Siang yang terik, matahari mengeluarkan suhu yang amat terik dari hari biasanya dengan percaya diri. Tidak peduli manusia-manusia yang sedang terkena sinarnya melontarkan keluhan dan umpatan untuk dirinya. Namun dirinya tetap menyinari dunia dengan cahayanya sendiri, tanpa memikirkan ocehan para manusia.
Kala itu, masih jam sekolah berlangsung. Seorang gadis yang sedang membawa buku novel sedang duduk di bangku bawah pohon ketepeng ditemani dengan beberapa bungkus camilan dan segelas es plastik cup tembus pandang.
Gadis itu duduk sendiri, matanya bergerak mengikuti kalimat yang membentuk paragraf dalam buku yang ia pegang.
Tet...tet...tet...
Hingga bunyi bel yang sangat ia benci itu akhirnya menyuarakan suaranya, gadis itu dengan berat hati beranjak dari bangku kayu itu.
"Ck!" Dia berdecit kesal.
---
Matahari yang sempat bersinar terik itu kini tak lagi menyengat kulit. Karenanya, seisi kelas bersorak kegirangan. Sebab, sekarang sudah jamnya untuk berdiam diri dirumah. Tak ketinggalan dengan gadis bangku pohon ketepeng itu. Dia dengan gembira menyambut bunyi bel pulang dan menampilkan gigi yang berbaris-baris.
"Aira, nanti jadi kerja kelompok kan?" tanya salah satu temannya, menepuk bahu gadis itu.
"Jadi dong, habis maghrib kan?" ucap gadis itu.
"Dirumah si Thanos ya" kata temannya lagi.
"Siap!"
Dengan kendaraan roda dua yang dimilikinya, gadis itu pulang kerumah dengan riang. Gadis itu menikmati perjalanan ditemani musik yang mengalun melalui earphone yang dikenakannya, dan mengayuh sepedanya santai.
"Woaaahhhhh.... sunsetnya bagus nih!" gumamnya, menghentikan kayuhannya.
Cekrek!
Gadis itu memotret suasana langit yang mulai sore.
Sesampainya pada suatu gang yang bisa dibilang sempit, gadis itu mulai memelankan laju sepedanya. Dia terheran, mengapa ada banyak sekali orang yang berkumpul dirumahnya.
Orang-orang yang sedang mengerumuni rumahnya itu menyadari akan kehadiran gadis pemilik rumah.
"Nduk, yang sabar ya. Ibumu sudah nggak ada, ibumu meninggal" kata seorang ibu paruh baya, tetangga gadis itu.
Gadis itu tidak bisa berkata-kata. Tubuhnya seketika lemas, gemetar, wajahnya pucat, keringat dingin bercucuran, matanya pun mulai berkaca-kaca.
"Ibu?! Bu?!! Ibu!!!!" buru-buru ia masuk kedalam rumah menghampiri ibunya.
Benar saja, seseorang sedang terbaring tak bernyawa diatas kursi kayu yang panjang dan tertutupi kain. Sanak saudaranya yang disampingnya pun tak kuasa membendung tangisan.
"Budhe, itu bukan ibu kan? Itu bukan ibu kan? Ini bohong kan?" Gadis itu mulai meneteskan air mata didepan budhenya.
"Aira, yang sabar ya nduk. Ibumu sudah nggak ada" budhe gadis itu, Aira namanya mengelus bahu Aira lembut.
Aira menangis sejadi-jadinya didepan jasad sang ibu. Bagaimana tidak, Aira selama ini hanya tinggal bersama ibu yang ia kasihi semasa hidupnya. Sementara ayahnya tidak tahu dimana keberadaannya usai bercerai dengan ibunya selama kurang lebih 8 tahun. Kini, Aira sedang diselimuti awan hitam. Aira menangis tersedu-sedu tidak mempedulikan para tetangga yang datang takziah.
"Ibuuuuuuu!!!! Kenapa ibu tinggalin aku bu!! Bangun bu!!!! Bangun!! Ibu nggak inget janji ibu? Ibu bilang sama Aira kalau kita berusaha bareng untuk membuktikan kita kuat bu!! Tapi kenapa ibu yang pergi? Ibu lemah!!! Huaaaaaaaa" Aira menggoyangkan jasad ibunya dengan tangisan yang terus berderai.
Hari ini, hari yang amat sangat berat untuk Aira. Arumi, ibunya pergi meninggalkan anak gadis semata wayangnya dengan penuh kenangan baik.
Arumi menderita penyakit kompilasi selama 3 tahun terakhir. Aira, sebagai anaknya tidak mengetahui akan kondisinya yang sakit sehingga Aira sangat terkejut mendengar kabar yang buruk ini.
Malamnya, Aira pergi ke atap rumahnya yang menjadi tempat terfavorit untuk memanjakan diri. Memandangi pemandangan kota malam, angin yang sepoi-sepoi, bulan yang penuh terlihat jelas, serta bintang-bintang gemerlapan.
