“Raya, cinta itu tak harus memiliki. Cintailah diri mu sendiri, sebelum dirimu mencintai orang lain.” kata-kata itu yang selalu diingatkan oleh mendiang Bunda ku kepada ku yang harus ditinggalkannya pergi disaat diri ku yang masih menginjak usia 17 tahun. Sayangnya saat itu aku yang masih sangat muda dan memiliki emosi yang tidak stabil itu, tak pernah mengindahkan kata-kata mendiang Bunda ku.
Joon Woo atau yang lebih akrab aku sapa dengan panggilan Kak Joon adalah cinta pertama ku. 10 tahun lamanya aku habiskan untuk mencintai lelaki itu. Hingga Bunda ku yang sakit-sakitan pun aku acuhkan demi mengejar cintanya. Tapi apa yang ku dapatkan hanya sakit dari kata-kata Kak Joon saat menolak diriku. Sampai titik di mana diriku lelah dan tidak lagi ingin mencintainya, yaitu hari di mana aku harus menyaksikan pernikahan cinta pertama ku dengan kekasih hatinya.
Sejak saat itu aku berjanji takkan pernah mengharapkan lagi cinta dari Kak Joon dan memilih pergi dari kehidupannya untuk selama-lamanya.
“Kak Joon, selamat atas pernikahanmu. Dan terima kasih atas semua yang telah kau berikan kepada ku. Mulai saat ini kau tak perlu bertanggung jawab atas diri ku. Aku hanya ingin mengucapkan salam perpisahan terakhir kepadamu. Selamat tinggal Kak!. Aku harap kau bahagia bersama pilihanmu!.” Ucapku kepada Kak Joon dengan berusaha menahan air mata ku agar tak terjatuh dihadapannya.
Dan setelah itu aku pergi meninggalkan tanah air untuk menggapai cita-cita ku dan meneruskan hidupku di negeri lain bersama Ayah. Di titik ini aku merasa bahwa inilah keputusan terbaik yang aku lakukan untuk menenangkan pikiran dan menata kembali diri ku yang telah hancur karena kenangan ku bersama Kak Joon. Namun ternyata aku salah, hari di mana Ayah pensiun dari pekerjaannya dan aku berakhir dengan harus kembali ke tanah air karena pekerjaan ku.
Aku yang tak pernah tahu siapa pemilik perusahaan di mana tempat aku bekerja. Tiba-tiba saja seorang anak lelaki menendang bolanya hingga mengenai kepala ku sampai aku tersungkur dan terjatuh. Aku menangisi nasib sial ku karena harus kembali ke tanah air di mana tempat yang begitu ingin ku lupakan, dan sekarang aku harus sakit karena sebuah bola yang tiba-tiba saja melayang ke kepala ku. Aku merutuki nasib sial ku saat ini. Tiba-tiba saja...
"Leon!."
Suara yang sudah lama tak ku dengar selama delapan tahun ini.
DEG
Ingin rasanya aku menoleh ke asal suara, namun tubuh ini terasa sangat berat. Aku sangat tahu siapa pemilik suara itu.
Rasanya ingin segera melarikan diri dari situasi yang memalukan ini. Anak itu tampak berlari ke arah ku untuk mengambil bolanya.
"Tolong jangan kemari!." Batin ku agar anak itu tak menghampiri ku.
"Leon!." Suara itu kembali terdengar, dan perlahan terdengar suara langkah kaki mendekati ku.
"Sudah Daddy katakan jangan bermain sembarangan di kantor!." Tampaknya lelaki itu mendekati anak itu, perasaan ku yang sangat lega karena ia tak menghampiri ku.
"Nona, anda baik-baik saja?."
"Aku baik-baik saja." Sambil merapihkan baju ku, aku secara tak sengaja mendapati lelaki itu sudah berada tepat di hadapan ku.
Dan sepertinya hari sial ku bertambah, orang yang benar-benar ku hindari selama 8 tahun lamanya kini berada tepat di hadapan ku. Joon Woo, cinta pertama ku dan yang pernah mengisi seluruh ruang di hati ku dulu.
Dan apa ini?. Aku mendengar lelaki ini di panggil Daddy oleh anak itu?. Rupanya aku sudah lupa bahwa dirinya telah menikah.
