NovelToon NovelToon

Kost Putri Reunion

Moana

Suara riuh terdengar begitu memekakkan di salah satu ruang kelas di sebuah Sekolah Dasar. Ruang kelas 1 A, memang terdengar lebih ramai dibandingkan dengan kelas 1 yang lainnya. Di dalam kelas tersebut terdapat tiga puluh siswa dengan latar belakang dan suku yang berbeda-beda. Tidak semua di antara mereka merasa senang pada hari pertama mereka masuk di Sekolah Dasar. Ada yang menangis, ada yang merasa terganggu dengan teman yang belum mereka kenal, ada juga yang terlihat sibuk mencari sosok ibu mereka.

Suasana ramai tidak hanya di kelas, di luar kelas pun terlihat ramai. Tepatnya di samping jendela kelas, di sana terlihat orang tua murid sedang berdiri memantau buah hati mereka dengan perasaan yang begitu bangga dan bahagia. Karena bagaimanapun, mereka merasa buah hati mereka sudah besar dan siap untuk menempuh pendidikan sekolah dasar.

"Ok anak-anak...., perkenalkan, saya adalah ibu Suhartini, wali kelas kalian. Anak-anak sekalian, boleh memanggil ibu dengan sebutan ibu Tini. Ibu Tini adalah pengganti orang tua kalian saat di sekolah. Jadi, kalau ada apa-apa, bilang sama ibu ya..." Ucap ibu Tini yang memiliki wajah yang terlihat sangat ramah dan sabar, layaknya guru-guru di taman kanak-kanak dan juga di sekolah dasar pada umumnya.

Ibu Tini tersenyum lebar saat melihat tidak ada satupun anak-anak menyahut ucapannya. Di depannya terlihat tingkah polah anak-anak dengan ragamnya. Meskipun begitu, seorang guru memang sudah terbiasa menghadapi situasi yang seperti itu. Terutama guru di taman kanak-kanak dan juga guru kelas 1 di sekolah dasar. Kesabaran mereka harus tetap terjaga, karena mereka tahu betul bila peserta didik di bawah usia tujuh tahun memang begitu adanya. Dan disitulah tugas dan tantangan para guru untuk mengarahkan anak didiknya agar terbiasa mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan tertib.

"Sekarang, karena hari pertama sekolah, kita kan belum saling kenal ya teman-teman. Jadi, bagaimana kalau kita berkenalan dahulu. Jadi, nanti belajarnya lebih menyenangkan. Teman-teman sudah memiliki teman dan bisa bermain bersama. Juga dengan ibu Tini, ibu jadi bisa mengenal dan memanggil nama teman-teman semua."

"Huaaaa... mama....!" Terdengar tangisan dari pojok ruang kelas.

Ibu Tini menghampiri anak yang sedang menangis tersebut dan berusaha menenangkannya. Tidak hanya sampai di situ saja, selang beberapa menit, terdengar keributan antara satu anak dengan anak yang lainnya. Yang ternyata mereka sedang bertengkar memperebutkan bangku. Suasana ramai juga di tambah dengan suara cekikikan dan juga suara obrolan para murid yang tidak mau diam walaupun sedetik saja.

"Teman-teman yang pintar dan baik hati, bisa diam dulu ya..., Ibu mau berbicara. Kalau mengerti, katakan mengerti Ok?"

"Ok! Ok!" Sahut anak-anak dengan nada suara tokoh kartun yang terkenal membawa map di tas nya.

"Ok, kita memperkenalkan diri dulu ya teman-teman." Sambung ibu Tini lagi.

"Anak siapa itu? Cengeng kali," Ucap Butet yang sedang berdiri di samping jendela kelas tersebut, bersama ibu-ibu yang lainnya.

"Gak tahu mam, kayaknya orang tuanya tidak menunggunya di sini." Sahut ibu yang berada di samping Butet.

"Oh kek gitu. Pekak kali telingaku dibuatnya. Nangeeesss aja kerjanya dari tadi. Gak kayak anakku, tengoklah santai kali dia dudok di sanan," Ucap Butet, seraya menunjuk Moana, putri satu-satunya yang sedang berada di dalam kelas tersebut.

Ibu tersebut melirik Butet dengan senyum sinisnya.

"Anakku juga anteng kok mam, bukan hanya anaknya mama saja," Ucap ibu tersebut.

