Arini kecil yang senang berlari-lari usia 12 tahun, Tidak ada bedanya dengan rekan sebayanya.
" Putriku kalo sudah besar kamu ingin jadi apa?" Bu Sara Ibu Arini sambil mengusap wajah cantik Arini setelah menerima raport sekolah.
" Arini ingin jadi Perawat Bu." Arini kecil sambil tersenyum menatap sang Ibu.
Rino dan Hans kedua Kakak Arini pun mendengar.
" Kejarlah Dik, Cita-citamu biar Kami saja yang putus sekolah kamu jangan" Sahut Hans sambil menyiapkan dagangan baju untuk Ia berjualan di pasar.
" Adik cantik'ku mau di berikan apa buat oleh-oleh?" Tanya Rino Kakak kedua dari Arini.
" Mmt, Nanti kita makan bakso saja ya Kak." Jawab Arini.
" Kamu sudah naik ke kelas dua smp sekarang, Mintalah Dek. Anggap hadiah dari Kakakmu!" Imbuh Hans sambil tersenyum.
" Iya Putriku, Kedua Kakak'mu ingin memberikan hadiah untukmu. Mintalah" Sahut Pak Romi Ayah Arini.
" Arin minta tas sama sepatu baru, Boleh?" Pinta Arini
Hans dan Rino pun tersenyum mendengar ucapan manja Adiknya.
" Nanti kita beli sama-sama ya." Hans sambil mengeluarkan gerobak untuk jualan bersama Rino.
" Doa'in dagangan Kakak laris ya!" Pinta Rino menyalami Adiknya untuk berpamitan.
Arini pun memasuki kamar, Seperti biasa Ia menulis permintaannya di buku Diary'nya.
Bu Sara terus menceritakan peringkat kelas Arini ke tetangga samping dan depan rumahnya.
" Wah sangat beruntung ya, Bisa punya anak secerdas Arini." Salah satu tetangga memuji sambil duduk di depan teras rumah yang berhadapan dengan rumah Arini.
" Arini mah gadis sudah cantik, Pinter, tetus nurut pokoknya Bu Sara beruntung banget deh. Pasti nanti apa yang di cita-citakan Arini terwujud." Imbuh tetangganya.
Memgetahui dirinya jadi topik pembicaraan Arini keluar dari kamar dan memutuskan bergabung dengan obrolan tetangga dan Ibu'nya.
" Ini nih, Gadis cerdas!" Ujar Bu Miya, tetangga depan rumah.
" Nggak kok Bu, Itu berkat doa Ibu'ku." Balas Arini sambil brsandar di bahu Ibunya.
" Bu, Nanti bener ya sama Kakak dan Ayah kita beli sepatu." Pinta Arini.
" Iya Nak, Ini Ayahmu juga baru nyari uang. Doakan mereka laris ya." Balas Ibu sambil mengelus kepala Arini.
" Emang Arin mau sepatu apa?" Tanya Bu Miya.
" Arin pengen sepatu yang ringan buat olah raga di sekolah, Tante." Balas Arini.
" Wah cita-citanya Atlet ya?" Imbuh Ibu tetangga.
" Arin pengen jadi Perawat, Budhe!" Jawab Arini tersenyum.
" Wah seneng kalo lingkungan rumah sini ada Perawat, Biar kalo ada yang sakit bisa langsung di bantu!" Pungkas Bu Miya.
Arini pun tersenyum, Kemudian kembalilah Arini ke dalam kamar untuk menunggu kedua Kakak dan Ayahnya pulang.
...****************...
Sore hari menjelang,
Pukul 17.00 WIB, Kakak Arini yaitu Hans dan Rino pun kembali dari berdagang.
Hans melihat dari pintu, Arini tertidur di meja belajar samping tempat tidurnya. Hans Kakak yang sangat sayang pada Arini pun memasuki kamar Arini untuk membopong memindahkan ke tempat tidur. Sewaktu ingin membopong Hans melihat Diary-Arini yang terbuka Ia pun membacanya.
