NovelToon NovelToon

Mr. Casanova

Part 1. Malam Pengantin

"Sangat buruk! Pantas saja kau di ceraikan oleh suamimu, dan memilih wanita lain!" cecar pria tampan dengan pupil mata kecoklatan itu sangat meremehkan setelah menghempaskan wanita itu di atas ranjang, yang tak lain adalah berstatus istrinya, wanita yang baru saja menjadi miliknya. Miliknya? Jangan berharap kalimat tersebut pantas untuk disematkan kepada Eleanor oleh Mr. Casanova Alexei Brylee.

Sementara Eleanor berupaya menghirup oksigen yang hampir membuatnya tidak bisa bernafas, setelah di cium paksa, bukan sekedar ciuman biasa tetapi seperti sebuah alat Vacuum Cleaner.

Alexei, menatap angkuh dan meremehkan sembari mengancingkan baju kemeja yang baru saja di ganti, setelah melemparkan pakaian kotor ke lantai.

Tiba-tiba getaran ponsel di atas meja sofa mengalihkan tatapan tajam Alexei. Tangan panjangnya meraih ponsel itu masih dengan tatapan marah, namun tak berselang lama ekspresinya berubah manis.

{"Baby, apa kau sudah siap? Tunggu aku di tempat biasa. Aku ingin malam ini mendapat service yang luar biasa!"}

Usai mengatakan kalimat yang menjijikkan bagi Eleanor, pria itu bergegas merapikan kembali penampilannya.

Tanpa mengatakan sepatah kata lagi, ia berjalan menuju pintu. Namun tiba-tiba langkah itu terhenti tepat di ambang pintu yang sudah dibuka sebagian.

"Kau bisa pulang kapanpun. Sandi pintu 181222! Sebaiknya besok, karena tidak baik bagi seorang wanita pulang sendirian tengah malam!" usai mengatakan itu, langkahnya dilanjutkan. Entah mengapa perkataannya itu seolah-olah ada rasa peduli, namun sedikitpun tak di tanggapi oleh Eleanor.

Sandi pintu itu adalah tanggal di mana hari pernikahan mereka. Entah alasan apa pria itu menggantikan angka sandi dengan tanggal pernikahan mereka. Tidak ada yang tahu apa alasannya, ataukah hanya sekedar untuk memudahkan pengingat bagi Eleanor.

Selepas Kepergian Alexei, dengan perlahan Eleanor beranjak dari tempat tidur. Rasa sedikit sakit di area punggung, akibat hempasan kasar tadi membuatnya sedikit mendesis.

Eleanor tersenyum getir dengan apa yang ia terima barusan, di mana pria yang tak lain adalah suaminya itu memperlakukannya seperti sampah yang sama sekali tak ada harganya.

Baru beberapa jam ia menjadi istri sudah menerima perlakuan kasar, apalagi seterusnya. Ya, mulai sekarang ia harus kuat mental dan fisik untuk menghadapi pria itu.

Merasakan seluruh kulitnya lengket akibat keringat seharian penuh, membuat Eleanor segera berjalan ke arah kamar mandi. Satu-satunya cara untuk merendamkan rasa lelah maupun beban dengan berendam dengan air dingin.

Tiba di dalam kamar mandi Eleanor bergegas mengisi bathub. Hanya butuh lima menit saja, kemudian ia masuk dan tenggelamkan seluruh tubuhnya, kecuali kepala.

Tentu saja rasa dingin menggerogoti bagian tubuhnya karena pada saat itu menunjukan pukul dua belas malam. Namun rasa dingin itu justru membuatnya lebih segar dan menjernihkan isi kepalanya yang hampir mau meledak.

Eleanor meletakan kepalanya di sandaran bathub dengan mata terpejam. Aromaterapi lilin melati membuat pikirannya terbang ke mana-mana, hingga ingatannya kembali di mana ia di tawari untuk menikah oleh majikannya sendiri, yang tak lain menyandang status mertuanya saat ini.

*

Pada saat itu Eleanor baru saja bekerja satu minggu, namun pada hari di mana ia sangat membutuhkan uang, tiba-tiba Nyonya majikannya menawarkan sesuatu yang tentu saja membuatnya kaget luar biasa.

