NovelToon NovelToon

Gelora Cinta Masa Lalu

Pengakuan Menyakitkan

“Ra, ada sesuatu yang penting yang ingin aku bicarakan. Apa kamu ada waktu?” Zayn membuka pembicaraan ketika motornya perlahan mulai meninggalkan restoran tempat mereka bekerja.

“Ya, tentu saja, Sayang. Memangnya mau bicara apa, sih? Sepertinya sangat serius,” tanya Nayra penasaran.

“Kita mampir ke taman dulu, ya?”

“Oke.”

Sore hari sepulang kerja, seperti biasa Zayn mengantar Nayra—kekasihnya pulang ke kos dengan motornya. Tidak ada yang curiga dengan hubungan mereka di restoran tersebut karena Zayn selalu bersikap baik dengan siapa pun dan bersikap manis pada semua orang. 

Motor Zayn perlahan membelah jalan, menuju taman yang tak jauh dari pusat kota. Beberapa menit kemudian, mereka sampai di taman dan duduk di sebuah kursi panjang di sana. Tanaman nan hijau ditumbuhi bunga-bunga di berbagai sudut tampak sangat indah jika dipandang mata. Rerumputan hijau yang begitu terawat memenuhi tanah, mengelilingi air kolam yang berada di tengahnya. Tak banyak orang yang berada di taman itu, hanya ada beberapa orang yang tengah membawa anaknya bermain dan sesekali menyuapinya makanan.

Zayn menggenggam tangan Nayra erat dan menatap matanya lekat. Entah, hati Nayra seperti tak kuasa menahan tatapan lelaki di sampingnya itu, seperti akan menyampaikan sesuatu yang buruk. Dalam benaknya, dia terus berpikir dan menebak hal apa yang ingin disampaikan kekasihnya itu.  

“Sayang, selama dua tahun ini, apa kamu benar-benar mencintaiku?” tanya Zayn, manik coklatnya tak berhenti mengarah pada wajah gadis ayu itu.

Antara siap tidak siap, Zayn memang terpaksa harus jujur saat ini juga. Dia semakin tidak tenang jika menyembunyikan hal sepenting ini terlalu lama. Lelaki itu takut jika nantinya akan menjadi masalah besar di hubungan mereka apabila rahasianya terus ia simpan. Zayn dan Nayra memang menjadi salah satu pasangan yang saling mencintai, berbagi kisah asmara selama dua tahun.

 

“Tentu saja, Zayn. Mana mungkin aku tidak punya rasa cinta, apalagi kita sudah menjalin hubungan selama dua tahun. Kenapa tiba-tiba menanyakan hal itu?”

“Maaf, Ra. Aku rasa sekarang saatnya aku harus jujur. Aku mau mengatakan sesuatu yang aku tutupi selama ini, maaf jika aku menyakitimu nantinya," kata Zayn lirih, matanya sayu tak seperti biasa, seolah memendam sesuatu.

“Maksud kamu apa sih, Zayn? Jangan membuatku takut.” Nayra yang tampak gelisah, semakin dibuat tak tenang dengan pernyataan Zayn yang menggantung.

Tangan Zayn mengeluarkan ponselnya, mencari sebuah foto yang hendak ditunjukkan pada Nayra. Gambar pada layar tersebut sontak membuat wanita itu hampir pingsan. Ia tak bisa berkata-kata begitu melihatnya dengan teliti.

Tenggorokannya seperti tercekat, air mata yang berada di pelupuk, kini mulai menetes. Semakin lama, air matanya mengalir makin deras membasahi pipi. Hati Nayra hancur berkeping-keping, menyisakan luka terdalam di dadanya. Tubuh wanita itu mendadak lemas seperti tak bertulang. Namun, dia berusaha tegar menatap Zayn yang tengah menunduk menghindari pandangannya.

"Dia ... dia siapa? Kamu sudah ...?"