Butet menatap ibu tersebut dengan tatapan sebal, lalu ia melengos dan kembali menatap Moana yang sedang duduk dengan sikap yang rapi.

"Gak mau kalah kau. Anteng darimana anak kau?" Batin Butet.

"Ok, yang pertama ibu panggil ananda Ahmad. Mana yang namanya Ahmad? Sini ke depan, mari perkenalkan dirinya sama teman-temannya ya.."

"Saya bu..."

Seorang anak mengacungkan jari telunjuknya, lalu berjalan ke depan kelas.

"Ok, sebutkan namanya. Terus, dimana rumahnya dan juga anggota keluarganya ya." Pinta bu Tini.

"Iya bu." Sahut anak tersebut.

"Ya sudah, perkenalan diri di mulai ya. Silahkan..."

"Halo teman-teman, nama saya Ahmad," Ucap anak tersebut.

"Ayo di lanjut, di mana rumahnya. Punya kakak atau adik berapa. Hobinya apa dan juga punya hewan peliharaan atau tidak," Ucap bu Tini dengan ekspresi wajah yang begitu ramah.

"Rumah... hmmm.. rumah saya di... hmmm.. mak! rumah kita di mana?" Tanya anak tersebut kepada ibunya yang sedang menatapnya dari balik jendela. Sontak saja para wali murid yang berdiri di sana tertawa melihat tingkah anak tersebut.

"Perasaan di Taman Kanak-kanak sudah di ajarkan deh," Ucap ibu yang tadi berbicara dengan Butet, dengan ekspresi wajah yang nyinyir.

"Biar aja lah, namanya dia gugop," Ucap Butet dengan ekspresi wajah yang tak kalah nyinyir.

Kembali ibu itu terlihat tidak suka dengan sambutan dari Butet.

"Sekarang yang namanya Amelia," Ucap bu Tini, setelah Ahmad selesai memperkenalkan dirinya.

Seorang anak perempuan mengacungkan jari telunjuknya dan berjalan ke depan kelas.

"Mam, itu anak saya. Pasti anak saya tidak seperti anak-anak sebelumnya. Anak saya selain cantik juga pintar," Ucap ibu itu dengan wajah yang terlihat sangat antusias, saat anaknya mulai memperkenalkan diri di depan kelas.

"Sombong kali kau!" Batin Butet.

"Halo teman-teman, nama saya Amelia. Saya tinggal di Jalan Melati, nomor tiga. Saya memiliki dua orang kakak. Tetapi tidak memiliki adik. Saya memiliki seekor kucing peliharaan. Namya Tom." Amelia terlihat begitu lugas saat memperkenalkan dirinya di depan kelas.

"Liat tuh kan mom, anak saya Amelia pinter banget..!" Ucap ibu itu dengan wajah yang terlihat begitu bangga.

"Halah, biasa aja nya itu. Anakku pun bisa kek gitu," Ucap Butet dengan ekspresi wajah yang terlihat kesal dengan ibu tersebut.

Ibu tersebut pun terlihat mencibir dan membuang mukanya.

Satu persatu anak menurut abjad yang tertera di absen sudah maju ke depan kelas dan memperkenalkan dirinya. Kini giliran Moana, anak dari Butet yang begitu dia banggakan.

"Sekarang Moana, mana yang namanya Moana?" Tanya ibu Tini.

Terlihat seorang gadis kecil yang manis, berkulit hitam manis, sama seperti ibunya, mengacungkan jari telunjuk. Lalu gadis kecil itu pun beranjak ke depan kelasnya.

"Eh mam, tengok ya... itu anak aku," Ucap Butet dengan ekspresi wajah yang menyombong.

Lagi-lagi ibu tersebut melengos dan mencoba memperhatikan Moana, untuk mencari kekurangan Moana dan bermaksud untuk mencibir Butet.

"Halo teman-teman, namaku Moana Patricia Pangaribuan. Rumahku di Jalan Semangka, nomor tujuh. Usiaku tujuh tahun. Hobiku bermain game," Ucap Moana dengan lugas dan begitu percaya diri.

Melihat betapa pintarnya Moana, ibu tersebut menghela nafas dalam-dalam. Ia merasa bila Moana memang terlihat begitu pintar. Pun dengan Butet yang terlihat begitu bangga. Ia pun langsung memasang wajah menyombong di depan ibu tersebut.

