NovelToon NovelToon

Ujian Cinta

1. Hari Kelulusan

Assalamu'alaikum...

Halloooo semua.

FYI,

Cerita ini dibuat atas kehaluan author semata ya. Jika ada nama dan kejadian yang serupa dengan apa yang ada pada kehidupan sehari-hari kalian mohon dimaklumi ya. Beberapa bagian cerita juga ada yang dikutip dari kisah nyata untuk memberi pembelajaran yang semoga saja berarti untuk kita semua. Tidak banyak kok, palingan hanya 10% saja dari satu novel ini.

Jika ada masukan atas cerita ini mohon bantuannya ya. Saya bukanlah penulis pro jadi maklumi saja hehee...

Tanpa banyak cincong lagi, selamat menikmati cerita ini. Semoga suka ceritanya dan jangan lupa tinggalkan LIKE dan COMENT kalian di setiap bab-nya ya 👍

SALAM CINTA DARI AUTHOR NAI 😘

.

Hari kelulusan tiba, di mana hampir semua siswa/i sedang berbahagia karena semua usaha mereka untuk kelulusan ini terbayar sudah. Dengan nilai yang cukup memuaskan, mereka merasa bahwa perjuangan mereka dalam belajar tidaklah sia-sia. 

Sebagian dari para ex pelajar itu ada yang ingin langsung mencari pekerjaan setelah lulus sekolah untuk membantu perekonomian keluarganya. Namun untuk seorang wanita bernama Sannia, dia lebih memilih untuk kembali melanjutkan pendidikannya, mencari ilmu sebanyak mungkin agar bisa menjadi bekal akan cita-citanya yang ingin menjadi seorang pengusaha sukses.

Dan seperti yang diharapkan, Sannia ternyata berhasil mendapatkan beasiswa di universitas terkenal di kotanya dengan jurusan yang dia impikan sekaligus yang diinginkan oleh ibunya.

Untuk merayakan keberhasilannya itu, Sannia mengajak keempat teman dekatnya untuk makan malam bersama di salah satu restoran yang cukup bergengsi di kota itu. Dia akan menghabiskan separuh dari rejeki yang telah dia dapatkan dari hasil kerja sampingannya selama ini untuk orang terdekatnya, sekaligus sebagai bentuk syukur atas pencapaiannya yang baru saja dimulai.

Pada pukul tujuh malam, Sannia dan teman-temannya sudah berada di restoran dan kini mereka sedang menikmati makan malam dengan diiringi obrolan ringan. Tak lupa dia mengajak sang ibu tercinta di acara bahagianya itu karena bagaimanapun juga, apa yang telah dia gapai saat ini tak luput dari doa sang ibu.

"San, kenapa ya sampai sekarang kamu masih belum punya pacar?" tanya Dinda disela makan malam mereka. 

"Iya, kasihan banget sih kamu San, jadi obat nyamuk terus tiap kita jalan ke bioskop," sahut Husin.

"Ho'oh. Kalaupun pergi, kalau nggak sama Rama, pasti sama kamu, Sin."

"Mana ada dia pacar. Sannia 'kan nggak laku," celetuk Wulan yang diiringi tawanya dan diikuti yang lainnya. 

Seorang wanita cantik bernama Sannia Danita yang tengah menjadi perbincangan teman-temannya tersebut terihat hanya tersenyum dengan diiringi tawa kecilnya sembari terus mengunyah makanannya.

Senang?

Tentu tidak. 

Wanita mana yang terlihat senang jika selalu dijuluki  tidak laku, apalagi oleh teman-temannya sendiri.

Sudah sering sekali julukan itu dilontarkan oleh teman-temannya kepadanya hanya karena dia yang tidak pernah terlihat bersama seorang pria kecuali, Rama dan Husin. Teman mainnya bersama Dinda dan Wulan.

Sebenarnya Sannia adalah seorang gadis dengan paras yang sangat cantik, bertubuh layaknya model papan atas, dan juga memiliki pemikiran yang dewasa. Dengan kelebihan yang dia punya itu seharusnya tak sulit untuk seorang Sannia menjerat pria manapun yang dia inginkan.

Namun takdir berkata lain, nyatanya sampai saat ini belum ada seorang pria pun yang terlihat dekat dengan wanit cantik itu.