Karena desakan dan tidak ada cara lain, Eleanor terpaksa menerima tawaran tersebut.

Part 2. Istri Yang Tak Dianggap

Menjelang pagi, Eleanor bergegas meninggalkan hotel mewah tersebut. Ia bukan langsung pulang ke apartemen, namun tujuan utamanya adalah rumah sakit.

Dengan langkah kaki gontai menghampiri ruangan sepi mencekam, hanya terdengar bunyi alat-alat medis.

Dua buah brankar yang terdapat di dalam ruangan tersebut. Masing-masing di tempati oleh anak perempuan cantik, dengan wajah memucat dan terpejam.

"Sayang, cepatlah bangun. Mom, sangat kesepian," ucap Eleanor dengan berlinang air mata sembari mengusap wajah ke-duanya dengan tangan gemetar.

Eleanor menatap ke-duanya silih berganti. Dadanya begitu sesak melihat betapa mirisnya ke-dua bocah cantik itu terbaring dengan banyak alat medis yang terpasang.

Puas mengutarakan rasa bersalah, wanita cantik itu menyudahi pertemuan mereka dengan menciumi dahi masing-masing. "Sayang, Mom yakin kalian anak yang pintar dan kuat. Mom, dengan sabar menunggu bangunnya kalian." Usai mengatakan itu, ia melangkah keluar. Menuju ruang dokter, sesuai perintah dari sang suster.

Tiba di ruang dokter, ia di sambut dengan ramah, bahkan dokter dan suster begitu menghormati dia. Maklum saja, status Eleanor sekarang adalah menantu dari keluarga terpandang, itu artinya ia menjadi bagian dari pemilik rumah sakit tersebut.

Usai di persilakan duduk, Eleanor menanyai perkembangan kondisi ke-dua putrinya. "Dok, bagaimana keadaan mereka? Apa semuanya baik-baik saja?" dengan mata berkaca-kaca Eleanor menanyakan kondisi ke-dua putrinya, sangat berharap mendapat jawaban yang melegakan.

"Besok kita akan melakukan operasi lanjutan Nona. Puji Tuhan ada perkembangan sesuai yang kita harapkan. Untuk Aira, kondisinya mulai stabil namun luka berat yang di alami di bagian tungkai belakang menyebabkan kondisinya melemah dan belum sadarkan diri. Sedangkan Aura, kita masih mengoperasikan luka berat pada tulang belakangnya." Keterangan dokter membuat Eleanor hanya bisa mengusap dada. Keterangan yang tentu saja tidak baik. "Kita berdoa saja Nona. Aira maupun Aura, anak yang kuat, buktinya mereka mampu melewati masa kritis."

"Terima kasih dok, semua berkat kerja keras dokter dan tim lainnya."

Dokter mengangguk sembari menutup data hasil pemeriksaan Aira dan Aura. Ya, nama anak perempuan kembar itu adalah Aira dan Aura.

"Nona, jangan khawatir. Kami tim dokter akan berusaha semaksimal mungkin. Kita serahkan semua kepada yang di atas."

Eleanor mengangguk sembari bergumam amin. Ya, yang hanya bisa ia lakukan saat ini dan seterusnya adalah berdoa, minta pertolongan dari Sang Pencipta.

*

Petang menjelang Eleanor baru mendatangi apartemen, tempat tinggalnya ia dan suaminya Alexei.

Karena sudah tau nomor sandi apartemen, ia masuk begitu saja. Sementara sosok yang sedang duduk di depan televisi menatapnya dengan mata nyalang, seperti ingin memakannya hidup-hidup.

"Baru pulang? Kelayapan di luar sana? Pantas saja, kau diceraikan karena begini kelakuanmu!" cecaran dan caci maki itu membuat Eleanor telonjak kaget, hingga langkahnya spontan berhenti. Ia benar-benar tidak menyadari soal keberadaan suaminya itu.

Dengan mengigit bibir bawahnya Eleanor menahan rasa, mendengar cecaran itu.

"Honey, ini minumannya."

Tiba-tiba suara manja seorang wanita membuat Eleanor mendongak, memberanikan diri memandang ke arah di mana sosok tadi itu menyambut kedatangannya. Ets, bukan menyambut namun sambutan mencecar dan merendahkan dirinya. Sementara wanita itu tanpa merasa malu duduk begitu saja di pangkuan Alexei dengan gerakan menggoda.