"Aku gak punya adek ataupun kakak. Aku anak satu-satunya. Aku udah minta adek sama mamak dan bapakku. Tapi kata bapakku, "kek mana mau punya adek? mamak kau aja gak mau berdamai sama bapak.". Memang orang itu lagi berantam, dan sekarang lagi pisah rumah. Entah kapan bisa balek lagi. Aku pun pening, kawan-kawan. Jadi ada solusi buat mamak sama bapakku, biar orang itu bisa kasih adek buat aku? Gak enak ku rasa jadi anak satu-satunya loh..." Sambung Moana.

Ibu Tini terlihat terkejut mendengar apa yang baru saja ia dengar. Tidak hanya ibu Tini, seluruh wali murid pun tercengang mendengar ucapan Moana. Hanya ada satu ibu yang begitu puas mendengar ucapan Moana, yaitu ibu yang sedang bersaing dengan Butet.

"Aku gak punya binatang peliharaan. Pernah aku peliharaan ayam dulu kan. Pas Natal, ayam ku hilang. Rupanya sudah mamak ku masak buat hidangan Natal."

"Hmmmm, Moana. Sudah cukup ya sayang," Ucap bu Tini, seraya menuntun Moana kembali ke kursinya.

"Belum loh bu. Masih banyak yang mau Moana ceritakan."

"Kapan-kapan ya sayang. Kasihan teman yang lain juga mau memperkenalkan diri." Bujuk bu Tini.

"Ya udah lah," Ucap Moana.

Akhirnya Moana kembali duduk di bangkunya.

"Ya ampun mam, pintar sekali anaknya ya..., sampai-sampai... menceritakan aib ibu bapaknya sendiri." Sindir ibu tersebut.

"Banyak kali cakap kau!" Bentak Butet. Lalu Butet pun beranjak ke kantin sekolah tersebut.

"Tah hapa pun si Moana ini. Bekicau aja dia bah! gadak saringannya mulot nya itu. Apalagi si Moan, tah hapa di cakapnya kek gitu sama anaknya. Udah tau anaknya lantam, apa gak tesebar ke seantero jagat raya ini. Ck! azab kali bah! Malu kali aku!" Keluh butet seraya menghentakkan kakinya di atas lantai.

Moan dan Arinauli = Moana

"Mamak!" Seru Moana, seraya menghampiri Butet yang sedang menikmati segelas teh manis dingin untuk mendinginkan hatinya yang sedang gundah karena ucapan Moana di depan kelas tadi.

"Eh, kok keluar kau? Udah selese rupanya sekolahnya?" Tanya Butet yang merasa heran melihat Moana sedang di luar kelas.

"Udah mak. Tapi kata bu Tini, mamak disuruh ke kantor sekarang."

"Eh, kenapa ni? Apa gara-gara mulot si Moana tadi? Arghhh! malu kali." Batin Butet.

"Hmmmm, ya udah lah, yok!" Butet beranjak dari duduknya, dan membayar teh manis dingin yang ia pesan dari kantin sekolah tersebut. Lalu ibu dan anak tersebut pun melangkah menuju kantor guru di sisi barat gedung sekolah tersebut.

Saat mereka tiba di depan kantor guru, Butet terlihat gelisah. Butet tahu betul mengapa ibu Tini memanggil dirinya ke kantor, semua itu tidak lain untuk membahas tentang ucapan Moana di depan kelas tadi.

"Mak, masok lah..." Ucap Moana, seraya mengguncang tangan Butet.

Butet menatap Moana dengan seksama, lalu ia menghela nafas panjang dan menatap langit-langit koridor tersebut. Lalu ia kembali menatap Moana yang terlihat santai saja, tanpa tahu apa yang akan di hadapi oleh ibunya.

Tok! Tok! Tok!

Akhirnya Butet memberanikan diri untuk mengetuk pintu kantor tersebut.

"Ya, silahkan masuk."

Terdengar suara ibu Tini dari ruangan tersebut.

Butet kembali menghela nafas panjang dan mulai membuka pintu ruangan tersebut.

"Permisi bu. Kata Moana, ibu memanggil saya?" Tanya Butet berbasa-basi.

"Iya bu, silahkan duduk." Pinta ibu Tini, seraya menunjuk kursi yang berada di depan meja kerjanya.

Butet dan Moana pun beranjak masuk dan duduk di hadapan ibu Tini.