Aira hanya duduk dibangku kayu yang menghadap jalanan kota, ditemani dengan secangkir kopi buatannya sendiri.
Slurrrrrpppp...
Aira menenggak kopi yang masih hangat.
"Padahal tadi pagi ibu masih membuatkan aku sarapan" Aira menggerutu, bibirnya cemberut.
Sementara itu, Aira yang masih berkabung terus terusan mendapat ucapan berduka dari teman-temannya melalui pesan singkat. Aira yang dibuat kesal karena getaran dari ponselnya itu menggerutu kembali.
"Ck! Emang jaman sekarang takziah gampang. Lewat handphone aja udah, beres. Nanti lama-lama uang takziah di transfer di atm!" gerutunya.
"Hari ini adalah hari yang paling aku benci. Tapi aku harus terus mengingat hari ini, setidaknya untuk mengenang kematian ibuku. Dengan siapa lagi kini aku menumpahkan segala isi hatiku jika ibu tidak ada disampingku. Sementara, hanya ibu yang bisa mengerti keluh kesahku. Bahkan aku tidak diberi kesempatan untuk mendengar ucapan 'Sampai jumpa' dari bibir manis ibu. Ibu hanya terus mengatakan 'Jaga dirimu baik-baik', 'Kamu harus bisa jaga diri', 'Yang pinter sekolahnya', dan hal-hal lain yang berkaitan dengan keselamatanku. Bu, apakah ibu pernah berpikir setidaknya satu kali untuk kebahagiaan ibu sendiri? Atau karena aku ibu tidak bisa menikmati kebahagiaan ibu? Lalu kenapa ibu yang pergi? Kenapa bukan aku saja yang disuruh pergi? Tapi bu, bagaimana pun aku mencintaimu, sungguh"
Aira, 14 Oktober 2019
Hari pertama tanpa ibu.
nduk \= nak (dalam bahasa jawa)
Usai menutup buku catatan kecil miliknya, Aira beranjak untuk kembali ke kamarnya dan beristirahat mengingat besok masih harus ke sekolah.
Begitu gadis berambut cepol itu menginjakkan lantai ruang tamu, ia terheran dengan seorang pria yang berpostur tinggi besar dan budhenya sudah masuk dirumahnya tanpa permisi. Aira membelalakkan matanya melihat pria itu.
"Ayah?" ujarnya lirih.
"Aira" panggil pria paruh baya itu.
Aira mempersilahkan ayahnya dengan hati yang masih kacau balau.
"Aira, tujuan ayah kesini adalah mengajak kamu untuk tinggal bersama ayah" jelas Bernan, ayah Aira.
Aira semakin membulatkan matanya mendengar ucapan ayahnya. Lantas, Aira menatap Yulia, selaku kakak dari ibunya dan kebingungan harus menjawab dengan apa. Yulia yang mengerti isyarat dari Aira itu menganggukkan kepalanya pelan tanda mengiyakan.
"Huffhhhh....." Aira menghela nafas.
"Tapi yah, aku nggak bisa nyaman sama yang lain" kata Aira.
"Yang lain itu siapa? Ayah tinggal sendirian" kata Bernan.
"Sendiri? Emangnya kemana perempuan itu?" Aira sedikit membumbui perkataannya dengan sindiran.
Bernan hanya menundukkan kepalanya menatap lantai berdebu.
"Airaaa" bujuk Yulia, mengusap lutut Aira.
"Huhhh.... Emangnya nanti aku mau tinggal dimana? Aku nggak mau kalau harus pindah ke luar kota. Aku udah nyaman disini. Aku juga udah tinggal disini sama ibu bertahun-tahun. Banyak kenanganku sama ibu disini" Aira menahan tangis.
"Raaaa, kalau begini terus kamu jadi nggak bisa melupakan kesedihan kamu. Kamu nggak bisa begini terus kan?" kata Bernan.
"Nggak mau! Aku maunya tetep disini. Seenggaknya aku bisa tinggal sama kenangan ibu!" Aira beranjak dari sofa ruang tamu dan pergi ke kamar dengan kaki yang dihentak-hentakkan.
"Airaaaa" Yulia berusaha membujuk Aira yang sedang dirundung pilu.
"Udah, nggakpapaa. Mungkin dia masih pikir-pikir dulu" kata Bernan.
Sebelum pergi, Bernan berjalan menghampiri kamar Aira.
"Ra, kalau kamu udah berubah pikiran, hubungi ayah aja ya. Ayah juga nggak maksa kok. Nomor ayah tetep yang dulu. Ayah tahu kamu masih nyimpan nomor ayah walau kamu memblokir nomor ayah" kata Bernan.
Aira yang ada didalam kamar itu menelungkupkan badannya kekasur. Aira bingung, harus menerima tawaran ayahnya atau tidak. Sebab, Aira masih membenci ayahnya. Tapi disisi lain, Aira juga tidak ingin kehilangan ayahnya sama halnya dia kehilangan ibunya.