Tak ingin memikirkan sesuatu yang membuatnya pusing, Sannia lebih memilih untuk fokus mengejar cita-citanya saja agar dia bisa membahagiakan satu-satunya keluarga yang dia punya yaitu, ibunya.

Lagian juga usia Sannia masih sangat muda untuk harus pusing memikirkan dunia percintaan. So, dia hanya bisa bersantai saja untuk sekarang.

Suara berisik yang berasal dari gelak tawa keempat anak muda yang baru saja lulus sekolah menengah atas itu tiba-tiba saja menjadi hening saat Dinda menyadari raut wajah ibu Sannia yang terlihat tidak bersemangat seperti sebelumnya. Dan Sannia yang menyadari keheningan itu lantas menoleh pada apa yang sedang dilirik teman-temannya.

Dengan menghembuskan nafasnya pelan, Sannia langsung merubah raut wajahnya menjadi seceria mungkin.

"Kenapa diam? Sudah selesai ngejeknya? Aku 'kan sudah bilang guys, kalau calon suamiku itu tinggal di Turki, butuh waktu buat kita untuk bertemu," ucap Sannia dengan nada sombongnya. Berharap sang ibu bisa mengerti jika teman-temannya hanya bercanda.

Dan jika pun benar apa yang teman-temannya katakan, setidaknya dia tidak ingin membuat sang ibu bersedih karena mengkhawatirkan dirinya. Bagaimanapun juga, ibu mana yang senang jika melihat sang anak sulit mendapatkan pasangan.

Meski usia Sannia masih 17 tahun, namun hal tersebut bisa menjadi beban pikiran seorang ibu, apalagi Sannia adalah satu-satunya anak yang dimilikinya. Irene tentu menginginkan kebahagiaan yang terbaik untuk anak semata wayangnya itu, termasuk pasangan yang akan menjaganya kelak.

Suasana kini berubah menjadi canggung, namun untungnya Sannia dan Husin yang biasanya suka bertengkar seperti Tom and Jerry dapat mencairkan kembali suasana yang sempat membeku itu.

Mereka melanjutkan makan malamnya seperti sediakala, layaknya tidak ada masalah apapun. Namun di sisa makan malam mereka, seorang wanita yang tak lain adalah Wulan terlihat mengaduk-aduk makanannya yang tinggal setengah, tanpa berniat memasukkannya ke dalam mulut.

"Kenapa sih Lan, cemberut mulu. Apa makanannya nggak enak?" tanya Dinda yang menyadari akan hal itu.

Mendengar ucapan Dinda, semua yang ada di meja makan tersebut menatap pada Wulan secara bersamaan.

"Kamu kenapa? Tadi saja ketawa paling kenceng, sekarang kenapa jadi cemberut gitu. Nyesel ya sudah ngejek aku?" tanya Sannia setengah bercanda. 

Wulan yang sedang ditatap oleh lima orang yang ada di sana lantas meletakkan peralatan makannya di atas piring sembari menghela nafasnya dengan pelan.

"Dulu saat abangku masih SMA, hampir setiap hari aku melihat dia dan teman-temannya bermain bersama, bahkan sampai menginap di rumah tiap minggu. Setelah lulus SMA mereka berpencar ke Universitas yang berbeda-beda. Sejak saat itu juga abangku terlihat sibuk dengan buku-bukunya dan bahkan aku hampir nggak pernah melihat dia bermain lagi bersama teman-temannya. Katanya sih sibuk belajar karena terlalu banyak saingan di sana." Wulan menjeda kalimatnya dan menatap ke empat temannya. "Apa kita akan seperti itu juga?" lanjutnya.

Sesaat suasana masih terasa hening namun tak lama dari itu, sebagian dari mereka ada yang tersenyum geli dengan perkataan Wulan yang sangat dramatis dan sebagian lagi ada yang mengacuhkannya dan melanjutkan makannya.

"Lebay banget sih kamu, Lan," ucap Husin sembari melanjutkan kembali makan malamnya.

Mendengar ucapan Husin yang sedikit menyebalkan, Wulan terlihat kebingungan.

Lebay? Apakah ada yang salah dengan perkataannya, pikirnya.

"Seiring berjalannya waktu, semua pasti akan berubah, Lan. Nggak selamanya juga kita akan terus bermain seperti ini. Dengan memasuki universitas yang berbeda, kita pasti akan memiliki teman baru di sana."