"Ada apa ya bu?" Tanya Butet, seolah dirinya tidak tahu maksud dari ibu Tini memanggil dirinya ke kantor tersebut.

"Hmmm, Moana sayang. Moana bisa tunggu mamanya di luar dulu?" Tanya ibu Tini kepada Moana.

"Bisa bu." Sahut Moana.

"Anak pintar. Sekarang izinkan ibu berbicara sama mamanya ya," Ucap ibu Tini lagi.

"Siap bu." Moana berlari ke arah pintu dan keluar dari ruangan tersebut, diiringi senyum dari bu Tini dan Butet.

Kini di ruangan itu tinggallah Butet dan ibu Tini saja. Ibu Tini, wanita berusia empat puluh tahun tersebut kini menatap Butet dengan seksama.

"Maaf bu, saya bukan mau ikut campur dengan apa yang terjadi di rumah. Namun, saya hanya ingin tahu kondisi psikologi Moana. Karena sebagai wali kelasnya, saya harus mengetahui latar belakang anak didik saya, agar saya dapat memahami dan juga mempunyai cara untuk mengatasi anak tersebut saat di sekolah." Terang bu Tini.

Butet menghela nafas panjang dan tertunduk malu.

"Moana anak semata wayang ya bu?" Tanya ibu Tini, yang mulai menggali tentang Moana dan keluarganya.

"Iya bu." Sahut Butet.

"Maaf sebelumnya, apa Moana tumbuh dengan pengasuh?" Tanya ibu Tini lagi.

"Tidak bu, saya sendiri yang asuh." Jawab Butet.

"Oh, begitu." Ibu Tini mengangguk paham.

"Mohon maaf ya bu, bila saya banyak bertanya tentang keluarga ibu."

"Tidak apa bu." Sahut Butet lagi.

"Hmmm, begini. Apa benar yang di katakan Moana di depan kelas tadi bu?" Tanya Bu Tini.

Butet terdiam beberapa saat, lalu ia memberanikan diri untuk menatap ibu Tini. Lalu Butet mulai mengangguk dengan pelan diiringi wajah yang terlihat merah padam, karena menahan rasa malu.

"Baik bu. Begini, sebelumnya saya bukan mau menggurui ibu. Namun, anak-anak itu adalah makhluk yang polos dan begitu jujur. Lebih baik, apapun yang terjadi dengan kita, terutama orangtuanya, jangan sampai anak di libatkan bu. Selain itu, anak-anak adalah makhluk peniru yang handal. Kalau bisa bila ibu dan bapak di rumah bertengkar, jangan di depan Moana. Sekali lagi saya mohon maaf bu, bukan saya mau menggurui ibu yang sudah pasti lebih tahu kondisi di rumah. Hanya saja, saya ingin mengatakan bila Moana tampaknya tahu semua tentang ibu dan bapaknya." Terang ibu Tini.

"I-iya bu. Saya minta maaf juga, bila Moana terlalu lepas saat berbicara," Ucap Butet.

"Saya maklum bu, tidak apa-apa. Hanya saja.... menurut saya, Moana ini anak yang terlalu pintar. Jadi, sangat bahaya bila dirinya menceritakan hal-hal yang seperti tadi pada semua orang. Atau juga, ia terpengaruh dengan kondisi di rumah. Jadi dia agak sulit di kendalikan kedepannya bu. Mohon maaf sekali lagi bu, ini demi kebaikan anak kita, Moana, juga."

"Iya bu. Saya sangat berterima kasih sebelumnya," Ucap Butet.

"Baik bu, segitu dulu. Terima kasih kembali," Ucap bu Tini.

"Iya bu, saya permisi dulu."

"Silahkan bu," Ucap ibu Tini.

Butet pun melangkah meninggalkan ruangan tersebut. Lalu ia memanggil Moana yang sedang asik berbincang dengan teman barunya.

"Moana.." Panggil Butet seraya melambaikan tangannya ke arah Moana yang sedang berada di ujung lorong tersebut.

Moana menoleh, dan berjalan menghampiri Butet, bersama dengan temannya yang belum di jemput oleh orang tua anak tersebut.

"Lagi ngapain kau nak?" Tanya Butet.

"Gadak, cerita aja." Sahut Moana.

Deggg..!

Butet mulai mencurigai Moana yang suka asal berbicara dengan semua orang.

"Cerita apa kau rupanya boruku?" Tanya Butet lagi.

