7 Hari Sebelum Pernikahan,
Brugh!
"Oh, oh, maaf," ucap seorang wanita yang menabrak seorang pria di suatu pusat perbelanjaan. Wanita itu asik dengan ponselnya sehingga ia tidak memperhatikan jalannya.
Ia membantu pria itu merapikan barang-barang serta minuman berwarna cokelat yang tumpah di lantai marmer yang mengkilap itu.
"Maafkan aku. Aku sedang-," wanita itu terpana saat kedua matanya bersitatap dengan pria tinggi dan berkharisma itu. Suara jantungnya mulai mengalunkan musik dengan irama yang sangat cepat.
Pria itu tersenyum kepadanya. "Tidak masalah. Tidak ada yang terluka, kan? Atau ada barang yang terselip atau tertukar?" tanya pria itu sambil mengecek dokumen serta beberapa barangnya yang tadi sempat berserakan.
Mata wanita mungil itu tidak sanggup melepaskan pandangannya kepada pria yang sedang sibuk mengecek barang bawaanya.
"Nona?"
Wanita itu terkesiap. "Ah, iya. Aku hanya membawa ponselku jadi tidak ada yang terselip atau tertukar,"
"Baiklah kalau begitu, permisi," ucap pria itu dan membiarkan si wanita menatap punggung lebarnya sampai ia menghilang.
Ia menenangkan jantungnya dan berjalan ke basement untuk mencari kendaraannya.
Tangannya masih sibuk menggenggam telepon genggam setelah ia tiba di tempat parkir mobil, begitu pula dengan jari-jari lentiknya yang belum bisa berhenti menari di atas keypad ponsel berlambang buah tergigit itu.
Wanita berambut panjang itu pun menyebrang dan tanpa ia sadari, sebuah mobil sedang melaju ke arahnya. Mobil itu membunyikan klaksonnya dengan cukup kencang dan membuat wanita itu menoleh ke arahnya.
Tiba-tiba saja, seorang pria menarik wanita itu untuk menepi. Karena tarikannya terlalu kencang, mereka pun terjatuh bersamaan.
"Ouch," pekik wanita itu memegangi lututnya. Ia pun melihat ke arah si penarik tangan.
"Kau?" tanya wanita itu.
Pria itu meringis kesakitan, karena kedua siku wanita itu bertumpu kepadanya. "Lain kali, jangan bermain ponsel kalau sedang berjalan," ucap pria itu.
Wanita kecil itu membantu pria penolongnya untuk berdiri. "Maafkan aku, dan sekali lagi, terima kasih atas semua pertolonganmu," ucapnya. Jantung wanita itu kembali memompa darah dengan cepat, sehingga terdengar sekali suara degupnya.
"Ya, ya. Pulanglah!" sahut pria itu lagi.
Sebelum pria bertubuh tegap yang telah menolongnya itu menjauh, wanita kecil berteriak, "Namaku Nay, siapa namamu?"
Namun sayangnya, pria itu tidak mendengar teriakan Nay atau bahkan ia pura-pura tidak mendengarnya.
***
"Kai, maukah kamu menemaniku sabtu malam nanti?" tanya Nay kepada sahabat laki-lakinya.
Pria itu mengangkat wajahnya dan menatap manik hijau milik Nay lekat-lekat. Hatinya bergelinjang bahagia kala wanita itu mengajaknya keluar di sabtu malam. "Mau kemana?" tanya Kai dengan nada datar.
Nay duduk di kursi depan Kai dan berputar disana. "Bibiku akan menikah di hari itu. Ayahku memintaku untuk datang bersama anak temannya, dan aku tidak mau," sahut Nay.
Kai dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Sorry, but no,"
Nay memandang temannya itu dengan kesal. "Why?"
Kai menghembuskan nafasnya panjang. "Kalau kamu mengajakku ke lain tempat, i'll say yes. Tapi aku no untuk yang satu ini. Pasti akan banyak bos-bos yang datang kesana. Mereka akan menganggapku sebagai waitress karena aku hanya punya kemeja putih dan celana panjang hitamku ini,"
"Masalah itu, tidak perlu kau pusingkan. Aku akan membantumu. Jadi? Mau yah, Kai? Please," bujuk Nay.
Kai mengangguk dengan ragu. "Ya, sudahlah. Tapi kamu tidak boleh hilang kemana-mana dan harus terus berada di sisiku karena aku tidak mau tiba-tiba di tarik untuk bekerja sebagai waitress,"
Nay memberikan senyumannya yang termanis kepada Kai. "I promise," kata Nay sambil mengaitkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Kai.