Rasanya sangat berat saat Nayra berusaha mengatakan satu kata yang membuatnya bagai tersambar petir. Ponsel yang baru saja berpindah ke tangannya, kini dia serahkan kasar pada Zayn, memukulkannya tepat di dada lelaki itu. Tangisnya pecah tatkala ia menatap foto Zayn dengan seorang wanita yang duduk di sampingnya. Juga tak lupa, ada bayi dalam pangkuan wanita itu.

Menikah, kata itulah yang terbesit dalam pikirannya Nayra saat ini. Dia sangat bisa menyimpulkan walau hanya sekali melihat foto tersebut. Kekasihnya kini memang sudah menikah. Mau tidak mau, dia harus berusaha menerima kenyataan pahit itu.

“Apa arti dua tahun ini, Zayn? Kamu jahat banget! Tega sekali kamu menyakiti dua wanita sekaligus. Hampir setiap saat kamu mengucap kata cinta. Apa itu? Semuanya palsu! Semua hanya kebohongan, aku nggak nyangka kamu bisa setega ini, padahal kamu tau aku tidak pernah main-main dengan perasaanku, tapi ini balasan kamu? Sekarang aku mengerti kenapa kamu menyuruhku untuk menyembunyikan hubungan kita, ternyata ini alasannya.” Nayra tersenyum kecut menahan perih.

Kalimat itu berhasil diucapkan Nayra walau dengan suara yang gemetar, dadanya sangat sesak. Dia berusaha mengatur napasnya yang kian memburu tak beraturan. Jantungnya pun ikut berpacu kencang.

"Aku … aku memang sudah menikah,  Ra. Tapi, ini semua bukan kemauanku. Sayang, mengertilah."

Perasaan bersalah tentu saja akan terus menghantui Zayn, dia begitu mencintai Nayra. Dia tidak ingin kehilangan wanita itu jika dia akan mengatakan yang sebenarnya saat pernikahannya berlangsung setahun yang lalu. Akan tetapi, dia berpikir bahwa pernikahannya dengan istrinya yang sekarang tidak akan bertahan lama. Bahkan dia berniat akan menceraikannya.

Foto itu terlihat sangat bahagia, keluarga kecil yang lengkap. Rasanya masih seperti mimpi buruk untuk Nayra. Lelaki yang selama ini menjadi dambaan hatinya ternyata sudah menikah, bahkan sudah mempunyai anak.

“Mengerti? Kamu menyuruhku buat ngertiin kamu. Kamu sakit, Zayn!“ Nayra menjambak rambutnya, menarik napas panjang. Pandangannya ke awang-awang.

“Tolong, maafin aku. Semua ini beralasan, Ra.”

“Bagaimana mungkin ini bisa terjadi, apa salahku hingga kamu membohongiku, Zayn?” batin Nayra bergejolak. Dia seolah tidak percaya jika Zayn tega menyakitinya.

 

Katakan jika semua ini bohong. Kamu bercanda, kan?" Nayra menaik turunkan emosinya sesaat. Meski matanya berkaca-kaca, tetapi bibirnya memaksa untuk tersenyum. Berharap semua yang dikatakan Zayn tidak benar.

“Ma–maaf ... maafkan aku, Rara. Please!”

“Kamu pikir hatiku terbuat dari batu? Aku manusia biasa, Zayn! Ini sangat menyakitkan. Kamu tau 'kan, dua tahun itu bukannya sebentar. Kenapa tidak bilang, hah? Sudah berapa lama kamu ….”

Nayra terduduk lemas, matanya terasa pedih dan terus mengeluarkan cairan hangat, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Harapan Nayra untuk membangun masa depan bersama dengan Zayn telah hancur sudah. Nayra menebak pernikahan Zayn dengan istrinya sudah berusia satu tahunan atau mungkin lebih. Terbukti dilihat dari foto bayi tersebut.

