manusia dengan tampang hampir sama, namun di tempat yang berbeda dan kesan pertama berbeda. Jika yang satu berpakaian rapi dengan tampang kalem, dan yang satu...ck--- jin ivritts...temennya dewa mabuk. Dan ternyata ia mengenalnya dulu.
"Kayanya perjodohan ini bakalan sukses!" bisik Salwa si umi berjilbab biru laut ini.
"Oh bukan cuma sukses, taruhan...anak mereka nanti kembar atau satuan?!" balas Ica. Kedua emak-emak heboh ini tertawa bersama membuat para laki-laki dan tante Meta terheran-heran, ada rencana apa dibalik tawa si suneo dan Giant ini.
.
.
.
.
.
Makan siang berjalan lancar nan hangat, sehangat api asmara, Al Fath dan Ray pun sudah mematikan sambungan telfonnya.
Tapi diantara sungai yang tenang selalu menyimpan suatu kejutan di dalamnya.
"Ngga usah di pegangin juga Bry!" tepis tangan Dewa kasar, seperti seorang tahanan kelas kakap saja. Terlihat sekali mata kantuknya masih bergelayut manja minta di nina boboin, rambut gondrong ia ikat satu dan masih terlihat tak karuan, pakaian kaos mahal namun sayang kusut karena si penggunanya tak begitu memperdulikan kebersihan. Meskipun begitu aura-aura orang kaya-nya masih keliatan nempel yaa...30 persen lah! Langkah kakinya seirama dengan tawa hangat para pengunjung restoran di meja ujung.
Kedua anak buah Jihad berdiri di tengah-tengah acara pertemuan kedua keluarga.
"Pak," Diantara badan keduanya muncul seorang pemuda berwajah sama dengan Ganesha. Mereka semua mendongak, kehadiran Dewa seperti banaspati diantara sejuknya suasana.
Zahra memaksa kelopak matanya terbuka selebar jendela rumah, tak segan-segan bola mata indah itu seolah ingin bersatu dengan kuah sup pedas di atas meja. Begitupun Dewa, "Loe!" tunjuk mereka bersamaan.
Seketika raut wajah Zahra keruh, dan Dewa menarik senyuman miring.
"Loe suster jelek galak yang malem-malem kecipratan air kubangan itu kan?!" Dewa meledakkan tawanya sambil menahan perut, bila mengingat malam itu ia selalu ingin tertawa.
"Ngga lucu!" desis Zahra.
"Dewa! Ini Zahra, teman tk kamu sama Ganesh dulu," jelas momy Ica.
"Ha?! Bwahahahah, si gendut yang bar-bar itu?!" tawa Dewa.
Zahra mengambil air minum dalam gelas dan menyiramkannya tepat ke wajah Dewa, membuat kedua orangtua mereka terjengkat bangun.
"Haa! Cewek ngga tau diri," ia terkejut.
"Yang ini baru lucu!" tawa jahat Zahra, Ganesha yang melihat pertengkaran keduanya diam menyimak, mengerutkan dahi mencoba memahami, apa sebelumnya kakak dan calon tunangannya itu pernah bertemu? Pantas saja, waktu itu Zahra menuduhnya yang tidak-tidak.
"Zahra!"
"Dewa!"
Seruan membahana sampai membuat semua pengunjung restoran terhempas dari kedua orangtua tak membuat keduanya menghentikkan pertengkaran adu mulut.
"Untung Zahra di jodohin sama Ganesh! Kalo sama dia, hihhh amit-amit! Bisa-bisa baru sebulan Zahra udah punya pikiran buat bunuh diri!" Zahra yang menggeser kursinya kini ditahan oleh Salwa, sementara Dewa ditahan oleh Ica.
"Apalagi gue, ogah punya istri modelan temennya suster keramas!"
"Kureung aja!"
"Zahra!" Umi Salwa sudah benar-benar melotot melihat putri bungsunya bisa sebar-bar ini, Zahra langsung menunduk, "maaf umi, abi..."
"Ha-ha-ha cemen!" ejeknya, tapi sejurus kemudian, "Aww---aw---momy sakit!" Ica menarik dan memelintir telinga Dewa keras.
"Minta maaf!" suara Ica membelah rumah para dewa diatas sana.
"Abang Dewa tuh kalo dimana-mana selalu aja jadi biangnya!" omel Ica.
"Manis dong my," kelakarnya, Ica semakin keras menarik telinga putra pertamanya, membuat Jihad mengurut pangkal hidung kencang-kencang, tak di rumah tak di luar rumah Ica dan Dewa adalah partner kerusuhan yang klop.
"Yahhh, beginilah pak Zaky...drama keluarga bahagia saya," ucap Jihad meringis malu menggosok-gosok tengkuknya, mendadak tubuhnya panas dingin. Zaky tertawa merasakan jika calon besannya ini satu nasib dengannya.
"Abi--umi, Zahra ngga mau kalo sampe dijodohin sama makhluk yang tampilannya kaya alien dari planet mars satu ini! Liat pakeannya, udah dekil, kumel, semrawut kaya orang gila!"
