Alana adalah anak dari seorang dokter di rumah sakit. Karenanya dia sering pergi ke gedung serba putih itu bersama ayahnya. Dia sering di ajak ke rumah sakit saat ibunya punya kesibukan lain dan tidak bisa menjaganya. Meski begitu Alana tetap suka ikut ayah. Karena setelah bermain seharian, biasanya sang ayah akan membelikan makanan yang dia suka.
Sejak hari dia bertemu Ananta, alasannya untuk ikut pergi ke rumah sakit bertambah satu lagi. Alana suka berada di sekitar Ananta. Dia sangat tertarik dengan segalanya tentang laki-laki kecil yang mengidap penyakit jantung itu. Awal mereka bertemu, Alana yang menghampiri Ananta duluan. Setelah beberapa kali bertemu, Alana tahu bahwa Ananta adalah pasien ayahnya. Lama kelamaan mereka berdua sama-sama saling mencari satu sama lain. Ananta menjadi alasan Alana mencari-cari alasan untuk pergi ke rumah sakit, dan Ananta yang selalu berada di sana terlihat lebih bahagia sejak kehadiran Alana.
.........
Switch Alana's POV
Nanta itu tampan, baik hati, dan murah senyum, meski kadang sedikit dingin juga. Meski kadang wajahnya terlihat menyebalkan, aku tahu dia baik. Awalnya dia anak yang pendiam, dan suka murung. Tapi lama kelamaan dia jadi sedikit lebih ceria. Dia suka bercerita tentang banyak hal dan memperhatikan hal-hal kecil di sekitarnya. Aku suka melihatnya tersenyum, meski senyumnya itu jarang sekali muncul.
Nama aslinya Ananta, tapi karena dia sering memanggilku Lana, aku memanggilnya Nanta. Namanya sedikit lucu untuk ukuran laki-laki, tapi aku menyukainya.
Aku suka bermain bersama Nanta, aku suka menghabiskan waktu sebanyak-banyaknya dengan dia. Untuk kalian, orang-orang yang memandangku remeh karena menyukai orang yang sakit, kalian harus lihat sendiri senyum cerahnya kalau sedang bahagia. Baru kalian paham perasaanku. Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku langsung menyukainya begitu saja. Rasa itu muncul tanpa aba-aba, jadi aku tidak bisa menolaknya. Kalau sebutan lebaynya, mungkin ini takdir yang membuatnya bertemu denganku.
Hanya satu hal yang aku tidak suka dari Nanta, yaitu melihatnya kesakitan. Aku sudah bersamanya sejak kami kecil. Aku mengamati hari-harinya di rumah sakit. Dari semua yang aku amati, aku tahu dia sangat sakit.
Seringkali ayah akan menampakkan raut panik saat membawanya masuk ke ruangan khusus, meninggalkan ku di luar bersama orang tua Nanta yang wajahnya sudah memerah menahan tangis. Hal itu sudah terjadi berulang kali walau tetap tidak membuatku terbiasa. Aku tahu, situasi ini pasti berbahaya untuk Ananta.
Sialnya setiap kali rasa sakit itu datang, dia akan menahan air matanyauntuk tidak menangis di depan kami sesakit apapun rasa di dadanya. Dia masih menyempatkan tersenyum sambil meringis kesakitan. Itu menyebalkan!!!
Padahal harusnya dia menangis saja untuk sedikit melepaskan rasa sakitnya. Dia tidak perlu menyembunyikan apa-apa di depanku kan. Kami tahu seberapa hebat dia berjuang untuk bertahan hidup. Jadi setiap kali, hal yang kulakukan akan tetap sama... menangis.
"Ayah... Nanta bisa hidup lama kan" aku yang berusia 10 tahun menanyakan hal itu pada ayah yang terlihat bingung harus menjawab apa. Ayah baru saja keluar dari ruangan tempatnya mengobati Nanta yang kambuh lagi. Aku menunduk dalam, menahan air mata yang rasanya akan jatuh. Ayah mengerutkan keningnya penuh keraguan. Ikut menahan sakit melihat pemandangan menyedihkan orang-orang yang berharap Ananta baik-baik saja di tengah kondisi kritis mungkin serasa menyayat hatinya juga.
