KEGELAPAN. Hanya itu yang menyelimutiku saat ini.
Rasa takut, sedih, dan panik bercampur menjadi satu. Tidak ada yang berwarna, seakan-akan aku sedang berdiri di sebuah ruangan yang kosong dan gelap gulita. Bukan seakan-akan lagi, tetapi aku benar-benar sedang berdiri sendirian di tengah kegelapan dan kekosongan! Dimana aku berada? Apa yang sebenarnya terjadi?
Hawa dingin tidak luput pula hadir untuk menambah tempo detak jantung dan berhasil membuat bulu kudukku berdiri.
"JANGAN PERGI!"
Suara teriakan yang menggema dan begitu keras terdengar jelas bahwa pemilik suara tersebut adalah laki-laki.
Bahkan sedari tadi aku tidak berjalan ataupun bergerak. Mengapa orang itu meneriakkan kalimat tersebut? Apakah bukan kepadaku? Namun, dalam tempat ini hanya ada aku saja.
"JANGAN PERGI!"
Suara sumbang itu lagi. Siapa orang yang sebenarnya ia perintahkan? Apakah benar-benar ke padaku? Semakin lama memikirkannya, membuatku menjadi gemetar dan takut.
Aku pun menutup telinga menggunakan tangan, sekaligus memejamkan mata dan berharap bahwa semua ini adalah mimpi. Iya, ini hanya mimpi!
Saat mencoba membuka mata, seketika muncul kehadiran seorang cowok sedang berdiri tegap tepat di hadapanku. Wajahnya yang pucat pasi tanpa ekspresi sedang menatapku lekat-lekat.
Takut. Aku benar-benar merasa merinding saat membalas tatapannya. Rasanya ingin secepat-cepatnya berlari tunggang langgang dan menjauh sejauh mungkin dari cowok asing ini. Akan tetapu, mengapa tubuh ini menolak keinginan otakku? Aku tidak bisa bergerak dan hanya dapat mematung dalam menatap orang di hadapanku dengan gemetar.
Secara mengejutkan, sebelah tangan cowok itu membelai pipiku dengan lembut sebelum mengatakan, "Jangan pergi, kumohon."
Kalimat itu sama seperti teriakan sumbang sebelumnya yang telah kudengar. Rupanya adalah dia yang mengucapkan hal tersebut.
Di momen yang sama, aku baru sadar bahwa pelupuk mata ini sudah menggenang basah tanpa ada perasaan sedih dalam menatap cowok ini. Ada apa denganku? Aku tidak bisa mengenalinya sama sekali, tetapi tidak terasa asing. Apakah kami saling mengenal satu sama lain?
Semakin aku berusaha mengingatnya, rasa sakit mulai menjalar di kepala dan mungkin kapasitas memori dalam otakku benar-benar semakin penuh hingga nyaris terasa meledak.
Mendadak tubuh ini terasa ditarik oleh sesuatu dengan kuat dan cepat, sampai membuatku menjauh dari cowok tersebut tanpa kendaliku sendiri. Aku melihat dia yang semakin menjauh. Laki-laki itu mulai meneteskan air mata dan tangannya terulur, seakan-akan tidak rela dengan kepergianku. Ini aneh, sungguh tidak bisa dipahami.
Selanjutnya pada tempo yang sama, sebuah lembaran foto yang setengah terbakar terjatuh secara perlahan di hadapanku. Terlihat sebuah gambar seorang gadis sedang tersenyum hingga akhirnya sirna menjadi uraian abu oleh lahapan api.
Aku tidak bisa memahami kejadian ini. Terlebih lagi, aku tidak dapat mengkontrol tubuh sendiri sama sekali. Tolong siapa pun, tolong jelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi.
Mendadak aku tersentak kaget. Jantung ini seperti mencelus ketika muncul sebuah sensasi sebuah gerbang dimensi lain terbuka dan melemparku tanpa aba-aba. Di saat yang sama, tanpa mengedipkan mata hingga aku bisa rasakan bagaimana sebuah tarikan kuat telah memindahkan diriku ke lokasi yang berbeda.
Embusan angin telah hadir, kedua mata menjadi membelalak, telinga mulai mendengar bahwa seluruh dunia telah berteriak histeris dan akhirnya aku sadar bahwa itu adalah teriakanku sendiri. Aku mendapati tubuh ini yang sudah terhempas di udara dan berada dalam perjalanan yang sebentar lagi jatuh dari ketinggian curam lembah atau bisa jadi adalah jurang. Perpindahan tempat secara mendadak seperti ini begitu tidak bisa kupahami menggunakan nalar.
Tidak ada jarak antara tubuh ini dengan langit yang begitu gelap, diterangi oleh bulan purnama. Angin sepoi-sepoi yang sejuk, tetapi tidak memberikan efek tenang sama sekali. Terbesit dalam otakku, apakah aku akan mati?
Seketika, situasi menjadi berubah.
Sebuah kegelapan hadir dalam sekejap mata seperti jeda untuk mengantarkan diriku menuju keadaan yang berbeda untuk kedua kalinya. Alih-alih terjatuh di curamnya jurang, aku menjadi sedang berdiri di tengah jalur rel kereta api. Spontan kakiku bergerak untuk melangkah pergi secepat mungkin sebelum ada kereta api yang datang dan hendak melindas. Namun, sepatuku justru tersangkut di sisi rel.