Tak disangka setelah delapan tahun lamanya berusaha mati-matian melupakan masa lalu. Kak Joon menampakkan wajahnya kembali dihadapan ku sebagai seorang CEO di mana tempatku bekerja dan dengan status yang berbeda yaitu seorang duda beranak satu. Apa yang harus ku lakukan?. Dan mengapa juga status ku masih saja lajang sampai saat ini?. Padahal umurku sudah menginjak 29 tahun. Aku benci takdir ini!. Apa yang harus aku lakukan Tuhan?. Kau sungguh tak adil padaku!. Sedihku meratapi nasib diriku sendiri.
Di hari itu cuaca sangat cerah secerah hatiku yang sangat gembira di kala bermain dengan ke dua orang tuaku di taman bermain tak jauh dari rumahku berada. Aku bermain tangkap bola dengan Ayahku, karena itu adalah permainan favorit diriku dan Ayah saat aku kecil. Aku yang berumur 8 tahun itu, bermain dengan bahagianya walau Lelah terasa namun aku menyukainya.
“Raya, apa kamu capek sayang?.” Tanya Ayah.
“Tidak Ayah!. Ayo kita lanjutkan kembali!.” Pintaku pada Ayah yang ingin melanjutkan permainannya kembali.
“Hati-hati Raya nanti terjatuh!.” Teriak Bunda dari kejauhan.
Namun aku tak peduli karena aku sangat bahagia dengan permainan ini. Hingga tanpa sengaja kaki ku terkilir dan terjatuh di taman, dan akhirnya aku bangun dan memegangi lutut ku yang beradu dengan aspal. Tak lama ada sebuah tangan yang terulur di hadapan ku, tangan yang tampak seperti milik anak laki-laki. Aku pun mengangkat wajah ku ke arah sang pemilik tangan.
Sontak wajahku terkesima dengan mahakarya ciptaan Tuhan yang tepat berdiri dihadapan ku. Aku melihat seorang anak laki-laki yang lebih tua dari ku mengulurkan tangannya untuk membantu ku berdiri. Dan tanpa berpikir panjang aku pun membalas uluran tangannya.
“Ya ampunn…!. Tangan kakak ini sangat halus!. Dan kulitnya pun putih seputih kapas.” Batinku saat itu.
Di saat aku berhasil berdiri dari posisiku sebelumnya, tak lama suara seorang lelaki paruh baya memanggil anak lelaki tersebut.
“Joon!. Joo Woo!.” Panggil lelaki paruh baya tersebut.
“Ya!. Kakek!.” Jawab anak lelaki tersebut. Iapun bergegas melepaskan tangannya kepadaku dan langsung berlari menghampiri lelaki paruh baya tersebut.
“Oh Namanya Joon Woo?. “ Akhirnya aku tahu siapa namanya.
“Kakak!. Terima kasih!.” Teriakku kepada anak lelaki itu, namun sepertinya anak lelaki itu tak mendengar teriakan ku.
***
Hari pun berganti aku masih saja memikirkan anak lelaki tampan yang menolongku saat itu. Anak lelaki dengan perawakan Asia Timur, memiliki kulit putih dan memiliki wajah yang sangat tampan. Aku sungguh dibuat penasaran akan sosoknya. Mungkin ini yang namanya cinta pada pandangan pertama.
“Tapi aku kan masih kecil?. Apa yang kupikirkan?. “ Batin ku mengelak kalau aku sudah jatuh cinta pada anak laki-laki itu.
Hingga beberapa bulan kemudian diketahui ada tetangga baru yang menghuni rumah persis di samping rumahku. Dan aku pun terkejut ternyata tetangga baru ku saat itu adalah Joon Woo anak lelaki yang membantuku saat di taman. Aku sangat senang mengetahuinya, dan mulai saat itu aku selalu mencari tahu tentang dirinya serta mencoba mendekatinya.
“Kak Joon!. Salam kenal namaku Raya!.” Sapa ku pada Joon Woo.
“Hai, namaku Joon. Joon Woo!.” Dengan wajah ramahnya Joon Woo membalas sapaanku.
