Rahasia itu seperti sebuah danau… yang orang tau dia terlihat bersih, jernih. tapi semua yang mereka lihat itu hanya permukaannya saja. Kamu hanya bisa melihat permukaannya yang tenang, hanya tahu apa yang kau lihat dan tafsirkan sendiri. padahal kebenaran ada jauh di dalam hingga kamu harus menyelam dan tenggelam jika ingin tahu. Bisa jadi kebenaran itu jauh dari apa yang bisa kamu fikirkan, kebanyakan lebih buruk, sangat jarang yang lebih baik, lebih banyak lagi mengerikan. Tapi siapa yang sangka rahasia yang tersembunyi kali ini justru mampu menyembuhkan luka.
ia adalah rahasia yang tak bisa kau sembunyikan, yaitu… cinta.
...****************...
Dua anak kecil bermain di tepian danau. Kayu-kayu di tata rapi hingga ke tepian danau berair dalam. Airnya sejuk. Rerumputan hijau dan dedaunan disekitarnya membuat bau khas yang semerbak. Baunya segar, terlebih angin sejuk yang hadir membuat suasana menjadi tenang.
Tenang… sangat tenang, terlalu tenang. Si perempuan mulai bosan hanya melihat kehijauan di hadapannya. Beberapa lama ia hanya memainkan kakinya yang menyentuh air hampir mencapai lutut. Dia menggoyangkan kakinya sampai menimbulkan riak dan gelembung-gelembung kecil.
Ia menoleh kepada si anak laki-laki yang hanya terus membaca buku entah tentang apa. Laki-laki kecil itu terlampau fokus hingga si perempuan akhirnya jengah.
"Ta, Ananta" si perempuan mulai mengganggu si anak laki-laki, namun dirinya tetap di abaikan. Dia tidak suka terabaikan begini, terutama oleh laki-laki didepannya.
Sebuah ide nakal muncul tiba-tiba di kepalanya. Meski sedikit berbahaya, dia ingin mencobanya. Siapa tahu dia akan mendapat perhatian dari anak laki-laki kaku di sampingnya. Dia berdiri dari duduknya, sangat perlahan sampai si laki-laki kecil tidak menyadarinya sama sekali.
"BYURR" bunyi benda berat memecah air yang tenang terdengar nyaring. Mulanya si anak laki-laki tidak bereaksi sama sekali. Dia masih fokus pada deretan kata yang dibacanya. Lalu suara kecipak air yang terus berbunyi membuatnya curiga dan akhirnya mengangkat pandangannya dari buku dan melihat ke danau di depannya.
Si perempuan tenggelam, hanya tangannya yang terlihat menggapai-gapai permukaan air. Wajahnya timbul tenggelam di permukaan air yang terlihat dalam.
Dia pikir perempuan itu hanya bermain, makanya dia masih berdiam diri dan mengamati, hingga setelah beberapa saat tangannya bergerak ke bawah membuatnya panik. Ia pun segera masuk ke air, padahal seingatnya dia tidak pandai berenang.
Sebisanya dia masuk ke dalam danau lalu menggapai tangan si perempuan. Tangannya bergerak-gerak berusaha keras membuatnya tetap di permukaan sambil meluncur menuju ke tepian pada jembatan kayu tempatnya duduk tadi. Entah gaya berenang macam apa yang dipakainya, untungnya gerakan-gerakan itu berhasil membuatnya tidak ikut tenggelam bersama perempuan yang ingin dia tolong.
Tangan kirinya menggenggam lengan si perempuan erat, tangan kanannya meraih pinggir jembatan untuk pegangan. Namun tangan si perempuan tida-tiba terlepas kembali dari genggamannya. Si laki-laki panik, lalu berbalik mencari perempuan yang baru saja dia bawa ke pinggir. Tubuh kecil itu hampir menghilang dari pandangannya sebelum muncul kembali di sisi danau sedikit ke tengah.
si anak perempuan justru tersenyum senang. Seolah-olah telah memenangkan sesuatu. Dia justru kembali berenang ke tengah dan tertawa.
Si laki-laki kesal, ia naik ke jembatan memandangi si perempuan yang masih berenang dengan ceria. Ia membuang muka sebelum melangkah pergi membawa barang bawaannya sendiri, dia merasa tidak perlu lagi menolong perempuan yang bahkan lebih pandai berenang darinya. Dia memilih pulang lebih dulu meninggalkan si perempuan yang masih tertawa. Tanpa dia tahu, di dalam air danau yang sedikit keruh itu Alana membisikkan sebuah janji.