"Aku harus gimana?"
"Kalau aku nggak tinggal sama ayah, aku tinggal sama siapa?" gerutu Aira.
---
Aira menatap cermin yang memantulkan bayangan dirinya. Aira yang sudah memakai baju seragam lengkap beserta tasnya itu tampak murung. Alisnya menyatu, bibirnya cemberut dan keningnya mengkerut.
"Huffhhhh....." menghela nafas lalu meninggalkan cermin.
Aira berjalan keluar untuk pergi ke sekolah. Karena melewati dapur yang bisa disebut sebagai markas ibunya, Aira teringat sesuatu. Yang biasanya setiap pagi Aira sudah melihat ibunya sibuk dengan wajan penggorengan, kini tiada lagi. Wajah murungnya semakin jelas.
Gadis yang memakai sepatu hitam bertali putih itu mengayuh sepeda melewati jalanan yang mulai ramai pengendara.
"Oh sephia... Malam ini kutakkan datang... Hmmmmmm.....sayang...." Aira mengalunkan lagu milik sheila on 7 - Sephia untuk menemani perjalanannya.
Sesampainya dikelas, Aira menyibukkan diri dengan membuka segala aplikasi di ponselnya sebab dari kemarin dia belum membukanya.
"Ditemukan Siswa SMA Yang Telah Mati di sungai Brantas"
"Berikut Ini Adalah Fakta Siswa SMA Yang Ditemukan Tewas di Sungai Brantas"
Aira menemui beberapa artikel yang mengusung berita yang sama.
"Diduga S yang merupakan siswi dari sekolah EB, ditemukan tidak bernyawa di tepi sungai brantas. Saat ini, belum diketahui pasti penyebab dari siswi yang berinisial S ini ditemukan tewas. Polisi masih menyelidiki kejadian ini lebih lanjut......." begitulah kiranya potongan artikel itu.
"Ra!!!" salah satu teman Aira, Tama mengagetkan dirinya.
"Wua!!!! Ih!!! Kebiasaan!" Aira memukul lengan Tama.
"Kamu tuh yang kebiasaan! Dipanggilin daritadi nggak nyaut!" balas Tama.
"Emang lagi bacain apasih?" dengan jail Tama ikut mengintip layar ponsel Aira.
"Ihhhh kepo ya? Udah sana sana. Ganggu aja" kata Aira.
"Yeeee, daripada ganggu hubungan orang kan?" Tama menaikkan alisnya.
"Aku tabok mulutmu, mau?!!" Aira sudah mengangkat tangannya bersiap-siap untuk memukul.
---
Saat istirahat, Aira pergi ke taman yang ada di atap sekolahnya. Disana merupakan tempat yang paling ia sukai dari penjuru sekolah.
Aira berdiri mengarah ke pemandangan lapangan voly sekolah. Aira sempat melamun. Sampai seseorang datang mematahkan lamunannya.
"Duar!!" Tama menghentakkan kakinya mengagetkan Aira.
"Arrrggghhhh!!!" tangan Aira nyaris memukul Tama.
"Kebiasaan kan! Awas!" ancam Aira.
"Nih! Thaitea green tea. Kesukaan kamu kan?" Tama menyodorkan dua cup plastik minuman.
"Tau aja deh! Makasih ya" dengan senang Aira menerima minuman pemberian Tama.
"Ra" panggil Tama pelan.
"Hm?" Aira menjawab hanya dengan deheman sebab mulutnya masih menyeruput minuman.
"Pasti berat ya ditinggal orang yang paling kamu sayang, ibu kamu" Tama berbicara secara hati-hati takut menyinggung perasaan Aira.
"Hmmmm, gimana ya Tam" Aira menjadi diam sejenak.
"Mau dibilang berat ya, tapi udah takdir. Ya gimana lagi"
"Kalo aku boleh jujur sih, pasti berat lah Tam. Aku juga kan cuma tinggal sama ibu aku. Tapi sekarang malah nggak ada" Aira bercerita pada Tama dengan menahan tangisannya.
"Pasti ini ya yang kamu rasakan saat kehilangan ibu kamu juga?" kata Aira, mendongakkan kepala menatap Tama yang lebih tinggi darinya.
Tama hanya mengangguk, tatapannya menatap arah lain.
"Sekarang aku udah bisa berpikir jernih kok. Mungkin karena ini, ibuku udah nggak ngrasain sakit lagi, nggak minum obat-obatan lagi, nggak disuntik terus-terusan, nggak bergantung sama mesin. Aku cukup lega kok karena ibu nggak ngrasain sakit lagi" mata Tama berkaca-kaca.
Aira memegang tangan Tama dengan erat, maksud menenangkan.
"Sekarang udah nggak ada yang dicemasin lagi kan?" kata Aira.
Tama mengangguk.
