Adhara hidup dalam dunianya yang tanpa cahaya tanpa peduli bagaimana dunia terus berubah selama bertahun-tahun. Dia tidak mau tahu, lagipula dia tidak akan melihatnya.
Sejujurnya hatinya telah mati rasa sejak lama. Adhara si baik hati dan penyayang sudah terkubur bersama perginya wanita yang melahirkannya puluhan tahun lalu. Ekspresinya sering kali selalu sama, dingin hingga membuat perasaan tidak nyaman di sekitarnya. Bahkan dia tidak menunjukkan rasa marah atau apapun saat ayahnya menikah lagi dengan perempuan yang tidak pernah dia tahu sebelumnya. Hanya tatapan kosong yang menunjukkan ketidakpedulian. Dia telah belajar sesuatu selama bertahun-tahun, bahwa jika tidak bisa merubah apapun lebih baik membiarkannya saja. Hidup menjadi lebih tenang saat dia memendam semua perasaannya.
Ayahnya itu tidak akan pernah tahu bahwa hidup tetap berjalan untuk ayahnya, sedangkan waktu dalam benaknya terhenti selama bertahun-tahun. Dia hanya membiarkan perasaan itu tetap ada di sana, tanpa mau lupa ataupun sembuh.
Berbeda dengan laki-laki paruh baya yang segera membangun keluarga barunya tanpa Adhara diusianya yang ke dua puluh. Entah kapan terakhir kali mereka saling bicara. Dari keluarga kecilnya itu,bagi Adhara hanya tersisa kakak tirinya yang dia biarkan tinggal untuk menjadi asisten sekaligus managernya sebagai musisi. Dia bukannya menerima, dia hanya membiarkan itu terjadi. Biar mereka berbuat semaunya, adhara tidak akan peduli.
Bohong kalau dia bilang dia tidak kesepian. Dunia tanpa cahaya itu kadang sangat menakutkan. Tapi orang-orang disekitarnya tak pernah ada yang bisa benar-benar masuk dalam dunianya. Mereka hanya hadir di permukaan saja. Pada dasarnya Adhara tetap sendirian.
Saat perasaan tidak enak dari kesendirian itu mulai datang, dia akan mengasingkan diri di taman terdekat. Berdiam diri mendengarkan alunan musik sendirian. Dia mencari ketenangan di tengah hembusan angin yang berhembus pelan. Menikmati gesekan lembut yang tetap bisa dia rasakan sekalipun ia tidak melihatnya. Dengan begitu, semua akan terasa sempurna.
Namun hal berbeda terjadi hari ini. suara berisik itu terdengar di telinganya mengganggu ketenangan yang baru beberapa menit dia nikmati. Seorang perempuan duduk di seberangnya. Dia menyadari kehadiran itu begitu si perempuan menyanyi dengan berisik tanpa alunan lagu. Menurut Adhara dia pasti memakai headset atau apapun untuk mendengar lagu sendirian, tanpa sadar kalau orang lain hanya akan mendengar nyanyiannya yang berantakan. Adhara menyadari itu dari temponya yang pas, meski nadanya tak beraturan.
Aneh, kehadiran orang itu jelas mengganggu, tapi entah bagaimana Adhara merasa nyaman mengetahui ada orang lain di dekatnya. Rasanya seperti, dia tidak lagi sendirian.
Dia tidak pernah merasa begitu sabar sebelumnya. Hanya diam mendengarkan tanpa komplain atau meminta si penyanyi untuk diam. Biasanya dia akan menggerutu sampai orang lain menghindar dengan sendirinya. Entahlah, mungkin semua ini efek dari moodnya yang sangat buruk hari ini. Jadi dia malas mengeluarkan tenaga untuk bicara dengan orang lain. Toh setelah beberapa menit berlalu suara itu memelan sebelum benar-benar hilang saat lagunya selesai.
Dari liriknya Adhara tahu itu lagu ciptaannya. kalimat yang dalam dan menggambarkan kemarahan dengan sempurna. Orang itu pasti tidak sadar dia telah merusak lagu bagus di samping penciptanya sendiri. Tapi sudahlah, lagunya sudah selesai, harusnya orang itu sudah pergi karena Adhara tidak mendengarkan gerakan apapun lagi sampai...