Hans pun tercengang melihat gambaran keluarganya di mata Arini, Ternyata Arini selalu menggambarkan kedua Kakaknya layaknya sayap baginya yang bisa menjangkau apa pun selama ada mereka. Sedang Ayah dan Ibunya di gambarkan Arini sebagai Malaikat yang memeluknya selalu.
" Hans, Kenapa kamu bengong." Rino melihat dari luar kamar Arini.
" Nih lihat, Adik kecil kita menggambarkan keluarga ini!" Jawab Hans memperlihatkan Buku Diary.
" Biarkan Dia yang mencapai cita-cita ya Hans, Kita hanya sayap yang akan terus mengangkatnya dan memudahkan jalannya untuk itu." Kata Rino sambil menatap Arini yang tertidur di meja belajar.
Arini pun terbangun karena mendengar suara kedua Kakaknya.
" Kak, Itu kah kalian? Sudah pulang?" Tanya Arini memaksa membuka mata yang masih mengantuk.
" Udah tidur aja lagi, Maaf'in Kami mengganggu mu!" Ujar Hans.
" Ayo Kak, Arini mandi dulu setelah itu beli sepatu buat lari. Arini ingin bisa berlari cepat." Kata Arini yang memaksa berdiri untuk menuju kamar Mandi.
" Biarkan kedua Kakakmu makan dulu, Nanti setelah capek mereka reda setelah makan dan istirahat baru kalian berangkat." Sahut Bu Sara tiba-tiba berada di depan pintu kamar.
" Udah mandi sana, Sehabis kamu mandi kita pergi." kata Rino sambil tersenyum.
Arini pun sangat senang kemudian Ia bergegas mengambil handuk yang tergantung di dekat kamar mandi.
" Apa kalian, Nggak capek?" Tanya Bu Sara
" Untuk Adik kesayangan Kami, Justru Kami akan capek jika tidak segera menuruti karena pasti rengek'annya terus sampai malam Bu!" Pungkas Hans sambil tersenyum.
" Maaf'in Ibu, Ibu nggak bisa menyekolahkan kalian layaknya Arini. Karena keterbatasan biaya, Kami orang tua yang gagal." Kata Bu Sara tertunduk menangis melihat Rino dan Hans.
" Ibu bicara apa sih, Kami justru bangga bisa bantu Arini buat kejar cita-citanya. Kalo masalah kami, Yah Kami bisa kok Bu bertahan hidup walau terbatas di pendidikan." Ujar Hans.
" Aku juga sadar diri kok Bu, Kalo Aku itu tidak mampu secerdas Arini. Jadi ya udah kita jadikan salah satu keluarga yang cerdas buat mengangkat derajat keluarga kita." Imbuh Rino sambil tersenyum.
Bu Sara langsung menghampiri keduanya kemudian mendekap erat sambil menangis.
" Ibu bangga punya anak-anak seperti kalian." Kata Bu Sara sambil memeluk Hans dan Rino sambil menangis.
" Bukan Bu, Justru Kami yang beruntung di lahirkan di keluarga ini. Bisa mempunyai Ibu yang super tegar, Mempunyai Adik perempuan yang cerdas pokoknya segalanya deh." Balas Rino.
Ayah pun memasuki rumah baru datang dari berdagang.
" Loh kenapa ini kok semua menangis?" Tutur Pak Romi masih menjinjing tas dagangan.
" Nggak apa-apa kok Pak." Balas Bu Sara, Kemudian mencium tangan Pak Romi di susul Hans dan Rino.
" Adik'mu Arini mana?" Tanya Sang Ayah.
" Baru mandi, Yah!" Jawab Rino.
Arini pun datang dengan mengelap rambut panjangnya dengan handuk menghampiri semuanya.
" Ayah!" Sapa Arini kemudian mencium tangan.
" Ini Ayah belikan buah jeruk kesuka'anmu, Sebentar Ayah ambil." Balas Sang Ayah sambil menaruh tas kemudian membuka mengambil plastik yang berisi jeruk buat Arini.