"Kata Moana, mamanya suka potong ayam peliharaannya." Celetuk teman Moana.

"Eh..." Butet terbelalak, lalu ia menatap Moana dengan wajah yang cemas. Tetapi bocah tersebut tampak santai saja.

"Kami pulang dulu ya dek, gosah kau dengar apa cakap si Moana ini. gadak nya ibuk potong ayamnya dia. ibuk beli di pajak nya," Ucap Butet, seraya menarik tangan Moana.

*

"Moanaaaaaaaa...., memanglah kau mirip kali sama bapakmu!" Keluh Butet saat dirinya dan Moana baru saja masuk kedalam mobil mereka.

"Mirip lah mak. Aku kan anaknya." Sahut Moana.

"Ish! pening aku nengok anak ini lah. Kek gini ya anakku..., maksud mamak kau ini, jangan kau cakap atau cerita-cerita kek gitu sama orang-orang nakku."

"Kenapa rupanya?" Tanya Moana yang terlihat mulai asik bermain game di gadget nya.

"Kau tau malu gak? Malu kalok kita cakap kek gitu sama orang. Satu lagi ya nakku, jangan kau dengar bapakmu itu. Gadak bagos-bagosnya dia kalok cakap," Ucap Butet.

"Kata bapak pun sama, 'jangan kau dengar cakap mamakmu boruku, gadak bagos-bagosnya apa cakap mamakmu' gitu dia bilang."

"Kek gitu dia bilang?" Tanya Butet yang mulai terpancing emosinya.

"Iya," Sahut Moana, tanpa melepaskan pandangannya dari game yang sedang ia mainkan.

"Ishhhh...! tengok lah kau Moan ya!" Batin Butet, geram.

"Eh mak, teringat ku, ada yang mau aku tanyak dulu sama mamak."

"Apa itu?" Tanya Butet seraya menyalakan mesin mobilnya.

"Kenapa namaku Moana? Sukak rupanya mamak sama karakter kartun itu?" Tanya Moana.

Butet terdiam, lalu ia menyenderkan punggungnya di sandaran jok mobilnya. Ia menghela nafas panjang dan kembali menatap Moana dengan seksama.

"Moana itu di ambil dari nama mamak dan bapak nak."

"Oh ya?" Moana terlihat antusias dan meletakkan gadget miliknya di pangkuannya.

"Ya," Sahut Butet seraya tersenyum kecil.

"Moana. Moa dari HaloMoan. Na, itu dari AriNauli, nama mamak mu ini." Terang Butet.

Moana pun mengangguk paham.

"Ya udah, ayok kita pulang," Ucap Butet.

"Sebentar dulu mak, ada lagi yang mau aku tanyak." Moana mencegah Butet yang hendak melajukan mobilnya.

"Apa lagi?" Tanya Butet.

"Sebenarnya mamak sama bapak kenapa lagi? kenapa kita harus pisah rumah sekarang? Kenapa kita gak bisa kek dulu lagi. Aku rindu loh mak."

Butet menelan salivanya. lalu ia menatap langit-langit mobilnya dengan wajah yang terlihat begitu risau.

"Nantik lah mamak cerita ya. Tapi kau janji dulu, jangan kau cerita sama orang-orang. Malu loh..." Protes Butet.

"Gak, aku gak cerita," Ucap Moana.

"Alah, mana ada. Nanti mulut mu itu beserak. Cerita kau sama guru-guru kau dan kawan kau." Sesal Butet.

"Gak loh... Cerita lah mak." Desak Moana.

"Gak lah, mulutmu beserak."

"Mak, ish kek gitu kali mamak."

"Gadak cerita! Trauma aku sama kau!" Ucap Butet seraya melajukan mobilnya dan meninggalkan halaman sekolah tersebut.

Curhat

Empat bulan yang lalu.

"Kenapa mukak kau? Asam kali ku tengok, kek ketiak," Ucap Butet saat ia baru saja melihat temannya yang pernah satu kampus dengannya dulu, mampir di cafe milik Moan, suaminya, yang mereka kelola bersama.

"Pusing aku Tet. Aku pesan Cappucino ya." Pinta temannya yang bernama Margaret, kepada Butet.

"Itu aja? Gak makan kau?" Tanya Butet lagi.

"Gak selera makan aku Tet." Sahut Margaret.

"Omakjangggg..., biasanya semua kau libas. Aneh aja ku tengok kau gak selera makan."