"Aku salut sama kamu Ra, jujur. Kamu masih berusaha untuk nggak nunjukin kesedihan kamu didepan teman-teman yang lain" Tama memegang lengan Aira.
"Anggep aja hari ini aku mau menikmati masa-masa terakhirku disini Tam"
"Maksudnya? Kamu mau pindah dari sini?" Tama membulatkan matanya.
"Kemarin ayahku kerumah Tam"
"Tiba-tiba dia ngajakin aku tinggal sama dia setelah ibuku nggak ada" jelas Aira.
"Trus, apa jawabanmu?"
"Awalnya aku ragu buat ninggalin kota ini, tapi kalo dipikir-pikir lagi ya, apa salahnya. Toh ayahku kayaknya udah sadar dari hasutannya itu"
"Tapi sebenarnya aku belum ngomong keputusanku ini ke dia"
"Ayahmu bercerai dengan perempuan itu?" kata Tama.
Aira mengangguk.
"Habis morotin ayah kamu kayak gitu?"
Aira mengangguk lagi.
"Ternyata kamu tipe pemaaf juga ya. Padahal kan kalo dikagetin dikit aja udah mau nonjok!" ledek Tama.
"Ya liat-liat orangnya juga! Kalo orangnya kayak KAMU mah beda!" balas Aira, menekankan kata "Kamu".
"Trus, kenapa kamu nggak ngomong sekarang aja soal keputusan kamu?"
"Hmmmm, nanti aja deh. Kayaknya aku masih nanggung gengsi karena marah sama dia kemarin" Aira cemberut.
"Ah, lama!!!" Tama merebut ponsel Aira yang sedari tadi Aira genggam.
"Kamu masih memblokir nomornya?"
"Tamaaaa, udah nanti aja biar aku ngomong sendiri"
Tut...tut....tut....
Suara telepon tersambung.
"Ups! Udah nyambung, wlek!" Tama menjulurkan lidahnya meledek Aira.
"Halo?"
"Eh, eh, eh gimana dong" Aira berbisik pada Tama.
"Udah cepetan ngomong apa adanya aja" Tama pun membalas dengan bisikan.
"Halo, yah. Aku udah memutuskan tawaran ayah"
"Terus gimana jawabanmu Ra?"
Aira diam sejenak, melirik pada Tama. Tama yang mulai geregetan itu mengisyaratkan pada Aira agar cepat-cepat membalas pertanyaan Bernan.
"I...iy...iyaaa yah. Aira terima tawaran ayah. Aira mau tinggal sama ayah"
"Syukurlah, itulah jawaban yang ingin ayah dengar. Yaudah, nanti pulang sekolah ayah jemput kamu disekolah ya. Sekalian langsung ngurus pindahan"
"Secepat itu yah? Bisa nggak beri waktu Aira tiga hariiii aja" Aira memohon.
"Iya, yaudah. Sampai jumpa Aira"
"Da ayah"
Sambungan telepon pun terputus. Aira menghela nafas lega setelah mengatakan apa yang ingin ia sampaikan.
"Huffhhhh..... rasanya kaya lega banget, enteng banget" kata Aira.
"Kamu yakin nih ngedukung aku buat pindah ke luar kota?"
"Yakin lah! Itu kan untuk kebaikanmu juga Ai. Sebagai temen kan harus saling dukung"
"Eh, tapi jangan sampe hilang kontak ya. Pokoknya kita harus kontakan terus kayak biasanya. Awas kalo lupa sama aku" ucap Tama.
"Iya iyaaaaa. Kalo lupa kan nanti aku nggak ditraktir thai tea green tea lagi, hahaha" mereka tertawa bersamaan.
---
Sepulang sekolah, seorang pria yang mengenakan kemeja kotak-kotak rapi itu menunggu anaknya didepan pagar.
"Ra! Apa itu ayahmu?" tanya Tama, yang melihat kehadiran Bernan lebih dulu.
Aira pun mengajak Tama untuk ikut menemui Bernan, ayahnya. Aira pun canggung dengan ayahnya yang sudah lama tidak bertemu, apalagi dengan Tama yang belum pernah ketemu dengan Bernan.
"Yah?" panggil Aira canggung.
"Eh, Aira! Udah pulang? Ruang kepala sekolah dimana? Kita kesana dulu ya"
"Eh, ini siapa?" Bernan baru menyadari ada orang lain yang sedang bersama anaknya.
"Om, kenalin. Saya Tama, teman sekelasnya Aira" Tama mencium tangan Bernan dengan sopan.
"Temen apa temen nih?" Bernan menggoda Tama yang wajahnya mulai merah.
"Ehehehehe, yaaaa temen om" Tama menjawab dengan malu-malu.
"Eh, apanih! Kok malu-malu gitu. Sosok Tama yang nggak pernah aku liat sebelumnya. Apa jangan-jangan kamu sebenarnya emang suka ya sama aku?!" Aira menunjuk Tama, membuat Tama bingung untuk menjawab ucapannya itu.