"Sistem belajarnya yang juga berbeda membuat waktu bermain kita pasti akan semakin berkurang. Sama seperti yang kamu katakan tentang abang kamu tadi, kita juga pasti akan seperti itu tapi, bukan berarti kita nggak bisa main lagi. Kita masih tetap bisa main lagi kok, hanya saja waktunya yang tidak akan bisa seluang sekarang," jelas Sannia panjang lebar.

"Bener tuh kata Sannia. Santai saja kali, Lan. Semuanya nggak akan seberat yang kamu pikirin kok," sambung Rama.

"Siapa tahu nanti kamu yang bakalan lupa sama kita karena terlalu sibuk dengan teman baru kamu," sambung Sannia lagi.

"Enak saja. Ya, nggaklah," sahut Wulan dengan cepat.

Wulan memanyunkan bibirnya cemberut, sementara yang lain hanya tertawa sambil melanjutkan kembali makan malam mereka.

Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam, sopir taksi online yang sudah dipesan Sannia kini mulai menjalankan mobilnya meninggalkan restoran dengan membawa ibu Sannia seorang diri, sementara Sannia pergi bersama mobil Husin dan yang lainnya. Malam ini dia akan menginap di rumah Dinda karena mulai besok mereka akan jarang bertemu karena kesibukan masing-masing di kampus yang berbeda. Dan malam ini adalah kesempatan terakhir mereka untuk bermain hingga puas.

***

Yang sudah baca sebelumnya maaf banget ya. Cerita ini saya re-upload karena ada sedikit kecerobohan saya. 🙏🙏🙏🙏

2. Ojek Online

Tepat pukul dua siang Sannia dan kedua temannya baru saja bangun dari tidurnya. Pesta kecil-kecilan yang ketiga wanita itu lakukan semalam membuat mereka harus tidur pukul lima pagi.

Sebelum pulang, Dinda mengajak kedua temannya menyantap makan siang bersama terlebih dahulu di rumahnya. Semua hidangan sudah tertata rapih di atas meja makan, jika dilihat dari bentuknya saja makanan itu pastinya sangat enak. Tanpa basa-basi karena sudah sangat lapar mereka segera menyerbu makan tersebut dengan lahap.

"Sial, sudah nggak sarapan, makan siang juga telat. Untung saja makanannya enak-enak. Kalau nggak, bisa jadi zombie aku sampai rumah nanti," protes Sannia di sela makannya.

"Ini semua ulah Wulan yang ngajakin kita karokean sampai lupa waktu," sahut Dinda.

Sannia mengedikkan bahunya dan kembali fokus pada makannya sambil memainkan ponsel pintarnya. Sedangkan Wulan sendiri tak peduli apa yang dibicarakan oleh kedua temannya. Ia masih sangat ngantuk dan lapar akibat tidur pukul 7 pagi karena harus membersihkan diri terlebih dahulu sebelum tidur. Ya, Wulan si wanita paling risih jika tidur dalam keadaan kotor.

Drrtt ... drrtt ... 

Ponsel pintar yang kini ada dalam genggaman tangan Sannia bergetar. Sebuah notifikasi yang masuk membuat gadis cantik itu tersenyum lebar.

"Mau ke mana, San?" tanya Dinda saat Sannia terburu-buru memasukkan makanannya ke dalam mulut dan terlihat seolah ingin bangkit dari duduknya.

"Menjemput rejeki," jawabnya tak jelas karena mulutnya penuh dengan makanan.

"Kamu mau narik ojek online lagi?" tanya Dinda.

Sannia menanggapi ucapan Dinda dengan mengangguk, karena mulutnya saat itu benar-benar sedang penuh dengan makanan.

Dinda dan Wulan saling pandang mendengar itu. Mereka masih tidak menyangka jika seorang wanita cantik seperti Sannia mau melakukan pekerjaan sampingan seperti jasa ojek online. Mereka sangat menyayangkan hal itu karena kulit Sannia yang putih bersih harus terbakar oleh sinar matahari dengan pekerjaannya.

Setelah menyelesaikan makanannya, Sannia berpamitan untuk masuk ke dalam kamar Dinda dan meraih barang-barangnya untuk dibawa pergi.

"Din, antar aku balik, dong."

Dinda mendongak saat suara Sannia terdengar tak jauh dari posisinya berada.

"Antar? Katanya tadi mau narik ojek."

"Aku 'kan nggak bawa motor, Dinda. Mau balik dulu, ambil motor di rumah. Ayo buruan, customerku nungguin nih."