Kanaya Rivers adalah seorang wanita luar biasa dan salah satu pewaris tunggal dari sebuah perusahaan besar di negri itu, Rivers Group.
Sabtu malam besok bukanlah hari pernikahan biasa melainkan hari bersejarah untuk dua perusahaan raksasa di negeri itu. Penggabungan antara Rivers dan Wallace Group. Maka dari itu, Otis Rivers, ayah dari Nay mewajibkan semua keluarga datang di hari itu.
Nay bukanlah wanita yang pandai bergaul, ia hanya memiliki satu orang teman, yaitu Kai Fletcher. Dan Kai lah tempat sampah bagi Nay.
Tidak ada di dalam pikiran untuk segera menikah, sedangkan ayahnya meminta Nay untuk segera menikah. Dengan siapa pun itu silahkan asalkan calon suami Nay berasal dari keluarga konglomerat juga. Untuk menjamin masa depan, begitu kata ayah Nay.
**
Hari Sabtu pun tiba,
Pagi hari itu, Nay sudah bersiap menjemput Kai Fletcher di apartemennya.
Apartemen tempat tinggal Kai sangatlah sederhana dan agak jauh dari kota Metropolitan sehingga Nay berangkat lebih pagi untuk menjemputnya.
Setibanya di apartemen Kai, Nay tidak turun. Ia mengambil ponselnya dan menekan nomor ponsel Kai.
"Hei, keluarlah. Aku sudah sampai," ujar Nay dengan nada memerintah.
"Sabar, Nona Rivers. Saya sedang bersiap-siap, maaf kalau menunggu agak lama sedikit," jawab Kai menggoda Nay.
Nay mendengus. "Huh! Nona apanya! Cepatlah aku tunggu kau di bawah sini!" tukas Nay lagi kemudian menutup panggilan telponnya.
Tak lama, Kai datang dan benar apa katanya. Ia hanya memakai kemeja putih dan celana panjang hitam kebanggaannya.
Nay menggelengkan kepalanya melihat pakaian Kai. Ia meminta Kai yang mengemudikan mobilnya.
"Punya izin lisensinya, kan?" tanya Nay.
Kai mengeluarkan surat izin lisensi mengemudi kepada Nay. Dan ia bersiap duduk di belakang kemudi, sedangkan Nay duduk di sampingnya.
Sepanjang perjalanan mereka membicarakan tentang silsilah keluarga Nay.
"Wah, jadi kamu akan mewarisi seluruh Rivers Group, Nay?" tanya Kai tercengang.
Nay mengangguk. "Tapi aku tidak suka. Itu bukan keahlianku. Aku lebih suka jabatanmu," jawab Nay.
Kai terperanjat mendengar jawaban tak di sangka yang keluar dari mulut Nay. "Pegawai biasa? Hahaha, tukar posisi saja denganku," kata Kai.
"Aku juga tidak mau, aku sedang berada di sebuah persimpangan, Kai, dan dua-duanya akan menyesatkanku," sambung Nay lagi.
Kai hanya tertawa mendengar keluhan sahabatnya itu. Tak lama, mereka pun sampai ke toko pakaian. Kanaya memilihkan beberapa set jas serta kemeja dan celana panjang untuk Kai, tak lupa ia menambahkan satu set pakaian khusus ia pakai hari ini.
"Bagaimana? Kece, kan? Katakan saja kamu dari Dicon Group," kata Nay lagi.
"Mengapa aku tidak boleh menyebut kalau aku karyawan?" tanya Kai.
Nay berdecak tak sabar. "Kamu mau di usir? Sudahlah, ikuti kata-kataku saja," jawab Nay.
***
Suasana pesta pernikahan itu sangatlah ramai walaupun yang datang hanyalah kerabat dekat serta keluarga dari masing-masing mempelai.
"Hahaha, ini dia The Next Rivers yang akan memimpin Rivers Group. Nay, kemari sebentar," Otis Rivers, ayah dari Kanaya Rivers CEO sekaligus pemilik Rivers Group, satu-satunya perusahaan yang semakin besar setiap tahunnya karena kemampuan Otis dalam menjalin kerjasama di berbagai bidang kepada siapa pun yang di perhitungkannya.
Nay berjalan menghampiri ayahnya, tak lupa ia menggandeng Kai yang tampak tidak nyaman berada disana.
"Ayah," sapa Nay.
Otis melirik sebentar kepada Kai. "Kenalkan ini sahabatku dari North Group, Mr. John North, dan ini Mrs. Kaitlyn North, serta putra mereka, Felix North," sahut Otis memperkenalkan keluarga North kepada Nay.