"Hah... Ng...nggak...nggak... Siapa bilang. Kepedan, yeeeeee" Tama memonyongkan bibirnya.
"Hahahaha. Ternyata kamu nggak berubah ya Ra" Bernan menyahut.
"Yaudah, yuk antar ayah ke ruang kepala sekolahnya" sambung Bernan.
"Tama, kamu boleh ikut kok kalau mau. Temenin Aira dulu"
"Iya om"
Bernan berjalan terlebih dulu, sementara Aira masih terdiam sejenak melihat ayahnya dari punggungnya. Tak terasa, bibir Aira tertarik ketika melihat ayahnya itu. Aira merasa hidupnya perlahan kembali berwarna dengan kembalinya sang ayah, walaupun tidak ada sang ibu. Namun Aira tetap mensyukuri keadaannya ini, dengan senyuman tentunya.
"Yuk, Tam! Inget! Temenin, bukan ngledekin" kata Aira, lalu berjalan mendahului Tama yang masih berdiri ditempat.
"Huffffh untung aku bisa mengendalikan emosiku. Kalau nggak kan bisa ketahuan" Tama menggerutu ditempatnya berdiri.
"Haha, Ra... Ra... Kalau aku emang beneran suka sama kamu, kamu bisa apa? Haha" Tama tertawa kecil seperti malu dengan dirinya sendiri, yang kemudian menyusul langkah Aira.
***
Minggu pagi, karena tidak pergi ke sekolah, Aira sengaja bangun lebih siang dari biasanya. Berhubung Aira sedang mendapatkan tamu bulanan, yang artinya dia tidak diwajibkan untuk melaksanakan kewajiban jadilah Aira yang molor seperti sekarang ini.
Tak lama kemudian, Aira membuka matanya walau masih setengah sadar. Aira terbangun karena merasa terganggu dengan suara gemelontang diluar.
"Ayah ngapain sih diluar?" Aira langsung beranjak dari kasurnya.
Sreng....sreng....sreng....
Suara alat-alat dapur yang bertabrakan.
"Ayah ngapain?"
"Ayah masak?"
"Masak apa?" Aira bertanya dengan suara yang masih serak.
Tanpa Aira tahu, jika di sofa ruang tengah sudah ada seorang tamu tak diundang yang duduk disana hanya dengan menatap Aira sampai Aira tersadar akan kehadiran dirinya.
"Astaga!!!"
"Tama!!! Sejak kapan?"
"Ehehehe" Tama cengengesan.
"Kok pagi-pagi usah kesini aja sih. Udah kangen ya?" goda Aira.
"Sembarangan! Nggak lah. Kan kamu mau pindah hari ini. Itung-itung pertemuan terakhir"
"Apasih! Nggak ada pertemuan terakhir! Yang ada itu perpisahan sementara! Ganti kata-katamu itu, ngerti?!" tegur Aira.
"Ck!! Iya iyaaaaa Airani Bestariiiiiiii" Tama memanjangkan ucapannya.
"Ini dia sarapannyaaaa" Bernan membawa dua piring nasi goreng buatannya.
---
Sebelum Aira benar-benar meninggalkan rumah yang menyimpan kenangan bersama ibunya, Aira sempat memberi salam perpisahan pada tempat favoritnya dirumah ini.
Aira naik keatap dengan penampilan yang sudah bersih dan rapi, sudah siap untuk pergi. Aira menatap pemandangan kota di pagi hari sembari menyelipkan memori-memori ingatan yang pernah ia lalui semasa dirumah ini.
"Ra?" panggil Tama lembut.
Aira menengok ke sumber suara.
"Masih ngerasa berat untuk ninggalin kenangan-kenangan kamu yang ada disini?" tanya Tama dengan hati-hati.
Aira hanya mengangguk pelan.
"Pelan-pelan kamu bisa kok, oke?" Tama menepuk bahu Aira.
Karena Aira sedang kalut dalam kesedihannya, Aira tak kuasa menopang kepalanya yang berat. Aira mendaratkan kepalanya itu pada sebuah bahu lebar milik Tama. Tanpa Aira sadari, ada jantung yang sedang berdegub kencang saat ini. Jantungnya seakan hampir meledak.
Raaa, kamu sadar nggak sih bikin aku deg-degan?, batin Tama.
"Airaaaaa?!" Bernan berteriak memanggil Aira yang sedang diatap.
"Ini buat kamu, jangan dibuka sebelum sampe disana ya"
"Yuk, aku antar kamu sampe persimpangan"
"Jangan menoleh kebelakang sebelum aku ilang, ngerti?" ucap Tama.
"Kok gitu? Emangnya kenapa?"
"Aku nggak mau lihat wajah sedihmu itu" jawab Tama.
Aira pun menaiki mobil bersama ayahnya. Sementara Tama menaiki motor kalong, dan mengenakan kelengkapan helm bogo hitam menambahkan kesan yang berbeda.