Seiring berjalannya waktu aku selalu mendekati Kak Joon tanpa kenal lelah. Kak Joon selalu menyempatkan waktunya untuk bermain bersamaku, baik setelah pulang sekolah maupun di hari liburnya. Hingga orang tua ku pun tak habis pikir dengan tingkah ku yang tak bisa lepas darinya.
Akhirnya Kak Joon pun masuk sekolah tingkat pertama, waktunya mulai terbuang dengan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya hingga tak dapat selalu menemani ku bermain. Sampai aku memutuskan untuk mengikuti ke manapun Kak Joon berada dan aku pun berakhir satu SMP dengan dirinya.
Aku merasa bahagia di dekat Kak Joon, kebiasaan itu membuat ku nyaman hingga tak ingin berpisah darinya. Dan ide gila pun terlintas dibenak ku, aku memutuskan untuk menembak kak Joon pada hari kelulusannya. Hari di mana persahabatan ku mulai rusak karena hal itu.
“Kak Joon!. Aku menyukaimu!. Jadilah pacarku!.” Dihadapan para siswa dan siswi SMP lainnya aku menyatakan cintaku di hadapan Kak Joon. Namun apa yang terjadi Kak Joon berkata bahwa dirinya hanya menganggap ku sebagai seorang adik dan tidak lebih. Saat itu dunia ku terasa runtuh seketika, penolakan pahit yang terucap dari kata-kata Kak Joon membuatku roboh dari posisiku saat itu.
“Ya Tuhan, apa yang terjadi Kak Joon menolak ku!.” Batinku yang merana karena ditolak Joon Woo.
Namun aku tak menyerah begitu saja, aku pun masih berharap perubahan Kak Joon Woo kepadaku. Aku mulai berusaha mencari tipe wanita kesukaannya dan berusaha mencari jejak perempuan yang pernah dipacari olehnya. Tapi sayang Kak Joon Woo belum pernah sekalipun menjalin cinta. Karakter dirinya yang terkesan ramah namun dingin di dalam dan tak tersentuh oleh perempuan manapun termasuk diriku.
Saat-saat SMA yang dihabiskan orang lain untuk menikmati masa muda mereka, namun tidak denganku. Aku menghabiskan waktu berharga ku hanya untuk mengejar Kak Joon Woo, tetanggaku yang tampan. Dan seiring berjalannya waktu pula terjadi perubahan akan sikap Kak Joon terhadapku. Ia mulai memberikan jarak diantara kami, dan ia mulai tak pernah mencari ku ke rumah walau hanya sekedar bertegur sapa. Akankah itu sikapnya karena diriku yang mulai menyukainya sebagai seorang laki-laki?. Aku berusaha berpikir positif dari perubahan sikapnya itu.
Hingga suatu hari aku menemukan Kak Joon yang sedang tertidur di bawah rindangnya pohon manggis di belakang sekolah. Aku pun menghampirinya dan diam-diam memandangi wajah tampannya dari kejauhan.
“Ya Tuhan, tampan sekali Kak Joon!.” Kagum ku melihat Kak Joon yang tampan saat tertidur.
Hingga aku melihat teriknya matahari mulai mengganggu ketenangan tidurnya. Dan akhirnya aku pun mulai mendekati dirinya dan diam-diam menghalangi terik matahari yang menyilaukan matanya dengan kedua tanganku.
“Tidak apa-apa walau hanya sebentar aku bisa memandangi wajahnya dari dekat.” Sungguh suatu anugrah yang luar biasa dapat merasakan saat-saat seperti ini. Dan karena hari itupun aku bertekad untuk kembali menyatakan cintaku kepada Kak Joon di hari kelulusan SMA-nya nanti.
Dan hari itupun terulang kembali dengan penolakan Kak Joon terhadapku. Lagi-lagi aku hanya bisa menelan pil pahit dengan kata- kata penolakan yang dilontarkan Kak Joon kepadaku. Dan lagi-lagi kata-kata yang sama, yang dulu pernah dirinya ucapkan yaitu hanya menganggap ku sebagai adiknya saja.
“Tidak apa-apa Kak Joon, ini baru awal. Aku akan terus berusaha agar kau dapat melihat ketulusanku!. Dan aku akan meyakinkan dirimu bahwa kau melihatku sebagai seorang wanita!.” Kata-kataku yang ku ucapkan di hari penolakan ke dua ku.