Nay menjabat tangan mereka satu per satu sambil mengayunkan kepala dengan sopan.
"Mereka nanti akan bekerja sama dengan kita. Ayah sudah tidak sabar dengan itu, hahaha. Siapa temanmu yang rupawan ini, Nay? Kenalkanlah kepada kami,"
Nay memperkenalkan Kai kepada Otis serta keluarga North. "Kenalkan, dia adalah Kai Fletcher dari D'icon Group. Kami baru dekat tapi sudah saling mengenal cukup lama, bukan begitu, Kai?" kata Nay menutup perkenalannya dengan senyuman.
Tuan Otis memperhatikan Kai dan tersenyum seadanya kepada Kai.
Tak lama seorang MC sudah membuka acara pesta pernikahan itu. Kemudian, tampaknya pasangan mempelai pengantin dari keluarga besar Rivers, Alma Theodora Rivers, yang berjalan bergandengan dengan ayahnya. Alma adalah adik dari ayah Nay. Hubungan Otis dengan Alma cukup dekat, begitu pula hubungan Alma dengan Nay.
Hari itu Alma tampak cantik dengan gaun putih berlengan sabrina, ia tersenyum di balik veil yang menutupi wajahnya. Ketika Alma melewati Nay, Bibi Alma melambaikan tangannya kepada Nay dan dia membalasnya dengan tersenyum ceria.
Setelah Alma sampai altar, musik Canon In D dimainkan. Seorang pria tampan, tinggi, dan gagah memasuki gereja dan berjalan di sepanjang karpet merah. Senyum pria itu merekah dan terus memandang ke arah mempelai wanita.
Saat pria itu berjalan, Nay bersedekap dan menutupi mulutnya. "Hah? Pria basement itu! Tidak mungkin!" batin Nay.
Sejak pertemuan pertama mereka di sebuah pusat perbelanjaan, Nay tidak dapat melupakan sosok pria yang sebentar lagi akan ia panggil Paman itu.
Janji suci pun selesai diikrarkan oleh Alma dan pria itu. Sekarang mereka resmi menjadi pasangan suami istri. Setelah selesai acara pemberkatan, kedua mempelai duduk di pelaminan untuk menyambut tamu-tamu yang mengantri bersalaman dengan mereka.
Ketika tiba giliran keluarga Rivers, Nay dengan cepat melepaskan gandengan tangannya dari Kai. Kai menautkan kedua alisnya dan bertanya dalam hati ada apa gerangan sehingga tiba-tiba saja Nay melepaskan gandengan darinya.
Namun, Kai tidak ambil pusing dengan hal itu. Ia mengikuti Nay untuk naik ke atas pelaminan dan bersalaman dengan kedua mempelai.
Sesampainya mereka di pelaminan, Nay memeluk bibinya dengan erat.
"Bibi, akhirnya bibi menikah juga. Dan siapa nama pamanku ini?" tanya Nay.
Pria yang menjadi suami Alma tersenyum dan mengulurkan tangannya kepada Nay. "Inikah keponakanku? Manis sekali dan sedikit ceroboh, hahahaha! Panggil saja aku Paman Luke," kata pria itu dengan ramah.
Nay menjabat tangan Paman Luke yang besar, jantung Nay terus berpacu dengan cepat tanpa ada keinginan untuk memperlambat detaknya.
"Halo, Paman Luke. Aku Kanaya, panggil saja Nay, selamat datang di keluarga kami," balas Nay dengan canggung. Ia berusaha mengatasi rasa gugupnya.
Setelah turun dari pelaminan, ia mencari Kai. Setelah ia menemukannya, dia menarik Kai untuk duduk dekat dengannya.
"Kai, ini gawat sepertinya aku jatuh cinta dengan Paman Luke," bisik Nay tanpa melepaskan pandangannya sedikit pun dari Paman Luke.
...----------------...
Hadirnya Paman Luke di keluarga Rivers membawa dampak positif, salah satunya adalah penggabungan perusahaan yang dapat meraih keuntungan lebih banyak.
Dampak yang lain adalah diangkatnya Luke Wallace menjadi direktur perusahaan gabungan tersebut. Susunan para direksi ini segera saja di umumkan di seluruh perusahaan mau pun anak perusahaan.
Otis Rivers yang akan menyerahkan posisi pemimpin group kepada putri tunggalnya sendiri, Kanaya Rivers, tidak mencantumkan namanya di jajaran direksi. Alih-alih namanya, Otis menulis nama Kanaya Rivers sebagai pemimpin group Rivers.