"Honey, jadi ini wanita itu?"

Hmm

Tanpa ingin menjawab, Alexei langsung menyambar bibir merah merekah itu. Bukan hanya ciuman biasa, namun ciuman yang menuntut.

Dengan spontan Eleanor membuang pandangan ke arah lain, dengan hati bergemuruh. Sementara dua sosok itu sama sekali tak menghiraukan keberadaannya, seolah dirinya hanya sebuah patung pajangan atau sama sekali tak terlihat.

Karena keadaan di depan matanya semakin tak bermoral membuat Eleanor memutuskan melanjutkan langkahnya meninggalkan tempat menjijikkan itu.

"Siapkan air mandiku!" perintah tegas itu kembali menghentikan langkahnya.

"Baik," sahut Eleanor tanpa ingin menoleh ke sumber suara.

"Cepat kerjakan!" bentak wanita itu, ikut-ikutan membentak dirinya. Hal itu membawa pandangan Eleanor terpaksa teralihkan, namun pandangan itu tak bertahan lama karena tatapan ia dan Alexei bertemu.

Tatapan mematikan itu membuat Eleanor tertunduk, tanpa ingin membalas tatapan itu, bukan karena takut, tapi karena tidak ingin membuang waktu cuma-cuma.

Eleanor berjalan dengan tangan terkepal erat, dadanya bergemuruh menahan rasa sakit. Tontonan yang sangat menjijikkan di depan matanya, berhasil menghujani hatinya dengan ribuan jarum yang menancap sangat dalam.

Seharusnya Eleanor tidak merasakan sakit seperti itu, tapi entah mengapa hatinya begitu sakit.

Part 3. Cinta Memang Membutakan

Usai menaruh koper bawaannya ke kamar miliknya, Eleanor melangkahkan kaki menuju tangga. Ya, kamar pribadi milik Alexei berada di lantai dua.

Tiba di kamar luas dengan nuansa warna krim dengan tataan rapi dan bersih itu. Eleanor langsung masuk ke dalam kamar mandi. Menyalakan air dengan suhu hangat, dan menaburkan aromaterapi yang terdapat di rak kamar mandi.

Sembari menunggu air itu penuh, Eleanor duduk di sisi bathtub dengan melamun. Ingatan tiga minggu yang lalu membuat air matanya luruh tanpa di minta.

Di mana kejadian naas itu menimpa ke-dua putri kembarnya dan sosok orang yang sangat mencintainya. Karena musibah kecelakaan itu nyawanya tak tertolong.

Hmm,

Deheman tegas itu membuat lamunan Eleanor membuyar, dan bahkan baru menyadari jika air dalam bathub sudah penuh melewati batas yang di inginkan.

Dengan segera Eleanor mengusap sisa-sisa air matanya, tidak ingin pria gagah perkasa itu semakin meremehkannya.

"Apa pekerjaanmu hanya melamun saja? Entah bagaimana bisa Mom, memperkerjakan pelayan seperti kau!" dengan rahang mengeras dan tatapan merendahkan, Alexei kembali melontarkan kata-kata kasar itu.

Eleanor mengigit bibir bawahnya, bukan akibat mendengar perkataan Alexei, namun karena pria itu berdiri tepat dihadapannya dengan bertelanjang dada.

Mungkin siapapun yang melihat betapa indahnya dan gagahnya pria itu, akan tertarik dengan kesempurnaan tubuhnya.

Hal itu berhasil membuat jantung seorang Eleanor berdegup sangat kencang. Bahkan ia menelan ludah diam-diam, karena tak sengaja pandangannya itu berlabuh pada pemilik tubuh itu, yang tak lain adalah suaminya sendiri.

"Maaf, aku tak sengaja. Jika begitu aku permisi!" ucap Eleanor dengan nada gugup, berusaha menyembunyikan degap jantungnya yang semakin tak normal. Bagaimana bisa normal karena saat ini pria itu semakin mendekatkan dirinya, bahkan kulit halus itu bersentuhan dengan kulit Eleanor.