"siapapun yang menolongku sekarang, aku akan mencintainya seumur hidupku." kalimat itu muncul di benak seorang gadis kecil yang pura-pura tenggelam. Yah, meski dia tahu, hanya satu orang yang dia harapkan akan menolongnya. Jangan bilang siapa-siapa. Ini rahasia pertama Alana.
Aku Alana, seorang anak yang hidup di sebuah pedesaan yang menyenangkan. Tempat ini indah dan punya banyak pemandangan yang menyegarkan mata. Meski letaknya sedikit jauh dari kota, tapi aku senang tinggal di tempat ini. Hawa pagi dan udara segar selalu menyambut ku setiap pagi, itu sudah pasti sulit didapat kalau di kota.
Aku bisa dengan bebas memacu sepedaku tanpa takut terkena macet atau polusi. Dan lagi, tumbuh di lingkungan ini sangat menyenangkan. Orang-orangnya terasa familiar dan penuh kasih sayang. Orang asing pun dianggap seperti keluarga asal mau berkelakuan baik. Kami terbiasa hidup dengan saling menjaga satu sama lain hingga satu sama lain sudah seperti saudara.
Setelah tahun-tahun yang berlalu, ada orang-orang yang punya ikatan denganku sedekat keluarga pada satu sama lain. Kami biasa makan bersama, bermain bersama, aku menganggapnya benar-benar seperti keluarga sendiri. Terutama satu orang itu yang sejak lama terus berada di dekatku.
Dia Ananta, tapi aku selalu memanggilnya Nanta meski orang-orang suka memanggilnya Ananta. Kami sudah berteman sejak kecil. Dulu kami menghabiskan banyak waktu bersama setiap hari, dan bagiku dia jauh lebih spesial dari sekedar teman dekat dan keluarga. Aku, menyukainya.
Perasaan itu sudah ada sejak lama sekali, aku pun lupa kapan pertama kali merasakannya. Tahu-tahu sudah suka saja melihatnya. Dan kurasa, aku bisa hidup bersama Ananta selamanya.
Meski sudah berteman sejak lama, semakin dewasa aku semakin sulit memahami isi pikirannya. Dia itu tidak bisa ditebak, sulit dipahami, pikirannya rumit serumit soal-soal fisika. Terlebih, mukanya datar setiap kali menghadapi sesuatu sampai kukira dia memang tidak bisa tersenyum. Aku sudah terbiasa dengan wajahnya sampai-sampai ekspresi itu sudah tidak membuatku kesal lagi.
Meski begitu, dia anak yang baik. Aku yakin dia orang yang baik. Dia selalu ada di titik di mana aku ingin menyimpannya untuk diriku sendiri.
Seperti sekarang, orang yang ku cari pertama kali setiap aku kesulitan pun selalu Ananta.
KRAKK!
Suara keras mengalihkan perhatianku dari Ananta yang masih mengayuh sepedanya dengan santai. Saat aku melihat ke bawah aku tahu ada yang salah. Kayuh sepedaku tidak berfungsi lagi karena rantainya lepas dari tempat yang seharusnya hingga aku harus berhenti.
Aku buru-buru menapakkan kakiku sebelum sepeda kecilku oleng. Lagi-lagi aku dihadang oleh nasib buruk di pagi hari. Padahal pagi ini aku bangun dengan perasaan bahagia, namun ada saja kejadian yang merusaknya. Aku menghela nafas kasar. Sekarang ini saatnya meminta bantuan, karena jelas aku tidak bisa membenarkannya sendiri.
“NANTA!” teriakku. Cukup keras untuk membuatnya berhenti dari mengayuh sepeda untuk melaju lebih jauh lagi. Dengan satu teriakan aku berhasil membuatnya berhenti dan sekarang dia menapakkan kakinya ke tanah sepertiku.
“Rantainya lepas! Bantu aku memasangnya lagi!” teriakku lantang karena jarak kami sekarang. Gunung es itu memarkir sepedanya di pinggir jalan lalu berbalik ke arahku. Wajahnya menatap tidak suka, namun tetap saja menghampiri dan membantuku.
Meski nampak tak peduli, ia tetap saja mengambil posisi jongkok lalu meraih rantai sepedaku dan membenarkan letaknya. Dia melakukannya dengan cepat, tangannya sangat cekatan. Dia selalu bisa diandalkan seperti biasanya.
Ananta memastikan rodanya berfungsi lagi sebelum menatapku dengan wajahnya yang dingin untuk meminta tisu dan membersihkan tangannya. Aku memberikannya, lalu hanya diam memperhatikan. Jemarinya menghitam karena rantai sepedaku. Dia membersihkannya dengan cepat.