"Ayah selalu mengusahakan itu setiap hari." dia menghela nafasnya yang berat. Beban yang ada dihatinya mungkin akan butuh waktu sangat lamaaa untuk dilepaskan.
"Tapi keputusan selalu di tangan Tuhan, jadi Lana berdo'a yang terbaik untuknya ya. Buat Tuhan mengizinkannya hidup lebih lama..." Ucap ayah menenangkanku.
Aku menjawab dengan anggukan cepat. Hidup dengan dihantui kematian. Aku tidak pernah bisa membayangkan andai hal yang Nanta lalui setiap hari terjadi padaku. Mungkin... kalau jadi Nanta aku sudah menyerah sejak lama.
Pikiran seperti itu sempat terlintas dipikiranku. Tapi karena itu Nanta, dia bisa bertahan. Dia harus bertahan... karena... Karena aku tidak mau dia hilang.
Ayah menghela nafas dalam melihatku yang terus mengungkapkan kekhawatiran.
"Karena kamu sangat menyukainya begini. Sepertinya ayah harus berusaha lebih keras lagi untuk menyelamatkan Nanta" Ucap ayah lagi sambil mengusap pipiku yang basah sebelum kembali ke ruangan tempat Nanta berada.
Sepanjang waktu dadaku terasa sesak. Rasanya aku baru bisa bernafas saat melihat raut lega ayah setelah keluar dari ruangan. Aku ikut tersenyum, sedangkan ayah dan ibu ananta mulai mengusap air mata mereka sambil menuntut kabar baik dari ayah.
Setelah keadaan seperti ini ananta akan berada di rumah sakit paling cepat satu minggu sebelum bisa kembali ke rumah. Itu artinya, selama itu juga aku akan menemaninya di rumah sakit. Menemuinya setiap hari dan membuatnya nyaman sambil menunggunya kembali tersenyum dengan tulus.
***
Normal POV
Momen masa kecil itu meninggalkan satu janji. Janji yang nantinya di pegang teguh Alana sampai akhir.
Saat itu keadaan Ananta sudah membaik, Alana meminta izin pada ayahnya untuk membawa pasiennya itu jalan-jalan di sekitar rumah sakit seperti hari ini.
"ta, ..." Panggil Alana saat langit mulai menguning di atas kepalanya. Mereka duduk di atas rumput, taman rumah sakit. Selalu tempat yang sama. Kali ini, sudah satu minggu Ananta disini setelah penyakitnya kambuh. Ananta sudah terlihat baik-baik saja sekarang.
Sore itu mereka hanya duduk di kursi taman. Taman yang menyaksikan masa kecil mereka berdua. Semua momen bahagia dan sedih itu sebagiannya terjadi di atas rumput ini.
Jika bunda Alana dan Ananta sedang memasak sesuatu mereka akan melakukan piknik kecil bersama di tempat ini. Momen saat Ananta kecil melarang Alana pergi ke sekolah pun terjadi di tempat ini. Bahkan hari ini juga, momen penting terjadi disini.
"Tipe perempuan yang kamu sukai kayak apa??" Tanya Alana spontan. Langit masih cerah, secerah suasana hatinya saat ini.
"Hmm" Ananta terlihat berpikir, tapi akhirnya dia diam terlalu lama.
"Apa.." Alana mendesaknya lagi setelah Ananta diam terlalu lama.
"Tidak ada." Ucapnya singkat dan dingin.
"Kenapa tidak ada. Setiap orang pasti punya tipe idaman." Alana memprotes jawabannya. Ananta pasti hanya tidak mau membicarakannya dengan Alana.
