"Kakak, hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah sebagai siswi kelas 3 sekolah menengah pertama. Apa kakak tidak mau mengantarku?"
Ucapan itu keluar dari bibir gadis berusia 15 tahun bernama Xia. Lahir di keluarga menengah atas dan juga sangat disegani banyak orang.
"Ada baiknya jika kau tidak kembali ke sini. Amerika adalah tempat yang cocok untukmu." suara seorang pria itu adalah kakak dari Xia.
Kakaknya Xia memang sikapnya seperti itu. Selalu tidak pernah menganggap Xia ada didekatnya. Hubungan keduanya juga tidak akrab, sudah sangat jelas ketika sang kakak menjawab permintaan dan adiknya.
"Kumohon, sekali ini saja kakak mengantarku. Aku janji, aku akan patuh padamu, kak," janji Xia.
Tanpa menghiraukan Xia, kakaknya pergi begitu saja setelah sarapan. Antara Xia dan kakaknya memiliki marga yang berbeda, semua itu karena mereka bukanlah saudara kandung. Xia ini adalah anak dari ibu tiri Chen, kakak dari Xia, yang mana darahnya tidak mengalir dari ayahnya Chen. Melainkan, ibunya Xia berselingkuh dengan adik dari ayahnya Chen. Itu mengapa Chen tidak pernah menganggap Xia sebagai adiknya.
Raut wajah remaja ini terlihat murung. Sudah menjadi makanan sehari-hari baginya soal kakaknya yang cuek kepadanya. Meski begitu, Xia tidak pernah menyerah dan terus berusaha supaya bisa mendapatkan kasih dari kakaknya.
Kehidupan Xia sangat baik. Kebutuhannya selalu terpenuhi, tidak pernah merasa kekurangan kecuali kasih sayang dari keluarga. Sang ibu, meninggal ketika dirinya berusia 7 tahun. Lalu ayah kandungnya juga meninggal karena berdebat dengan ayah tirinya. Keduanya saling membunuh dan akhirnya antara Xia, Chen, sudah tidak tinggal bersama dengan orang tua lagi.
***
"Xia!"
Di sekolah, Xia sangat dicintai banyak orang. Tidak terlihat salah satu dari mereka yang membencinya. Itu karena mereka tahu, siapa keluarga Xia ini.
"Xia, aku memanggilmu," kata seorang remaja perempuan menepuk bahu Xia.
Napas yang terengah-engah itu membuat Xia sedikit melangkah mundur. Wei Mian adalah nama dari remaja perempuan itu. "Eh, maafkan aku," ucapnya lirih.
"Ada apa kau memanggilku?" tanya Xia dengan raut wajahnya yang masih murung.
"Apa ka—eh? Ada apa dengan wajahmu itu? Kenapa kau nampak tidak senang kita masuk sekolah kembali?" belum sempat Wei Mian mengatakan apa yang hendak ia katakan kepada Xia, malah ia salah fokus dengan mimik wajah temannya itu.
Tanpa menjawab, Xia menepis tangan Wei Mian dan segera masuk ke kelasnya. We Mian yang penasaran itu terus saja mendesak Xia supaya mau bicara. Namun, tetap saja Xia memilih untuk bungkam.
Sekolah adalah hal yang sangat Xia benci. Gadis yang ceria ini membenci pelajaran, tapi sangat suka bertemu dengan teman-temannya di sekolah. Hal itu mampu membuatnya melupakan sejenak tentang ketegangan di rumah ketika bersama sang kakak.
Pertemuannya dengan seorang pria yang akan mengubah hidupnya dimulai dari undangan pernikahan klien Chen, kakak tirinya Xia. Malam itu ketika makan malam bersama, untuk pertama kalinya juga sang kakak mengajak Xia berbicara panjang.
"Akan ada pernikahan. Aku ingin kau hadir bersamaku karena keluarga dari orang tua kandungku juga ada di sana," titah Chen, masih dengan nada cueknya.
"Jangan banyak bertanya, gaun akan tiba besok pagi. Besok malam acara itu dilaksanakan. Ingat, jangan berperilaku seenaknya saja seperti apa yang kau lakukan dalam keseharianmu," lanjut Chen.
"Keluarga kandungku ini, memiliki latar berbeda dengan kita. Bukan hanya latar belakangnya saja yang berbeda, bahkan budaya dan segala tentang kehidupannya berbeda. Jadi, jangan membuat ulah. Apa kau mengerti?" tegas Chen, tanpa menatap Xia.