" Ayah'ku is the best father pokoknya" Ucap manja Arini sambil membuka plastik.
" Heh, Sana beres-beres ngegaresnya nanti. Jadi nggak beli sepatunya?" Tanya Hans berdiri merangkul pundak sang Ibu bersama Rino.
" Kakak ambil dulu, Baru Arini mau berangkat." Kata Arini membawa plastik kepada kedua Kakaknya.
Hans, Ibu, dan Rino pun mengambil satu buah jeruk setiap orang.
" Ayah, Gimana?" Kata Ayah menggoda Arini.
Arini pun menghampiri sang Ayah.
" Untuk Ayah, Arini suapin biar tidak tersedak bijinya Arin buang dulu." Ucap manja Arini terhadap sang Ayah.
Arini pun menyuapi sang Ayah.
" Hati-hati nanti kalian berangkatnya." Pesan Pak Romi.
Arini pun keluar kamar, Ia memakai baju dress yang bagus untuk pergi bersama Kedua Kakaknya membeli sepatu baru.
" Kak, Arin siap nih ayo." Arini dengan berlenggak-lenggok memamerkan baju bagusnya kepada Bu Sara dan Pak Romi yang ada di ruang tamu.
" Cantik banget Bidadari kecilku ini, Sini Ayah mau peluk dulu sebelum berangkat." Pak Romi menghampiri Arini.
" Ayah, Ayah belum mandi bau nanti Arin nggak wangi lagi!" Arini kesal di peluk Ayahnya.
" Iya Ayah, Nanti Bidadari Kita tidak wangi lagi sudahlah Yah." Bu Sara Sambil tersenyum.
" Kakak, Arin siap nih. Sudah seperti Bidadari kata Ayah dan Ibu." Panngilan Arini di ruang tamu duduk bersama Bu Sara dan Pak Romi.
Keluarlah dari satu kamar, Rino dan Hans.
" Iya Adik'ku, Kakak baru aja ganti baju. Kalo mendampingi Bidadari kan harus seperti Pangeran dong!" Kata Rino menghampiri Arini.
Hans pun lantas mendekati Arini, Menyilakan Sang Ayah.
" Minggir Yah, Mau lihat Bidadari dari dekat Hans." Sambil mencubit pipi Arini.
" Kak Hans, Nanti merah nih pipi Arin. Sakit tahu." Arini kesakitan di cubit Hans.
" Kita perginya bergandengan ya, Adik'ku Arin yang cantik di tengah biar kedua Pangeran ini mengawal Bidadari cantik Kami." Pungkas Rino menjulurkan tangan.
" Bu, Ayah, Arin dan Kakak pamit mau ke pasar dulu ya beli sepatu lari buat Arin." Pamit Arini sambil mencium tangan kedua Orang Tua di lanjutkan dengan kedua Kakak'nya mencium tangan Orang Tua Mereka.
Mereka bertiga pun keluar rumah untuk membeli sepatu lari Arini di pasar yang berjarak 600 meter dari rumahnya.
" Arin, Nanti kalo udah lari cepat dapet piala terus piala itu buat siapa?" Hans menggoda.
" Yah pasti buat Ayah dan Ibu!" Pungkas Arini melihat manja ke Hans yang menggandeng di samping Kanan.
" Terus Kami dapet apa, Dong?" Imbuh Rino.
" Kalian dapet ciuman dari Bidadari dong!" Jawaban manja Arini.
" Kak, Maaf'in Arin ya! Karena Arin yang ingin sekolah tinggi kedua Kakak Arin harus putus sekolah. Karena Ayah dan Ibu tidak mampu membiaya'i kita bertiga." Arin tiba-tiba tertunduk sedih.
Hans dan Rino pun saling pandang dan menghentikan langkah mereka.
" Kami bukan karena mengalah saat berhenti sekolah, Aku dan Hans berhenti karena sudah tidak bisa berfikir Arin. Bukan karena Arin kok, Jadi Arin tidak usah merasa bersalah!" Rino berjongkok menatap Arin dengan tersenyum.