"Jangan memaksa begitu.. Semua orang kan berhak dengan pilihannya, Aku memilih untuk tidak punya." Ananta ngotot dengan jawabannya yang cukup aneh itu.
"Baiklah kalau kamu tidak punya. Kalau begitu kamu harus nikah sama aku." Ucap Alana telak. Dia menunggu beberapa saat, dan Ananta benar-benar tidak menolaknya. Senyum tipis terlihat di bibirnya, membuat Alana ikut tersenyum.
"Baiklah ayo kita menikah" Ucapnya, ganti Alana yang jadi gelagapan mendengarnya.
Sorot matanya yang serius semakin membuatnya bingung harus berbuat apa. Alana tidak bisa berpaling dari sorot mata Ananta yang tajam dan penuh tekad.
"Eh, iya... Ayo kita menikah" Ucapnya gugup. Ananta ganti tertawa.
"Kita tidak boleh menikah sekarang" Ucapnya kemudian. Mereka masih terlalu kecil kan.
"10 tahun dari sekarang?" Ucap Alana ragu
4 tahun yang lama
"Ayo kita menikah 10 tahun lagi." Ucap Ananta berusaha terlihat yakin.
Walau dalam hatinya kalimat itu terasa seperti do'a, do'a untuk membuatnya bisa berada disisi Alana hingga waktu itu tiba.
"Iya. Ayo kita menikah 10 tahun lagi." Jawabnya dengan tekad yang sama bulatnya.
"Kita harus menikah." Ucap Alana.
"Kalau begitu, sekarang kita bertunangan?" Tanya Alana yang lebih tepat terdengar seperti menagih.
"Hmm mirip sih" Dia mengangguk dengan mantap kali ini.
"Jadi sekarang keluarkan cincinnya." Ucap Alana menjulurkan tangannya
Dia merangkai rerumputan menjadi sebuah cincin yang dia pasangkan di jari manis Alana. Entah dari mana dia tahu cara melakukannya. Gadis itu hanya menunggu tanpa banyak bicara.
"Sekarang kita bertunangan." Ucap Alana menatap lurus ke dalam mata Ananta. Lalu sama-sama tersenyum. Untuk waktu yang singkat ini Alana ingin semuanya membeku, biar mereka terus seperti ini selamanya.
...****************...
Hai... terimakasih sudah baca ceritaku, beri hadiah dengan nonton iklan gratis atau kirim poin ke penulis yuk biar makin semangat buat nulis chapter selanjutnya...
see you kalo udah semangat nulis lagi, hehe
Alana's POV
Setelah hari itu, segalanya tetap berjalan seperti biasanya.
Sejak SD hingga SMP kami berada di kelas yang sama, bangku yang sama. Bahkan sistem acak kelas pun tidak bisa memisahkan kami berdua.
Hmm, sudah pernah kubilang kan... aku dan Ananta adalah takdir, tapi Ananta sering meledek ku dan menganggapku lebay.
"Hai" Sapaku, merangkul Ananta dari belakang. Kami kelas 3 SMP sekarang, waktu berlalu dengan cepat saat kami baik-baik saja. Meski saat semua hal buruk terjadi mereka justru berjalan kelewat lambat.
"Kamu berangkat kepagian!" Aku menggerutu karena harus bangun lebih pagi demi dia.
Karena kami selalu berangkat bersama, jadi aku bersusah payah mengikuti jadwal pagi Ananta. Setelah bersusah payah seperti itu, aku masih ditinggal berangkat lebih dulu hari ini.
"Maaf, aku disuruh ke ruang guru dulu pagi ini." Jawabnya mengusap pucuk kepalaku dengan lembut.
"Kamu enggak usah ikut berangkat pagi aja kalau masih ngantuk." Ucapnya masih mengelus rambutku. Mataku masih setengah terbuka, nyawaku pun belum terkumpul semua. ah, aku benci bangun pagi.
Akhirnya aku menguap menahan kantuk.
"Dimana ada Ananta, disitu harus ada alana." Ucapku dengan tangan mengepal.