"permisi, maaf sudah mengganggu anda. Suasana hati saya sedang sangat buruk" ucap suara itu pelan, jauh lebih enak didengar daripada ketika dia menyanyi. Seperti dia sadar dengan ekspresi Adhara yang meski sangat samar pasti terlihat seperti sedang marah bagi orang lain. Adhara balas mengangguk satu kali. Dia memang terganggu, tapi dia tidak begitu keberatan sebenarnya.
"kalau begitu, saya permisi." ucap si perempuan lagi. Kali ini dia pasti benar-benar pergi.
***
"Hei, urusannya sudah selesai, ayo kita pulang" ucap Adella menepuk bahu Adhara dengan pelan. Adhara bangun dari duduknya dengan bantuan tongkat lalu berjalan normal seolah dia bisa melihat. Hanya sesekali Adella akan mengarahkan jalannya saat berbelok atau naik tangga. Terus begitu hingga mereka sampai di rumah.
"Kamu yakin tidak mau berubah pikiran?" tanya Adella di tengah kesunyian di ruang tamu.
Ini satu hal yang tak pernah berubah di dunia. Manusia mengira bahwa dunia berputar disekitarnya saja. Ketenaran membuatnya mengira semua yang di inginkan akan terwujud tanpa menyadari bahwa ada kehidupan dan keinginan orang lain yang tidak bisa mereka atur seenaknya.
"Pihak Sona sepertinya marah karena kamu tidak memberikan lagunya untuk mereka." ucap Adella, kakak tiri sekaligus manager Adhara itu sedang mencoba merubah keputusan Adhara terakhir kali. Dia dengan keras kepala menolak memberikan lagu buatannya untuk penyanyi terkenal yang sudah bekerjasama dengannya sebelumnya. Keputusan itu membuat Della harus mendengar komplain selama satu minggu penuh.
"biarkan saja. Lagunya tidak akan terdengar baik di tangan orang yang tidak tepat" Balas Adhara dengan santai. Jelas sekali dia tidak mau berdiskusi, karena setiap keputusan yang dibuatnya selalu menjadi keputusan akhir.
"Tapi bukannya akan lebih menguntungkan memilih penyanyi yang sama dengan sebelumnya. Album yang dulu sudah menjadi hits, penyanyinya juga sudah terkenal." ucap Adella lagi. Sulit rasanya memahami Adhara dengan logika bisnis. Dia seperti pencipta seni menyebalkan lainnya yang seenaknya sendiri. Minusnya Adhara ini jauh lebih keras kepala.
"ini duniaku. Aku menulis lagu yang aku mau, dan itu hanya boleh dinyanyikan oleh suara yang aku pilih" ucapnya mengukuhkan bahwa dia memang orang paling keras kepala sedunia. Kalau sudah begini Adella akan menyerah. Dia tidak bisa membuat marah tuan muda keras kepala ini atau dirinya akan berakhir memohon agar tidak dipecat.
Hal seperti ini sudah biasa terjadi, jadi dia sudah tahu bagaimana ini akan berakhir dengan sedikit sakit kepala dan berkali-kali permintaan maaf.
Andai bisa berhenti bekerja, mungkin Adella sudah melakukannya sejak lama. Sayangnya, dibanding sebuah pekerjaan, menjaga Adhara adalah tugas dari ayahnya sekaligus panggilan hatinya untuk merawat saudaranya yang memang perlu perhatian lebih. Yah meski usahanya lebih sering dianggap gangguan. Tapi dia tidak akan mundur meski pekerjaannya semakin hari semakin berat.
"Kalau urusanmu sudah selesai, pulanglah. Ada bibi di rumah" ucap Adhara singkat. Adella tidak mau beralasan lagi. Mungkin dia akan memberi waktu untuk Adhara, barangkali dia akan berubah pikiran setelah menyendiri sebentar. Adella hanya akan menyingkir sebentar sebelum tercipta pertengkaran yang tidak perlu.
Dalam ruangnya sendiri Adhara memainkan lagu dengan piano di ruang kerjanya. Kalau sudah begitu tidak ada yang berani mengganggu. Tanpa peduli ada yang mendengar atau tidak, suara itu akan mengalun di seluruh penjuru rumah.