“Maafkan aku, Sayang. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Aku sangat mencintaimu, rasa sayangku lebih besar padamu, aku sama sekali tidak mencintainya. Mengertilah, aku mengatakan semua ini karena aku ingin kita lanjut ke jenjang serius. Ke depannya, kita masih bisa hidup bersama dan menikah, Ra."

Nayra menyunggingkan bibirnya, mengulas senyum sinis dan mengerutkan dahi. Belum hilang luka yang Zayn berikan, kini ditambah lagi dengan kalimat yang tak masuk akal keluar dari mulutnya.

“Apa kamu sudah gila? Kamu lelaki beristri, kamu berselingkuh, sekarang kamu mengajakku menikah? Di mana jalan pikiranmu, Zayn? Sampai kapan pun, aku tidak akan mau jadi selingkuhan, apalagi perusak rumah tangga orang, dengar itu!"

Nayra terus mengungkapkan kekesalannya pada Zayn—kekasih hati yang bahkan selama ini dia bangga-banggakan. Padahal, dia juga berencana untuk  mengenalkan lelaki itu pada ibunya. Akan tetapi, semua tak sesuai harapan, asa dan angannya kini musnah berganti dengan kebencian.

“Jangan seperti ini, Ra. Aku minta maaf. Aku tidak tahu kenapa aku bisa mencintaimu sedalam ini. Bahkan aku tidak mencintai dia sama sekali. Kita bisa menikah siri, Sayang," bujuk Zayn dengan mengiba.

Rasa Bersalah

"Aku hanya wanita bodoh yang bisa kamu permainkan! Bisa-bisanya aku mencintai lelaki sepertimu!" tukas Nayra dengan suara tingginya. “Semuanya sudah selesai, jauhi aku. Hiduplah dengan keluargamu! Terima kasih.”

Nayra berdiri sekuat tenaga, menopang tubuhnya yang sudah lemas. Namun, rasanya ia tak sanggup menjaga keseimbangannya.

Zayn dengan sigap merengkuh tubuh Nayra yang hampir limbung ke belakang. Dia memeluknya erat, tetapi wanita itu langsung melepasnya dengan kasar. Nayra meninggalkan Zayn dengan isak tangis yang menyayat hati.

"Maafkan aku," ucap Zayn lirih memandang kepergian Nayra. Dia terpaku mematung di tempatnya, meratapi kekejamannya karena telah melukai hati wanita yang ia cintai.

Nayra melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa. Menyadari hal itu, Zayn langsung menyusul dengan berlari, mengejarnya ke arah jalan. Akan tetapi, semuanya terlambat, Nayra sudah menaiki taksi yang sempat ia berhentikan.

Sesampainya di kos, Nayra merenung dan meratapi kejadian beberapa menit yang lalu. Rasanya seperti mimpi buruk, sulit untuk dipercaya. Nayra duduk di tepi ranjang, sesekali mengusap buliran hangat yang terus lolos dari matanya. 

“Setelah ini, aku berjanji pada diriku sendiri. Aku akan menghilang dari kehidupanmu, Zayn. Aku tidak akan mau menemuimu lagi walau hanya sedetik sekalipun. Semua kebaikan dan ketulusan yang kau berikan, kini tertutup sudah dengan satu kesalahan besar yang kamu perbuat. Apa kamu sekarang sudah puas setelah mengatakan semuanya kepadaku?”

 

Nayra terus bermonolog sembari memandangi foto Zayn yang tergeletak di meja riasnya. Dia sesekali mengusap kasar air mata yang sejak tadi mengalir.

"Zayn, aku sangat berterima kasih untuk dua tahun ini. Kamu sudah menerbangkanku tinggi hingga aku lupa melihat ke bawah, tak pernah sekalipun aku menemukan kesalahan di dirimu. Kamu lelaki baik, lelaki yang selalu mengisi hariku. Tapi, sekarang kamu melakukan kesalahan terbesar. Sampai kapan pun, mungkin kamu akan tersimpan di relung meski aku tidak bisa memilikimu.”