“makanya jangan banyak makan, nantinya sepedamu bakal cepat rusak gara-gara keberatan” ucapnya sembari mengembalikan tisu kotor dan tanpa sadar aku menerimanya dengan patuh. Aku lebih fokus dengan ucapannya yang seperti mau memulai pertengkaran itu.
“Enak aja. Ini salah sepedanya yang terlalu rapuh tau. aku tidak berat!” sahutku tidak terima sambil membuang tisu kotornya tadi. Mulutnya ini, tidak pernah bisa mengatakan hal manis tentangku, yang ada hanya mengejek atau mengomentari Habis-habisan.
“mana ada. Jangan menyalahkan sepedanya jelas-jelas itu salahmu” jawab Nanta, dia bahkan sudah pandai menghina tanpa merubah ekspresi dinginnya. Wajahnya tetap tenang meski setiap kata-katanya menyakitkan.
Tanganku sudah siap mengepal untuk meninjunya ketika dia sudah buru-buru balik badan untuk menghampiri sepeda dan mengayuhnya lagi. Mengabaikan aku yang masih berdiri dengan tangan terangkat.
Dia memang selalu begitu. Tindakan dan ucapannya jauh berbeda. Meski wajahnya tampak selalu kesal, dia selalu ada kapanpun aku membutuhkannya... membantuku, dia itu kesatriaku, pangeran pendiam ku yang tampan meski sangat menyebalkan. Ya sudah. Biarkan saja dia bersikap menyebalkan begitu, biar hanya aku yang betah menyukainya seperti ini.
Aku tersenyum tipis ke arahnya. Sebenarnya aku juga merasa berterimakasih pada Nanta, berkat bantuannya itu aku jadi tidak terlambat sampai sekolah. Tapi aku malas berterimakasih. Dia pasti akan mengejekku dengan kata-kata menjengkelkan jika aku mengucapkannya langsung. Aku mau membalasnya nanti dengan hal lain. Jangan beritahu dia rencanaku, nanti dia besar kepala.
Sesampainya di sekolah, kami memarkir sepeda di tempat yang disediakan. Di tempat yang dinaungi atap kecil itu aku menaruh sepedaku di samping milik Ananta. Sepeda biru pastel ku selalu sangat kontras disamping sepeda Nanta yang sederhana, hampir serba hitam.
Dia meninggalkan ku dan pergi lebih dulu ke kelas, membuatku buru-buru mengikuti dibelakangnya. Sedikit terseok karena aku sudah tertinggal beberapa langkah dan masih berusaha mengejarnya.
Dia menaruh tasnya di meja, hanya diam. Sesekali menaikkan alisnya saat melihat temannya di kelas. Caranya menyapa teman pun sangat dingin. Sedangkan aku sudah tersenyum ramah pada semua orang. Dia itu benar-benar, the real gunung es.
"berangkat bareng lagi nih." sapa Feli yang menghampiriku dengan senyum usilnya. Mata yang berbinar itu pasti sudah membayangkan hal yang tidak-tidak tentangku seperti... berpacaran dengan nanta misalnya.
"hmm cuma berangkat bareng" balasku mengkoreksi, membuat senyumnya sedikit pudar. Namun detik selanjutnya Feli mengangkat tangan di depan wajah dengan gestur berbisik.
"di tunggu pacarannya, nggak apa-apa kok... suer" bisiknya lagi dengan suara pelan yang hanya bisa aku dengar sendiri. Diam-diam aku juga mengharapkannya tau. Tapi bagaimana bisa berharap kalau aku dan Ananta tidak pernah punya pembicaraan yang serius selain seperti teman atau adik kakak. Sahabat pun rasanya bukan.
Aku hanya memberikan gestur menyuruhnya diam dengan mengangkat satu jari di depan bibir, yah semoga itu berhasil. Karena akan sangat aneh kalau ada rumor begitu saat aku dan Ananta sungguhan tidak punya hubungan apa-apa. Dia mengangguk patuh masih disertai senyuman.
Aku duduk di kursiku sendiri, mencuri-curi pandang ke arah Ananta yang tidak melirikku sama sekali. Kenapa sulit sekali dekat dengan dengan laki-laki menyebalkan ini, pikirku sedikit frustasi.
...****************...