Hari itu aku pulang dalam keadaan sedih tak berujung akibat penolakan Kak Joon, badanku lunglai tak bertenaga. Aku mencoba menggerakkan kaki ku menuju rumah walau terasa berat. Pintu pun ku buka dengan kasarnya, dan siapa sangka hal yang mengejutkan terjadi bertepatan di hari itu. Aku pulang dalam keadaan rumah yang kosong tanpa ada keberadaan Ayah dan Bunda yang tiba-tiba.
Dan tak berapa lama aku dikejutkan dengan suara ponsel dari dalam tasku. Dan ternyata itu adalah panggilan dari Ayahku.
“Raya, Bunda sudah tidak ada!.” Mendengar perkataan Ayahku dunia ku runtuh seketika, pandangan ku mulai buram akibat air mata yang tak terbendung keluar dari pelupuk mataku. Aku tak kuasa menahan rasa sesak di dalam dada yang harus menerima kepergian Bunda yang tiba-tiba.
Hari itu aku teringat kembali perkataan Bunda terakhir kali.
“Raya, cinta itu tak harus memiliki. Cintailah diri mu sendiri, sebelum diri mu mencintai orang lain!.” Kata-kata itu terngiang kembali di ingatan ku.
“Aku sungguh menyesali semuanya, mengapa aku tak mempedulikan Bunda yang sakit-sakitan?. Kenapa aku bodoh hanya karena cinta, Bunda!. Maafin Raya Bunda!.” Tangisku pecah hari itu.
Selepas kepergian Bunda aku hanya tinggal berdua bersama Ayah dan Ayah yang sibuk dengan pekerjaannya selalu saja menitipkan ku kepada Kak Joon. Karena ia tahu kalau aku dekat dengannya, namun ia tak tahu bahwa hubungan kami tidaklah seperti dulu. Walau di mulutnya Kak Joon mengucapkan janjinya untuk menjaga ku namun pada kenyataannya Ia tak pernah mempedulikan ku. Ia semakin dingin saja terhadapku dari hari ke hari.
Walau di hadapan Ayahku dirinya bersikap seperti kakak yang baik di hadapan ku. Namun berbeda jika dirinya berada di lingkungan sekolah, Kak Joon selalu menghindari ku seolah aku adalah lalat yang menganggu.
Aku melalui hari-hari yang berat sepeninggal Bunda dengan selalu bercerita tentang kenangan manis ku dalam mengejar Kak Joon. Padahal semua adalah cerita bohong yang ku karang agar mendiang Bunda tidak khawatir akan diri ku yang masih saja bertepuk sebelah tangan dengan Kak Joon.
“Bunda, hari ini Kak Joon menemani ku belanja sepatu kesukaan ku dan sepatu ini adalah pilihannya. Lihatlah Bunda!.” Ucap Raya sembari menunjukkan sepatu baru yang telah ia beli di hadapan makam Bundanya. Walau ucapannya hanya bohong belaka.
“Bunda, mulai besok aku akan pergi bareng ke sekolah dengan Kak Joon. Kak Joon berjanji mulai besok ia akan ke sekolah bersama dengan ku!.” Ucapan bohong yang berulang kali di ucapkan dari mulut Raya seakan semua ucapannya itu adalah kenyataan yang ada.
“Maaf Bunda, aku mencoba melupakan Kak Joon. Tapi hati ini entah mengapa tak mampu untuk menjauhinya. Maafkan aku!.” Air mata yang turut meleleh seiring penyesalan Raya terhadap pilihannya.
Isak tangis yang kemudian menggema di makam itu, Raya tak kuasa menahan kesedihannya ditinggal pergi oleh Bunda tercintanya.
“Bunda!. Kenapa kau pergi dengan cepatnya?. Padahal aku masih membutuhkan mu di sini!. Lihat aku!. Masih banyak yang ingin aku ceritakan kepada Bunda!. Hiks!. Hiks!.” Raya tertunduk lesu di hadapan batu nisan Bundanya, lututnya lemas hingga tak dapat diangkat dari tumpuannya.
Raya menangis seolah Bundanya kini berada di hadapannya, seandainya waktu dapat di putar kembali ingin rasanya Raya memeluk Bundanya itu hingga hembusan nafas terakhirnya. Apakah bisa waktu di putar kembali?.
