WARNING⚠️⚠️⚠️
NOVEL INI HANYA BERUPA CERITA FIKSI
DIMANA TERDAPAT BANYAK MENGANDUNG KEKERASAN FISIK
DI HARAPKAN AGAR PARA READERS MEMBACANYA DENGAN BIJAK DAN TIDAK MEMPRAKTIKKAN SEMUA KEKERASAN DI NOVEL INI KE DUNIA NYATA‼️
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ**...
Malam semakin larut, bersamaan dengan hawa dingin yang semakin menusuk. Sebagian orang sudah tidur nyenyak di dalam balutan selimut nan tebal. Namun tidak untuk seorang gadis berpakaian serba hitam yang baru saja memasuki rumahnya.
Tak... Tak... Tak...
Suara langkah kakinya menggema hampir di seluruh ruangan yang ada di lantai dasar rumahnya. Matanya nan tajam menatap lurus ke depan.
"Kamu sudah pulang?" tanya seseorang yang tengah berdiri tidak jauh dari hadapannya.
Langkah gadis itu terhenti. Tetapi, raut wajahnya tidak berubah. "Seperti yang kakak lihat,"
Sebelum lanjut kembali berjalan menuju arah tangga. Lebih tepatnya melewati keberadaan orang yang di panggilnya dengan sebutan kakak. Gadis itu merasa enggan berbicara lebih lama. Ia benar-benar sangat lelah.
"Tidak bisakah kamu berhenti sekarang, Zane?" Pertanyaan dari orang itu sekali lagi menghentikan langkah gadis itu.
Yeah--Gadis itu bernama Zwetta Anevay atau yang lebih sering di panggil Zane oleh keluarga dan orang terdekatnya. Anak kedua dari keluarga Anevay. Usianya menginjak 20 tahun dengan paras yang semakin cantik. Selain cantik, ia juga gadis mendominasi. Cantik, pintar, cekatan dan masih banyak lagi sifatnya nan membuat orang begitu kagum terhadapnya. Apalagi Zane di usianya yang masih muda sudah cukup banyak menoreh prestasi. Orang-orang menyebut semua yang Zane miliki di turunkan oleh keluarganya. Kehidupannya semakin sempurna dengan semua harta yang keluarganya miliki.
Tidak. Kehidupannya tidak sesempurna yang di lihat oleh banyak orang. Ia tidak merasa bahagia dengan kehidupan yang orang lain impikan selama ini. Bagaimana ia bisa merasa bahagia hidup dalam luka? Benar. Kehidupan Zane di penuhi luka tanpa darah. Jika kebanyakan keluarga menyayangi putri mereka, lain halnya dengan keluarganya. Orang tuanya tidak mengharapkannya lahir ke dunia ini. Zane di besarkan tanpa kasih sayang, seperti yang kakak dan juga adiknya dapatkan. Iri? Tentu saja dirinya sangat iri terhadap kedua saudaranya itu.
Di besarkan tanpa kasih sayang, di didik dengan keras dan di kendalikan seperti boneka mainan, semua itu sudah menjadi luka terdalam bagi Zane. Dimana ia terus di buat jatuh secara mental, hingga fisik juga di lukai. Sehingga sosoknya tumbuh dengan sifat teramat dingin dan kejam yang sengaja di buat oleh orang tuanya untuk melindungi keluarga. Dalam hidupnya kata menolak bukan haknya. Seakan kehidupannya bukan miliknya sendiri, melainkan orang tuanya. Hal itu pula yang membuat ia menjadi semakin dingin, keras dan kejam. Tidak ada satu pun orang yang berani mengganggunya.
"Tanyakan itu pada papa dan mama. Jangan padaku, kak!" seru Zane tersenyum kecut menatap ke arah orang itu.
"Kenapa?"
Orang itu membalas tatapannya dengan sorot mata datar tapi jelas ada kesedihan di sana yang tidak bisa di tutupi.
"Aku tidak mempunyai hak untuk menjawab. Kakak sudah sangat tahu itu, bukan? Jadi kita akhiri saja pembicaraan ini. Selamat malam, kak," ucap Zane sebelum lanjut berjalan menaiki satu-persatu anak tangga.