"Kamu nggak ngantuk lagi? Nanti ketiduran di jalan loh," ucap Dinda.

"Kalau menyangkut masalah duit, mataku seketika langsung segar."

Dinda menggelengkan kepalanya melihat kelakuan temannya satu itu. Mau tak mau dia harus mengantar Sannia pulang ke rumahnya. Untung saja rumah Sannia hanya berjarak 500 meter dari rumahnya. Jadi dia tak perlu repot-repot harus membersihkan tubuhnya yang masih lengket karena keringat.

"Lan, kalo audah selesai makan, masuk ke kamarku saja ya."

Wulan melempar jempolnya kepada Dinda sebagai arti dia mengiyakan ucapan wanita itu.

"Cabut ya, Lan."

Dan lagi, Wulan hanya melempar jempolnya saat Sannia berpamitan karena sepertinya nyawa Wulan belum seratus persen terkumpul.

Tak butuh waktu lama kini Sannia telah berada di rumahnya. Dia dengan terburu-buru mengambil kunci motor yang ada di kamarnya dan setelah itu langsung pergi untuk menjemput orderan yang masuk ke dalam aplikasi ojek online-nya.

Orderan makanan yang masuk mengharuskan Sannia pergi ke restoran yang dituju. Untungnya saat itu restoran sedang tidak ramai jadi, Sannia bisa dengan cepat mengantarkan makanan kepada orang yang memesan melalui aplikasi online-nya.

Tak ingin terlalu lama di perjalanan, Sannia menancap gas motornya dengan kecepatan tinggi dan dalam waktu 10 menit saja dia sudah berada di depan rumah orang yang memesan makanan itu.

Ting tong!

Tak lama dari bel yang ditekan Sannia berbunyi, muncullah sosok seorang pemuda dari balik pintu yang kini telah terbuka. Pemuda berparas tampan dengan tubuh atletis yang di mana sempat membuat Sannia tertegun selama beberapa detik.

"Em, atas nama Pak Haikal?" tanya Sannia setelah tersadar dari lamunannya yang dibuyarkan oleh jentikan jari pemuda tersebut.

"Ya," jawab pria itu singkat. Dia segera memberi uang cash kepada Sannia dan langsung menutup pintu setelah menerima pesanannya.

Sannia pergi meninggalkan rumah tersebut dengan hati yang berbunga dan senyum mengembang di bibirnya.

Bukan hanya karena ketampanan pria tersebut yang membuat Sannia happy, tapi juga karena pria bernama Haikal itu memberinya uang tip sebesar lima puluh lima ribu rupiah. Nominal yang cukup besar untuk satu kali jalan, pikirnya. 

"Memang beda ya kalau yang order itu orang kaya yang baik dan gemar menabung. Kasih tip-nya gak pelit."

"Eh, tapi nggak semua orang kaya sih yang kayak begitu. Malahan banyak orang kaya yang berjiwa miskin, a.k.a pelit." Begitulah celoteh seorang Sannia yang mengisi kebosanannya sepanjang perjalanan menuju orderan selanjutnya.

Setelah berlelah-lelahan dengan jalanan macet dan menyelesaikan lima orderan dengan rute yang berbeda-beda, kini Sannia bersiap untuk pulang ke rumah. Namun sebelum pulang ke rumahnya, Sannia mampir ke toko kue terlebih dahulu untuk membeli kue kesukaan ibunya sebagai bentuk syukur atas rejeki yang didapatnya hari ini. 

Setiba di rumah mata Sannia berkeliling kesana kemari mencari sang ibu yang tidak kelihatan batang hidungnya. Dia terus menyusuri rumah sederhana miliknya sembari berteriak memanggil sang ibu. 

"Mama mana sih, dari siang tadi kok nggak kelihatan batang hidungnya," gumam Sannia dengan mata kesana kemari. 

"Wa'alaikumsalam. Ada apa sih, Nak. Kenapa teriak-teriak gitu. Nggak enak di dengar tetangga."

Suara merdu yang sangat menenangkan itu membuat Sannia tak bersuara lagi dan menoleh pada wanita tercintanya itu.

"Mama dari mana? Nih, aku bawa kue kesukaan Mama," ucap Sannia seraya menyodorkan kresek berisi kue pada sang ibu.