Hal ini tentu saja membuat Nay bersemangat. Sejak pertemuannya dengan Paman Luke di pusat perbelanjaan serta di pesta pernikahan pamannya itu, Nay semakin menggebu-gebu untuk mendekati Paman Luke. Sudah tidak dipedulikannya lagi norma serta aturan masyarakat yang melarang untuk mendekati seorang pria beristri apalagi ini pamannya sendiri.
Setiap pagi, ia mendatangi rumah paman dan bibinya dengan berbagai macam alasan. Seperti pagi ini, Nay sudah menunggu di depan gerbang rumah paman dan bibinya itu.
"Bibi, aku membawakan kue dari ayah," ucap Nay suatu hari. Bibi Alma menyambut kedatangan Nay dengan senang hati.
"Nay, ih repot sekali, apa kamu tidak terlambat nantinya? Pamanmu bilang hari ini ada rapat dewan direksi?" tanya Bibi Alma.
Nay mengangguk. "Ah, tidak masalah. Baru saja dibuat makanya aku diminta mengantar ini selagi masih hangat," jawab Nay tersenyum.
"Bibi sudah tidak mau bekerja lagi, ayahku khawatir takut bibi kelaparan, hahaha," sahut Nay lagi sambil menggoda bibi Alma.
Tak lama, muncullah pria yang ditunggu-tunggu oleh Nay. Pagi ini Paman Luke memakai jas serta kemeja yang terbuka kancingnya sampai ke dada sehingga dada bidangnya terpampang dengan jelas.
"Eh, ada Kanaya. Pagi, Nay," sapa Paman Luke.
Nay menganggukan kepala ke arah paman Luke. "Pagi, Paman," Nay menyapa balik.
Paman Luke segera mengancingkan kemejanya sampai ke atas, kemudian ia mengecup bibir bibi Alma. "Aku jalan dulu, hon. Pergilah bermain bersama temanmu, bawa saja kartuku," ucap Paman Luke.
Bibi Alma tampak ceria. "Hehehe, memang aku ada rencana bertemu dengan beberapa temanku. Thank you honey," balas Bibi Alma.
Kemudian Bibi Alma melihat Nay, "Honey, berangkat saja bersama Nay. Nay juga mau rapat, kan?" tanya Bibi Alma.
"Oh, aku membawa mobilku sendiri, Bi," jawab Nay menolak sambil menggerakan kedua tangannya.
"Anak bos besar mana mau berangkat bersama pegawai remahan seperti aku, hahahaha. Walau pun kita saudara," kelakar Paman Luke.
Wajah Nay memerah, dia tidak suka jika ada seseorang yang menyebutnya anak bos besar. "Baiklah, aku titip mobilku disini yah, Bi. Aku jalan bersama Paman," kata Nay.
Hatinya bersorak gembira, setelah bersandiwara melelahkan seperti tadi sekarang ia bisa merasakan duduk di samping Paman Luke.
Paman Luke memang lelaki sejati, ia membukakan pintu mobil untuk Nay dan mengecek apakah semuanya sudah masuk ke dalam mobil atau belum.
Nay benar-benar terpesona di buatnya. Ada sesuatu dari pamannya itu yang membuat Nay berdebar-debar dan semakin ingin memilikinya.
Selama di perjalanan, Nay melirik ke arah paman Luke dan mencuri-curi pandang lewat sudut matanya. 'Tampan sekali, bagaimana cara mendapatkan pria matang seperti dia?' batin Nay.
"Aku dengar, kamu akan menjadi pewaris tunggal, Nay. Benarkah itu?" tanya Paman Luke.
Nay mengangguk kecil.
"Berapa usiamu saat ini?" Paman Luke bertanya lagi.
Nay berdeham. "Ehem! Masih 23 tahun, Paman," jawab Nay sopan. Ia menahan dirinya untuk tidak berteriak manakala mendengar suara bariton paman Luke yang terdengar seksi dan sangat sopan menyapa kedua indera pendengarannya itu.
"Fiuh, masih muda sekali yah? Hebat, kamu beruntung sekali, Nay sudah memimpin perusahaan di usia semuda itu," Paman Luke bersiul kagum.
"Tapi aku tidak suka. Aku ingin seperti Bibi Alma yang bisa mendapatkan seorang suami tampan, gagah dan mau bekerja keras seperti paman," balas Nay ia menegaskan ucapannya disertai kode tersembunyi di setiap kata-katanya yang ia sematkan untuk Paman Luke.