Alih-alih menjawab dengan girang, Xia malah menganga lebar sekali. Ia masih tidak menyangka jika kakaknya mengajaknya bicara selama itu.
"Xia, apa kau mendengarkan aku? Kau tidak tuli 'kan?" pertanyaan Chen memecah lamunan Xia.
"I-iya, aku mengerti, kak," jawab Xia, suaranya bergetar.
Chen kembali menyantap makan malamnya. Xia sendiri terlihat senang karena kakaknya mau bicara dengannya dan mengajaknya ke acara penting bersama. Remaja ini semangat makan dan segera ingin tidur supaya lekas bertemu dengan siang hari.
***
Di kamar, Xia masih berpikir keras tentang siapa keluarga kandung dari kakak tirinya itu. Ia juga baru tahu jika kakaknya bukan anak kandung dari keluarga Wang.
"Jika kakak bukan anak kandung dari Ayah, lalu mengapa dia sampai di sini? Apakah kakak di adopsi? Tapi bagaimana mungkin ... Sean mengatakan kalau keluarga kandung kakak adalah seorang muslim, tapi bagaimana bisa diadopsi oleh keluarga yang ...."
"Uh, aku tidak peduli semua itu. Yang pasti, kakak mau mengajakku ke acara penting, apalagi ke acara pernikahan keluarga kandungnya. Itu tandanya, kakak pasti sudah mengakui aku sebagai adik,"
"Benar, kakak sudah mengakui aku sebagai adiknya. Aku tidak boleh mengacaukan segalanya, atau kakak akan marah kepadaku dan mengirim diriku ke Amerika lagi,"
Malam itu, Xia berusaha untuk tidur supaya malam segera berganti hari. Sayangnya, sudah dua jam lebih Xia hanya membolak-balikan tubuhnya saja. Saking bahagianya, Xia sampai tidak bisa tidur.
"Astaga ... kenapa aku tidak bisa tidur!" kesalnya.
"Ayolah mata, aku harus tidur. Jika kau tidak tidur, aku bisa mencolok sampai kau keluar dari ... eh, bisa buta aku,"
"Tidak, tidak, tidak, aku harus tidur, aku harus tidur,"
Xia menyelimuti seluruh tubuhnya sampai ke muka menggunakan selimutnya. Tapi setelah menit ke lima, remaja ini kembali membuka selimutnya dengan napas tersengal-sengal. "Aku bisa mati, aku tidak bisa bernapas!"
"Bagaimana caraku supaya bisa tidur?"
"Oh, aku ingat. Movie spongebob dimana dia tidak bisa tidur, yakni minum susu hangat. Oke, kita ke dapur!"
Kamar Xia dan kakaknya bersebelahan. Melihat pintu kamar kakaknya saja, Xia bisa bahagia kegirangan mengingat besok dirinya hendak diajak ke acara penting. Ketika turun hendak ke dapur, harus melewati ruang kerja Chen dulu. Xia melihat jika ruangan itu pintunya terbuka dan lampunya masih menyala.
"Apa kakak belum tidur? Huft, kasihan sekali dia harus bekerja lembur," gumam Xia.
Tak sengaja Xia mendengar percakapan antara kakaknya dengan asistennya.
"Tuan, apakah anda yakin akan mengajak Nona Xia ke acara keluarga kandung anda?" tanya Sean.
"Aku harus mengajaknya. Meski sebenarnya aku tidak yakin," jawab Chen.
"Apa yang membuat anda harus mengajaknya?" tanya Sean lagi.
Chen terdiam. Tidak ada yang tahu mengapa dirinya mengajak Xia ke acara penting itu. Tapi Chen hanya mengatakan jika Sean tidak perlu mengkhawatirkannya.
"Aku percaya kepada Xia, dia pasti bisa menjaga kepercayaan yang aku berikan. Kau siapkan saja semuanya besok untuk dia," kata Chen dengan tegas.
"Baik, Tuan."
Xia mendengar itu dan dia merasa terharu karena kakaknya memberikan kepercayaan kepadanya. Ia pun bergumam dalam hatinya, jika dia pasti bisa menjaga kepercayaan kakaknya.
Ketika keluar dari dapur, Xia bertemu dengan kakaknya. Tatapan dingin kakaknya itu rupanya memang sudah bawaan dari dulu. Xia yakin jika kakaknya memang sikapnya sudah seperti itu.