Entah mengapa ucapan Zane selalu bisa membuat orang itu bungkam. Sekarang ia hanya bisa melihat sendu punggung gadis yang tidak lain adalah adiknya sendiri. Hatinya sakit sekali. Seperti ada benda tajam yang sudah lama tertancap di sana.
"Zane--Kapan kamu berhenti? Kakak tidak akan sanggup lagi melihatmu seperti ini," gumamnya.
"Anda belum tidur, tuan Ezio?" tanya seorang pelayan perempuan yang tidak sengaja melihat keberadaan tuan muda-nya dan langsung datang menghampiri.
Ezio Anevay--Benar itulah nama dari orang yang tadi berbicara dengan Zane. Ia anak pertama dari keluarga Anevay. Usianya telah genap 22 tahun dengan paras tampan. Selain tampan, Ezio di kenal akan kepintarannya di dunia bisnis. Kepintaran yang di turunkan oleh kedua orang tuanya. Dalam sekejap namanya sudah terkenal dimana-mana. Ezio di sebut sebagai pengusaha muda nan sukses menunjukkan kepintaran dan kemampuannya di dunia bisnis. Meski begitu, ia tidak pernah sombong pada siapapun. Sosoknya terkenal baik dan begitu penyayang, terutama pada kedua adiknya. Tidak ada yang boleh menyakiti mereka sedikit pun.
Tetapi, prinsipnya itu tidak berlaku terhadap kedua orang tuanya. Ezio tidak bisa berbuat apapun saat melihat penderitaan yang Zane alami selama ini. Mungkin statusnya benar tuan muda pertama keluarga Anevay atau pewaris utama perusahaan keluarganya tapi artinya semua itu? Tidak ada sama sekali. Orang tuanya terlalu keras. Sudah berkali-kali ia meminta orang tuanya berhenti melukai Zane secara fisik dan mental. Namun permintaannya berujung sia-sia. Ezio sangat tidak mengerti dengan pola pikir orang tuanya.
"Ya, saya tadi menunggu Zane pulang. Sekarang dia sudah pergi ke kamarnya. Tolong kamu buatkan cokelat hangat untuknya seperti biasa!" seru Ezio pada pelayan itu.
"Baik tuan," balas pelayan itu mengerti.
"Pergilah!" pelayan perempuan itu menunduk hormat pada Ezio. Sebelum pergi ke dapur untuk membuat cokelat hangat sesuai perintahnya.
Ezio pun juga langsung pergi ke kamarnya dan beristirahat. Selama ini memang terbiasa beristirahat, usai melihat Zane pulang. Jika adiknya itu belum pulang, maka ia juga tidak bisa beristirahat. Jiwanya sebagai seorang kakak tentu selalu merasa khawatir. Apalagi mengingat banyak hal berbahaya yang adiknya lakukan di luar sana. Oleh karena itu ia akan merasa tenang bila melihat Zane pulang dengan keadaan baik-baik saja.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di dalam kamar Zane
Sang pemilik kamar baru saja selesai mencuci muka dan berganti pakaian. Kini ia tengah duduk di hadapan laptop miliknya. Ada tugas kuliah yang harus di selesaikan malam ini sebab besok akan di kumpulkan pada Dosen.
Tok...Tok... Tok...
Ketukan pintu terdengar, sontak Zane mengalihkan tatapannya ke arah pintu. Ia bisa menebak siapa yang datang di jam seperti ini. Pasti pelayan suruhan kakaknya yang membawakan cokelat hangat. Dengan langkah cepat, Zane bergegas membukakan pintu kamarnya.
"Selamat malam, nona Zane! Ini cokelat hangat Anda," sapa pelayan perempuan itu sembari menyerahkan segelas cokelat hangat pada Zane.
"Terima kasih," balas Zane singkat.
"Sama-sama, nona. Saya permisi dulu!"
Zane mengangguk pelan. Kemudian pelayan itu berjalan pergi dari hadapannya. Zane segera menutup pintu kamarnya dan kembali duduk di depan laptopnya yang masih menyala. Seperti malam-malam biasanya, ia mengerjakan sesuatu dengan di temani segelas cokelat hangat. Hingga cokelat hangat itu habis tanpa tersisa, baru dirinya pergi beristirahat.