Adhara tenggelam dalam zona nyamannya itu hingga tanpa sadar satu lagu lagi berhasil dia ciptakan. Selalu seperti itu. Tidak ada hal atau makna khusus dari lagunya. Karena kebanyakan hanya ungkapan perasaannya yang tidak dipahami orang lain. Tentang dia yang bergelut dalam kesendirian yang menyebalkan. itu saja.
"Untuk hari ini sampai sini saja" ucap Adhara pada Adella yang menyetir hari ini. Seperti biasa Adella hanya mengantar sampai gerbang depan karena selebihnya Adhara akan melakukannya sendiri. Adhara sudah cukup familiar dengan gedung sekolah yang memang dibangun dengan sederhana untuk mempermudah anak-anak tunanetra. Jadi dia bisa masuk dan keluar dari sekolah tanpa tersesat, bahkan sudah menghafal tempat-tempat penting yang perlu diingat.
"aku akan menjemputmu di tempat biasa." ucap Adella segera saat melihat Adhara langsung turun dari mobil tanpa bicara apapun. Meski sering tidak dianggap begitu, dia masih turun untuk memastikan Adhara masuk ke dalam sekolah dengan aman.
"huft. Sama-sama" ucapnya membalas kalimat terimakasih yang tidak pernah benar-benar dia dengar. Setelah tidak ada yang perlu dilakukan lagi, Adella kembali ke kantornya mengurusi pekerjaan Adhara yang lain berkaitan dengan manajemen dan nego dengan relasi Adhara. Sungguh, cukup sibuk karena pada dasarnya dia menjadi tangan kanan dan kiri sekaligus mata bagi Adhara jadi Adhara hanya tinggal membuat lagu dan menikmati hasilnya saja.
...****************...
Meski menyebut dunianya begitu sempit dan membosankan, nyatanya Adhara masih punya banyak hal yang harus dilakukan selain membuat lagu dan berjalan-jalan sesuka hati.
Ini semua berkat guru yang mengajarinya membaca Braille dulu. Orang yang dia hormati itu memintanya membantu di sekolah yang dia kelola. Lucu sekali, mereka mengharapkan seseorang yang buta untuk mengajari orang buta lainnya. Tapi Adhara juga tidak bisa menolak karena permintaan ini datang dari orang yang cukup berjasa dalam hidupnya.
Awalnya dia ragu. Tapi anehnya hal itu terjadi secara natural hingga membuatnya mulai sedikit terbiasa. Bergaul dengan anak kecil ternyata cukup menyenangkan meski dia tetap tidak mau membentuk hubungan terlalu dekat dengan murid-muridnya. Dua manusia yang sama-sama kekurangan bergaul dengan satu sama lain. Membayangkannya saja sudah terasa menyedihkan.
Setelah dua bulan berlalu sedikit demi sedikit pemikiran Adhara berubah. Rasanya bergaul dengan mereka tidak se menyedihkan itu. Meski kekurangan, mereka juga tetap bisa tertawa dengan ceria. Tetap memiliki mimpi meski tentu saja terhalang dengan kondisi yang mereka bawa sejak lahir atau karena hal lain.
Suara tawa yang kadang terdengar itu membuat perasaan Adhara lebih baik. Anak-anak kecil itu tidak akan pernah tahu bahwa mereka merubah Adhara sedikit untuk tidak terlalu membenci dunia. Karena saat dirinya menjadi berguna untuk orang lain, rasanya cukup menyenangkan.
Hari ini Adhara mengajar kelas yang sama lagi, aneh rasanya mendengar mereka seperti senang akan kedatangan Adhara. Andai bisa melihat, mungkin mereka akan sedikit terganggu dengan ekspresi Adhara yang seperti membenci semua hal di dunia itu. Adhara hanya menatap hamparan kosong di matanya jadi tatapannya pun kosong dan terkesan dingin. Orang yang bisa melihatnya saja lebih sering menghindarinya. Tapi dengan keadaan yang sama-sama tidak melihat satu sama lain, anak-anak itu menyambutnya dengan gembira.
Bagaimanapun, hari ini mereka mempelajari satu lagi kemampuan dasar yang harus dimiliki saat mereka tidak bisa melihat. Beberapa jam berlalu sebelum dia sadari. Adhara baru berhenti saat bel berbunyi.