Tanpa basa-basi lagi Eleanor bergegas bangkit dan berjalan menuju pintu kamar mandi. Ia tidak ingin kejadian pada saat di hotel terulang kembali. Saat ini pikirannya masih normal, oleh karena itu ia tidak ingin terjebak.

Entah mengapa Alexei hanya menatap kepergian Eleanor tanpa ingin mencecar kembali. Bahkan ia memandang tubuh itu sampai menghilang.

*

Satu minggu berlalu, tapi belum juga ada kabar baik sadarnya Aira ataupun Aura dari komanya. Hal ini membuat Eleanor selalu memikirkan keadaan mereka.

Hari ini adalah kali pertama Eleanor menginjakkan kaki di gedung pencakar langit. Di mana perusahaan milik BRYLEE GROUP.

Karena permintaan ke-dua mertuanya, Eleanor menyanggupinya. Kini wanita berparas cantik dengan tubuh profesional, bak model itu berada di dalam lift khusus.

Usai menghela nafas panjang, tangannya terulur untuk mengetuk pintu ruangan CEO. Bagaimanapun ia harus punya etika, walau perusahaan ini juga sudah menjadi bagian darinya.

Tok tok!

Hanya dua kali ketukan, pintu itu segera terbuka. Ternyata yang buka pintu adalah Billy Jhonn, asisten pribadi Alexei.

"Selamat siang, Nona! Mari silakan masuk." Billy menyapa bahkan mempersilakan Eleanor dengan ramah.

Eleanor mengangguk dan tersenyum sebagai jawabannya. Ia pun masuk dan langsung menyapa ke-dua mertuanya dengan ramah.

"Siang Mom, Dad. Bagaimana kabar Mom maupun Dad?"

"Kami baik-baik saja sayang. Hmm, kau sangat cantik sekali." Sambut Mommy Luna, usai melakukan cipika-cipiki.

Pujian itu tentu saja membuat Eleanor tersipu malu. Ya, hari ini penampilan Eleanor beda dari hari-hari sebelumnya. Ia mengenakan dress pas body dengan warna krim.

"Seperti yang dikatakan Mommy-mu kabar kami baik-baik saja. Tapi kabar Oma kalian kurang baik, jika ada waktu luang, kunjungilah mereka." Timpal Daddy Scoot.

"Baik, Dad. Besok Ele akan mengunjungi Oma dan Opa," sahut Eleanor.

Sementara Alexei hanya diam saja. Pria itu menyibukkan diri dengan laptop di atas mejanya, seakan kehadiran Eleanor sama sekali tak berarti baginya.

Kini Eleanor ikut duduk di sofa dalam ruangan itu. Posisinya sedang duduk berhadapan dengan ke-dua mertuanya.

"Al, bisakah kau hentikan dulu pekerjaanmu itu? Apakah kehadiran kami sama sekali tak kau minati?" ujar Daddy Scoot dengan raut wajah marah. Bagaimana tidak marah dengan sikap putranya yang sejak tadi sama sekali tak menggubris kedatangan mereka.

"Sayang, hentikan sejenak pekerjaanmu. Ada yang ingin Mom Dad bicarakan. Tolong jangan buat Daddy-mu kesal," dengan suara lembut, Mommy Luna berusaha mencairkan suasana yang mulai memanas, sembari mengusap punggung tangan suaminya.

Tanpa ingin menjawab, Alexei dengan patuh menuruti apa yang dikatakan sang Mommy. Ya, hanya Mommy Luna lah orang satu-satunya yang tak dapat ia bantah.

Sesaat Alexei kaget dengan penampilan Eleanor hari ini. Bahkan darahnya mendesir, menjalar ke mana-mana. Sementara Eleanor tak menyadari jika pria yang saat ini duduk di sebelahnya sempat memandangnya cukup lama. Lain halnya dengan Mommy Luna, wanita paruh baya itu senyum-senyum sendiri.

"Kita bicara langsung ke intinya saja. Apalagi Al, begitu sibuk," ujar Daddy Scoot, memulai perbincangan. Pria gagah itu mengeluarkan beberapa dokumen penting dari map yang sengaja diletakkan di atas meja sofa. Sementara Alexei mengernyit dahi setelah melihat hal itu sepertinya ia tahu dokumen apa itu. "Al, kau tandatangani dokumen penyerahan kepemilikan seluruh perusahaan BRYLEE GROUP kepada Ele!"