Kami saling memandang sebentar, lalu tertawa bersama.
"Wajahmu berantakan." ucap Ananta mengejekku.
"Itu semua gara-gara kamu" Balasku. Selama SMP rasanya seperti aku yang lebih berjuang untuk bisa bersama Ananta setiap waktu. Walau kadang-kadang Ananta juga melakukan hal yang sama.
Jika Ananta ikut kelas khusus, aku menunggunya untuk pulang bersama. Jika aku yang ada ekskul, Ananta yang menungguku. Tapi kelas khusus Ananta itu selalu jauh lebih sering. Apalagi akhir-akhir ini, entah buat apa mereka belajar sekeras itu, menyebalkan sekali. Bahkan setelah semua jadwal itu, pagi-pagi pun masih disuruh ke ruang guru juga. huft, jadinya aku terpaksa ikut menunggu di depan ruangan. sendirian!
"Kenapa katanya?" Tanyaku penasaran saat dia sudah keluar dari ruang guru.
Datang ke ruang guru seperti ini pilihannya hanya dua, terlalu berprestasi atau terlalu bermasalah. Dari yang aku tahu, Ananta itu termasuk di pilihan pertama.
"Aku diminta ikut Olimpiade lagi." Ucapnya dengan raut kecewa.
'Dasar, anak jenius yang aneh' harusnya dia senang karena bisa mendapat piala sekali lagi.
"hummm, anak pintar. Mereka pasti rugi karena kehilangan kamu setelah kita lulus" Ucapku mengelus rambutnya seperti ibu-ibu yang membanggakan anaknya. Hanya akting, menggoda Ananta itu sangat menyenangkan.
"Tapi kenapa murung begitu, itukan berita bagus" Ucapku sedikit kesal melihat raut mukanya yang tidak cocok dengan kabar yang dia berikan. Anak pintar seperti dia pasti tidak tahu betapa cemburunya orang-orang seperti aku mendengarnya mengeluh.
"bukan begitu masalahnya. Kalau aku ikut olimpiade, aku pasti sibuk. Jadi enggak ada waktu buat gangguin kamu." ejeknya. Yah, benar juga sih. setiap kali ada olimpiade aku akan jauh lebih terkucil dari kelompok anak pintarnya yang terlalu rajin belajar.
"Iya, tapi kamu walaupun ngomong gitu.. akhirnya tetep ikut juga kan" balasku. Meski murung begitu, Ananta memang tidak pernah melewatkan satupun piala olimpiade untuk dibawa pulang. Kecuali... kalau dia sedang sangat sakit.
"iya sih." Ucapnya sambil sedikit tertawa.
"syukuri aja masih bisa bikin almamater bangga sampe tahun terakhir disini. Semangat lah..." ucapku mengangkat tangannya ke udara. Dia hanya tersenyum kecil melihatku menggoyang-goyangkan tangannya yang lemas dengan gerakan melambai pelan.
Setelah mendengar berita gembira yang mengesalkan itu kami kembali ke kelas. Tidak seperti saat kami baru tiba di sekolah, sekarang kelas sudah ramai. Teman-teman sekelas ku sudah asyik mengobrol satu sama lain. Padahal saat baru sampai masih tidak ad siapapun di sekolah.
Meski begitu, di antara mereka tidak ada yang mengajakku bicara. Aku sendiri tidak peduli akan hal itu. Lagipula aku juga malas menanggapi hal-hal yang mereka bicarakan. Terkadang topik mereka sangat tidak masuk akal bagiku. Ananta selalu lebih menarik.
"Ta, nanti pulang sekolah kemana??? Main yuk" Ajak ku antusias, mencoba mengeluarkan si pemalas dari dua tempatnya mengurung diri. Rumah, dan rumah sakit, walau kadang-kadang sekolah juga sih.
"Baru aja duduk udah ngomongin pulang sekolah. Belajar sana" Ucapnya memulai nasehat yang 'seperti orang dewasa'.