Nayra memang kecewa dengan kekasihnya, sangat kecewa. Namun, sedikit pun ia tak bisa membencinya berlebihan. Bagaimanapun, rasa cinta itu lebih besar daripada rasa bencinya.

Suara ketukan pintu kos membuyarkan lamunannya. Padahal, jam sudah menunjukkan angka sembilan malam. Nayra berjalan perlahan ke arah pintu dan langsung membukanya. Dia melihat ada seorang lelaki yang berdiri di sana.

Nayra buru-buru menutup kasar pintu tersebut saat melihat Zayn berdiri di ambang pintu. Rasa kecewanya kini semakin menebal, bahkan untuk melihat wajah itu sekali pun, dia enggan. Rasa sakitnya benar-benar membuatnya tidak ingin lagi bertemu dengan Zayn.

“Rara, buka dulu pintunya. Aku mau bicara sebentar saja, tolong kasih aku kesempatan untuk menjelArkhan.” Zayn mengetuk lagi pintu kamar Nayra. 

Lelaki itu bisa bebas memasuki kos tersebut karena sebenarnya kos itu milik pamannya, sebagai tempat tinggal untuk para karyawan yang bekerja di restorannya.

“Pergi!” suara Nayra berseru dari dalam mengusir Zayn. Pada akhirnya, lelaki itu memilih pergi dan esok akan kembali lagi menemui Nayra.

Alzayn Dirgantara, lelaki berkulit sawo matang, berperawakan tinggi, mempunyai potongan rambut yang rapi, serta hidungnya yang mancung, semakin membuat lelaki itu tampak sempurna. Usianya dua puluh lima tahun, selisih satu tahun dengan Nayra. Dia seseorang yang begitu perhatian, lembut tutur katanya dan sopan perilakunya.

Zayn bekerja di Lovas Resto milik pamannya sebagai manajer, begitu juga dengan Nayra. Wanita itu juga bekerja di restoran tersebut sejak lulus SMA sebagai waiters. Keduanya semakin dekat karena saling tertarik satu sama lain, hingga akhirnya mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. 

Selama hampir dua tahun tidak pernah ada masalah besar di antara keduanya. Hanya saja hubungan mereka memang tidak ada yang mengetahui. Tak ada satu pun yang curiga dengan hubungan mereka. Bahkan, semua di restoran itu juga tidak ada pekerja yang tahu jika Zayn memang sudah beristri, kecuali pamannya.

“Ibu, besok Nayra akan pulang,” ucap Nayra ada ibunya melalui sambungan telepon.

“Kenapa, Nak? Apa yang terjadi?”

“Nayra lelah, Bu. Nayra pengen istirahat.”

“Ya sudah, nggak apa-apa. Apa perlu ibu jemput?”

“Nggak perlu, Bu. Nayra bisa sendiri, kok.”

“Hati-hati ya, Nak. Jaga diri baik-baik.”

“Iya, Bu. Nayra pun mematikan teleponnya kemudian mencoba untuk memejamkan mata. Mengistirahatkan hati yang gundah.

Fajar mulai menampakkan cahayanya di ufuk timur, memberikan sinarnya dengan kehangatan. Pagi ini, Nayra sudah bersiap untuk pulang ke kampung halaman. Di sana mungkin ia akan lebih tenang jika tinggal bersama ibunya. Dia juga ingin menghindari Zayn dan tidak mau jika nanti terus bekerja di restoran itu akan semakin sering bertemu dengan mantan kekasihnya itu.

Nayra telah selesai mengemasi barang-barangnya. Dia lanjut memesan ojek online untuk menuju terminal. Wanita itu rela meninggalkan semuanya, pekerjaan, teman, juga mantan terkasihnya. Semua kenangan akan dia simpan dalam hatinya. Pergi menjauh adalah keputusan yang paling tepat baginya.

Saat ojek yang ditumpanginya sudah sampai depan terminal, Nayra lanjut berjalan untuk menyeberang. Tiba-tiba saja, dia mendengar suara teriakan yang lantang memanggil namanya. 