Drrrtttt....
Belum sempat Zane memejamkan mata, ponselnya terdengar berdering. Menandakan sebuah panggilan masuk. Lantas ia pun langsung mengambil ponselnya yang berada di atas nakas dan mengangkatnya.
"Apa kau menemukan sesuatu?" tanyanya to the point pada si penelepon.
[Ya, bos! Aku menemukan sesuatu yang sangat penting]
"Bagus. Temui aku besok di tempat biasa!" seru Zane bernada dingin.
[Siap]
Tutt...
Zane mengakhiri panggilan itu secara sepihak. Ada senyuman samar yang mengembang di bibirnya. Entahlah apa artinya itu. Tidak ada yang tahu.
"Mari kita lihat apa yang akan terjadi nanti karena telah mengganggu keluargaku," gumamnya. Setelah itu ia meletakkan kembali ponselnya dan perlahan memejamkan mata. Zane tidak perlu waktu lama untuk akhirnya benar-benar tertidur dengan lelap.
~To Be Continued
WARNING⚠️⚠️⚠️
NOVEL INI HANYA BERUPA CERITA FIKSI
DIMANA TERDAPAT BANYAK MENGANDUNG KEKERASAN FISIK
DI HARAPKAN AGAR PARA READERS MEMBACANYA DENGAN BIJAK DAN TIDAK MEMPRAKTIKKAN SEMUA KEKERASAN DI NOVEL INI KE DUNIA NYATA‼️
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Keesokan paginya....
Zane sudah terbangun dari tidurnya sejak setengah jam lalu. Ia baru saja selesai mandi dan tengah bersiap untuk pergi ke kampus. Setelan kemeja cokelat bermotif kotak-kota dengan rok selutut berwarna senada, terpasang sempurna di tubuhnya. Terdapat topi baret hitam di atas kepalanya, sedangkan rambutnya di biarkan terurai. Untuk wajahnya tampak polesan make up yang semakin membuatnya terlihat semakin cantik dan manis. Tidak lupa pula sepatu booth hitam, serta tas kecil di punggungnya sebagai pelengkap penampilan.
Tok... Tok... Tok...
Terdengar suara pintu kamarnya di ketuk. Zane segera pergi membukakan pintu, usai mengambil ponsel dan beberapa buku mata kuliah.
"Selamat pagi, nona Zane! Sarapan sudah siap," sapa pelayan yang tadi mengetuk pintu kamar Zane.
"Hmmm baiklah,"
Kemudian Zane berjalan pergi usai menutup pintu kamarnya kembali. Di ikuti pelayan tadi yang berjalan tepat di belakangnya. Tujuan Zane saat ini adalah meja makan, dimana letaknya ada di lantai dasar rumah. Sesampainya di sana, baru ada Ezio dan seorang laki-laki muda. Mereka berdua duduk dengan tenang sambil bermain ponsel. Sebelum akhirnya mereka menyadari kedatangan Zane.
"Pagi, Zane!" sapa Ezio dengan senyuman manis mengembang di bibirnya.
"Pagi, kak!" balas Zane ikut tersenyum, meski tidak semanis senyuman Ezio.
Zane memang tidak terbiasa lagi tersenyum. Bibirnya terasa kaku untuk tersenyum manis dan tulus. Ia lebih sering menunjukkan senyuman terpaksa atau menyeringai saat berhadapan dengan musuh. Sehingga Ezio dapat memaklumi hal itu.
"Hai, kak Zane! Selamat pagi. Hari ini jadi mengantarku ke sekolah, kan?" seorang laki-laki berseragam sekolah tingkat atas, tampak tersenyum lebar ke arah Zane. Hal itu menambah ketampanan yang ia miliki.
"Pagi juga. Iya jadi," sahut Zane sembari mendudukkan diri di dekatnya.
"Azrial--Kau sudah besar. Pergi ke sekolah di antar sopir saja. Jangan selalu merepotkan Zane!" cetus Ezio memperingatkan laki-laki muda yang tidak lain adalah adiknya atau anak bungsu dari keluarga Anevay.