Hari itu TPU menjadi saksi di mana Raya menyesali perbuatannya yang tak mempedulikan kesehatan Bundanya. Ia tahu Bundanya itu menderita penyakit kronis yaitu kanker rahim dan sudah memasuki stadium 3. Namun karena Bundanya tak pernah mengeluh dan menunjukkan penyakitnya itu, oleh karena itu Raya tak menghiraukannya seolah Bundanya itu tak pernah memiliki penyakit, yang ia hanya tahu Bundanya selalu tersenyum saat ditanya soal penyakitnya.
Dan Raya akhirnya memilih tak mempedulikan soal penyakit Samira Bunda nya, iapun hanya fokus dalam mengejar cinta Kak Joon. Hingga di titik terakhir Samira yang tak pernah melibatkan siapapun, Ia hanya menghubungi suaminya Farid untuk membawanya ke rumah sakit dan berkata ia minta diperiksa soal penyakitnya. Dan justru di mana ia memeriksakan penyakitnya itu, itulah akhir dari hidup Samira.
Mendadak Samira pingsan tak sadarkan diri di lorong rumah sakit saat dirinya hendak di bawa ke ruang CT Scan. Dan Iapun langsung di bawa ke ruang ICU, dan beberapa menit kemudian Samira meregang nyawa. Ternyata penyakit Kanker Samira sudah mencapai stadium akhir, hanya ia tak ingin merepotkan suami dan anaknya, sehingga ia memilih untuk merahasiakan kondisinya.
2 Tahun kemudian.
Umurku sudah menginjak usia 20 tahun, aku sudah menjadi mahasiswi semester 4 jurusan Sastra Korea, Universitas Indonesia. Ya, perjalananku dalam mengejar cinta kak Joon belum berakhir. Aku masih dengan pendirian untuk mengambil universitas yang sama dengan dirinya. Namun berbeda kali ini, Aku mengambil fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya sedang Kak Joon mengambil fakultas Ekonomi dan Bisnis.
Tapi tak mengapa aku berusaha agar bisa sedekat mungkin dengan dirinya walau hanya melihatnya dari kejauhan saja hatiku sudah bahagia luar biasa.
“Kak Joon, kamu pasti akan menyerah dan melihatku sebagai seorang wanita.” Tekad ku yang tak pernah pudar seiring berjalannya waktu.
Di ruang olah raga
“Aakkhhh!! Kak Joon! Kak Joon!.” Teriak para mahasiswi kepada Joon Woo yang sedang bermain basket di lapangan.
“Raya, kamu betah banget sik di acara begini?.” Keluh Ratna teman satu kelas ku.
“Yah, karena hanya dengan ini aku bisa bertemu Kak Joon!.” Dengan mataku yang fokus ke arah Joon Woo berada.
“Bener-bener ya!. Kamu itu udah cinta mati sama dia!. Kalau bukan karena aku kasihan sama kamu yang datang ke sini sendirian. Mana mau aku kemari!. Dengar deh berisik banget!.” Lagi-lagi Ratna mengoceh karena suara berisik mahasiswi di sekelilingnya.
“Makasih temanku sayang!.” Aku memeluk Ratna sebagai rasa terima kasih ku padanya.
Kak Joon Woo adalah blesteran Indonesia dan Korea dengan wajah yang tampan dan kepintaran yang di atas rata-rata telah mengundang hasrat para wanita untuk mendekat padanya. Apalagi dengan kemampuannya yang tak hanya di akademis saja. Kak Joon juga jago olah raga yaitu bola basket. Ia sudah beberapa kali memenangkan kejuaraan nasional bersama timnya. Namun tak satupun dari mereka yang menarik perhatian Kak Joon, itulah yang membuatku yakin untuk memiliki Kak Joon di sisiku. Karena bagiku hanya diriku lah yang pantas mendapatkannya. Terdengar naif memang tapi itulah perasaan cintaku kepadanya.
“Lihat!. Lihat!. Itu Joon Woo!. AarrggHH!.” Teriak para mahasiswi yang ada di kursi penonton.