"Nayra, tunggu!" seru Zayn seraya melambaikan tangan begitu melihat Nayra. 

Mendengar suara tersebut, Nayra bahkan tak menoleh sama sekali. Dia konsentrasi melihat kiri dan kanan, memastikan tidak ada kendaraan yang lalu lalang.

Saat Zayn mendekat, dia langsung mencekal tangan Nayra. Mencegah wanita itu untuk pergi. "Nayra, tetaplah di sini. Jangan pergi!" 

"Lepasin, Zayn!"

“Ra, kamu mau ke mana. Please, aku mohon maafin aku,” ucap Zayn terus membujuk Nayra.

“Sudahlah. Biarkan aku pergi, nggak ada gunanya juga jika aku terus di sini.” Dengan perasaan sesak di dada, Nayra menahan air matanya agar tidak terjatuh.

 

Nayra mengibArkhan tangan Zayn. Dia langsung berjalan laju tanpa melihat lagi kiri kanan karena ingin segera menghindari Zayn.

"Rara, awas!" 

Tanpa Nayra sadari, mobil dari arah sebelah kanannya melaju dengan kecepatan kencang, ia bahkan tak sempat untuk menghindari mobil tersebut. Suara decit rem mobil terdengar di telinga setiap orang yang melewati jalanan tersebut. Namun naas, seberapa mobil itu berhenti, tetapi tetap saja kehilangan kendali dan langsung menabrak Nayra. Tas yang ditenteng Nayra terlempar, begitu juga dengan dirinya yang terpental beberapa meter dari mobil yang menabraknya.

Nayra tergeletak tak sadarkan diri, sedangkan Zayn yang melihat langsung kecelakaan itu, dengan cepat berlari ke arah Nayra. Darah mengalir begitu deras dari kepala wanita itu. Lelaki itu mendekap erat tubuh Nayra di pangkuannya. Air matanya menetes begitu saja. Tangannya mengelus lembut pipi wanita itu. “Rara, bangun Sayang!”

Selang beberapa saat, ambulans datang menjemput Nayra. Zayn ikut mendampinginya. Dia terus menggenggam erat tangan wanita itu.

“Ra, maafkan aku. Kalau saja aku tidak menemuimu tadi, mungkin kamu akan baik-baik saja. Semuanya memang salahku.” Zayn berkata lirih, sesekali mengusap lembut dahi Nayra.

Kini, Zayn tengah menunggu Nayra yang sedang ditangani di ruang IGD, sembari berusaha menghubungi ibu Nayra yang berada di kampung. Dia memberi kabar bahwa anaknya kecelakaan.

Tanggung Jawab

Tiga hari telah berlalu, Nayra telah melewati masa kritisnya. Fatimah tak sedetik pun meninggalkan anak satu-satunya itu. Begitu juga dengan Zayn yang selalu menjenguk Nayra saat dirinya pulang dari bekerja. Hubungan antara Fatimah dan Zayn cukup baik, wanita paruh baya itu hanya tahu jika Zayn adalah manajer di restorannya, bukan sebagai kekasih Nayra karena keduanya belum pernah mengenal satu sama lain.

“Nak, Alhamdulillah kamu sudah sadar.” Raut bahagia tergambar jelas di wajah wanita tersebut, penantian dengan penuh kekhawatiran membuatnya gelisah. Sebagai seorang ibu, dia juga ikut merasakan sakit jika anaknya terbaring lemah di atas brankar.

Nayra melihat sisi kanan, di mana ibunya yang pertama kali dilihat saat matannya terbuka. Raganya masih lemas, suaranya seolah berat untuk berbicara. Matanya melihat ke awang-awang, dia tahu ini bukanlah kamarnya. Rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuh begitu terasa nyeri.

“Bu, ini di mana?”

“Kamu di rumah sakit, Nak. Yang sabar, ya. Nanti pasti sembuh.”