Hari ini, senam pagi kami dilaksanakan lagi. Sangat membosankan sebenarnya, selalu senam yang sama setiap sabtu pagi. Gerakannya persis sama tapi dilakukan berkali-kali, bagaimana tidak bosan. Harusnya guru-guru menambah variasi lagu dan Gerakan supaya muridnya bisa ikut senam dengan sedikit lebih semangat. Pake lagu hits K-pop misalnya, pasti akan jauh lebih seru.
Sama sepertiku, orang-orang menggerakkan badanya dengan malas. Semua pasti berpikiran sama denganku bahwa kegiatan ini tidak menyenangkan sama sekali. Mereka bahkan sudah mencari kesibukan lain. Mereka pasti sangat bosan, serius. Aku bahkan melihat ada yang berteduh di pohon karena posisinya berdiri ada di paling belakang. Mereka pasti sudah tiduran di sana andai guru-guru tidak mengawasi sesekali.
Beberapa yang lain sibuk mencari incarannya masing-masing, beberapa lagi sudah memelototinya selama mungkin. Entah, mungkin dengan begitu orang yang mereka suka akan sadar dan membalas cintanya mungkin, siapa tahu.
Tanpa sempat aku sadari aku juga melakukan hal yang sama, menyisir kerumunan untuk mencari sosok Nanta. Saat ambil posisi tadi aku tidak sempat mengikuti dia, jadilah kami terpisah begini. Sedih sekali (Pura-pura menangis.)
Namun di antara kerumunan itu, seseorang berwajah pucat lebih menarik perhatianku sekarang. Badannya terlihat lemah. Kulitnya terlihat seputih salju, bahkan sudah masuk kategori pucat. Aku melihatnya saat sedang mencari Nanta. Aku gagal fokus karena dia yang berdiri tepat di sebelah Nanta. Posisi yang membuatku iri sebenarnya. oke. fokus.
Menurutku orang itu sedang tidak sehat karena dia bergerak lebih lambat dari yang lain. Gerakannya sudah seperti nenek-nenek padahal usianya masih belasan.
Dan dugaanku benar, dia pingsan setelah beberapa ketukan. Dengan reflek Nanta yang berdiri di sampingnya menangkap tubuh ringkih itu sebelum menyentuh tanah. Sudah seperti drama korea saja. Jujur, aku sangat cemburu melihatnya. Kepada ku saja dia tidak pernah semanis itu. Aku segera menghampiri mereka saat guru pendamping kami meminta Nanta mengantar anak itu ke ruang UKS.
“Bu, boleh saya ikut menemani shinta?” pintaku kepada guru cantik itu. Beliau mengangguk. Aku tidak mau meninggalkan Nanta sendirian bersama perempuan ini.
“Iya boleh, Nanta kamu bawa Shinta ke UKS, setelahnya biar Alana yang menemani Shinta” perintahnya dengan suara yang lembut. Tentu, guru pun pasti tidak membiarkan anak laki-laki dan perempuan ada di ruangan yang sama sendirian.
Aku membuntuti Nanta yang menggendong Shinta dengan hati-hati. Aku kaget melihat sisi lain Nanta hari ini. Aku selalu tahu kalau dia anak yang baik. Dia selalu membantuku dan bersikap baik padaku meski disertai kalimat menyebalkan dan tatapannya yang dingin. Dia jelas peduli padaku.
Tapi ini kali pertama aku melihatnya peduli dan mau membantu orang lain juga. Biasanya dia lebih sering acuh pada orang lain. Menyadari itu, aku tahu... ada yang berubah dari Ananta. Dia menjadi dewasa dengan baik.
Dan lagi, dia terlihat lebih tulus dan ramah saat menolong orang lain. Ananta tidak bicara menyebalkan seperti saat bersamaku.
Ah, aku justru merasa ada yang salah dengan perasaanku hari ini atau, apa aku hanya cemburu?.
...****************...
Sesampainya di UKS, aku merawat shinta sebisanya. Nantinya petugas UKS akan memeriksanya lagi jadi aku hanya akan membenarkan posisi tidurnya dan menemaninya selama di UKS. Aku menyuruh Nanta pergi segera setelah dia menurunkan Shinta di atas kasur.
Beberapa menit kemudian, petugas UKS datang dan dengan cekatan langsung memeriksa kondisi Shinta.
"dia baik-baik saja. Temani dia sampai bangun. Kalau sudah bangun beri dia roti dan teh yang ada di meja." ucap petugas itu menunjuk meja kecil yang sedikit tersembunyi itu. Setelah selesai dia meninggalkan kami dan kembali ke lapangan untuk mengawasi anak yang lain.