Azrial Anevay--Tuan muda ketiga keluarga Anevay. Usianya lebih muda 2 tahun dari Zane dan sekarang tengah menempuh pendidikan di bangku kelas 12 sekolah tingkat atas(Senior High School). Paras wajahnya tidak kalah tampan dari sang kakak pertama--Ezio. Tidak heran dengan ketampanan mereka berdua yang di turunkan oleh sang Papa. Sedangkan kecantikan yang Zane miliki di turunkan oleh sang Mama. Ketiga anak keluarga Anevay memang mewarisi orang tuanya, baik secara fisik hingga karakteristik. Kalimat 'Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya' benar adanya. Terbukti dengan keberadaan mereka bertiga.
Meski begitu, mereka bertiga memiliki karakteristik yang begitu mencolok. Berbeda dengan kedua kakaknya, sosok Azrial justru lebih humoris. Ia tidak seserius dan setenang Ezio, juga tidak sedingin dan sedatar Zane. Sosoknya begitu humoris untuk orang-orang terdekatnya. Tidak hanya itu saja ia juga cukup pintar. Banyak orang yang menyukainya sebab karakteristik dalam dirinya. Namun Azrial tetaplah Azrial Anevay--Jati dirinya tidak lepas dari keluarganya yang selalu berhati-hati untuk segala hal. Terlepas dari semua itu, ia adalah sosok penyayang keluarga.
"Ya, aku tahu itu. Cuma kak Zane sudah berjanji untuk mengantarku hari ini. Lagian tidak merepotkan juga kan, kak?" Azrial melirik ke arah Zane yang telah duduk di antaranya dan Ezio.
Zane menganggukkan kepala. "Tidak repot. Santai saja,"
"Nah kak Ezio dengar sendiri, kan? Kak Zane tidak merasa repot," timpal Azrial tersenyum puas.
Sontak Ezio mendelik ke arahnya sekilas, baru beralih menatap Zane. "Masih ada sopir yang bisa mengantarnya, tidak perlu kamu. Bukankah hari ini kamu ada jadwal mata kuliah pagi?"
"Hmmm ada tapi aku masih ada waktu untuk mengantar Azrial," sahut Zane sembari minum cokelat hangat yang selalu di sediakan untuknya setiap kali sarapan.
"Tapi--"
Ezio menggantung ucapannya saat melihat kedatangan orang tua mereka. Pasangan paruh baya itu berjalan dengan arogan. Usia mereka berdua memang tidak muda lagi tapi masih tampak awet muda.
"Selamat pagi, Pa, Ma!" sapa Ezio, Azrial dan Zane secara bersamaan.
"Pagi!" balas pasangan paruh baya itu seraya duduk berseberangan dengan ketiga anak mereka.
Tuan Ivon Anevay--Laki-laki paruh baya yang sudah memasuki usia 56 tahun. Seorang pengusaha sukses di bidang Property. Perjuangannya sampai ke titik sekarang, bukanlah hal mudah. Banyak hal dan kejadian buruk yang di alami. Hal itu pula yang menjadikan sosok tuan Ivon begitu tegas, teliti dan selalu berhati-hati. Tuan Ivon mengajarkan ketiga anaknya dalam segala hal, terutama Ezio yang di ajarkan berbisnis. Anak pertamanya itu tentu saja menjadi pewaris utama perusahaan serta cabang perusahaan yang telah di dirikannya.
Sama seperti tuan Ivon, nyonya Tasanee juga sosok wanita karir yang sampai saat ini sibuk bergelut di bisnis perhiasan. Berusia lebih muda 2 tahun dari sang suami tapi kepintarannya juga tidak dapat di ragukan. Banyak proses yang di lewatinya, hingga sampai di titik progress memuaskan. Nyonya Tasanee tidak ingin ketiga anaknya merasakan posisi terendah yang pernah di alaminya dan tuan Ivon. Sehingga ia bertekad agar ketiga anaknya bisa hidup dengan nyaman tanpa kesusahan sedikitpun.