"Ananta benar alana. Harusnya kamu lebih fokus belajar. Kalian ini sehari harinya selalu nempel, giliran nilai aja jaraknya jauh banget." Ucap seorang guru yang entah sejak kapan sudah berada di kelas kami, bahkan nimbrung dalam obrolan kami.
Aku hanya bisa tersenyum kikuk.
"Ananta, ajarin alana belajar, biar seenggaknya bisa ketularan kamu, enggak remidi." Nasehatnya lagi. Kalimat yang sudah sering kudengar. aku dan Ananta memang bagaikan anak tiri dan anak kandung bagi guru-guru di sekolah, diperlakukan berbeda padahal sering bersama-sama.
"Siap bu, saya usahakan." Jawab Ananta dengan senyum bangga.
Tidak peduli kepadaku yang sedang menatap kesal ke arahnya. Senyumnya seperti mengiyakan bahwa aku anak yang bodoh, tidak sepertinya yang juara kelas. Yah, walau aku tidak sepenuhnya bodoh sebenarnya, aku juga punya kelebihan. Sayangnya kelebihanku tidak di bidang akademik, jadi tidak bisa di banggakan seperti dia.
...***...
Sore harinya terjadi tidak seperti rencanaku. Ada latihan dadakan hari ini, karena lomba lari yang akan aku ikuti minggu depan. Olahraga ini satu-satunya ekskul yang aku ikuti di sekolah, dan masih saja mengganggu waktu berdua ku dengan Ananta.
Aku tidak pandai dalam akademik, hanya kegiatan fisik yang bisa kulakukan dengan baik. Dan berlari adalah salah satu keahlian yang bisa ku pamerkan kepada Ananta. Walaupun aku tidak pernah benar-benar pamer juga sih. Karena dia tidak pernah melihatku berlari.
"Hah... Hah... Latihannya akan sangat lama, kamu pulang duluan aja." Ucapku dengan nafas putus-putus. Ananta menghampiriku di tengah latihan, dia sudah selesai lebih dulu padahal aku masih harus berlatih lima putaran lagi.
"Oke" Ucapnya singkat, lalu beranjak pergi. Aku hanya menatap punggungnya yang bergerak menjauh dariku.
"Haish, harusnya Ananta tetep nungguin. Dasar enggak peka!" Ujarku kesal saat melihat Ananta berjalan dengan semangat menjauhi lapangan.
Aku kembali berlatih dengan mood yang kurang baik. Anehnya, aku yang sedang kesal justru berlari dengan lebih baik. Berlari saat sedang kesal ternyata ada untungnya juga.
Aku menyelesaikan 5 putaran dengan lebih cepat dari biasanya. Setelah target tercapai aku langsung pamit kepada pelatih untuk pulang lebih dulu. Buru-buru aku menenggak air putih dan mengganti pakaian agar bisa segera pulang dan beristirahat.
Kegiatanku masih memakan waktu cukup lama juga, karena aku masih harus mendiamkan kakiku sebentar agar tidak kram.
'Untung saja aku menyuruh Ananta pulang duluan' pikirku. Kalau tidak, dia pasti bosan menungguku selama itu.
PUK!! Begitu sampai di lorong kelas, sebuah botol air minum dingin dipukulkan ke atas kepalaku.
"Lama!" Suara bass itu membuyarkan lamunanku, suara yang familiar. Dia tidak pulang??
"Kok disini." Tanyaku spontan
"Kan kamu belum pulang." Jawabnya asal. Aku tersanjung.
Jadi 2 jam tadi?? Selama itu dia nunggu disini??
Segera saja aku menyesal sudah memarahinya (meski tidak dia dengar langsung) tadi.