“Kak Joon!.” Aku yang melihat Kak Joon yang sangat tampan dengan seragam olah raga basketnya, sangat tampan dengan postur badan yang sempurna menambah tingkat ketampanannya.
“Kak Joon!. Aza!.” Teriak ku ke arah Kak Joon dan entah mengapa aku merasa kak Joon membalas ku dengan senyuman.
“Wah!. Tampannya!.” Puji ku dalam hati sambil tersipu malu.
Selepas pertandingan, aku dan Ratna menuju ke parkiran di mana motor Ratna terparkir di sana. Namun langkah kami terhenti oleh segerombol mahasiswi.
“Heh!. Kamu yang namanya Raya?.” Ucap salah seorang mahasiswi yang ada di gerombolan tersebut.
“Iya, ada apa ya?.” Tanya Ku.
“Kamu jangan suka nempel ya sama Oppa Kami!. Kami tahu!. Kamu kan udah ditolak dua kali masih aja nempel sama dia!.” Ucap mahasiswi itu sembari menunjuk-nunjuk ke arah ku.
“Dasar perempuan gak tahu malu!.” Ucap beberapa mahasiswi lainnya.
“Maaf, memangnya kalian siapa berani berkata seperti itu pada ku?.” Tekan ku pada gerombolan itu, aku merasa mereka tidak pantas berkata seperti itu sebagai orang yang bukan siapa-siapanya Kak Joon.
“Kamu tanya kami siapa?. Kami ini fansnya Joon Woo!. Kamu tahu itu!. Bagi siapa saja yang seperti parasit baginya harus di musnahkan!. Kami lihat Kak Joon Woo gak suka dekat-dekat denganmu!.” Tekan mahasiswi itu yang sepertinya ketua dari gerombolan tersebut.
“Lalu?. Kalian mau apa?.” Tanya ku dengan penuh penekanan sekali lagi.
“Hey!. Kamu berani berkata seperti itu?.” Ucap mahasiswi itu yang mulai meraih kaos milik ku lalu menariknya dengan kasar.
“Hey!. Apa yang kau lakukan?.” Teriak Ratna mencoba membela diriku yang dalam posisi tertekan saat itu.
Sebenarnya aku sangat takut dengan segerombolan mahasiswi itu yang siap kapan saja menerjang diri ku. Namun aku tak bisa menyerah begitu saja, aku harus tetap tenang dan berusaha baik-baik saja.
“Raya!.” Suara lantang seseorang yang sangat aku kenal dari kejauhan.
“Kau harus segera pulang ke rumah, karena Ayah mu mengkhawatirkan mu!.” Tiba-tiba saja Kak Joon datang dan menyelamatkan ku dari terjangan gerombolan mahasiswi itu.
“Bawa ini!.” Kak Joon melemparkan tasnya kepada ku.
Lalu ia menarik lengan tanganku agar menjauh dari gerombolan itu.
“Eh, Raya! Kok aku ditinggal?.” Teriak Ratna yang tertinggal aku dan Kak Joon yang sudah menjauh dari gerombolan mahasiswi.
“Kak Joon!. Ratna tertinggal di belakang!. Aku harus bareng dia!.” Pinta ku agar Kak Joon melepaskan genggaman tangannya.
“Sudah!. Kau diam saja!. Ikutlah bersama ku pulang ke rumah!.” Ucap Kak Joon yang tak sedikitpun menatap ke arah ku saat berbicara.
Dalam hati ku “Mengapa sikapnya tiba-tiba berubah?. Apa dia salah makan?.”
Aku pun hari itu tepaksa pulang menumpang mobil Kak Joon hingga ke rumah ku. Selepas itu tak ada sedikit pun kata-kata yang terucap olehnya hanya dehaman yang keluar dari mulutnya saat aku mengucapkan rasa terima kasih ku karena dirinya yang sudah mengantar ku pulang.
Aku pun tak ingin memusingkan hal itu, aku anggap itu adalah sebuah kemajuan di mana Kak Joon kembali peduli pada ku.
“Kak Joon, akhirnya kau membuka hati mu.” Ucapku sambil terkikik geli.
Hari itu aku sangat bahagia dengan perubahan Kak Joon dan hari itu aku menandai kalender perjuangan ku dengan hari di mana perjuangan ku memiliki kemajuan.