" Kami akan berkorban apa pun untuk Bidadari kecil Kami tersenyum." Imbuh Hans ikut jongkok memandang Arini.
Arini pun memeluk kedua Kakak'nya.
" Arin sayang Kakak!" Tutur Arini mendekap kedua Kakak'nya.
" Yuk, Jangan sedih-sedih nanti keburu tokonya tutup." Bangkit dari Jongkok Rino.
Mereka pun melanjutkan perjalanan.
...****************...
Setelah 15 menit berjalan mereka sampai,
Arini senang melihat Pasar yang ramai dengan makanan-makanan kesukaan'nya.
" Ehemt....Hayo mau sepatu, Apa mau jajan?" Hans menggoda Arini yang terlihat clingak-clinguk melihat ke arah pedagang makanan.
" Arin pengen sepatu Kak, Arin hanya melihat-lihat saja kok." Jawab Arini menutupi ke inginan jajannya.
" Hans, Yuk mampir ke Bakso itu dulu. Kita kan tadi belum makan." Rino mengerti kesukaan Arini.
" Yuk No, Kata Arin hanya mau sepatu kok. Kita mesenya dua aja." Hans menggoda Arini.
Dengan wajah ngambek Arini membalas godaan kedua Kakak'nya.
" Kak, Arin sama Kak Hans aja ya. Sepiring berdua!" Arini yang pahan keadaan ekonomi Kakak'nya.
" Kamu kenapa? Kami bisa bayar kok, Alhamdulillah..Tadi laris kok jualan kami. Takut ya? Nggak bisa beli'in Arin sepatu." Rino dengan Wajah tersenyum.
Mereka pun duduk di meja warung Penjual Bakso.
" Pak, Pesan tiga bakso yang pedas tiga minumnya es teh satu dan es jeruk dua." Pesan Hans mengerti selera Adik-adiknya.
" Kak Arin mau cerita, Setiap Arin sekolah selalu di bully teman Arin tiga cewek. Dia ngatai Arin anak Penjual Asongan lah terus Anak manjalah." Arini memandang tiga Kakaknya.
" Terus Kamu apa'in?" Tanya Hans.
" Arin bilang gini, Biarin Arin anak Penjual Asongan tapi otak Arin selalu peringkat satu. Dari pada kalian anak orang berada tapi selalu kalah dengan Arin, Eh..Arin di dorong sampai jatuh. Untung Bu Guru lihat akhirnya mereka di marahi Kak." Arini bercerita.
" Nah gitu, Kak makin bangga Rin sama Kamu. Hina'an tak perlu di balas kekerasan, Cukup bukti'in Kamu lebih pintar dari mereka saja." Hans memberi nasihat.
Rino memandangi Arini dengan wajah di sertai senyum.
" Kak Rino, Kenapa mandangi Arin kayak gitu?" Arin merasa risih.
" Adik'ku sudah tidak secengeng dulu, Sudah tidak memerlukan kami untuk membelamu. Aku sebagai Kakak'mu bangga Rin." Ujar Rino.
" Heheheh...Ini tuh yang ngajar'in Kak Hans, Selalu marah kalau Arin nangis di ejek teman. Akhirnya Arin kuat deh." Jelas Arini.
Penjual Bakso pun datang membawa pesanan Hans dan kedua Adik'nya.
" Nanti kalo Arin jadi Perawat, Arin mau kedua Kakak Arin stop makan sambal. Namun sekarang'kan Arin belum jadi ya boleh'lah!" Canda Arin kepada kedua Kakak'nya.
" Udah makan dulu!" Hans memerintah Arin stop bercerita.
Bakso pun sudah habis dalam waktu singkat.
" Kak, Arin kok hari-hari ini semenjak ujian naik ke kelas 8 sering merasa gampang lelah ya?" Terang Arini.
" Itu karna Adik'ku selalu memforsir waktu belajar." Jawab Hans tanpa rasa curiga.
" Boleh pintar, Asal kesehatanmu juga di jaga loh Dek!" Imbuh Rino.