"Astaga Sannia, Mama 'kan sudah bilang kalau kamu itu jangan boros, Nak. Baru saja semalam kamu traktir Mama dan teman-temanmu. Punya uang itu ditabung, Sayang," tutur sang ibu memberi nasehat.

"Santai saja, Ma. Sannia habis dapet rejeki nomplok hari ini. Nggak ganggu duit tabungan Sannia kok," teriak Sannia karena saat itu dia sudah berada di dalam kamar mandi sedang membasuh mukanya yang sudah sangat lengket akibat keringat.

Sannia hendak keluar dari kamar mandi untuk mengambil handuk karena dia ingin segera mandi, namun saat dia baru membuka pintu kamar mandi, dia terkejut melihat sang ibu yang sudah ada di hadapannya dengan kresek yang masih di tangannya. 

"Mama, ngagetin saja, sih."

"Kamu masih narik ojek online, San?" tanya sang ibu tanpa menghiraukan ucapan Sannia.

"Iya," jawabnya singkat. 

"Astaga Nak, kenapa kamu masih melakukan itu. Gimana nanti kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu, Sayang. Kamu itu wanita, masih anak sekolah. SIM juga belum punya. Gimana nanti kalau sampai ditilang polisi atau ada orang jahat yang nodong kamu di jalan?"

"Aku sudah tamat sekolah, Mama sayang."

"Sannia!"

Sannia menghela nafasnya.  "Ma, Mama nggak usah berlebihan gitulah. Tenang aja, nggak bakal terjadi apa-apa sama anak Mama yang cantik ini, kok.  Sannia sudah sangat ahli dibidang ini. Mama tenang saja," sahut Sannia dengan santainya.

"Tapi akun ojek yang kamu pakai itu 'kan punya pria, San. Bagaimana kalau ada yang melaporkan kamu?"

"Sannia sudah membeli akun ojol yg lain, Ma. Yang punya akun cewek, kok. Pokoknya Mama tenang saja, oke. Masalah SIM, nanti Sannia buat setelah selesai mengurus berkas kuliah Sannia. Sekarang Sannia masih sibuk."

Ibu Sannia hanya menghela nafasnya saja melihat kelakuan anak perempuannya yang sedikit tomboy dan tak mau kalah itu.

Mungkin saja figur seorang ayah yang sejak lahir tidak bisa anaknya dapatkan dan juga keadaan yang memaksanya untuk menjadi wanita mandiri, membuat anak semata wayangnya itu memiliki sisi tomboy pada dirinya.

Dia hanya bisa berharap jika suatu saat nanti Sannia bisa bertemu dengan seorang pria yang sehat dan dapat mencintainya dengan tulus serta menjaganya hingga tua nanti.

3. Mood yang Buruk

Dua tahun kemudian.

Seorang wanita cantik dari jurusan managemen terlihat sangat sibuk dengan tumpukan buku yang ada di atas mejanya. Saking fokusnya dengan para buku-buku itu, dia bahkan tidak menyadari jika keempat temannya sudah ada di hadapannya.

Wanita itu adalah Sannia Danita.

Tekad Sannia untuk menjadi seorang pengusaha sukses membuatnya sangat serius menjalani kuliahnya yang baru berjalan empat semester itu. Namun meski begitu, jiwa sosial yang dimiliki Sannia tidak boleh diragukan hanya karena dia yang rajin belajar.

Kepintaran dan kesempurnaan fisik yang dimiliki Sannia membuat orang-orang di sana berlomba ingin berteman dengannya. Dia bahkan layaknya seorang artis jika sudah memasuki wilayah kampus. Sannia tentu tidak pilih-pilih dalam berteman. Siapapun yang ingin menjadi temannya, dia akan selalu membuka ruang untuk mereka.

Namun meski dia terkenal di kampus tapi, julukan tidak laku yang disematkan teman-temannya saat sekolah dulu sepertinya masih berlaku untuknya.

Sampai saat ini entah kenapa Sannia belum juga merasakan yang namanya pacaran. Jangankan untuk memiliki pacar, untuk sebatas status gebetan saja Sannia belum pernah juga merasakannya.

Entah apa yang salah dengan dirinya dia pun tak tahu, padahal jika diperhatikan dengan baik Sannia merupakan sosok wanita yang sempurna dari segi manapun. Bahkan setiap harinya selalu saja ada yang memuji kecantikan ataupun kepintarannya di kampus. Sepertinya dia harus mengakui jika dua kata yang tak enak di dengar itu adalah sebuah kutukan untuk dirinya.