Paman Luke tersenyum. "Ternyata kamu hebat merayu seorang pria. Andaikan aku bukan pamanmu, aku pasti sudah termakan rayuanmu itu, Nay. Hahaha," canda Paman Luke.
Deg!
'Apakah ini pertanda kalau sinyal hatiku dibalas oleh Paman?' tanya Nay dalam hati. Tiba-tiba saja wajahnya bersemu merah, untunglah Paman Luke tidak memperhatikan perubahan warna wajah Nay.
Sesampainya di kantor, Paman Luke menuju ruangannya sedangkan Nay bergegas menemui Kai.
"Kai, Kai, Kai!" sapa Nay, ia tidak memperdulikan para karyawan yang menunduk kepadanya saat ia lewat di hadapan mereka.
"Apa sih? Wait, what's wrong?" tanya Kai Fletcher yang baru saja selesai membuat salinan dokumen untuk materi meeting hari itu.
"Aku sedang bahagia, Kai! Apakah kau tau?" ucap Nay penuh semangat.
Kai memutarkan bola matanya dan melirik tajam ke arah Nay. "Yang aku tanyakan adalah apa yang membuatmu bahagia?"
"Aku menyukai seorang pria dan aku rasa pria itu memberikanku harapan. Aku akan tetap maju apapun yang terjadi!" tukas Nay penuh tekad.
"Selama bukan suami orang lain, aku dukung saja," jawab Kai pasrah.
Ingin rasanya pria itu berteriak dan meminta calon pewaris tunggal Rivers Group untuk melihatnya saja. Namun, apa daya? Kai Fletcher hanyalah seorang pegawai rendahan yang mengandalkan gaji bulanan, jauh berbeda dengan seorang Kanaya Rivers. Ia hanya bisa tersenyum kala wanita yang ia sukai sangat bersemangat bercerita tentang kisah cintanya.
Sepanjang hari itu, Nay mencari cara bagaimana mendapatkan perhatian dari pamannya. Mulai dari bertanya tentang materi rapat, bertanya tentang saham dari Rivers Group dan bagaimana membaca grafiknya, sampai hal sepele seperti bagaimana cara memindahkan file.
Otis, ayah Nay, yang melihat hal itu menganggap kalau Nay sedang berusaha dan menaruh minat untuk menjadi pewaris tunggal Rivers Group. Sehingga ia tidak curiga kalau putrinya mencari perhatian kepada Luke.
Rapat direksi hari itu berakhir di petang hari. Otis meminta Nay untuk segera pulang.
"Kak, mobil Nay ada di rumahku. Tadi Alma memintaku untuk berangkat bersama Nay," ucap Luke.
Otis teringat kalau ia tadi meminta Nay untuk mengantarkan makanan ke rumah adik satu-satunya itu. "Oh, iya. Ya sudahlah, antarkan ia dengan selamat dan jangan mengebut!" titah Otis kepada adik iparnya.
"Siap, kak!" jawab Luke sambil tertawa kecil.
Luke pun mengajak Nay untuk segera pulang. Tetapi, Nay sengaja mengulur-ulur waktu hanya untuk bisa berduaan saja dengan Luke.
"Aku mau bikin kopi dulu, apa Paman mau?" tanya Nay dari dalam pantri.
Luke berpikir. "Boleh saja. Padahal aku yang menyetir tapi kamu yang membuat kopi, hahaha. Thanks Nay," balas Luke sembari mengacak rambut Nay dengan lembut.
Jantung Nay berdesir kala Luke menyentuh rambutnya. Ia ingin menuntut lebih dari sekedar belaian rambut. Maka, setelah kopi pesanan Luke selesai, Nay dengan sengaja menabrakan kopi panas itu ke arah Luke sehingga kemeja yang ia pakai serta kemeja Luke basah karena kopi.
"Ouch! Panas!" seru Luke.
"Oh, Paman, maafkan aku! Aku tidak sengaja. Gelas ini panas sekali. Bagaimana ini? Kemeja Paman hitam semua," ucap Nay.
Alih-alih mengambil kain lap, Nay justru menyingkap kemeja yang dipakai Luke. "Pasti panas sekali, kan? Maafkan aku, aku memang selalu ceroboh. Maafkan aku, Paman," Nath terus saja berceloteh tangannya sibuk membuka satu per satu kancing kemeja Luke.
Luke menangkap tangan Nay, mata mereka saling bertatapan dan jarak di antara mereka sudah sangat dekat. Bahkan Nay dapat mencium aroma tubuh Luke. Perlahan tapi pasti, Nay memperkecil jarak di antara mereka.