Ingatan Nayra memutar, mengingat kejadian yang sudah mengakibatkan dia berada di rumah sakit tersebut. Tampak wajah pilu dan gurat kesedihan di matanya. Belum juga dia selesai memutar kembali ingatannya. Tiba-tiba ada seseorang yang mengejutkannya..

“Rara, syukurlah kamu sudah sadar. Apa yang kau rasakan?” Suara bariton dari sisi kiri brankar menarik perhatian Nayra, wanita itu lantas menoleh, mendapati Zayn berdiri di sana.

“Kamu, ngapain di sini? Pergi!” Nayra berusaha berucap keras, tetapi suaranya masih sangat lemah.

Fatimah yang melihatnya pun terkejut, selama tiga hari ini dia mengenal Zayn dengan baik. Dia juga yang selalu mengantarkan makanan untuk Fatimah. Juga bergantian menjaga Nayra jika malam. Akan tetapi, apa yang dilihatnya pada diri Nayra hanya sorot kebencian.

“Sayang, bukankah Nak Zayn baik? Dia yang selalu menjagamu, Sayang.”

“Bu, kepala Nayra sakit.”

“Ibu panggilkan dokter ya, Nak.” Nayra menggeleng.

“Nayra hanya ingin dia pergi, Bu. Tolong.”

Fatimah melihat ke arah Zayn, dia tidak tahu ada masalah apa sebenarnya di antara mereka. Meskipun penasaran, dia tidak ingin mencampuri urusan anaknya, terlebih mengingat kondisi Nayra yang sekarang ini sangat lemah. Membebani pikirannya sama saja akan menyakitinya juga.

Tanpa disuruh oleh Fatimah, Zayn akhirnya berpamitan dan keluar dari ruangan Nayra dengan wajah putus asa. Dia sadar akan kesalahan terbesarnya, pantas jika Nayra membencinya. Mungkin untuk saat ini dia harus bersabar untuk perlahan mendekati wanita itu lagi.

Saat Zayn membuka pintu, hampir saja dia bertabrakan dengan seorang lelaki tampan dengan setelan jas rapi, yang kebetulan hendak mengetuk pintu. Lelaki itu berniat masuk ke ruangan Nayra.

“Maaf,” ucap lelaki itu dengan sopan pada Zayn.

Zayn yang penasaran, dia lantas bertanya, “Apa Anda mau masuk ke dalam? Mau cari siapa?”

“Saya ingin bertemu Nona Nayra. Apa benar ini kamarnya?”

“Anda ini siapa kalau boleh tau?”

Zayn tidak bisa mencegah lelaki itu untuk tidak masuk ke dalam kamar, sedangkan dia tidak tahu siapa lelaki itu sebenarnya. Bukan haknya juga untuk melarangnya masuk. Pria itu lantas berpamitan pada Zayn dan segera masuk menemui Nayra dan ibunya.

Arkhana Mahesa—lelaki yang tidak sengaja menabrak Nayra—menyampaikan permintaan maafnya terhadap Nayra sebagai rasa tanggung jawab dan simpatinya.

“Permisi, boleh saya masuk?” izin Arkha dengan membawa buah di tangannya.

“Silakan, Tuan ini siapa?” tanya Fatimah penasaran, tetapi dia mempersilakan lelaki itu untuk masuk.

“Saya yang sudah membuat Nona Nayra seperti ini. Semuanya terjadi begitu mendadak karena waktu itu saya harus buru-buru hampir ketinggalan pesawat, hingga tidak memperhatikan jalan. Apakah ada luka yang serius, Nona? Kalau perlu saya akan membawamu berobat keluar negeri sebagai tanda maaf,” tutur lelaki tersebut.