Eheemm!

Deheman dari salah satu temannya yang ada di sana membuat Sannia terkejut. Dia mendongak untuk melihat siapa yang datang, lalu menghela nafasnya. Alat tulis diletakkan di atas meja dan dia meregangkan otot-ototnya yang kaku akibat terlalu lama menunduk.

"Masih lama belajarnya?" tanya seorang wanita yang bernama Adel.

"Kalian sejak kapan di sana?" tanya Sannia tanpa menjawab pertanyaan Adel. Dia meraih botol minumnya yang tinggal setengah dan meneguknya hingga tandas.

Teman-temannya mendekati mejanya lalu menutup buku-buku yang ada di atas meja.

"Sudah ya belajarnya Ibu Sannia. Sekarang kita isi asupan dulu ke kantin. Kita lapar nih, kamu nggak lapar apa?" tanya Adel yang masih sibuk menutup buku-buku Sannia.

"Ayok, aku juga lapar nih."

Sannia memasukkan barang-barangnya yang ada di atas meja ke dalam ransel. Mereka pergi ke kantin untuk mencari makan, namun karena keadaan kantin yang sangat ramai jadi mereka memutuskan untuk makan di restoran yang tak jauh dari kampus. Jam makan siang memang sudah lewat, semoga saja restoran sudah tidak dalam keadaan ramai lagi.

Setelah tiba di restoran mereka langsung menempati satu-satunya meja yang kosong yang ada di sana. Entah kenapa tempat makan siang hari ini sangat ramai padahal sekarang bukan waktunya hari libur.

Mereka segera memesan makanan dan tak lama dari itu, kini meja mereka sudah dipenuhi oleh berbagai menu yang berbeda-beda. Tidak ada yang memesan menu paket karena mereka akan makan secara prasmanan di meja itu. Sebuah kebersamaan yang akan sulit didapat dari pertemanan manapun, right.

Di tengah asyiknya makan siang mereka yang diiringi canda tawa tiba-tiba saja dua orang pria yang tadinya duduk tak jauh dari meja mereka kini menghampiri mereka. 

"Boleh kita gabung?" tanya salah satu pria itu. 

Adel yang sedikit tertarik dengan salah satu pria itu menganggukkan kepalanya dan menggeser sedikit kursinya ke kiri untuk memberi ruang kepada salah satu pria tersebut. Tak ingin kalah, pria yang satunya pun ikut mengambil tempat di sebelah kiri Adele yang kebetulan kosong.

Kedua pria itu mengajak Adel berkenalan secara bergantian dan tak lupa Adel juga memperkenalkan keempat temannya kepada kedua pria itu termasuk Sannia. Meski meja menjadi semakin ramai namun sepertinya kedua pria yang baru saja datang itu terlihat lebih tertarik untuk berbincang hanya dengan Adele seorang. Sania dan ketiga orang teman pria lainnya hanya bisa menonton ketiga orang itu yang sedang di dunianya sendiri.

Sannia menghela nafas, lagi-lagi Ferdi harus mewakili keempat teman-temannya untuk mengelus bahunya. Jujur saja dia sungguh tidak suka diperlakukan seperti itu, namun dia mengerti jika teman-temannya peduli akan keadaannya yang sulit mendapatkan pasangan.

"Guys sebentar lagi mata kuliah Pak Arif akan dimulai. Ayo kita kembali ke kampus," ajak Sannia.

Memang saat itu mata kuliah selanjutnya akan segera dimulai dan sepertinya juga mereka sudah cukup lama berada di restoran itu.

"Del, boleh aku minta nomor handphone kamu? Siapa tahu kita bisa kenal lebih dekat lagi," ucap salah satu pria yang bernama Rasya. Adel menengok kepada pria itu dan dengan senang hati dia memberikan nomor ponselnya kepada Rasya.

Adel melirik ke arah Sannia sejenak dan seketika dia memalingkan pandangannya kepada teman Rasya yaitu, Tom.

"Apa kamu mau nomor ponsel temanku, Tom? Kebetulan Sannia juga jomblo loh."

Sannia sontak menghentikan gerakan tangannya yang sedang merapikan piring makannya. Dia menatap Adel dan Tom bergantian, apa maksud Adel berkata seperti itu?

"Em, apa boleh aku minta nomor ponsel kamu saja, Del?"

Woala!