Didalam mobilnya, Aira terus menebak dengan apa isi kotak yang diberikan Tama tadi diatap. Dan Aira pun sedang menahan diri untuk tidak menoleh kebelakang, kearah Tama. Karenanya, Aira hanya memantau keberadaan Tama melalui kaca mobil.
"Oh, dia masih dibelakang" gumamnya, membuat hati Aira menjadi tentram.
Sampai pada persimpangan yang sudah mereka janjikan, Aira semakin tak kuasa untuk menahan dirinya agar tidak menengok kebelakang.
"Tahan Ai... Tahan" Aira memejamkan matanya paksa.
"Ahh, aku nggak bisa!!!"
Yang pada akhirnya Aira membuka jendela lebar, dan menoleh kearah Tama. Tama yang melihat tingkah Aira itu tertawa gemas. Aira melambaikan tangannya pada Tama. Sementara Tama sudah mulai memelankan laju sepeda motornya. Semakin lama semakin jauh. Semakin sedih pula raut wajah yang ditunjukkan Aira.
Dan, mereka akhirnya berpisah.
Sesaat setelah Aira dan Tama berpisah, ponsel Aira menyuarakan nada dering.
Aira hanya membaca pesan dari Tama dengan perasaan yang kecewa karena tidak diperbolehkan membuka kotak hadiah dari Tama.
"Hissss....masa iya buka kotak aja nunggu berjam-jam!" gerutu Aira sebal.
---
"Yah, seriusan ini rumah yang mau kita tinggali?" Aira berdecak kagum begitu menginjak pekarangan rumah barunya itu.
Rumah yang berjarak jauh dari kebisingan jalan raya, dan hanya suara jangkrik yang bersahutan. Rumah dua lantai yang memiliki desain klasik, terlihat cocok dengan suasana sekitar rumah yang banyak ditumbuhi pepohonan rindang.
"Iya, ayah juga membuatkan rumah pohon buat kamu Ra. Ayah tahu kamu pasti suka" Bernan merangkul putri semata wayangnya.
"Beneran yah?" Aira antusias, berlari masuk ke rumah barunya itu dan langsung naik ke rumah pohon yang dimaksud Bernan.
"Woaaaahhhhh!!!!!"
Pemandangan yang sangat indah dipandang. Pemandangan yang memperlihatkan rumah-rumah serta gedung-gedung kota. Aira serasa sedang dipuncak dunia sekarang. Semua terlihat jelas ditempat ia berdiri.
"Bagaimana? Suka?" tanya Bernan.
"Banget yah" tatapan Aira masih terpaku pada pemandangan ini.
"Sekarang lebih baik kamu mandi dulu, beres-beresnya besok aja sekalian. Istirahat dulu aja hari ini" kata Bernan.
"Nggak yah, mending beres-beres dulu terus tinggal nyantai" ucap Aira.
Aira kembali turun, mengambil sebuah kardus yang sama besarnya dengan badannya di bagasi mobil. Perlahan Aira berjalan menuju kamarnya sebab pandangannya terhalang kardus besar itu.
"Hah! Hah....hufhhh...." Aira bernafas lega usai meletakkan kardus itu di lantai.
"Woaaahhh! Wow, wow, wow, WOW!!! Aira menerawang ruangan kamarnya kagum.
Kamar yang berukuran tak besar itu cukup membuat Aira tergugah selera. Pasalnya, kamar itu memiliki jendela berbentuk lingkaran besar menyuguhkan pemandangan hutan yang masih asri.
Cekrek!
Aira memotret jendela lingkaran berpemandangan hijau dan segera memposting di akun media sosialnya.
Selang beberapa menit, Tama mengirimi Aira pesan singkat.
"Oiyaaa, kotak dari Tama!" Aira teringat pada sebuah kotak pemberian Tama.
Aira meraih kotak yang berukuran 20x20 cm itu ia buka dengan antusias. Aira mulai melepas pita yang mengikat kotak bermotif bunga. Begitu kotak motif bunga terbuka, Aira menjumpai album foto dan kotak kecil didalamnya.
"Ada kotak lagi?" heran Aira.
Begitu dibuka, terdapat gelang tali warna hitam yang memiliki inisial "A". Karena gelang tali itu sangat sesuai dengan selera Aira, raut wajah bahagia terpampang di wajah Aira ketika mendapat gelang itu.
Cekrek!
Aira memotret gelang pemberian Tama dan mengirimkannya pada Tama.
"Makasih ya tam hehehe"
"Harus dipake!" Tama mengirimkan foto dirinya yang juga memakai gelang sama persis, berinisial "T"
"Ra, ayah berangkat dulu ya ke kantor"
"Iya yah, hati-hati" teriak Aira dalam kamarnya.
---
Malamnya, Aira yang selesai mandi itu memanjakan dirinya dengan polesan masker wajah dan menyebabkan wajahnya berwarna hitam pekat.