Setelah kelas yang terasa panjang itu usai, Adhara berniat kembali ke kantor dulu sebelum pulang menuju area Adella menjemputnya setiap hari. Namun di tengah perjalanan sebuah suara menginterupsinya.
"permisi, Ruang guru ada di mana ya?" tanya seseorang. Dia bertanya lokasi pada orang yang buta, aneh sekali. Atau, Adhara terlihat normal di matanya?
"ikuti aku." ucapnya. Bagaimanapun, adhara tetap mengantar orang itu sampai ke ruang guru. Sekalian dia mengambil beberapa barang sebelum pulang. Orang itu mengikuti dengan tenang, kalaupun tidak juga Adhara tidak peduli.
Ini yang berbeda dari sekolah normal, di sepanjang lorong tempat Adhara berjalan tidak ada murid yang akan menyapanya, mereka terkesan tidak peduli karena tidak tahu keberadaan satu sama lain, kecuali perempuan yang mengikutinya. Dari caranya menghampiri Adhara dia tahu orang itu tidak buta. Hanya dia yang bisa mengamati keadaan seluruh sekolah, bagaimana orang-orang berlalu lalang dan terlihat sibuk, tapi tetap tenang dan tidak banyak bersuara. Aneh, ketenangan itu terasa nyaman.
Dia hanya berjalan di belakang Adhara tanpa bersuara sedikitpun. Adhara juga tidak mengajaknya bicara, bersuara rasanya agak tidak sopan sekarang. Sudah kubilang kan, laki-laki ini punya kesan dingin yang membuat orang-orang di sekitarnya hampir ada di titik takut melihatnya. Tapi dengan dia berada disini, bukankah itu menunjukkan bahwa dia punya sisi yang baik? apalagi kebanyakan guru yang ada di tempat ini adalah relawan yang punya niat membantu orang lain. Yah walaupun dia terlihat agak sedikit, menakutkan?
"terimakasih banyak" ucap orang itu lagi dengan sopan. Tunggu, suara itu, terdengar familiar. Sepertinya mereka bertemu lebih dari sekali, makanya telinga Adhara mengingatnya. Tapi entah bagaimana dalam ingatannya suara ini tidak memberi kesan yang menyenangkan. Apakah hanya perasaan Adhara saja?
Entah, Adhara tidak terlalu peduli, tugasnya selesai jadi dia hanya peduli menyelesaikan semua urusan supaya bisa segera pulang, kembali ke safezone nya tanpa orang lain yang mengganggu. Dia lebih suka di sana karena bergaul dengan orang lain itu sangat merepotkan.
Dia terus mengira-ngira, takut kalau yang dia temui hanya orang-orang menyebalkan seperti yang ada di masa lalunya. Karena sejak dulu, semua manusia nampak sama saja baginya. Mereka orang yang akan memanfaatkanmu jika kamu berguna, tapi mereka membuangmu jika tidak, mereka bahkan tidak segan menghina atas kekurangan yang kamu miliki. Kalau tidak mengenal seseorang dalam waktu yang lama atau ada sesuatu yang membuktikan kebalikannya, prasangka itu akan tetap ada bagi Adhara dan itu berlaku sama bagi semua orang disekitarnya. Bahkan juga pada adella yang nampak baik. Adhara hanya sedang menunggu kapan orang itu akan berpaling dan meninggalkannya sendirian. Jika itu terjadi, semua akan terasa lengkap dan dia akan lebih tidak peduli lagi dengan apapun.
"permisi" perempuan itu ingin menanyakan sesuatu, tapi Adhara pergi lebih dulu sebelum orang itu sempat bicara lebih banyak. Dia tidak mau berlama-lama di sana untuk sekedar berkenalan. Di ruang guru, perempuan itu disambut dengan hangat. Dia adalah guru baru yang akan membantu mengajar juga di sekolah khusus. Sosoknya ceria dan suka tersenyum.
"Adhara itu tidak suka berinteraksi dengan orang lain, jadi tolong dimaklumi ya." jelas guru lainnya yang sempat melihatnya mencoba bicara dengan Adhara. Dia hanya mengangguk. Yah ada banyak kesempatan untuk mengobrol dengannya, jadi dia tidak perlu berkenalan hari ini juga. Lain waktu dia akan mencobanya lagi. Dia sangat ingin mengenal Adhara, apalagi Adhara itu sangat tampan.