Sebuah kalimat singkat yang membuat hati Sannia sakit itu justru membuatnya tersenyum hambar. Tidak diragukan lagi jika kata tidak laku itu pantas ditujukan untuknya. Sekedar untuk bertukar nomor ponsel saja pria itu enggan, bagaimana jika untuk menjalin hubungan? Sial, sepertinya dia harus mengubur harapannya untuk memiliki pacar.

"San, temenin aku bayar ke kasir yuk." Sannia menatap ke arah Beni dan mengangguk.

Mereka berpamitan pada ketiga temannya dan dua orang pria asing itu untuk membayar makanan di kasir. Setelah membayar makanannya, Sannia dan Beni hendak pergi namun langkah mereka terhenti saat Sannia bertemu dengan Dinda dan Wulan yang menghampirinya.

Sannia meminta Beni untuk pergi lebih dulu bersama yang lainnya karena dia ingin mengobrol sebentar dengan teman sekolahnya itu. Dinda dan Wulan yang melihat sosok Beni lantas ngira jika Sannia sudah mulai memiliki pacar tapi ternyata mereka dikecewakan saat mengetahui jika Beni hanya teman kuliahnya saja.

"Yaah, kita kira kamu sudah ada kemajuan semenjak kuliah. Ternyata masih sama saja kayak SMA dulu," ucap Dinda.

"Kalian kenapa bisa barengan ada di sini? Reuni?" tanya Sannia tanpa menggubris perkataan Dinda. Ia menatap kesana kemari namun tak melihat sosok Husin atau Rama. Tidak mungkin mereka reuni hanya berdua saja, bukan. Apalagi dia yang tidak diajak.

"Kita lagi double date. Kebetulan pacar Wulan temennya pacar gue."

Dinda menunjuk pada dua orang pria yang duduk di meja sudut ruangan. Sannia menatap kepada kedua pria yang melihat ke arahnya itu, mereka menghampiri meja kedua pria itu karena Dinda ingin mengenalkan Sannia kepada pacarnya.

"Beb, kenalin ini teman SMA kita, namanya Sannia."

Sannia tersenyum dan menyambut uluran tangan pacar Dinda. Dia juga melakukan hal yang sama kepada pacar Wulan saat wanita itu memperkenalkan pacarnya.

"Beb, kamu ada temen cowok yang jomblo nggak? Kenalin dong sama Sannia. Kasihan nih temenku, dari jaman SMA belum pernah punya pacar,"  ucap Dinda kepada pacarnya, Bobi.

"Seriusan belum pernah pacaran?"

Sannia enggan menjawab pertanyaan Bobi. Dia hanya mengedikkan bahunya saja sembari menatap ke arah sembarang.

"Sannia ini seumur hidupnya belum ngerasain yang namanya pacaran. Saat sekolah dulu dia sering bangat di ejek nggak laku oleh anak-anak," ucap Wulan sedikit menjelaskan.

"Wah, sayang sekali cantik-cantik kok nggak laku," seru pacar Wulan, Daniel.

"Aset berharga yang tidak bermanfaat," sahut Bobi kemudian.

Dinda dan Wulan membenarkan ucapan pacar mereka. Sannia adalah ibaratkan aset berharga yang tidak bermanfaat untuk kaum adam. Sungguh disayangkan sekali.

Sannia yang mendengar itu hanya bisa menghela nafasnya. Setelah pria asing kenalan Adel tadi, kini giliran Dinda dan Wulan beserta pacar-pacarnya yang membuat mood-nya semakin jelek. Sungguh sial sekali dia hari ini.

Karena suara mereka yang sedikit nyaring, beberapa pengunjung restoran yang mendengar suara mereka menatap ke arah mereka. Tak sedikit juga yang tidak sengaja mencuri dengar percakapan mereka, terlebih orang-orang yang duduk di sekitar sana. Jujur saja Sannia merasa malu akan perkataan teman-temannya, namun apa boleh buat, dia tidak berminat untuk membela diri apalagi yang dikatakan mereka tidak sepenuhnya salah.

Sannia melirik jam tangannya, mata kuliah pak Arif sepuluh menit lagi akan di mulai. Lebih baik dia segera pergi dari sana sebelum terlambat masuk kelas. Lagipula dia sudah sangat bosan berada di sana dan sekarang dia sudah punya alasan yang tepat untuk pergi.