"Cepatlah Tet, buatkan minumanku," Ucap Margaret yang malas berseloroh dengan Butet.

"Yadahlah, sana kau gabong sama kawan-kawan yang laen nya." Butet menunjuk dengan bibirnya ke arah teman-temannya yang lainnya, yang sudah biasa berkumpul di cafe milik suaminya itu.

"Ya sudah." Sahut Margaret, seraya melangkah gontai menuju ke meja teman-temannya yang sudah lebih dahulu duduk di sana.

"Kek hidup segan, mati tak mau gitu ku tengok dia." Gumam Butet seraya melangkah menghampiri karyawannya untuk memberitahukan pesanan Margaret. Lalu ia melangkah mendekati meja teman-temannya dan duduk bergabung di sana.

"Kenapa memangnya kau?" Tanya Butet lagi pada Margaret.

"Pusing aku."

"Berat kali beban di mukak nya yakan wee..." Ucap Butet, kepada teman-temannya yang lainnya.

"Iya, kamu kenapa Ret?" Tanya Nella, teman Butet yang satunya.

"Iya, pusing banget kayaknya? Ribut lu sama suami lu?" Tanya Pipit, teman Butet yang lainnya.

Margaret menatap temannya satu persatu. Lalu kini ia mulai tertunduk, menyembunyikan air matanya.

"Eh, kau kenapa?" Butet terlihat begitu cemas saat melihat ekspresi Margaret yang terlihat semakin bersedih.

"Suamiku selingkuh," Ucap Margaret, dengan ujung suara yang tercekat.

Sontak saja Butet, Nella dan Pipit terdiam dan saling bertatapan.

"Padahal sudah enam tahun kami berumah tangga, anak dua. Tapi semua gak ada artinya bagi dia. Masih saja melihat perempuan lain di luar. Kadang aku berpikir, apa kurangku? Sampai dia tega mendua." Margaret menangis tersedu-sedu.

Butet, Nella dan Pipit menggeser kursi mereka dan mendekat ke Margaret yang terus terisak, mengekspresikan rasa lukanya.

"Lu tenang dulu Ret, memangnya ada bukti dia selingkuh?" Tanya Pipit, penasaran.

"Kalau gak ada, gak mungkin aku menangis kayak gini. Kalian pun..." Sesal Margaret.

Kini Pipit, Nella dan Butet kembali saling berpandangan.

"Buktinya apa?" Tanya Butet.

"Banyak, map nya di handphone. Mereka sering ke tempat-tempat kayak karoke, hotel, restoran dan mall. Terus chat, Kata-kata mesra, janji bertemu, sampai membahas masalah tidur." Terang Margaret.

Butet tersentak, lalu ia terlihat begitu iba dengan Margaret dan apa yang telah wanita itu alami.

"Foto mesra, juga." Sambung Margaret lagi.

Kini Butet dan dua temannya yang lain, dengan bersamaan menghela nafas panjang.

"Kok bisa sampai begitu sih?" Tanya Nella yang tak habis pikir dengan tingah suami Margaret.

"Entahlah, aku capek rasanya. Gak kuat." Keluh Margaret.

"Janganlah kek gitu Ret. Sabar ya Ret, ingat anak-anak kau." Butet berusaha untuk menyemangati Margaret.

"Aku sudah berusaha Tet. Kayaknya aku mending cerai saja."

"Ah gilak kau Ret!" Butet terkejut mendengar ucapan Margaret yang berniat untuk mengakhiri pernikahannya dengan suaminya.

"Gue bukan maau jadi kompor ya, tapi memang semua laki-laki gak bisa di percaya." Timpal Pipit.

"Eh, kok memperkeruh suasana kau Pit!" Tegur Butet.

"Bukan begitu Tet, laki-laki, memang kurang sama satu wanita." Sahut Pipit lagi.

"Pernah rupanya kau tau lakikmu selingkuh?" Tanya Butet.

Pipit tersenyum kecut. Lalu dia menghela nafas panjang.

"Kasus gue berbeda, walaupun intinya sama."

"Maksudnya?" Tanya Butet lagi.

"Dia pakai aplikasi untuk mencari wanita-wanita yang bisa menemani dia satu malam." Terang Pipit.

"Hah!" Butet tampak begitu terkejut.

"Jujur, aku juga." Timpal Nella.

Butet semakin terkejut mendengar pengakuan dari Nella.