"Oh.." Dengan refleks aku menggumam pelan. Seperti justru aku yang tidak peka selama ini. Terakhir dia bercerita tentang hal-hal yang dia benci adalah saat kami masih kecil. Katanya, Ananta benci olahraga lari, karena dia tidak boleh melakukannya karena penyakit yang dia punya. Dia sangat ingin mencoba, tapi dia benar-benar tidak bisa. Jadi dia memilih tidak melihat sama sekali, supaya dia tidak terlena untuk melakukannya.
Sontak aku merasa bersalah, dia pasti tidak suka melihatku berlari meski tidak pernah mengatakannya langsung.
Karena itu dia keluar dan menungguku di Koridor bahkan masih mau menungguku sampai selesai latihan.
"Ananta" Langkahku memelan, Ananta tetap berjalan dalam temponya.
"Hmm?" Jawabnya dengan gumaman.
Tanganku menggenggam kemejanya dari belakang.
"Maaf ya.. aku baru ingat" Ucapku menahan emosi yang membuncah di depannya.
"dasar.. Kenapa sih?" Ananta berbalik menghadap ku lalu menarik kepalaku untuk menatapnya.
Hanya dengan menatap mataku, dia memahaminya.
Dia menatapku dengan senyum termanisnya hari ini. Menatapku lekat-lekat.
"Aku tahu kamu suka lari, dan kalau kamu suka, aku juga suka" Ucapnya lagi. Hatiku lebih tenang mendengarnya. Entah, Kata-kata singkatnya selalu berhasil membuatku tersenyum dengan cara yang aneh.
"Maaf" Ucapku lagi, aku masih merasa tidak enak.
"Nggak apa-apa kok. Ayo pulang. Aku lapar." Aku tersenyum mendengarnya mencari topik lain. Ananta... terlalu pengertian.
"Ayo!" Jawabku semangat.
"Besok-besok jangan nunggu aku latihan ya" Ucapku.
"Kalau enggak, aku usir" Lanjut ku usil.
"padahal aku pengen liat kamu keringetan." Aku menatapnya dengan mata menyipit penuh curiga. Sejak kapan Ananta memikirkan hal-hal seperti itu? Aku melotot ke arahnya dengan marah.
"Enggak kok, nggak jadi" Ucapnya salah tingkah.
"Udah ah, ayo makan." Ucapnya meraih tanganku lalu menarik ku untuk berjalan lebih cepat. Hari itu berakhir dengan dia mentraktirku makan makanan kesukaanku yang totalnya hampir 3 porsi.
***
Ananta sakit lagi hari ini, padahal kemarin dia terlihat 'sangat' baik-baik saja. Padahal beberapa hari yang lalu dia baru saja pulih.
Aku sebenarnya tahu penyakitnya tidak pernah sembuh, tapi dari yang bisa aku lihat... Kali ini dia akan tinggal lebih lama do rumah sakit. Tujuh hari, selama waktu itu dia akan menjalani perawatan intensif dirawat oleh ayah.
Hal seperti ini yang selalu aku benci sekaligus membuatku gelisah. Mereka melakukan semua prosedur menyakitkan untuk membuat jantungnya berdetak lebih lama.
Dan sejak kami masuk SMP, setiap kali ini terjadi dia selalu mengusirku pergi. Bahkan ayah dan ibunya hanya boleh menunggu di luar ruangan sampai kondisinya kembali stabil. Hanya ayah, dokter yang bisa merawatnya dari dekat.
Setelah prosedur menyakitkan itu selesai, baru aku dibolehkan menemuinya. Aku akan menunggunya di luar pintu hingga ayah membiarkanku masuk sesuai permintaannya.
Kami hanya siswa SMP, tapi hidup yang dia jalani terasa lebih berat dari yang seharusnya.
Aku akan melihatnya tersenyum setelah semuanya berlalu, padahal aku tahu rasa sakit seperti apa yang sudah dilaluinya sebelum itu.
"Alana..." Dia memanggilku dengan senyum manisnya seperti biasa. Kini dia sudah berganti baju, bukan lagi baju rumah sakit yang membuatnya nampak pucat. Hari ini dia sudah boleh pulang dari rumah sakit.