Tepat saat itu, Luke mengalihkan pandangannya dan menatap Nay kembali. "Apa yang kau lakukan, Nay?" suara Luke memecah khayalan Nay.
Nay tidak bergeming, ia tetap menatap lekat-lekat netra pamannya itu dan mengecup bibir Luke singkat. "Paman, sepertinya aku merasakan sesuatu yang aneh saat aku bertemu denganmu sebagai pengantin pria bibiku. Aku rasa aku menyukaimu saat itu," ucap Nay.
...----------------...
Luke menjauhkan Nay dari pangkuannya. "Jangan bicara sembarangan! Aku ini pamanmu! Kita pulang sekarang, pakailah jasku!" tukas Luke kepada Nay, ia melemparkan jasnya untuk Nay.
Nay memberengutkan wajahnya. "Paman! Aku serius dengan ucapanku. Kenapa aku tidak boleh menyukaimu?" tanya Nay. Napasnya masih terdengar memburu.
Luke berbalik dan menatap Nay lelah. "Aku pamanmu, carilah pria yang baik, yang sesuai untukmu dan cintailah dia. Tapi bukan aku, Nay. Kalau kamu mau pulang bersamaku, cepatlah!"
"Aku pulang sendiri! Nanti aku akan minta supir untuk menjemput mobilku di rumah Bibi Alma," tukas Nay. Ia berjalan mendahului Luke dan bergegas pergi tanpa menoleh ke arah pamannya itu.
Nay berjalan menuju ruangan karyawan, masih banyak orang yang bekerja disana. Nay segera masuk dan menghampiri meja kerja Kai.
"Kai, kamu sedang apa?" tanya Nay melipat kedua tangannya dan menatap Kai yang tenggelam di antara tumpukan dokumen.
"Bekerja, ini namanya lembur, Nona Rivers. Karena kami tidak seperti Anda, yang bisa bebas pulang jam berapa saja dan karena kami tidak seperti Anda, melakukan ini hanya untuk gajian di akhir bulan," jawab Kai tanpa melihat ke arah Nay.
Nay berdecak kesal. "Antar aku pulang sekarang!" titah Nay.
"Mana mobilmu? Pulang saja sendiri, aku masih banyak pekerjaan," jawab Kai, masih tetap fokus pada pekerjaannya.
Seorang pegawai pria menawarkan Nay untuk pulang bersamanya. "Maaf Nona Rivers, saya bisa mengantar Anda pulang. Kebetulan saya juga mau pulang,"
"Kamu naik apa?" tanya Nay angkuh.
"Motor, Nona," jawabnya.
Nay menoleh lagi ke arah Kai. "Kai! Kupotong setengah gajimu kalau kamu tidak mengantarku pulang sekarang!" perintah Nay. Ia mengibaskan tangannya kepada pegawai pria yang menawarinya pulang itu.
"Aarrgghh! Brengsek!" cerca Kai, yang kemudian merapikan semua dokumennya dan memasukannya ke dalam tas.
Dengan cepat, ia menyambar lengan Nay dan menariknya untuk pulang. "Langsung pulang, tidak kemana-mana!" sahut Kai.
***
Keesokan paginya, Nay kembali berkunjung ke rumah Bibi Alma.
"Nay, pamanmu sudah jalan katanya mau entertaint bersama seseorang pagi ini," kata Bibi Alma.
Nay tersenyum dan memberikan sekotak roti pao untuk bibinya. "Tidak apa-apa, Bi. Aku mampir untuk memberikan ini kepada Bibi. Titipan papa," kata Nay berkilah.
"Kak Otis ini suka merepotkan. Terima kasih yah Nay sudah diantar," ucap Bibi Alma.
Pagi itu, Nay mengecek jadwal pegawainya dan tidak ada acara apapun di luar. Dan benar saja, setibanya Nay di kantor ia melihat Paman Luke sedang berada di ruangannya.
"Selamat pagi," sapa Nay.
Hanya beberapa orang saja yang menjawab, bahkan Paman Luke tidak menjawab sapaan Nay. Sepanjang pagi itu Nay terus melirik ke arah Paman Luke, akan tetapi pria itu sama sekali tidak melihat ke arahnya.
Hal itu tentu saja membuat Nay kesal. Saat makan siang, Otis mengajak Nay untuk makan siang bersama. Tadinya Nay ingin menolak ajakan ayahnya, tapi begitu ia melihat Paman Luke akan ikut bersama mereka maka Nay berubah pikiran.