"Kakak, kenapa kakak ke dapur? Apa kakak mau makan, minum? Atau butuh apa, katakan saja padaku. Aku akan menyiapkan untukmu," Xia begitu antusias.
"Tidak," jawab Chen.
"Aku akan membuatkan minum jika kakak mau," kembali Xia menawarkan diri.
Chen sama sekali tidak menanggapi, malah dia mengambil gelas dan menuangkan air sendiri. Sudah terbiasa bagi Xia tidak dianggap seperti itu. Tapi rasa bahagianya karena besok malam akan diajak menghadiri pesta, Xia tetap tersenyum ketika kakaknya sudah berlalu.
***
Pagi yang cerah, membuat suasana sarapan semakin hangat. Apalagi saat itu Sean membuat sarapan pagi kesukaannya Xia. Remaja itu terlihat begitu semangat ketika menyantap sarapannya.
"Sean, memang pie susu buatan kamu ini sangat lezat. Bisakah aku mendapatkan setiap hari?" tanya Xia.
"Nona Xia, a—" ucapan Sean tersela.
"Kau akan mendapatkan pie susu itu setiap hari jika panggilanku kepada Sean diubah. Panggil dia kakak, atau pie susu itu akan menjadi pie susu dari Sean yang kau makan," tegas Chen.
"Tapi, kak ... Kakakku hanya kau saja. Sean itu kan ...." sebelum Xia melanjutkan ucapannya, dia melihat Chen dengan tatapan menusuk. "Baiklah, mulai saat ini aku akan memanggilnya dengan sebutan kakak," Xia patuh.
Sean adalah anak adopsi Tuan Wang, ayah angkat Chen. Keduanya dibesarkan dalam kasih sayang Tuan Wang, nama yang mereka miliki juga sama-sama bermarga Wang. Namun, karena jiwa pemimpin Chen sudah terbentuk ketika kecil, maka Tuan Wang memberikan semua warisannya kepadanya.
Meski begitu, Sean tidak pernah iri hati. Sean memang tidak tertarik dengan bisnis keluarga sebelumnya. Akan tetapi, setelah kematian Tuan Wang, barulah Sean berusaha membantu Chen mengembangkan perusahaan keluarga dan saat ini keduanya sudah membangun perusahaannya masing-masing. Hanya saja, Sean masih nyaman bersama Chen sebagai asistennya.
"Tuan ...." lagi-lagi ucapan Sean tersela.
"Kau juga, Sean!" seru Chen. "Huft, kita saat ini berada di rumah, tidak bisakah kau memanggilku dengan sebutan nama saja? Usia kita hanya terpaut 3 bulan dan kau saja lebih tua dariku," lanjutnya.
"Sudah berapa kali aku katakan, Tuan. Aku dan kamu itu berbeda, kau adalah anak angkat yang memang sudah resmi menjadi anaknya ayah. Sedangkan aku? Aku hanya anak angkat secara lisan saja karena aku juga masih memiliki orang tua. Jadi—"
Chen kembali memotong perkataan Sean. "Aku selesai, aku akan menunggumu di mobil, Sean." katanya, merapikan pakaiannya, lalu pergi.
Xia menatap Sean dengan tatapan sedih. Xia berpikir, Sean, jauh lebih terhormat statusnya di keluarga Wang dibandingkan dirinya. Lahir dengan status anak buangan keluarga Wang, karena hasil perselingkuhan membuatnya selalu tidak dianggap oleh keluarga sebelumnya.
Berkat Chen, Xia tumbuh dengan baik selama 15 tahun meski dirinya harus dikirim jauh ke Amerika untuk menjalani hidupnya. Chen masih memiliki rasa kemanusiaan dengan mempertahankan hidup Xia saat remaja itu lahir. Ketika Xia lahir, saat itu Chen berusia 13 tahun.
Di Usianya yang menginjak 12 tahun, Chen sudah dibekali ilmu pengetahuan tentang bisnis keluarga, sehingga dirinya bisa tumbuh menjadi pengusaha muda berusia 27 tahun yang hebat. Meski masih memerlukan bimbingan dari asisten pribadi ayahnya yang masih bertahan di perusahaan Wang.
"Seharusnya kamu jauh lebih bersyukur karena kamu diangkat resmi menjadi anaknya ayah. Apalagi sampai diumumkan, jadi semua orang tahu kau adalah anak kedua dari keluarga ini. Sedangkan aku?" suara Xia yang lirih itu masih terdengar di telinga Sean.