"Kau juga apa ini?" Tanya Butet, penasaran.

"Ya, dari aplikasi gitu. Pernah ketahuan sekali. Pengakuannya sih dia gak jadi sama cewek itu. Tapi gimana ya, aku gak percaya. Tapi ya sudahlah, kita sebagai perempuan hanya bisa pasrah. Aku gak pernah cerita saja. Padahal aku menyimpan ini sudah tiga tahun." Cerita Nella.

Butet terdiam membisu. Pikirannya mulai di hantui rasa takut akan tingkah Moan, suaminya, bila berada di belakangnya.

"Begitulah lelaki, kurang puas dengan satu wanita. Padahal istri sudah cantik begini, masih saja selingkuh," Ucap Pipit.

"Suamimu bagaimana Tet?" Tanya Nella.

"Hah? lakikku? Baek-baek aja nya dia. Gak akan berani nya dia selingkuh pun. Mau patah batang lehernya ku buat?" Ucap Butet dengan ekspresi yang berapi-api.

"Jangan salah Tet, laki-laki itu pintar menyembunyikan perselingkuhan. Terutama mereka yang suka booking cewek-cewek yang gak benar." Pipit mulai memprovokasi Butet.

"Maksud kau apa?" Butet mulai terpancing.

"Sekarang ada aplikasi berwarna hijau, namanya Men_Creet. Coba kamu cek, jangan-jangan ada suamimu di aplikasi itu." Nella juga mulai memprovokasi Butet.

Butet mengerutkan keningnya saat mendengar nama aplikasi yang di sebutkan oleh Nella.

"Ish, jelek kali nama aplikasinya!. Gadak nama lain rupanya? Masih idop memangnya orang yang buat aplikasinya? Jelek kali namanya! Mual pulak aku!" Butet mulai mengalihkan rasa gelisahnya dengan mengomentari nama aplikasi yang dimaksud teman-temannya.

"Yah, begitulah nama aplikasinya Tet. Kalau lu gak percaya, lu cek aja di internet. Lu bisa baca review buruknya tentang banyaknya perselingkuhan yang terjadi di sana." Terang Pipit.

Butet terdiam. Hatinya pun mulai gelisah karena terpancing ucapan teman-temannya. Sebenarnya selama ini Butet tidak pernah mencurigai Moan, suaminya. Karena kehidupan rumah tangganya dengan Moan begitu bahagia.

Moan lelaki yang penuh tanggung jawab. Moan juga penyayang dengan anak istrinya. Moan juga selalu memiliki waktu untuk dirinya dan Moana, anak semata wayang mereka. Maka dari itu, tidak ada alasan bagi Butet untuk mencurigai suaminya itu.

Namun beberapa bulan ini, memang Butet sempat bertanya-tanya dengan Moan yang mulai terlalu sibuk. Walaupun Moan sudah menjelaskan kepada Butet, bila dirinya memiliki hobi baru, yaitu bergabung dengan club motor bersama dengan mantan teman-teman kuliahnya. Moan mengeluhkan, bila selama ini ia hanya sibuk bekerja dan membutuhkan sedikit waktu saja untuk hobinya.

Awalnya Butet dapat mencoba berpikir positif. Memang benar adanya, Moan selalu sibuk membangun kerajaan bisnis mereka sendiri. Bahkan Moan sudah memiliki bisnis cafe ini sebelum Moan lulus kuliah. Moan adalah lelaki yang begitu mempersiapkan masa depan dengan baik. Hal itu tidak tanpa alasan bagi Moan. lelaki itu ingin hidupnya dan anak istrinya tidak akan kesulitan saat dirinya berumah tangga.

Moan memiliki bisnis tersebut juga karena Butet yang terus mendorongnya agar memiliki usaha dan tidak merepotkan orang tua saat mereka menikah. Apapun Moan lakukan, termasuk segala permintaan Butet kepada dirinya. Hal itu karena Moan sangat mencintai Butet, yang dirinya anggap sebagai pelabuhan hatinya yang terakhir. Hal itulah yang membuat Butet tidak mampu melarang Moan untuk mengikuti hobinya yang baru, yaitu masuk ke club motor.

"Eh Butet, over thingking lu yak?"

Butet tersentak saat Pipit mencolek lengannya.

"Ah enggak, biasa aja. Gak mungkin lakikku begitu," Ucap Butet dengan penuh keyakinan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!