Mungkin tuan Ivon dan nyonya Tasanee mengajarkan segala hal pada ketiga anaknya. Dimana hal itu membuat Ezio, Zane dan Azrial tumbuh menjadi sosok sempurna tanpa celah kekurangan di mata banyak orang. Tetapi, mereka tidak pernah tahu kehidupan di rumah keluarga Anevay seperti apa. Berbanding balik dengan yang tampak di luar, tuan Ivon dan nyonya Tasanee hanya memanjakan kedua putra mereka. Sedangkan Zane di didik dengan keras tanpa adanya kasih sayang. Kelahiran Zane tidak di harapkan sebab mereka berdua berharap mendapat tiga orang putra yang akan mewarisi semuanya.
Mereka berdua berpikir Zane tidak akan bisa apa-apa. Terlebih lagi ia lahir dengan keadaan yang sangat lemah. Tidak ada harapan untuknya bisa tumbuh menjadi sosok yang dapat menggantikan nyonya Tasanee. Namun karena Zane sudah terlahir, mereka berdua juga tidak berniat membuangnya. Melainkan mendidik Zane untuk lebih kuat, dingin dan juga kejam. Mungkin Zane terlahir begitu lemah tapi dengan didikan yang mereka selama ini berikan, berhasil membuatnya kuat secara fisik maupun mental. Ia seperti pelindung yang sengaja di buat untuk melindungi keluarga. Sayangnya, tuan Ivon dan nyonya Tasanee tidak pernah sadar bahwa apa yang mereka lakukan justru membuat Zane terluka sangat dalam.
"Bagaimana pekerjaanmu, Zane? Papa ingin mendengar kabar baik darimu," tuan Ivon bertanya tepat saat Zane baru saja ingin mulai sarapan.
Zane menatap diam laki-laki paruh baya itu. Selama ini ia tidak pernah mendengar pertanyaan lain, selain soal pekerjaannya. Padahal dirinya juga ingin di tanyakan hal-hal lain oleh orang tuanya, seperti bagaimana kabarnya hari ini. Hmmm keinginannya itu hanya sebatas mimpi yang mungkin selamanya tidak akan terjadi. Perubahan raut wajah Zane tidak lepas dari pandangan Ezio dan Azrial.
"Pa, bisakah jangan bertanya itu dulu? Kita sedang ingin sarapan," protes Ezio merasa tidak senang karena selalu mendengar pertanyaan itu di ajukan pada Zane di setiap pagi.
"Kamu sarapan saja! Papa sedang bertanya pada Zane," seru tuan Ivon menatap tajam ke arah putra pertamanya itu.
**WARNING⚠️⚠️⚠️
NOVEL INI HANYA BERUPA CERITA FIKSI
DIMANA TERDAPAT BANYAK MENGANDUNG KEKERASAN FISIK
DI HARAPKAN AGAR PARA READERS MEMBACANYA DENGAN BIJAK DAN TIDAK MEMPRAKTIKKAN SEMUA KEKERASAN DI NOVEL INI KE DUNIA NYATA‼️
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ**...
"Tapi—"
"Hari ini akan aku bereskan, Pa. Tenang saja!" potong Zane lebih dulu, sebelum Ezio selesai berbicara.
Tuan Ivon tersenyum mendengar itu. "Bagus. Bereskan dengan baik. Papa tidak ingin mendengar kegagalanmu,"
"Hmmm mama juga mengharapkan hal yang sama. Jangan sampai masalah ini terus berkelanjutan! Ketenangan kita bisa terganggu," timpal nyonya Tasanee halus tapi begitu penuh penenangan.
"Ya, aku mengerti. Papa dan mama tenang saja. Serahkan semuanya padaku!" sahut Zane yang memang sudah mengerti maksud ucapan atau isi pikiran kedua orang tuanya itu.
Bagaimana tidak? Selama ini ia selalu sibuk menyelesaikan masalah yang datang mengganggu ketenangan keluarganya. Entah itu dari masalah internal, maupun eksternal. Alasan itu pula yang membuatnya di didik begitu keras. Zane harus bisa menguasai segala hal agar memudahkan dirinya dalam melakukan tugasnya sebagai pelindung keluarga. Bahkan tanpa di katakan secara langsung pun, Zane bisa mengerti isi pikiran orang tuanya. Sehingga ia tidak memerlukan banyak waktu untuk berbicara dengan mereka. Mungkin dalam sehari hanya terdapat sekitar 5-20 menit, waktu mereka berbicara.