"Aku lahir dari hasil perselingkuhan ibu dengan paman, adik kandung ayah. Kelahiranku tidak pernah diumumkan oleh ayah. Tapi berkat kakak, meski aku tidak bisa tinggal bersamanya, aku bisa tumbuh baik sampai saat ini," lanjut Xia.
"Aku pernah mendengar kak Chen mengatakan ini. Kau hadir memang 15 tahun yang lalu dimana kedudukan anak pertama sudah ada kak Chen meski usiamu 3 bulan lebih tua. Tapi, dengan baiknya ayah mengumumkan dirimu menjadi anak kedua dan kakak menerimamu sebagai bagian keluarga. Kamu harus bersyukur akan itu ... kak Sean,"
Setelah memanggil nama Sean dengan sebutan kakak juga, Xia melahap suapan pie susu terakhirnya. Lalu membawa tasnya dan siap berangkat ke sekolah. Sedangkan Sean masih duduk diam di meja makan, beberapa menit kemudian, barulah ia beranjak, menyusul Chen yang sudah menunggunya di mobil.
Ketika Xia melewati samping mobil kakaknya, ia pun dipanggil oleh sang kakak. "Hei," panggilnya.
Langkah Xia terhenti. "Iya,"
Kemudian, Xia pun menghampiri kakaknya dengan perasaan heran. "Tadi, kakak memanggilku?" tanyanya memastikan.
"Iya," jawab Chen, masih memalingkan pandangannya.
"Um ... ada apa kakak memanggil?" tanya Xia lagi.
"Masuk ke mobil, aku akan mengantarmu ke sekolah," perintah Chen, menawarkan dengan sikapnya yang masih dingin.
Deg!
Jantung Xia langsung berdebar. Bukan perasaan jatuh cinta, melainkan ia terkejut dan terharu kakaknya menawarkan diri untuk mengantarnya. Selama hidupnya, Xia tidak pernah berada satu mobil dengan kakaknya, membuat remaja ini bingung hendak mengapresiasi langkahnya.
"Ck, sudah sejak kapan kamu bermasalah dengan pendengaran?" tanya Chen, ketus.
"Ti-tidak, kak ..."
"Masuk!" titah Chen, tegas.
Tanpa menunggu lama lagi, Xia langsung masuk ke mobil dan duduk di samping Chen, di kursi belakang. Senangnya hati Xia bisa duduk di samping kakaknya saat itu.
Blam~
Suara mobil juga tertutup setelah Sean masuk.
"Tuan ki—Nona Xia kau ...."
"Kakak yang memintaku duduk di sini," jelas Xia, ketika tatapan Sean terlihat terkejut.
"Hari ini ada meeting penting. Nanti kau mewakili aku menghadiri meeting itu. Hari ini aku ingin ke sekolahannya untuk meminta izin kepada wali kelasnya," terang Chen.
Mendengar itu, Xia langsung menatap kakaknya. Ia tidak tahu mengapa Chen ingin meminta izin untuknya. Padahal yang ia tahu, acara pernikahan keluarga kandungnya diadakan malam hari.
"Kak, tapi—" ucapan Xia terhenti saat tangan Chen diangkat.
Drrtt ...
Drrttt ....
Chen hendak menerima telepon.
"Iya, Tuan. Saya ingin mengucapkan permohonan maaf saya karena hari ini tidak bisa hadir dalam meeting tersebut. Tapi anda tidak perlu khawatir, adik saya akan mewakili saya hadir. Serahkan semuanya kepadanya, saya percaya dengan adik saya," kata Chen, tanpa menatap Sean. Tapi yakin semua itu ditunjukkan kepada Sean.
"Mengapa anda masih bertanya siapa adik saya? Apa masih kurang jelas dengan pengumuman ayah saya 15 tahun silam? Adik kedua saya adalah Sean, Sean Wang!"
Chen merasa kesal dan menutup teleponnya dengan kasar. "Menyebalkan sekali, kenapa dia terus bertanya? Dasar orang tua!" umpatnya.
"Kalian berdua juga kenapa menatapku? Apa kalian mau kehilangan satu mata kalian, hah! Sean, cepat antar kita ke sekolah!"
Begitulah jika Chen sedang kesal. Bahkan Xia pun sudah terbiasa dengan sikap kakaknya tersebut. Xia tidak mengerti mengapa kakaknya berbuat baik kepadanya. Padahal perlakuan kakaknya selama dirinya hidup, tidak pernah terbilang hangat. Selalu acuh, dan dingin kepadanya.