“Tidak perlu repot-repot membawaku. Mau bagaimanapun keadaanku, aku tidak akan mau merepotkan orang lain. Terima kasih atas tawarannya. Lagi pula aku juga salah waktu itu nggak hati-hati.” Jawaban ketus Nayra membuat lelaki itu sedikit tercengang. Dia tidak menyangka tawaran dan bantuannya kali ini ditolak begitu saja, bahkan dia malah tertarik dengan wanita yang tengah terbaring tersebut.

Arkha tersenyum tipis dan berbicara dalam hatinya, “Menarik sekali gadis ini. Cantik.”

Parasnya yang ayu mampu menghipnotis Arkha, meski dalam keadaan pucat sekali pun, lelaki itu mampu melihat sisi cantik dari wanita tersebut. Apalagi dengan sikap cueknya yang seolah tak peduli dengan sekitar. Padahal, Nayra sebenarnya wanita yang ramah dan lemah lembut, hanya saja hatinya sedang tidak enak karena baru bertemu dengan Zayn. Ditambah, dia seperti mempunyai rasa kesal pada lelaki.

“Nayra, jaga sikap, Nak. Sepertinya dia yang sudah membayar semua tagihan rumah sakit kamu.” Fatimah menatap anaknya yang berpaling dari lelaki tersebut.

“Benar begitu, Tuan?” Fatimah lantas mengulas senyum ramahnya dan merasa sangat sungkan. Lelaki berpenampilan rapi dengan setelan jas menunjukkan bahwa dia orang berada, sehingga dia tidak enak hati.

“Benar, Bu. Sejak kemarin saya meminta tolong asisten saya untuk mengontrol keadaan Nona Nayra, sekaligus melunasi semua tagihannya. Maaf jika saya baru saja muncul, sebab kemarin berada di Singapura.”

“Terima kasih banyak, Tuan.”

“Ah saya lupa memperkenalkan diri, nama saya Arkha, Arkhana Mahesa. Panggil saja Arkha, tidak perlu pakai Tuan.” Arkha terkekeh.

Sementara itu, Zayn sejak tadi menguping pembicaraan lelaki tersebut dari pintu luar. Rasa kekhawatiran mulai menyelimutinya, dia takut pria itu akan mendekati Nayra. Bagaimanapun juga, Zayn merasa Nayra akan sangat mudah menerima orang asing dalam hidupnya karena kelembutan hatinya.

Zayn lantas membatin, “Raĺ, sampai kapan kamu akan terus membenciku. Aku yakin perasaanmu tidak akan mati secepat itu terhadapku. Tapi, aku mohon jangan biarkan lelaki mana pun masuk ke kehidupan kamu. Sungguh aku tak akan rela.”

Nayra merasa jengah dengan kehadiran lelaki asing tersebut, terlebih lagi, dia menilai bahwa Arkha adalah orang yang sombong dan hobi pamer kekayaannya. Meskipun Arkha tak bermaksud demikian, Nayra tetap saja malas meladeninya.

Nayra memalingkan wajahnya dan hendak bergeser, memiringkan tubuhnya ke arah sang ibu. Namun, mendadak dia merasakan nyeri yang luar biasa di bagian kakinya.

“Argh! Auw sakit, Bu ... kaki Nayra kenapa rasanya ....” Nayra mengerutkan dahinya dan membungkam mulutnya. Air mata menetes begitu saja dari pipinya.

Perlahan, Nayra menyingkap selimut yang menutupi setengah badan. Betapa terkejutnya dia mendapati kakinya yang tengah di gips di bagian paha hingga betis.

“Bu ... kaki Nayra kenapa?” tangannya berusaha menyentuh kaki.

“Sayang, tenang dulu ya. Nanti pasti sembuh.”

Melihat hal tersebut, Arkha merasa iba dan semakin merasa bersalah meskipun kecelakaan tersebut bukan sepenuhnya kesalahan dirinya.

“Ibu, kaki Nayra bisa sembuh nggak? Apa Nayra cacat? Apa Nayra akan lumpuh? Nayra nggak bisa jalan?” Wanita itu meledakkan tangisnya hingga terisak. Dia sesekali mengusap air matanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!