"Aku cabut dulu ya. Mata kuliahku sebentar lagi akan di mulai."

"Yaah, cepet banget sih, San. Belum juga sepuluh menit kita ketemu," ucap Wulan.

"Next time, ya. Aku cabut dulu."

"Bye, San." Dinda dan Wulan melambaikan tangannya dan dibalas Sannia hal yang sama sebelum dia berlalu dari sana. 

Baru tiga langkah Sannia berjalan, tiba-tiba saja dia menabrak seorang pelayan yang sedang membawa trai di tangannya. Kuah sup yang masih mengeluarkan asap dari atas trai itu tumpah mengenai tubuh seorang pria yang sedang duduk. Mata Sannia membelalak karena terkejut, begitu pula orang-orang yang melihatnya.

"Sannia," pekik Dinda dan Wulan. Mereka beranjak dari duduknya dan menghampiri Sannia dengan cepat.

"Astaga, Tuan maafkan aku. Aku benar-benar nggak sengaja, maafkan aku."

Sannia terlihat panik, dia melihat kesana kemari untuk mencari sesuatu yang bisa membersihkan tubuh pria itu. Saking paniknya Sannia sampai tidak sadar jika kotak tisu sudah ada di tangan sang pria. Bahkan kini dia berlari dan meraih kotak tisu yang ada di meja Dinda dan Wulan. Rasa panik benar-benar membuatnya tidak fokus dan hal itu justru membuatnya semakin malu karena menjadi tontonan pengunjung resto.

"Tuan maafkan aku, biar aku bantu." Sannia hendak mengelap baju dan celana pria itu yang basah namun tangannya dengan cepat ditahan oleh sang pria. Sannia menatap kepada pria itu dengan tanda tanya di kepalanya.

"Biar aku saja. Tidak apa-apa, pergilah," ucap pria itu sembari melepaskan tangan Sannia dari genggamannya.

"Ta-tapi Tuan, tubuh Anda?"

"Aku bisa sendiri, pergilah," selanya sambil memebersihkan tubuhnya dari kuah sup yang panas itu. Sungguh tubuhnya terasa melepuh namun apa boleh buat, dia tidak mau membuat keributan di sana.

Sannia menghela nafasnya, karena mood yang sedang tidak baik kini dia harus merugikan orang lain. Bahkan fikirannya yang sedang tidak fokuspun membuatnya berpikir jika pria itu tidak sudi disentuh olehnya, padahal dia hanya ingin membantu untuk bertanggung jawab. Sungguh nasib yang sangat buruk. Pandangan Sannia kini bertemu pada beberapa orang yang menatap ke arahnya.

"Astaga, demi apa aku jadi bahan tontonan?" ucap Sannia dalam hati.

Sannia menelan ludahnya, jantungnya berdegup kencang karena rasa malu kini mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Sebaiknya dia segera pergi dari sana sebelum mukanya benar-benar hilang dari tempatnya. Lagipula jika dilihat dari raut wajahnya, sepertinya pria itu baik-baik saja dan lagipula pria itu sudah mengusirnya tadi, jadi tidak salah bukan jika dia pergi mengikuti perkataan pria itu?

"Baiklah jika begitu. Maaf, saya permisi."

Pria itu baru saja hendak beranjak dari duduknya, namun ketika mendengar Sannia berpamitan dan langsung pergi tanpa menunggu sahutan darinya, dia lantas melirik pada wanita itu. Begitu sajakah? Pria itu masih memerhatikan Sannia yang berlari keluar restoran dengan terburu-buru sampai sebuah suara membuyarkan lamunannya.

"Tuan, maafkan kecerobohan teman saya. Dia benar-benar tidak sengaja," ucap Wulan yang sedari tadi memang sudah ada di sana. Pria itu menatap ke arah Dinda dan Wulan bergantia.

"Iya Tuan, maafkan teman kita. Apa perlu kita mengganti-"

"Tidak perlu," sela pria itu cepat sebelum Dinda menyelesaikan kalimatnya.

Dia berlalu cepat dari sana tanpa menghiraukan Dinda dan Wulan serta orang-orang yang sedari tadi melihat kearahnya. Dia butuh toilet untuk membasuh tubuhnya yang terasa sangat panas akibat kuah sup yang tumpah ke tubuhnya dan sepertinya dia harus segera ke rumah sakit setelah ini. Jangan sampai tubuhnya jadi melepuh karena terlambat ditangani.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!