"Lagian cewek cerewet, gembul kaya loe bukan idaman gue. Ambil aja buat loe! Dengan senang hati gue tuker tambah casing hape, " cerca Dewa pada Ganesha, dan ia pergi dengan menyingkirkan kedua anak buah daddynya dengan perasaan marah.
"Dewa!!!" teriak Ica, bukan sulap bukan sihir, Ica melepas sepatu hak tingginya dan melempar tepat ke arah punggung anaknya membuat mereka terkejut tentunya kecuali Jihad dan Ganesha.
"Daebakkk! Bu Ica?!" kaget Salwa.
"Jackpot!" angguknya, sementara Jihad sudah menggelengkan kepalanya malu.
"Bry! Tangkap Dewa, bawa pulang!" titahnya, sementara Dewa hanya mengusap punggung karena terkena sepatu milik ibunya.
"My akhh! Dewa bisa balik sendiri!"
"Ck! Kalian bikin malu, Bry--Jack bawa Dewa ke mobil!"
"Pak Zaky, bu Salwa dan bu Meta. Maaf atas kejadian siang ini, benar-benar diluar dugaan."
Bukannya marah atau kesal, Salwa malah tertawa puas, "bu Ica, haduhhh! Saya jadi ingat anak kedua saya, saya pun begitu dengan Rayyan," ujar Salwa. Dibalik the perfect family ternyata menyimpan sisi behind the scenenya tersendiri.
Ica meringis, "Dewa memang harus digituin bu, suka bikin kesel!"
"Om--tante. Saya atas nama keluarga memohon maaf sebesar-besarnya pada keluarga Zahra, saya harap kejadian ini tidak merubah keputusan apapun," ujarnya diplomatis.
"Tak apa-apa Ganesh, tak usah merasa tak enak, tidak sepenuhnya salah Dewa, tapi ada andil dari Zahra juga," jawab Zaky.
"Maafin Zahra tante Ica, om Ji--" sesal Zahra menunduk, menunjukkan kesopanannya.
"Gak apa-apa sayang," Ica menyentuh dagu Zahra lembut selembut kasih sayang ibu.
Zaky melirik arloji di tangannya, "mi, sudah jam segini. Redi dan pak Januar pasti sudah menunggu. Pak Jihad, bu Ica, Ganesha maaf bukan kami tidak mau berlama-lama tapi ada urusan bisnis yang harus kami urus dahulu."
"Loh, abi! Zahra gimana?" tanya Zahra.
"Kamu bukannya mau pulang ke kost-an?"
"Biar Zahra saya yang antar om, tante," sahut Ganesha, jika si kalem ini bicara bawaannya dunia damai dan tenang bak Indonesia bertilawah, beda dengan kakaknya yang rusuh bawaannya dunia sudah di ambang kiamat.
"Ah alhamdulillah, maknyess!" timpal Salwa terkekeh, ia senang dengan Ganesha, kepribadian kalem, sopan dan santunnya mungkin bisa dikategorikan Al Fath kedua, hanya saja Ganesh mungkin lebih friendly dan hangat, pokoknya cocok lah buat mantu idaman.
"Kalo gitu umi pulang ya, oh iya--lusa umi sama abi mau pulang ke Aceh dulu, sudah lama kami tidak pulang." Jelasnya mengusap putri bungsunya.
"Iya mi, hati-hati. Biar nanti Zahra pulang dulu kalo umi sama abi mau berangkat!"
"Iya nak, Bu Ica--pak Jihad, Ganesh, kami pamit." Pamit Zaky diangguki Jihad.
"Ganesh, tante titip Zahra selama di Jakarta ya," pesan Salwa. Pesan seorang ibu yang sarat akan kasih sayang dan kekhawatiran.
"Iya tante, siap!" jawab Ganesha.
Umi Salwa dan momy Ica terlihat cipika-cipiki. Mungkin selain dengan mam Kara, hanya umi Salwa dan tante Meta-lah yang mampu membuat momy-nya sebestie ini.
"Ck--Ganesh anterin Zahra! Ini Yahya, kenapa masih ngejogrok disini?" tanya Ica. Momy Ica memang selalu memiliki kamus bahasanya sendiri, maklumlah ia anak betawi asli. (berdiam diri/hadir)
"Asisten sejati mii, supir!" jawab Yahya.
"Oh ya udah! Abang buru, nanti tuh anak kamu kabur lagi!" ajak Ica pada Jihad.
"Iya bawel, Zahra--- nanti biar Ganesh sama Yahya yang anter kamu pulang ya, om sama tante tinggal dulu!" ucap Jihad.
"Iya om, hati-hati."
"Calon mantu, momy pulang dulu ya! Hati-hati juga di jalan," Zahra mengangguk.
"Selesain aja dulu makannya. Sayang udah dibayar!" kekeh Ica dibalas tawa Zahra.
"Yah elah, si bakwan. Katanya ngajakin buru? Itu Dewa kalo ditinggal lama-lama bisa kabur dia-nya!"
"Iya bang--iya. Ganesh momy pulang!" pamitnya terburu-buru.
.
.
.
Note :
* Kureung aja : kurang aj ar.
* Behind the scene : di balik layar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!