Ku tandai hari itu dengan sebuah garis kuning di mana tanda merah yang sebelumnya selalu memenuhi kalender perjuangan ku.
“Cihuy!.” Lagi-lagi diri ku yang tak dapat menahan rasa bahagia karena hal itu.
***
“Soraya Larasati!!!.” Teriak Ratna dari gerbang kampus.
“Ya ampun Ratna, ngapain kamu teriak-teriak?.” Tanya ku yang tak habis pikir karena Ratna teriak sampai mengganggu mahasiswa yang lewat.
“Hey!. Kamu tuh ya!. Mentang-mentang si Junaedi ajak pulang, trus kamu ninggalin aku gituh aja?.” Teriak Ratna yang selalu memanggil Kak Joon dengan sebutan Junaedi karena benci dengan sikap sok gantengnya.
“Kak Joon, Ratna!.” Tegas ku yang tak ingin nama Kak Joon dirubah seenaknya.
“Yah!. Bodo amat deh siapa namanya!. Pokoknya aku tuh kesel karena kamu tinggal gituh aja!. Kamu gak tahu kan kurang berkorban apa aku sama kamu. Sampe itu si Junaedi nyakitin kamu aku juga yang turun tangan!.” Ucapan Ratna yang langsung dihentikan Raya karena tak ingin orang lain mendengarnya.
“Ssttt!!. Udah-udah aku minta maaf!. Gak kejadian lagi deh!. Pliss!.” Ucapku sambil memohon kepada Ratna agar dirinya diam tak membahasnya lagi.
“Gak mau!. Pokoknya kamu harus traktir aku makan hari ini!.” Ancam Ratna yang masih ngambek.
“Ok!. Ok!.” Aku yang akhirnya menyerah dengan ancaman Ratna.
“Ayok!. Kita ke dalam!.” Ratna yang merangkul bahu ku dan langsung menyeret ku masuk ke dalam kampus.
Di dalam kelas tatapan orang-orang berbeda hari itu terhadap ku. Mereka semua seolah mengintimidasi ku dengan hal yang tidak aku ketahui.
“Na!. Kenapa ya? Kok mereka sepertinya marah sama aku?.” Tanya ku kepada Ratna yang mungkin tahu persoalannya.
“Gak tahu tuh, aku aja kan kemari bareng kamu. Jadi mana aku tahu?.” Jawab Ratna.
“Tapi kok aneh banget ya?.” Ucap ku sambil melihat sekeliling kelas.
Aku pun melihat Gisel yang biasanya ramah kepada ku mendadak membuang muka entah apa sebabnya?.
“Aneh banget sih?.” Ucap ku yang masih heran dengan sikap semua orang di kelas itu.
“Ratna, aku mau izin ke toilet dulu ya!.” Ucap ku kepada Ratna.
Namun saat aku menuju ke toilet tiba-tiba saja ada seorang mahasiswi yang sengaja menabrak ku hingga diri ku terjungkal dan menyentuh lantai. Lutut ku lecet dan tak satu pun dari mereka yang membantu ku berdiri.
Aku tak ambil pusing, aku langsung beralih ke wastafel toilet dan mencuci luka ku yang kotor terkena lantai.
“Heh!. Tahu gak?. Ada orang yang gak tahu malu ngejar Oppa!. Dan dia ke ge’eran!. Dia pikir dia itu bisa dapetin Oppa apa?. Dasar sok kecantikan!.” Teriak seorang wanita di toilet yang bermaksud menyindirku.
Rupanya gosip antara diri ku yang mengejar cinta Joon Woo sudah tersebar luas di kampus. Padahal aku tak pernah menceritakan hal itu pada siapapun terkecuali teman masa SMP dan SMA ku.
Dan aku baru berpikir bagaimana gerombolan wanita itu tahu dan juga orang sekampus tahu soal kisah ku dan Kak Joon Woon kecuali ada seseorang yang membocorkannya.
Dan aku pun teringat dengan Gisel yang tiba-tiba saja bersikap aneh terhadap ku. Gisel adalah teman satu SMA ku yang saat itu sebangku dengan ku. Selain Ratna, aku pun kerap kali menceritakan kisah ku dengannya
“Apa karena dia?.” Batin ku yang masih tak percaya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!