Sesampainya di sekolahan, Sean hendak turun membukakan pintu untuk Chen. Namun Chen menolaknya. "Kakak, apa perlu aku yang membukakan pintu untukmu?" tanya Xia, menawarkan diri.
"Apa dimata kalian aku ini adalah orang yang cacat?" dengus Chen.
Xia dan Sean menggelengkan kepala bersamaan.
"Aku masih memiliki tangan dan kaki lengkap. Untuk apa aku memerlukan tangan kalian membuka pintu mobil," Chen bergeming, sambil membuka pintu mobilnya.
Semua orang tahu siapa Chen ini. Bukan hanya dikalangan orang dewasa saja, bahkan remaja pun mengerti siapa Chen ini. Pengusaha muda berbakat yang masih berusia 27 tahun. Itu semua juga karena dirinya yang sejak kecil sudah terlatih dalam masalah bisnis.
"Apa itu Tuan Chen? Ternyata jika dari dekat, terlihat tampan sekali. Wajahnya yang seperti orang barat dengan perbatuan rambut hitam lebat membuatnya terlihat menawan," celetuk salah satu siswi murid SMP itu.
"Ternyata memang benar. Xia adalah adiknya Tuan Chen dan Tuan Sean, dua bersaudara pembisnis yang hebat,"
"Kupikir dia hanya mengada-ada saja. Siapa yang bisa percaya jika marganya saja tidak sama,"
"Benar, dia Muan, tapi kedua kakaknya Wang. Siapa yang percaya,"
Dari ucapan para remaja itu, membuat Xia murung. Dan memang dihormati karena besar di keluarga Wang. Namun, nama belakangnya yang berbeda dengan Chen, selalu saja orang meremehkannya. Tidak jarang jika Xia juga sering mengalami pembullyan meski itu hanya dalam ucapan saja.
Xia menunduk, dia merasa tidak sepadan berdiri di sisi kedua kakaknya. Apalagi sampai membuat semua orang membicarakan kakaknya, Xia tidak menyukai hal itu.
"Kak ..."
"Hm, alangkah lebih baik jika kakak tidak perlu mengantarku sampai ke ruang guru untuk izin. Katakan saja apa alasan kakak memintaku izin, nanti aku akan katakan itu kepada wali kelasku," kata Xia lirih.
Namun, Chen tidak memperhatikan apa yang dikatakan oleh Xia dan terus berjalan masuk ke ruang guru. Meski keduanya tidak memiliki hubungan darah, tetap saja ada kemiripan di antara mereka karena tinggal dan di asuh oleh orang tua yang sama.
Langkah kaki Chen terhenti di depan ruang guru. Melihat ada plakat 'ruang guru' di sana, dia masuk dengan menggandeng tangan Xia. Genggaman tangan Chen membuat remaja itu terkejut, itu kali pertama kakaknya mau menggandeng dirinya.
"Dimana dan siapa nama wali kelasku?" bisik Chen.
"Kak, tapi—"
"... Kita sebaiknya menunggu saja di sini. Aku akan mencari Guru Zhang dulu," gugup, Xia mengatakan itu sambil melepaskan genggaman tangan kakaknya.
Kakak Xia ini orang yang tidak sabaran jika sudah bicara masalah Xia. Antara memang peduli atau tidak, tapi Chen selalu memperhatikan Xia, meski remaja ini tidak tahu.
"Xia, kenapa kamu kemari?" sebelum di cari, Guru Zhang malah sudah datang menyapa Xia lebih dulu.
"Guru Zhang, kakakku datang kemari, dia ingin bertemu dengan anda," jawab Xia.
Guru Zhang yang selalu menjadi tempat cerita Xia ikut terkejut dengan kehadiran Chen. Selama Xia sekolah di asrama sekolah itu, Chen belum pernah datang sama sekali meski Xia sudah kembali lagi ke sekolah tersebut dari Amerika.
"Oh, Tuan muda Wang. Silakan, silakan duduk di sana," Guru Zhang mempersilahkan Chen dengan rasa hormat tinggi.
Semua guru di sana juga menyambut kedatangan Chen, padahal sebelumnya mereka diam saja ketika Xia dan kakaknya datang. Mereka hanya belum paham saja dengan Chen karena memang pria ini tidak pernah datang ke sekolah.