...****************...
Adhara tidak jahat, tapi dia hanya terlalu selektif. Jadi dia bersikap baik hanya pada orang-orang yang menurutnya pantas, dan dia belum menemukan alasan untuk bersikap baik pada orang yang baru dia kenal itu.
Kali ini mereka bertemu di ruang guru sebelum mengajar. Adhara sedang duduk diam di mejanya saat perempuan itu menghampiri. Perempuan yang sedikit lebih muda itu mendekatinya dengan hati-hati.
"permisi, maaf kalau saya mengganggu." ucap si perempuan dengan nada yang agak rendah. Adhara tidak merespon, itu membuatnya berani melanjutkan bicaranya lagi.
"saya Ellena. Guru baru disini, jadi mohon bimbingannya ya." ucap Ellena dengan amat sangat sopan, berharap akan dibalas dengan respon yang serupa. Tapi yang dia dapatkan justru jauh dari ekspektasinya.
"Kalau sudah tau mengganggu harusnya tidak usah menyapa." ucap Adhara, selain bermuka dingin mulutnya itu juga sering berkata kalimat-kalimat menyebalkan. Baru saja mulutnya terbuka sudah mengatakan kalimat yang tidak enak di dengar. Tapi bagaimanapun mereka ada di lingkungan yang sama. Tidak mungkin mereka terus menerus tidak berinteraksi sama sekali kan.
"dan jangan berharap bimbingan ku. Aku tidak akan membantu. Kamu bisa melihat, jadi belajarlah sendiri" lanjutnya sebelum beranjak untuk pergi lebih dulu menuju kelas. Meninggalkan Ellena yang menggeleng pelan. Perlakuan Adhara membuatnya paham betapa dia sangat tidak suka berinteraksi dengan orang lain. Yang datang kepadanya dengan baik-baik saja ditolak mentah-mentah, apalagi yang datang dengan niat buruk, pasti sudah celaka.
Tapi diam-diam kalimat itu sedikit menusuk di hatinya juga. Ya, dia punya tubuh yang normal dan matanya berfungsi. Dia tahu kalimatnya ada benarnya juga bahwa harusnya dia lebih bisa belajar sendiri. Tapi boleh kan kalau dia ingin diberitahu dengan kalimat yang lebih menyenangkan.
Hari ini sebenarnya hari pertama Elena, dan dia bertugas menjadi guru Bantu di sekolah. Di hari pertamanya saja dia sudah mendapatkan kesan buruk dari Adhara.
Jam pertama ini dia tidak memiliki jadwal mengajar, jadi dia hanya berkeliling sambil mengamati bagaimana para guru mengajar. Seperti kata Adhara, dia akan belajar sendiri dengan melihat seniornya itu.
Setelah melangkah agak jauh, dia sampai di kelas yang di bimbing oleh Adhara. Pemandangan itu bisa dia lihat di sana. Adhara yang tersenyum tipis sambil menjelaskan tentang tulisan braille kepada anak-anak. Penjelasannya sangat mudah dipahami, bicaranya pun sangat lembut sampai dia tidak percaya, bahwa orang itu adalah orang yang sama dengan laki-laki menyebalkan yang dia ajak bicara pagi ini.
"bisa tersenyum juga ternyata." ucapnya kagum dengan apa yang ada dihadapannya. Adhara yang tersenyum terlihat lebih menyenangkan, dan lagi-lagi sangat tampan. Orang ini sebenarnya baik, sesuai dengan dugaannya tapi entah kenapa hanya kepadanya dia bersikap agak jahat. Ellena terus mengamati di sana agak lama. Melihat pemandangan indah begitu siapa juga yang tidak mau.
...****************...
Selesai mengajar, Adhara berjalan keluar dengan tongkatnya. Hari ini dia hanya mengajar satu jam pelajaran jadi dia akan pulang setelah ini. Sekarang jam istirahat, beberapa anak-anak bermain di lorong dan memainkan tongkatnya hingga tak sengaja membuat buku Adhara terjatuh. Saat itu terjadi, Ellena masih di sana untuk mengamati.
Adhara menunduk tepat ke arah bukunya jatuh.