" Udah kan, Yuk biar Aku bayar dulu!" Hans bangkit dari duduk.
" Aku lemes Kak, Kayaknya kecapek'an." Jelas Arini.
" Sini Kakak gendong." Rino membungkuk'kan badannya.
Arini pun di gedong Rino menuju Toko Sepatu yang ada di dalam Pasar.
" Berat ya No, Emang Adik'mu sekarang gendut." Goda Hans sambil berjalan.
" Iya nih, Makin gendut kayak'nya!" Balas Rino.
" Ih...Apa'an sih, Aku masih kecil ini!" Kata Arini kesal.
Mereka pun sampai di Toko Sepatu, Kemudian Mereka langsung masuk.
" Udah Dek, Sana pilih-pilih!" Kata Hans menunggu di depan bersama Rino.
Arini pun memilih-milih sepatu, Kemudian tidak di sengaja ketemu Bu Ryn wali kelas Arini.
" Loh Rin, Ketemu di sini. Ibu mau pulang Kamu baru datang. Selamat ya atas prestasimu!" Kata Bu Ryn bertemu di dalam toko.
" Iya Bu, Terimakasih itu juga berkat bimbingan Ibu." Arini mencium tangan Bu Ryn.
Arini pun lanjut memilih-milih. Bu Ryn bertemu juga dengan Hans dan Rino.
" Kalian Kakak-Kakak'nya Arini, Kan?" Tanya Bu Ryn.
" Iya, Ibu ini siapa?" Hans bingung.
" Saya Bu Ryn, Wali kelas Arini. Oh ya Mas, Saya minta kalian berdua lebih perhatikan Arini ya! Soalnya akhir-akhir ini Ia selalu masuk UKS karena gampang lelah, Mohon awasi Adik kalian ya. Ibu kayaknya curiga Arini ada suatu penyakit." Cerita Bu Ryn.
Rino pun berfikir hal yang sama setelah tadi Arini merasa kelelahan.
Hans dan Rino saling pandang, Setelah Bu Ryn pergi mereka memandang ke arah Arini.
" Dia apakah sakit ya, Hans?" Tanya Rino.
" Nanti kita cerita pada Ibu dan Bapak." Balas Hans.
Arini balik membawa sepasang sepatu.
" Kak, Ini ya?" Kata Arini memperlihatkan sepasang sepatu di tangan.
Hans dan Rino tersenyum menyetujui'nya.
Kemudian Hans membayar sepatu yang di ingini Arini kemudian merek bertiga pulang, Dalam pulang pun Arini merasa sangat lelah hingga meminta Rino menggendongnya.
Hans dan Rino mulai curiga sebenarnya Arini kenapa. Mereka memutuskan memberi tahu Orang Tua setelah tiba di rumah.
Setelah Hans dan kedua adiknya pulang ke rumah pukul 21.00 wib. Mereka di sambut oleh Bu Sara karena Pak Romi sudah tidur karena capek.
" Bu, Lihat Arin di belikan sepatu sama Kakak-kakak Arin! Lucu kan Bu, Sepatu Arin?" Arin melihat Sang Ibu berdiri di depan pintu menyambut.
" Iyah Bagus, Sana makan dulu terus tidur sudah malam!" Bu Sara memerintah Arini.
" Iya Bu, Arin juga sudah lelah." Arini pun masuk rumah segera ke kamarnya.
" Wajah Kalian kenapa?" Tanya Bu Sara melihat Rino dan Hans yang tertunduk berjalan di belakang Arini.
" Bu, Ayo masuk dulu." Hans dengan nada lirih.
Hans mengajak Bu Sara duduk di ruang tamu, Ketiganya membicarakan soal Arini.
Arini tak sengaja keluar kamar untuk mengambil baju ganti yang masih tergantung di teras rumah.
" Loh kok kumpul, Ada apa ini Kak?" Tanya Arini penasaran melihat ketiganya duduk di ruang tamu.