"Hmm" Ah, rasanya aku enggan membuka mulut untuknya hari ini. Aku masih dendam karena kali ini hanya boleh menemuinya saat dia sudah di bolehkan pulang.
"Juteknya, jangan manyun begitu. Tambah jelek." Dia menangkup wajahku memaksaku menatap lurus ke matanya.
"Kamu terlihat lebih manis saat masih kecil. Kenapa sekarang jadi begini" Ucapnya dengan tanpa dosa.
"Apa? Jadi aku tambah jelek sekarang" Ucapku, kesalku berlipat-lipat mendengarnya.
"Ah tidak-tidak. Alana selalu cantik. Perempuan paling cantik yang aku kenal" Ucapnya kelabakan, pujiannya tidak membuatku senang.
Aku menghela nafas berat.
"Kamu juga, sikapmu jauh lebih manis saat kita masih kecil." Ejek ku. Sikap manisnya dulu sepertinya luntur karena terlalu sering dirawat di rumah sakit.
"Dulu kamu tidak pernah mengusirku." Ucapku lirih. Jujur, aku masih kesal karena tidak bisa menemani dan bertemu dia selama 7 hari penuh. Dia bahkan meminta ayah melarang ku mendekati ruangannya. menyebalkan.
"Sudah jangan marah begitu. Harusnya kamu memberiku selamat karena sudah boleh keluar dari rumah sakit" Ucapnya seperti anak kecil yang meminta hadiah.
Ya, harusnya aku bahagia karena itu. sudahlah.
"Ah Iya... Terimakasih sudah bertahan dengan baik" Ucapku mengusap kepalanya dengan lembut.
Aku lalu memeluk lengannya, menggandengnya kemanapun dia pergi. Ayah mungkin akan geleng-geleng kepala jika melihat kelakuanku hari ini yang terus menempel pada Ananta.
Yah, ini kan momen penting. Momen saat kami akan pulang bersama, lagi. Setelah penantian dan rasa cemas sepanjang 7 hari
"Apa kata ayah?" Tanyaku
"Hmm, aku baik-baik saja." Jawabnya singkat.
"Katanya Jantungku sudah kembali normal" Ucapnya bangga.
"Tentu saja. Dia harus bekerja dengan baik... Kita kan masih harus menikah." Ucapku membicarakan jantungnya yang kini sedang berdetak pada temponya. Kami punya janji yang harus ditepati, jadi dia tidak boleh buru-buru pergi sebelum waktunya tiba.
Sebelum benar-benar pulang ke rumah aku mengajaknya pergi ke cafe kesukaanku. Kami memesan dua makanan yang terlihat kontras. Kue yang serba hitam dan serba pink.
Karena terlihat lucu aku mengeluarkan ponselku untuk memotretnya. Tapi sebelum itu terjadi aku mengamati Ananta yang memandang ke luar jendela kaca. Ah, cowok ini selalu menyita perhatianku.
Dengan gerakan cepat aku menggerakkan ponselku untuk memotretnya, tadinya hanya satu foto, tapi karena terlalu bagus akhirnya layarku penuh dengan wajahnya.
Saat dia menyadarinya aku buru-buru mengalihkan pandanganku ke kue untuk memotretnya.
"Kita hanya berpisah selama tujuh hari, tapi kenapa kamu begitu merindukanku" Ucapnya dengan lancar. Dia tentu sadar aku mengambil fotonya dari tadi.
Aku menatapnya dengan kesal. Apa kepalanya terbentur sesuatu. Kalimatnya sangat tidak cocok dengan Ananta yang kukenal cuek selama ini.
"Aku cuma memotret kue..." Ucapku protes tanpa melirik ke arahnya. Namun aku tidak bisa berpura-pura tidak peduli dengannya karena setelah beberapa saat aku kembali memandanginya.
'Ah, sepertinya aku memang merindukannya'
Kini Aku bukan hanya memandang, tapi menatapnya dengan tatapan yang dalam.