Nay berusaha untuk menarik perhatian pamannya yang sedang duduk berhadapan dengannya
Ia berjalan bolak-balik hanya untuk mengambil kecap atau saus. Atau terkadang dengan sengaja ia membungkukkan tubuhnya hanya untuk memperlihatkan kepada Luke apa yang bisa pamannya itu dapatkan jika bersama dengan Nay, bahkan Nay berani menempelkan tubuhnya kepada Paman Luke. Hal ini, tentu saja membuat Luke jengah.
Dalam makan siang itu, Otis membicarakan tentang Alma. "Alma itu hanya memiliki aku, begitu pula denganku. Ketika Alma izin untuk menikah, aku senang sekali. Apalagi calonnya seorang pengusaha hebat seperti kamu, Luke. Hahaha. Karena itu, aku berharap pernikahan kalian berhasil dan segera dapat momongan supaya kamu memiliki penerus. Seperti Nay ini, hanya dialah yang kupunya untuk aku limpahkan Rivers Group," ucap Otis.
Sesaat Nay ingin membuang Luke dari hatinya, tapi kala ia melihat respon Luke saat ayahnya berbicara tentang Alma membuat Nay mengurungkan niatnya.
Ia menyusun sebuah rencana untuk mendapatkan Luke. Ia tau apa yang diinginkan pria yang berusia jauh di atasnya itu.
Beberapa minggu kemudian, Nay mengirimkan email proposal meeting di luar perusahaan kepada Luke. Tak lama, Luke memanggil Nay ke ruangannya.
"Meeting dimana? Apakah Tuan Rivers sudah setuju?" tanya Luke.
Nay mengangguk. "Sudah. Tadi malam aku sud-,"
"Gunakan bahasa resmi, Nona Rivers. Walaupun Anda adalah atasan saya, rasanya tidak pantas memakai aku kamu saat jam kerja," tegas Luke.
Nay menggertakan giginya menahan kesal. "Baik. Maafkan saya Tuan Wallace," Nay menegaskan nama Wallace sebagai nama Luke untuk membedakan kalau Nay adalah seorang atasan, dan Luke bawahan Nay.
"Seperti yang sudah tertulis kalau meeting perusahaan ini diadakan untuk menjalin kerjasama dan kekompakan setiap divisi yang ada di Rivers Group ini. Untuk lokasinya, saya sudah minta bantuan tim marketing untuk survey ke beberapa tempat," ucap Nay menjelaskan.
Luke membaca print out email tersebut dan menandatanganinya tanpa ragu. "Silahkan diperbanyak, Nona Rivers,"
"Terima kasih, Tuan Wallace," balas Nay dan ia bergegas keluar. Ia sengaja menggerakkan pinggulnya saat berjalan, sehingga tidak mungkin Luke tidak melihat bongkahan daging yang tercetak di rok ketat Nay yang berwarna merah menyala itu.
Hari itu, Nay bertekad meruntuhkan dinding yang dibangun oleh Luke. Ia memakai pakaian yang mengundang setiap mata pria untuk memandang ke arahnya. Bahkan ia memakai make up berwarna terang hanya untuk membuat Luke melihatnya.
Usaha Nay tidak sia-sia. Ia bersorak girang ketika melihat Luke mengendurkan dasi biru yang ia pakai dan menelan salivanya saat Nay berjalan keluar.
Nay kembali ke ruangannya dan kali ini ia tidak bersorak dalam hati, "Yes! Yes! Yes!" sambil menciumi proposal tipuan yang telah ditandatangani oleh Luke.
Tujuh hari kemudian, Nay menjalankan rencananya. "Tuan Wallace, apakah Tuan Rivers sudah menghubungi perihal acara hari ini?" tanya Nay dengan gaya profesional.
Kedua alis mata Luke saling bertautan dan ia mengerutkan dahinya. "Tuan Rivers belum memberikan info apapun kepada saya. Ada apa? Bukankah acaranya hari ini?" tanya Luke.
"Tuan Rivers mengalami sakit pinggang tadi pagi karena suatu hal, dan beliau meminta kita untuk datang kesana lebih dulu untuk mengecek tempat dan mempersiapkan segalanya. Sekretaris dan yang lainnya sedang bersiap-siap juga," kata Nay memberitahu.
Luke memandang ke luar ruangan kerjanya, dan memang semua karyawan Rivers Group tampak sibuk sekali hari ini. "Baiklah,"
'Yes' hati Nay berteriak senang.
"Kalau begitu kita bertemu disana yah. Saya duluan, Tuan Wallace," ucap Nay lagi dan baru saja ia hendak keluar ruangan, Luke memanggilnya.