"eh, dia kalau begini dia seperti bisa melihat." gumam Ellena. Adhara seperti tahu dimana bukunya tergeletak membuat Ellena curiga kalau dia tidak benar-benar buta.
Namun setelah menunduk agak rendah, Adhara meraba-raba lantai untuk mencari bukunya itu, sudah jelas dia butuh bantuan karena dia tidak langsung menemukannya. Dengan reflek Ellena menghampiri, membantu mengambilkannya untuk Adhara. Namun yang dibantu hanya menerima bukunya dan tidak merespon sedikitpun. Apa dia tahu kalau yang membantunya itu Ellena, makanya dia bersikap dingin begitu?
Entahlah, Ellena memendam kekesalan dalam hatinya sendiri. Bagaimanapun dia hanya memiliki maksud baik, jadi dia tidak mau marah. Selesai mendapatkan bukunya, Adhara kembali berjalan
"tunggu" ucap Ellena menginterupsi. Adhara berhenti untuk mendengarkan, tapi tidak menoleh juga.
"di halaman, saya memarkirkan sepeda di sisi kiri, jadi harap berhati-hati." Ucapnya memperingati Adhara. Meski terlihat normal begitu, tetap saja Adhara ini tidak bisa melihat, jadi dia memberitahukan perubahan yang ada supaya Adhara tidak jatuh. Adhara hanya mendengarkan, lalu kembali melangkahkan kakinya lagi.
Sebenarnya perlakuan Adhara ini bukan tanpa alasan. Adhara tahu, Ellena mahasiswa magang yang hanya datang untuk memenuhi tugas dari kampus. Baginya orang seperti itu sangat jauh dari kata tulus, jadi dia selalu memandang sebelah mata apapun yang berusaha dilakukan Elena.
Bertentangan dengan keyakinannya itu, perlahan-lahan Adhara tahu bahwa Ellena sebenarnya cukup tulus. Dia kadang mendengar Ellena bergumam sendiri untuk mempelajari materi yang akan dia ajarkan hari demi hari. Dia bahkan punya dedikasi lebih untuk pulang paling akhir setiap ada waktu luangnya dari kegiatan kampus dan Adhara cukup menghargai itu walaupun sikapnya belum berubah juga. Hingga suatu hari dia ditegur oleh kepala sekolah dan mengetahui sesuatu. Dia baru akan pulang saat laki-laki yang lebih tua itu mengajaknya bicara.
"Adhara," panggilnya dengan hati-hati.
"bersikap baiklah pada Elena, dia itu walaupun hanya mahasiswa dia punya hati yang tulus." ucapnya dengan pelan. Adhara yang dia tahu itu sangat baik dan ramah, tapi dia memang selalu agak jahat pada orang baru. Seperti saat pertama bertemu dulu. Setelah mengenalnya lama, baru dia tahu bagaimana sikap Adhara berubah menjadi sangat baik dan menghormatinya. Bahkan ketika dia meminta Adhara membantu mengajar di sekolah luar biasa Adhara tidak menolak sama sekali. Dia hanya bilang akan mengusahakan dan belajar lebih dulu. Pada akhirnya dia hadir disini untuk membantunya juga. Dia sangat berharap Adhara bisa lebih terbuka juga pada orang lain seperti yang adhara lakukan pada dirinya.
"Pada pengajuan lokasi program kuliahnya, dia memilih sekolah kita sebagai pilihan pertama, padahal biasanya mahasiswa lain akan menempatkan sekolah luar biasa di pilihan terakhir karena mereka enggan membantu di tempat seperti ini" ucap sang kepala sekolah meminta pengertiannya. Sebenarnya dia juga tidak merundung mahasiswa itu, dia hanya bersikap menyebalkan saja.
"Relawan yang bersedia membantu terus berkurang juga, aku akan lebih menghargai jika kamu mau bersikap lebih baik pada Ellena" ucapnya sudah seperti anak kecil yang di tegur karena berkelahi.
"iyaaa saya paham" balas Adhara singkat. Dia tidak asal mengiyakan, dia punya pertimbangan juga. Katanya kita akan melihat watak asli seseorang jika sudah mengenal cukup lama kan, jadi meski dia hanya tahu sisi baik Ellena selama ini, dia masih mau mengamati sedikit lagi sebelum benar-benar menerima kehadirannya dalam hidup Adhara.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!