"Sini, aku mau lihat" Ucapnya menyodorkan tangan untuk merebut ponselku. Aku malas berbohong lagi, akhirnya aku pasrah dan menyerahkan ponselku.
Dia tidak membuka galeri, tapi kamera. Dia menjulurkan tangannya menjauh lalu menarik ku mendekat. Kami berfoto bersama tanpa aba-aba.
"Nih biar kamu nggak kangen lagi" Ucapnya mengembalikan ponselku dari tangannya.
"Ulang! Ekspresi ku pasti jelek" Ucapku dengan marah, reflek aku memukul-mukul bahunya untuk mengulangi selfi berdua.
"Sebentar" Ucapnya sibuk mengotak-atik ponselku sebelum menuruti ku untuk berfoto lagi. Kali ini aku segera merebut ponselku. Ekspresi ku terlihat lebih baik daripada foto sebelumnya. Di foto sebelumnya mulutku terbuka karena terkejut, aku langsung menghapusnya sebelum Ananta sempat melihat.
"Alana, kita sudah tidak bertemu selama satu minggu... Apa kamu tetap sendirian di sekolah?" Tanya Ananta tiba-tiba, membuat suasana berubah menjadi sedikit serius gara-gara ekspresinya.
"Aku tidak punya waktu untuk mencari pacar gara-gara mengkhawatirkan kamu tahu. Lagi pula aku sudah punya kamu." Ucapku berpura-pura tidak paham tentang apa yang dia maksud.
"Selain tidak punya pacar, kamu juga tidak punya teman?" Tanya Ananta lagi.
'Iya, aku masih sendirian dan aku tidak peduli akan hal itu sama sekali. Karena selama hari-hari yang berlalu kemarin dipikiran ku cuma ada kamu.' Ucapku dalam hati. Nyatanya aku juga selalu baik-baik saja meski tidak punya teman selain Ananta.
Walau teman sekelas ku sebenarnya cukup baik karena mereka tidak mengucilkan ku hanya karena aku tidak ikut bergosip atau berkumpul dengan mereka. Hanya saja, mereka tidak sering berinteraksi denganku, itu saja.
"Aku punya..." Ucapku sedikit menggantung. Aku tidak mau dia mengkhawatirkan ku tentang hal sepele seperti ini.
"Selain aku maksudnya." Ucapnya lagi.
"Ada... Kamu saja yang tidak perhatian." Ejek ku.
"Aku menyimpan nomor mereka" Ucapku menunjukkan nomor-nomor baru di dalam daftar kontak untuk meyakinkan dia.
Walaupun nomor itu aku dapatkan gara-gara terpaksa bergabung untuk kerja kelompok.
"Hummm, baiklah."
"Jadi aku bisa tenang kalau-kalau harus ke rumah sakit lagi untuk waktu yang lama." Ucapnya tanpa rasa berdosa karena sudah merusak suasana.
"Jangan sering-sering kesana. Aku mulai benci bau rumah sakit" Ucapku dingin.
"Iya iya..." Jawabnya takut takut. Sebelum aku sempat mengomel dia buru-buru bangun dari tempatnya duduk.
"Tunggu sebentar" Ucapnya sebelum meninggalkanku dan pergi untuk memesan sesuatu di kasir lalu kembali membawa sebuah es krim rasa blueberry. Benda itu membuatku tersenyum kembali secara otomatis.
"Kamu serem kalau lagi marah." Ucapnya takut-takut sambil menyodorkan es krim berwarna biru itu.
Ananta sudah terlalu hafal dengan gerak-gerik ku, makanya dia bisa segera melakukan sesuatu untuk membuatku tidak jadi marah.
"Sepertinya aku perlu banyak stok es krim nantinya." Ucapnya samar sehingga hampir tidak terdengar olehku. Aku mengabaikannya. Karena es krim manis itu terlihat lebih menarik.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!