Guru Zhang bicara kepada Chen dengan keringat yang mengucur dari pori-porinya. Tidak rahasia lagi tentang latar belakang keluarga Xia yang menjadi golongan hitam, mafia dan juga pebisnis hebat sejak zaman leluhur dulu.
"Tidak perlu basa-basi lagi. Saya ingin meminta izin untuk Xia selama dua minggu kedepan. Dia akan saya bawa ke luar negeri karena acara keluarga yang sangat penting," kata Chen dengan aura pembunuh.
Guru Zhang menatap Xia.
"Kenapa anda malah melihat Xia? Saya yang bicara di sini, apa anda tidak mendengar saya?" suara tegas Chen membuat guru Zhang gugup.
Suara guru Zhang terbata-bata ketika menjawab pertanyaan dari Chen. Padahal pria berusia 27 tahun itu hanya bertanya saja mengapa dirinya menatap adiknya.
"Tapi, Xia baru masuk kembali setelah dia pindah dari Amerika. Apakah tidak sayang selama 2 tahun itu dia harus ketinggalan pelajaran lagi?" guru Zhang, mengontrol emosi kegugupannya.
Tatapan tajam Chen membuat guru Zhang semakin menciut. Tanpa Chen berkata apapun lagi, guru Zhang mengizinkan Xia libur selama dua minggu kedepannya.
"Baiklah, surat izin juga sudah keluar saya harus pamit. Xia, kamu sekolah dulu, aku akan pergi ke suatu tempat," ucap Chen.
"Baik, kak."
Xia diantar kakaknya sampai ke depan pintu kelasnya. Sehingga membuat remaja ini menjadi pusat perhatian dan juga menjadi pembicaraan hangat di sekolah.
"Pulang nanti aku akan menjemputmu lagi. Jangan sampai membuatku menunggu, ketika keluar, langsung menemuiku di parkiran," titah Chen.
"Iya, kak," jawab Xia.
"Apa-apaan ini? Sepertinya hubungan persaudaraan mereka tidak sedekat itu," celetuk salah satu siswi di sana.
"Benar. Jika mereka ini adalah persaudaraan, tidak mungkin bahasa yang mereka gunakan sekaku itu. Lalu terlihat begitu formal ketika mereka bicara,"
Xia merasa panik ketika semua temannya membicarakan hubungannya dengan kakaknya. Ia sangat takut kakaknya akan berbuat nekat kepada teman-teman kelasnya.
"Kak, karena ini sudah mau jam pelajaran, sebaiknya Kakak pulang saja dulu. Nanti kembali lagi sekitar jam tiga sore, aku keluar di jam itu," pinta Xia dengan lembut.
Tidak ingin terlihat begitu jauh persaudaraan mereka, Chen menurunkan egonya dengan mengusap kepala Xia. "Baiklah, aku akan pergi dulu. Semangat belajarnya." ucapnya dengan senyum tipis yang belum pernah dia lihat selama hidupnya.
"Iya!" seru Xia gembira. Bahkan dia menunjukkan betapa bahagianya di depan kakaknya.
Perlakuan Chen kepada Xia menepis semua celaan orang kepada mereka. Di sisi lain, mungkin memang Chen sangat menyayangi Xia, hanya saja gengsi membuat kasih sayang itu tidak terlihat.
Setelah Chen pergi, Xia berjalan ke tempat duduknya dengan wajah sumringahnya. Datanglah Wei Mian, sahabat Xia sejak kecil.
"Wah, pemandangan apa ini, Xia? Kau memang hebat sekali!" seru Wei Mian.
"Sudah kukatakan, aku ini memang adik dari Chen Yuan Wang. Kalian saja yang tidak pernah percaya kepadaku," dengan bangga, Xia mengakui sang kakak.
"Tapi, Xia. Aku tidak percaya jika kau adalah adik kandungnya. Bukankah keluarga Wang itu sangat suka sekali mengadopsi anak? Bagaimana jika kau adalah anak adopsi?" salah satu teman sekolah Xia yang tidak menyukai Xia, sedang menjadi kompor.
BRUAK!
Xia kesal dengan tuduhan Ai Lie, nama dari teman kelas Xia yang tidak menyukai dirinya. Tatapan tajam Xia, sama sekali tidak membuat Ai Li takut. Kedudukan keluarga mereka memang sepadan. Jadi, Ai Li merasa jika Xia bukanlah tandingan bahunya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!