"Nay, berangkat saja bersamaku,"
Nay pun memutar tubuhnya dan tersenyum sangat manis. "Dengan senang hati, Paman," jawab Nay.
Setelah 4 jam perjalanan akhirnya mereka sampai ke sebuah cottage yang dikelilingi oleh hutan pinus yang indah. Cottage itu memiliki undakan, jarak dari cottage yang satu ke cottage yang lain cukup jauh dan harus menuruni beberapa undakan.
"Benar disini tempatnya, Nay?" tanya Luke.
Nay mengangguk. Dengan memasang wajah cemas, ia mengambil ponselnya dan pura-pura menghubungi seseorang. "Aku tidak memiliki sinyal. Apakah Paman dapat sinyal ponsel disini?"
Luke memeriksa ponselnya, tak lama ia menggeleng. "Aku juga tidak dapat. Dimana kita akan menunggu yang lain?" tanya Luke.
Nay mengangkat bahunya, lalu ia kembali memeriksa ponselnya untuk membuka notes dan mengecek kamar mana yang sudah ia booking.
"Ayo kita kesana. Kemarin timku sudah memberitahukan kepadaku tempat dimana kita akan meeting. Hanya saja sekarang aku tak tau dimana mereka," ucap Nay sambil menarik tangan Luke untuk mengikutinya.
Sesampainya disana, Nay meletakkan tas ranselnya dan duduk di salah satu ranjang. Karena Nay tidak mau Luke curiga, maka ia menyusun rencananya itu dengan rapi. Ia memesan cottage besar dengan beberapa ranjang di dalamnya dan ia mengatakan kepada Luke kalau ia telah memesan 5 cottage untuk hari ini.
"Aku lapar. Paman sudah makan?" tanya Nay, ia menuju dapur dan membuka setiap laci yang ada disana. Orang suruhannya sudah menyimpan beberapa makanan kemas dan olahan didalamnya. Nay pun menyunggingkan senyumnya.
"Aku akan menunggu yang lain. Kalau kamu lapar, makanlah lebih dulu," jawab Luke.
Hari sudah semakin petang, tetapi tidak ada tanda-tanda kedatangan mereka. Luke mulai gelisah, tapi tidak dengan Nay. Ia tampak santai sekali, dan bahkan ia bisa mengemil cantik petang itu.
"Pulang saja, Nay," ajak Luke.
"Makan dulu saja, aku lapar sekali, Paman," jawab Nay.
Akhirnya Luke setuju. Nay mempersiapkan segalanya, mulai dari makanan ringan sampai makanan berat. Selesai mereka makan, Nay membuka botol Vodka yang sudah ia bawa dari rumah.
Nay menuangkan segelas Vodka ke dalam gelas wine yang sudah tersedia disana. Dalam diam, Nay mencampur obat tidur ke dalam gelas Vodka Luke.
"Aku membawa ini dari rumah. Tadinya untuk berpesta setelah meeting tapi tidak ada yang datang. Menyebalkan!" seru Nay menyesap Vodkanya.
Berbeda dengan Luke, ia menenggak minuman keras beralkohol tinggi itu dengan sekali tenggak. Efek obat tidur yang diberikan Nay mulai beraksi setelah Luke menenggak gelas keempat.
Luke mulai membuka kemejanya, dan sekarang hanya tinggal kaus tipis yang menempel di tubuh tegapnya. Nay beringsut mendekati Luke.
"Nay, jangan dekati aku! Kamu keras kepala sekali! Aku merasa panas, dan aku takut melukaimu. Kamu pewaris tunggal, bagaimana kalau nanti kamu kenapa-kenapa? Siapa yang akan mewarisi kerajaan Rivers? Kak Otis pasti akan memenggal kepalaku," oceh Luke.
Nay membuka kemeja yang ia pakai dan menyisakan sehelai lingerie hitam di tubuhnya. "Papa tidak akan marah kepadamu, Paman. Kita akan baik-baik saja," bisik Nay di telinga Luke.
Luke sedikit mendessah. "Oh, jangan Nay. Aku bisa melakukan sesuatu yang tidak boleh kulakukan. Bagaimana dengan Alma? Aku mau pulang saja,"
Nay menarik tangan Luke dengan cepat dan duduk di pangkuan pamannya itu. "Kita sudah pulang, Paman. Lihatlah aku," Nay mengarahkan wajah Luke sehingga berhadapan dengannya dan dengan lembut Nay mendaratkan bibirnya ke bibir Luke.
Hatinya gembira saat Luke membalas pagutan panasnya dan merengkuh Nay untuk masuk ke dalam dekapannya.
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!