" Nggak ada apa-apa Adek, Udah tidur tadi kan sudah makan bakso kan buat pengantar tidur." Balas Rino sambil tersenyum
" Iya Kak, Arin ambil baju ganti dulu buat tidur. Selamat malam semua." Arini menghampiri dan menciumi satu persatu.
Hans melirik Arini sudah masuk kamar belum, Agar tidak mendengar pembicaraan mereka.
" Ini kenapa?" Bu Sara melihat ke kedua Anak Laki-lakinya.
Hans dan Rino saling memandang untuk mengutakan tekad memberi tahu sang Ibu.
" Ini soal Arini Bu, Tadi Kami bertemu Bu Ryn wali kelasnya Arin di pasar malam.Beliau menjelaskan keadaan Arini yang mudah lelah dan Kami melihatnya sendiri sewaktu di pasar Ia tidak kuat berjalan hingga tadi pulang di gendong oleh Rino sampai di depan rumah baru Ia minta di turunka. Mungkin agar Ibu tidak khawatir." Cerita Hans.
" Apa sebaiknya kita bawa Dia ke Dokter ya Bu, Memastikan kondisi Arini baik-baik saja." Imbuh Rino.
Bu Sara pun mengerutkan keningnya seolah ingin memgungkapkan sesuatu kepada Anak-anaknya namun berat di ungkapkan.
" Bu, Kenapa Ibu gelisah seperti itu?" Hans melihat mimik wajah Bu Sara berubah.
" Beberapa hari ini, Ibu memandangi Arini jika sedang tertidur. Banyak lebam biru-biru yang Ibu lihat di kaki Adik'mu juga ada benjolan di dekat mata kakinya, Ibu pernah menanyainya apakah Ia mendapat penganiyayaan dari teman sekelasnya namun Ia menjawab tidak." Cerita Sang Ibu.
" Apa mungkin Arin menutupi sesuatu?" Rino curiga.
" Nanti setelah tidur Kita lihat sama-sama, Aku ingin tahu seperti apa luka itu." Hans penasaran.
" Baiklah kita tunggu Arin tidur." Sang Ibu setuju ide Hans.
Mereka sabar menunggu Arini tertidur, Hingga Pukul 00.00 wib.
Bu Sara dan Kedua Anak Lelakinya mengendap-endap masuk ke kamar Arini. Sang Ibu menyilakan celana panjang yang menutupi kaki Arini.
Alangkah kagetnya Hans dan Rino luka lebam kecil-kecil banyak di kaki Arini.
" Bu, Itu!" Ujar Hans menunjuk lebam di kaki Arini.
" Setahuku itu bukan karena di aniyaya, Bu kita harus periksakan Arini supaya kita tahu penyakit apa yang di derita Arini." Rino memberi usulan sambil melihat Kaki Adiknya.
Bu Sara pun hanya mengangguk.
" Besok biar Aku jualan sendiri, Kamu Hans tolong ya temenin Ibu dan Arini ke Dokter!" Rino memberi arahan.
" Ya, Aku setuju besok Aku yang temani mereka." Jawab Hans setuju.
Pukul 08.00 wib,
" Maaf'in Arini bangun kesiangan ya Bu, Soalnya capek banget." Arini keluar rumah melihat Sang Ibu lagi memindahkan jemuran ke teras rumah.
" Nggak apa-apa, Ibu paham kok pasti kamu capek. Udah istirahat aja kan ini kamu libur sekolahnya." Balas Sang Ibu dengan senyuman.
Mendengar Arini sudah bangun, Hans yang berada di kamar segera keluar menemui Arini.
" Eh si Bidadari Kakak, Baru bangun." Sapa Hans melihat Arini.
" Loh kok Kak Hans di rumah nggak jualan?" Arini heran.
" Iya Kakak capek, Yang jualan Ayah sama Kak Rino. Eh Rin nanti jam 10'an temenin Kak periksa ke dokter ya, Sama Ibu juga pengen periksa katanya pegal-pegal terus." Pinta Hans.