Aku kesal dengan jarak
Yang sering memisahkan kita
Hingga aku hanya bisa
Berbincang denganmu di whatsapp
Aku kesal dengan waktu
.....
Aira menikmati waktu menyendirinya ditemani alunan musik Celengan Rindu-Fiersa Besari.
"Ra, ayah pulang telat. Kamu udah makan apa belum? Buruan makan, beli diluar atau masak sendiri" Aira mendapat pesan dari Bernan.
"Belum yah"
"Iya ini mau beli makanan diluar"
Dengan berat hati, Aira membersihkan polesan masker itu dan segera mengganti pakaiannya. Hanya bermodalkan celana training hitam bergaris putih dan jaket berwarna hitam, serta mencepol rambut yang selalu ia lakukan, Aira tetap percaya diri untuk menampilkan dirinya.
Aira mulai mengayuh sepedanya untuk membeli makanan yang dapat ia makan. Melewati suatu gang rumah yang panjang, Aira cukup merinding karena suasana yang gelap.
---
"Makasih ya bu" ucap Aira pada ibu-ibu penjual gado-gado.
Dalam perjalanannya kembali kerumah, Aira yang melewati gang sempit dan gelap itu keheranan. Sebab, Aira melihat dua orang yang menurutnya mencurigakan. Yang mana, salah satu dari mereka memakai tuduk kepala, sedangkan satu dari yang lainnya lagi memakai topi, seolah mereka semua berusaha menutupi wajah dari mereka masing-masing.
Mereka juga terlihat sedang mengatakan sesuatu satu sama lain dengan berbisik. Aira yang menyadari hal itu langsung menghentikan laju sepedanya dan mencoba mengintip apa yang terjadi.
Aira terus mengamati gerak-gerik dua orang mencurigakan itu. Aira memicingkan matanya berusaha melihat wajah dari dua orang itu.
"Apa yang dilakukan mereka malam-malam di gang sempit kayak gini?"
"Gangnya gelap lagi" gumam Aira.
Begitu yang memakai tudung kepala hendak meninggalkan si pemakai topi di gang sempit itu, Aira langsung mengalihkan perhatiannya agar tidak terlihat oleh mereka. Aira mengayuh sepedanya agak jauh dari gang sempit itu.
Di dekat gerobak penjual ketoprak, Aira berhasil menyembunyikan dirinya tanpa diketahui dua orang mencurigakan tersebut. Aira masih memantau mereka, yang mana orang yang memakai tudung kepala itu menghampiri mobil mewah yang terparkir di pinggir jalan, berjarak sekitar 10 meter dari gang sempit itu.
"Orang kaya di gang sempit?"
"Ngapain ya mereka?"
"Apa yang mereka bicarakan?" Aira mengusap dagunya berpikir.
---
Pagi sekali, Aira sudah bersiap untuk masuk ke sekolah barunya hari ini. Seragam lengkap, atribut lengkap, rambut yang diikat, mental yang kuat, juga tak lupa dengan senyuman manisnya.
"Kamu yakin nggak mau ayah anter aja? Ini masih hari pertamamu loh, Ra" kata Bernan pada Aira yang sedang menyiapkan sarapan.
"Yakin yah. Lagian kan sama kayak sekolah di sekolah lama, iya kan?" Aira meyakinkan Bernan.
"Yaudah. Tapi hati-hati ya. Baru hari pertama jaga sikap, jaga diri. Jangan langsung bikin gaduh, ngerti?"
"Iya yaaaaah"
Di tempat parkir sekolah barunya itu, Aira yang sedang memarkiran sepedanya itu menjumpai sebuah mobil mewah berwarna hitam yang baru saja melewati dirinya. Karena terkejut sekaligus kagum, bola mata Aira mengikuti gerakan mobil itu. Dan tak lama kemudian, Aira menyadari sesuatu.
"Tunggu!"
"Bukannya itu mobil yang aku temui di gang sempit?"
"Apa bener yang itu ya? Kayanya aku nggak asing sama mobil itu"
"Aduhhh, nomor platnya aku nggak hafal lagi"
"Ah bodo amat lah!" yang kemudian berjalan masuk.
Begitu saat pemilik mobil itu turun, Aira semakin yakin dengan dugaannya itu. Pasalnya, si pemilik mobil itu memakai jaket yang sama seperti orang yang ditemuinya di gang sempit kemarin.
"Ah! Sekarang aku bener-bener yakin. Dia orangnya"
"Apa sebaiknya aku tanya dia langsung aja ya?"
"Ah jangan Ra. Sok kenal banget deh kayaknya"
"Tapi kan aku penasaran"
"Hey!" yang pada akhirnya Aira tidak dapat mengalahkan egonya.
Laki-laki itu menoleh pada Aira dengan wajah yang kebingungan.
Siapa dia? Kok aku nggak pernah liat?, batin laki-laki itu.