Sejauh ini Zane tidak pernah lebih dari 20 menit berbicara dengan orang tuanya. Yeah. Hal itu karena perlakuan mereka begitu jelas membedakan antara dirinya dan kedua saudaranya. Jika orang tuanya mengajak berbicara, tidak lain adalah untuk menanyakan tugas dan hal-hal yang menyangkut sebuah masalah. Tidak ada pertanyaan lain, selain itu. Berbeda dengan pertanyaan mereka pada Ezio dan Azrail. Dimana pertanyaan mereka sangat mendominasi, tidak sekedar bertanya soal urusan pekerjaan atau pun sekolah. Melainkan menanyakan hal lain yang memakan waktu cukup lama.
Pembicaraan mereka pun tidak lepas dari canda tawa. Layaknya sebuah keluarga yang begitu bahagia menikmati hari. Zane merasa? Kalau benar, memangnya kenapa? Ia juga hanya manusia biasa yang mengharapkan kasih sayang dari orang tuanya. Berharap bisa berkeluh kesah hal sensitif pada mamanya atau melakukan hal seru bersama papanya. Zane mengharapkan semua itu terjadi. Sayang, ia hanya bisa menelan harapan itu dalam diam. Dan—Sampai saat ini ia selalu berdiri dari jauh untuk melihat keakraban kedua orang tuanya bersama kedua saudaranya itu.
"Papa dan mama sudah dengar, kan? Sekarang berhenti bertanya soal itu pada Zane. Kita harus segera sarapan," sela Ezio yang tidak ingin pertanyaan kedua orang tuanya pada Zane berlanjut. Ia sangat bosan, bahkan muak mendengar pertanyaan itu hampir setiap hari.
"Ya baiklah," sahut tuan Ivon singkat.
Ezio menghela nafas lega. Lalu beralih menatap Zane yang kini mulai memakan sarapannya. Laki-laki itu ingin adiknya makan dengan tenang, tanpa di cecar banyak pertanyaan dari tuan Ivon atau nyonya Tasanee. Andai saja mereka bertanya hal lain seperti menanyakan bagaimana kuliah Zane, ia tidak akan mencegahnya. Namun dirinya juga sadar bahwa hal itu mustahil di lakukan oleh kedua orang tuanya yang terlalu keras mendidik Zane tanpa kasih sayang, maupun belas kasihan. Sungguh Ezio tidak mengerti pola pikir kedua orang tuanya terhadap Zane.
"Makan yang banyak, Zane. Jangan sampai kamu sakit!" seru Ezio sembari menambahkan beberapa lauk di piring adiknya itu.
Zane menoleh ke arahnya dan tampak tersenyum tipis. "Terima kasih, kak!"
"Sama-sama,"
Tidak seperti Ezio, Azrail sedari tadi sudah memulai sarapan. Laki-laki muda yang merupakan anak bungsu keluarga Anevay, tidak berniat sama sekali untuk ikut terlibat dalam pembicaraan orang dewasa. Apalagi baik tuan Ivon atau pun nyonya Tasanee selalu tidak membiarkannya membuka suara dalam pembicaraan mereka. Sehingga Azrail hanya bisa diam mendengarkan, meski dirinya merasa kasihan terhadap kakaknya—Zane yang di perlakukan tidak baik oleh orang tuanya.
“Cepat habiskan sarapanmu, Azrail! Bukankah kau harus berangkat sekolah lebih cepat hari ini?" suara nyonya Tasanee membuyarkan tatapan Azrail yang mengarah pada Ezio dan Zane.
"Iya, ma!"
Kemudian suasana di meja makan tiba-tiba menjadi hening. Tak ada pembicaraan lagi, hanya terdengar suara sendok dan garpu yang bersentuhan dengan piring. Suasana itu terus berlangsung sampai waktu sarapan berakhir.
"Pa, Ma, aku berangkat sekolah dulu!" seru Azrail sembari beranjak berdiri usai selesai sarapan.