Kini tersisa aku dan Shinta disini. Dia terbaring dengan tubuh yang terlihat lemas. Aku mengamatinya untuk memeriksa jika ada luka yang perlu diobati. Dia masih terjatuh cukup keras meski berhasil ditahan oleh Nanta.
Namun aku tidak menemukan luka yang berarti. Aku lebih penasaran dengan kain kasa yang melilit di pergelangannya. Juga plester yang tertempel di leher. Entah luka apa yang membuatnya ditempel di sana. Seharusnya itu luka serius.
Aku terlarut dalam hening cukup lama, hanya mengamati tubuh Shinta yang terbaring dan terpejam. Sampai-sampai aku tidak menyadari kalau dia sudah sadar.
“Sejauh apa hubunganmu dengan Tara?” ucapan pertama Shinta itu dia katakan dengan mata yang masih tertutup membuatku sedikit melotot. Dia, bicara?
Aku hanya diam dan tidak menjawabnya, sejujurnya bukan karena enggan, tapi karena aku tidak tahu harus menjawab bagaimana. Anehnya aku berpikir terlalu keras sampai-sampai hanya diam beberapa lama.
“Kalian pernah ciuman?” tanyanya frontal sesaat setelah membuka mata. Aku yakin dia pasti banyak memikirkan hal-hal buruk di kepalanya sampai berani menanyakan hal pribadi seperti itu. Tapi bagaimana bisa dia menanyakan hal seperti itu pada orang lain, kepada ku, orang yang hampir asing baginya, dengan ekspresi santai lagi.
Aku menjadi gugup dibuatnya, masih tidak menemukan jawaban yang tepat. Aku sedikit kesal, karena setelah dibantu dia justru mengucapkan hal-hal yang membuatku tersinggung.
“Ehm, tidak sopan menanyakan kehidupan pribadi orang lain” ucapku akhirnya membela diri setelah ditatapnya dengan intens. Aku sudah berusaha keras memikirkan jawaban, tapi akhirnya aku mengelak sambil berharap dia akan diam setelah ini.
“Hahaha, enggak pernah ya?” ucapnya dengan nada yang teramat puas mengejekku. Dia mengatakannya seolah dia pernah melakukannya. Tawanya tiba-tiba terdengar sangat menyebalkan.
“Kalau kamu suka sama Ananta, aku punya nasehat sih. Barangkali kamu mau dengar” Ucapnya ringan seakan kami memang sedekat itu. Padahal ini kali pertama aku bicara banyak padanya.
“Siap-siap kecewa ya, karena dia suka sama orang lain.” Ucapnya dengan wajah penuh empati yang tidak perlu. Ya, aku tidak percaya. Kalimat peringatan yang dia lontarkan itu justru terdengar seperti ‘Nanta punyaku, jangan ganggu’ di telingaku.
“Kamu suka Nanta ya?” tanyaku menanyakan makna dari kalimatnya barusan.
“Hah??” lagi-lagi senyumnya mengejekku.
“Aku punya selera yang lebih tinggi dari itu” ucapnya menyombong. Dia membuatku kesal dengan raut, gerak-gerik dan semua perkataannya. Sampai-sampai aku menyesal sempat berempati pada luka di tangan dan lehernya.
“Oh iya. Kamu pura-pura pingsan!!” ucapku tersadar kalau sejak tadi dia membohongi kami, dan menyia-nyiakan tenaga Nanta untuk menggendongnya. Kalimat barusan sekaligus untuk mengalihkan perhatiannya dari pembicaraan kami yang semakin tidak jelas.
“Hahaha, baru sadar. Dasar bodoh” Tawanya renyah tanpa menunjukkan rasa bersalah sedikitpun.
“Kenapa bohong?” tanyaku lagi.
“males ikut senam pagi, lagi badmood” Ucapnya tanpa rasa bersalah sudah membuat kami repot merawatnya sejak tadi.
“kenapa badmood?” tanyaku penasaran. Oh ayolah, andai kalian melihat kulit pucat, luka di leger dan lengannya yang penuh plester dan kain kasa itu mungkin kalian akan percaya kalau dia benar-benar sakit. Atau dia mungkin memang benar-benar sakit, hanya kuat saja menahannya sampai terlihat baik-baik saja.
“Alanaa” ucapnya meniru cara bicaraku tadi.
“tidak sopan bertanya tentang kehidupan pribadi orang lain” lanjutnya dengan nada penuh yang sana denganku sebelumnya. Ah, aku justru bertambah kesal mendengar kalimat itu di lontarkan padaku. Anak ini. Menyebalkan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!