Aira berlari kecil untuk menghampiri laki-laki yang ada pada radius 5 meter dari tempatnya.
"Hey! Tunggu!" Aira menahan laki-laki itu untuk berjalan lebih jauh.
"Siapa ya?" rautnya kebingungan.
"Kamu or-"
"Bian!!!" seseorang berteriak memanggil laki-laki dan memotong pembicaran Aira.
"Oy!" sahut laki-laki itu, yang diketahui bernama Bian.
"Buruan! Lagi ngapain sih?!" tanya laki-laki yang diduga teman Bian.
"Bentar!" yang pada akhirnya Bian hanya menatap Aira tajam, tidak memberikan Aira kesempatan untuk berbicara, dan pergi begitu saja meninggalkan Aira.
"Hey! Hey! Hey! Tunggu! Aku belum selesai ngomong!!! HEY!!!!" teriak Aira diabaikan oleh Bian.
Bian hanya merespon teriakan Aira itu dengan menoleh kearahnya sebentar, dan tetap pada tatapan yang tajam bercampur heran siapakah orang yang telah memanggilnya itu.
"Hissss, shyombong amat!!" gerutu Aira, lalu melanjutkan perjalanannya.
Tet...tet...tet...
Bel masuk berbunyi.
Suasana kelas 11 IPS 1 begitu ramai karena ulah murid-murid penghuni kelas. Ada yang masih melanjutkan tidurnya, ada yang membaca buku, ada yang membenahi dandanannya, ada yang bergosip dan masih banyak yang lainnya.
Tap...tap...tap...
Suara langkahan sepatu yang begitu nyaring memasuki ruang kelas.
Para murid yang ada dikelas pun mulai hening dan membisikkan sesuatu melihat guru wali kelasnya memasuki kelas dengan orang asing.
"Siapa dia?"
...
"Anak baru ya?"
...
"Cantik ya"
...
"Tapi kok nggak bisa dandan"
Brak! Brak! Brak!
Ibu wali kelas menggebrak meja.
"Perhatian anak-anak. Hari ini, kalian kedatangan teman baru yang saaangat cantik" kata wali kelas, mempersilahkan Aira untuk memperkenalkan dirinya.
"Hay semuanya. Perkenalkan namaku Aira Bestari, kalian bisa panggil aku Aira. Aku pindahan dari SMA Nusantara. Semoga kita bisa berteman baik, terima kasih" dengan percaya diri Aira memperkenalkan dirinya didepan teman-teman baru.
---
Tet...tet...tet...
Bel istirahat berbunyi.
"Ra, kamu nggak kekantin?" tanya Henna, temannya yang duduk tepat didepan Aira.
"Nggak aja deh, aku mau coba keliling sekolah biar lebih kenal gitu" kata Aira.
"Kalau gitu aku temenin aja yuk" ucap Henna.
"Iya yuk, sekalian apel lewat kelasnya, hehehe" sahut Rida yang satu bangku dengan Henna.
"Wah serius nih nggak ngrepotin?" kata Aira.
"Ngrepotin gimana? Santai aja kalik!" ujar Henna.
Henna, Rida dan Aira berhenti sejenak duduk di bangku bawah pohon beringin sekolah. Rida yang memegang sebotol susu itu mulai membuka obrolan diantara mereka bertiga.
"Eh, kamu tau nggak berita mayat anak sma ditemukan di sungai?" Rida bertanya pada Aira.
"Mayat di sungai?" Aira mengerutkan dahi.
"Ohhh, yang itu?"
"Eh, jangan-jangan. EB itu singkatan dari Elang Bangsa? Sekolah kita ini?" Aira baru menyadari.
Rida mengangguk cepat.
"Astaga, aku baru tahu"
"Trus, gimana kabarnya sekarang?"
"Udah tau belum dia meninggalnya kenapa?"
"Makanya itu, semua seisi sekolah ini aja kaget tiba-tiba ada kabar begitu. Habisnya tuh ya, Shinta itu orangnya pendieeeem banget. Dia nggak pernah tuh bermasalah sama yang lain" Rida menjelaskan.
"Tapi kenapa dia bisa mengalami itu?" tanya Aira.
"Kita mana tahu kalau dia itu diemnya nyembunyiin masalah yang dihadapinya? Mungkin aja dia itu diem karena nyembunyiin sesuatu. Iya kan?" sahut Henna.
"Bener juga ya? Kenapa aku nggak punya pemikiran seperti itu" Rida menerawang langit-langit.
Aira POV
Jadi yang meninggal ditemukan di sungai itu salah satu murid di sekolah baruku ini? Kira-kira kenapa ya dia? Ah iya, aku aja belum tau seperti apa wajahnya.
Eh! Soal laki-laki yang bernama Bian itu, kira-kira apa ya yang dia bicarakan di gang sempit itu? Dia bicara sama siapa disana? Ahhh, baru pertama masuk sekolah aja sudah banyak yang aku pertanyakan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!