Tuan Ivon menganggukkan kepala. "Belajar yang rajin. Ingat jangan terlalu banyak bermain!"
"Siap, pa! Aku selalu ingat itu," Azrail mengacungkan jempol.
"Berangkat di antar sopir, kan?" tanya nyonya Tasanee, sontak mendapat gelengan kepala dari anak bungsunya itu.
"Aku di antar kak Zane,"
Azrail tersenyum lebar menatap kakak perempuannya yang masih duduk. Lantas nyonya Tasanee pun langsung menatapnya juga.
"Baiklah. Hati-hati di jalan!"
Nyonya Tasanee tidak ada alasan untuk melarang Azrail di antar Zane. Lagipula perempuan paruh baya itu sangat percaya bahwa Zane bisa di andalkan, termasuk memastikan Azrail sampai ke sekolahan dengan selamat.
"Siap. Ayo berangkat sekarang, kak!" ajak Azrail di sela meletakkan tas sekolah di punggungnya.
"Zane belum selesai sarapan, Azrail. Kamu tidak sedang terlalu terburu-buru, kan?" cetus Ezio menatap tajam sang adik bungsu.
Spontan Azrail terkekeh dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Laki-laki itu begitu bersemangat, sampai tidak sadar kalau Zane belum selesai sarapan.
"Hehe. Maaf, kak!" ungkapnya.
"Aku sudah selesai. Kami berangkat dulu!" timpal Zane mendahului tuan Ivon yang ingin berbicara.
"Zane—Sarapanmu belum habis," Ezio memprotes.
Gadis itu beranjak berdiri dari kursinya. "Aku sudah kenyang, kak. Sampai jumpa nanti!"
Tanpa menunggu balasan dari Ezio, Zane mulai berjalan pergi meninggalkan meja makan. Azrail pun bergegas menyusulnya. Kini di meja makan tinggallah Ezio bersama tuan Ivon dan nyonya Tasanee.
"Aku ingin bertanya sesuatu pada papa dan mama," Ezio kembali bersuara, setelah kepergian Zane dan Azrail.
"Katakan!" seru tuan Ivon di sela menghabiskan sarapan.
"Apa tidak bisa sehari saja kalian bertanya hal lain pada Zane?" tanya Ezio dengan menatap intens kedua orang tuanya.
Pertanyaannya menghentikan gerakan tangan tuan Ivon yang tengah menyendok sarapan. Sedangkan nyonya Tasanee membatalkan niatnya untuk minum.
"Sudah berulang kali kamu mendapatkan jawabannya dari papa dan mama. Kamu lupa?" tanya tuan Ivon balik.
Ezio menggelengkan kepalanya. "Aku tidak lupa,"
"Lalu untuk apa kamu bertanya lagi?" giliran nyonya Tasanee yang bersuara.
"Untuk apa? Tentu saja untuk mendapatkan jawaban berbeda dari papa dan mama," sahut Ezio bernada sangat serius.
Tuan Ivon mendongakkan kepalanya, lalu menatap Ezio dengan datar. "Jawaban papa dan mama akan tetap sama. Berhentilah berharap untuk mendapatkan jawaban lain!"
"Kenapa? Apa selamanya papa dan mama akan terus bersikap seperti ini pada Zane? Sadar, pa, ma! Zane juga anak kalian. Anak kedua dari keluarga Anevay. Bagaimana bisa kalian terus memperlakukannya seburuk ini? Tidak adakah rasa belas kasihan di hati papa dan mama, meskipun hanya sedikit saja? Zane bukan robot. Dia manusia yang juga mempunyai perasaan. Entah sadar atau tidak, kalian sudah sangat menyakitinya," ucap Ezio mengungkapkan hal yang selama ini ingin sekali di ucapkannya.
"Cukup, Ezio! Jangan keterlaluan!" bentak nyonya Tasanee merasa tidak senang. Berbeda dengan tuan Ivon yang diam saja mendengarkan ucapan sang putra.
"Kenapa cukup? Aku berkata yang sebenarnya. Inilah fakta yang harus papa dan mama sadari. Berhenti memperlakukan Zane seperti robot! Dia berhak mendapatkan kebahagiaan di rumah ini dan kasih sayang kalian,"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!