" Ibu sakit, Sini buar Arin lanjutin kerjanya." Arini menghampiri Sang Ibu berniat membantu.
" Ah sudah selesai Rin, Ibu nggak apa-apa hanya agak capek dikit." Jelas Bu Sara.
Hans dan Bu Sara sudah merencanakan semuanya, Mereka mengelabui Arini agar bisa tahu penyakit yang Arini idap.
Pukul 10.00 wib, Mereka pun berangkat dengan naik angkot ke klinik yang 1 Km jaraknya dari rumah mereka.
Sesampainya di klinik Hans mengambil nomor antrian, Arini dan Ibu menunggu di ruang tunggu.
Tidak lama karena antrian sedikit, Tiba giliran Hans masuk ruang Dokter.
Hans mengajak Ibu dan Arini masuk ruangan.
" Pagi Dok,." Sapa Hans melihat Bapak Dokter.
" Pagi, Siapa yang sakit?" Tanya Dokter.
" Kami bertiga Dok, Tolong Dokter cek Adik saya dulu terus Ibu baru terakhir Saya, Dok!" Jelas Hans.
Arini pun sontak kaget, Mendengar Kakak'nya Hans menyebut dirinya sakit. Arini pun memandang sang Ibu.
" Udah Arin, Nggak apa-apa! Kan Arin sering bilang cepat lelah nanti di obati Pak Dokter." Bu Sara merayu dengan tersenyum menjelaskan.
Arin pun di suruh masuk ke ruang pemeriksaan, Di luar Hans memberikan penjelasan tentang tanda yang di temukan dan keluhan Arini juga curhatan Bu Ryn.
Dokter kemudian masuk untuk memeriksa.
Tak berapa lama Bapak Dokter pun keluar, Arin mengikuti dari belakang.
" Udah Arin? Keluar sama Ibu yang tadi juga sudah di periksa Dokter, Tunggu Kak Hans ya!" Hans mengelabui Arini.
Bu Sara mengajak Arini keluar ruangan untuk menunggu Hans yang sedang mendapat kejelasan penyakit Arini dari Bapak Dokter.
" Gimana Pak?" Tanya Hans.
" Adik mas lebih baik di cek up di Rumah Sakit Mas, Semoga Saya salah karena gejalanya ada penyakit yang menyerang Ginjal Adik'Mas. Karena dari ciri-cirinya sepertinya itu yang Saya simpulkan. Mohon segera cek di Rumah sakit yang alatnya sudah pasti lengkap untuk memastika, Soalnya jika terlambat akan fatal." Terang Bapak Dokter memandang serius Hans.
Hans seperti di lemparkan ke jurang yang sangat dalam, Mendengar penjelasan itu. Adik perempuan yang Ia sayangi harus melawan penyakit di salah satu organ vital di tubuhnya, Meski baru menerka-nerka namun andai itu benar pastilah hari-hari Adik'nya akan berat.
Hans keluar dari ruang Dokter seolah tidak terjadi apa-apa, Namun Ia menatap Arini dengan sangat dalam.
Bu Sara pun menangkap sinyal bahwa ada sesuatu yang ingin Hans utarakan.
" Gimana Mas?" Tanya Arini manja.
" Nggak apa-apa hanya sakit biasa." Balas Hans.
" Yaudah deh, Ayo pulang. Apa mau mampir makan bakso dulu?" Ujar Arini.
" Terserah Arin." Balas Hans tersenyum.
Arini pun melangkah mendahului Ibu dan Kakaknya keluar dari Klinik bersemangat mencari Penjual bakso makanan kesukaannya.
Tangan Hans menggandeng Ibunya dengan dingin, Bu Sara pun melihat ke arah Hans yang sikapnya berubah dingin pula hanya banyak diam.
" Hans, Kenapa?" Tanya Bu Sara.
" Nanti saja di rumah, Hans akan cerita Bu." Jawab Hans takut Ibunya tidak kuat mendengar penyakit Arini meski baru di duga.
Mereka pun melanjutkan langkah mengikuti kemauan Arini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!