Tentu saja pernyataan itu seperti petir menyambar di siang bolong bagi Alexei maupun Eleanor. Ke-duanya sangat kaget dan mengalihkan pandangan kepada Daddy Scoot dengan mata melebar.

"Sekarang BRYLEE GROUP atas nama Eleanor! Segera tandatangani sekarang juga, keputusan ini tidak dapat kau bantah!" dengan tenang Daddy Scoot menyerahkan dokumen itu kepada Alexei untuk segera membubuhkan tanda tangannya.

Brak!

Alexei menubruk meja sofa dengan kerasnya. Itu membuat Eleanor maupun Mommy Luna mengusap dada, sedikit terkejut. Sementara Daddy Scoot tenang-tenang saja, seakan sudah tahu keadaan yang akan terjadi.

"Apa maksud Daddy?" serkas Alexei dengan marahnya, siapa juga yang menjadi posisinya pasti akan merasakan hal yang sama.

"Kau bukan orang yang bodoh, jadi semuanya sudah jelas dan tak perlu di jelaskan panjang lebar lagi. Tandatangani sekarang juga karena dokumen ini akan segera diserahkan kepada istri-mu Eleanor."

"Sayang, semua ini Mommy yang memutuskan. Ini bukan salah Daddy-mu, percayalah ini yang terbaik. Dad, dulu juga menyerahkan aset keluarga kepada Mommy," ucap Mommy Luna, agar putranya itu tidak menyalahkan suaminya. Semua ini adalah keputusan darinya.

Alexei mengepalkan tangan, melirik Eleanor dengan skor mata elangnya. Sementara Eleanor hanya bisa menunduk, ia sendiri juga tak percaya.

Tanpa ingin berdebat lagi, dengan mudahnya Alexei membubuhkan tanda tangannya. Namun amarah itu tidak segera padam, dalam hati ia bersungut-sungut menyalahkan Eleanor.

"Sayang, sekarang giliranmu tandatangani. Dan simpan baik-baik dokumen ini. Mulai hari ini kau lah berwenang atas aset seluruh kekayaan keluarga. Keluar dan masuknya uang atas persetujuanmu," ucap Mommy Luna sembari menyerahkan dokumen itu setelah resmi di tandatangani Alexei.

"Dad, Mom ini terlalu berlebihan. Dengan berat hati, Ele menolak." Dengan memberanikan diri Eleanor menolak penyerahan itu.

"Cih, sok lugu. Kau puas sudah berhasil merampas segalanya! Jadi jangan pura-pura menolak! Aku muak!" cecar Alexei sembari beranjak bangkit, dan berjalan menuju pintu dengan amarah membara.

*

Satu bulan berlalu

Menjelang malam, Eleanor baru saja tiba di apartemen. Langkahnya terhenti ketika suara bariton cukup lantang mencecar akan kedatangannya.

"Sudah puas berkeliaran di luaran sana? Berfoya-foya dengan uang yang bukan seharusnya menjadi hak milikmu?" tuduh Alexei dengan tatapan membunuh. Lalu melangkah, mendekati Eleanor, meraup rahang Eleanor begitu kasarnya. "Jimat apa yang kau gunakan untuk menutupi mata dan hati ke-dua orang tuaku? Hingga dengan mudahnya kau memanfaatkan mereka?"

Awww!

Eleanor menjerit menahan rasa nyeri pada rahangnya, hingga tangannya mencengkram pergelangan tangan Alexei, namun tenaganya tak sebanding.

"Dasar pelayan!" cecar Alexei mengejek sembari mendorong tubuh itu hingga terpental mengenai sofa. Tanpa memperdulikan rintihan dan keadaan Eleanor, Alexei pergi dengan perasaan puas.

Eleanor hanya bisa mengusap dada, perkataan Alexei sungguh tak punya perasaan. Mengatakan sesuatu yang sama sekali tak ia ketahui.

Sebagai wanita yang baik-baik tentu saja menyakiti hatinya. Namun rasa cinta itu mampu mengubah rasa marahnya kepada pria tampan itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!