Rasa panik menyelimuti saat aku berusaha dalam melepaskan diri dari jeratan rel ini. Kemudian, bel pagar lalu lintas telah berbunyi yang berfungsi otomatis menahan kendaraan ataupun pejalan kaki untuk melewati rel. Ini menandakan bahwa kereta api akan datang dalam beberapa detik lagi. Sedangkan sedari tadi, aku terus berusaha menarik-narik kaki yang sama sekali tidak ada hasil! Aku tidak bisa menyerah dalam kesulitan ini.
Deru suara mesin yang berputar telah terdengar di telingaku. Sorot lampu yang begitu terang kini menyinariku dari ujung rel. Mulai terdengar deritan melengking dan percikan dari roda kereta api yang mengartikan bahwa sang masinis telah menarik pedal rem agar menghindari kecelakaan yang akan menimpa padaku.
Semakin mendekat dan mendekat hingga mataku membelalak hebat yang mungkin nyaris saja terlepas dari rongganya. Saat mulut kereta sedikit lagi menciumku, hati ini hanya berharap keselamatan yang sangat mustahil.
Lagi-lagi semua mendadak berubah.
Sebuah tarikan yang sama telah muncul lagi hingga aku bisa melihat bagaimana sirnanya cahaya kereta api di hadapanku sampai akhirnya suasana di sekitar telah berubah total.
Apakah aku sedang ditunjukkan dalam menghadapi berbagai macam faktor kematian?
Selanjutnya, sekelilingku elah dipenuhi air dengan tingkat cahaya yang rendah. Tenggelam, aku benar-benar sedang terjatuh dalam diam di sebuah air yang tinggi. Tubuh terasa berat dan tidak menolak terapung ke atas untuk mendapatkan oksigen. Kini, aku hanya bisa menahan napas untuk bertahan sedikit lebih lama lagi.
Air yang begitu dingin dan tubuh terasa seperti batu yang perlahan turun menuju dasar air ini. Sepertinya sangat dalam, aku bisa merasakan begitu lambatnya tubuhku untuk menyentuh dasar dan sedikit lagi mulai kehabisan nafas untuk bertahan dalam kesadaran yang lumayan singkat.
Sinar rembulan yang terlihat indah di mata mulai bertambah kabur hingga menghilang. Napas telah habis, aku mulai terbatuk dan rasanya paru-paruku akan meledak karena tidak bisa memompa pernafasan lagi. Tekanan air menjadi semakin lama membuatku pusing dan sangat menyakitkan. Pasrah, hanya itu yang bisa kulakukan di saat seperti ini. Mata terasa berat dan kesadaran mulai terkikis habis.
Entah sejak kapan perasaanku mulai terasa lega. Perlahan hidungku dapat menarik nafas dan setelah itu aku mencoba terbangun. Mataku mulai fokus untuk melihat keadaan sekitar yang tahu-tahu saja sudah berubah. Perubahan yang terasa sangat lama, tetapi sesungguhnya hanyalah seperkian detik.
Kaki ini mulai menginjak sebuah dataran yang menandakan bahwa aku sedang berdiri. Bukan hanya sekedar berdiri, melainkan dengan kobaran api di sekelilingku. Api, iya api! Di seluruh mata memandang telah terdapat api yang menari-nari.
Reflek aku berjalan dalam mencari jalan keluar agar tidak terpanggang hidup-hidup oleh api ganas di sekitaran. Plafon yang mulai sedikit runtuh, abu panas bertebaran, lantai yang kupijaki terasa mulai memanas, asap dimana-mana hingga membuatku terbatuk-batuk dan menyesakkan nafas. Rasanya kadar oksigen di sini semakin lama menjadi menipis dan mencekik paru-paruku.
Aku pun berteriak meminta tolong dan berharap ada seseorang yang menghampiri untuk menyelamatkan satu nyawa dari penghuni bumi. Pada akhirnya aku sadar bahwa tempat ini terletak di lantai atas. Terlihat sebuah jalur menuju lantai bawah melalui tangga yang akan menjadi jalan keluar pertamaku.
Belum saja mulai untuk melangkah, reruntuhan kayu dari atas telah terjatuh tepat di sebelahku. Beruntungnya aku reflek menghindar dengan cepat. Namun, aku justru tergelincir sampai melewati pagar pembatas yang rusak, lalu terjun ke bawah dengan panik. Lautan api akan melahapku sebentar lagi. Kali ini, aku benar-benar akan mati. Akan tetapi, tidak ada rasa panas sama sekali. Aku tidak terbakar dalam kobaran api.
Lagi-lagi perubahan kondisi pada sekitarku telah hadir.
Mata yang awalnya masih menatap langit-langit terbakar, sekarang berubah menjadi pemandangan yang begitu kabur. Hawa panas tergantikan oleh dingin, tubuh yang terasa terpanggang telah berubah menjadi sedikit basah.
Ini benar-benar menakutkan. Apakah aku hanya menyaksikan beberapa cara kematian dengan sangat tragis? Lantas, apa faedahnya? Siapa sebenarnya yang menarikku ke berbagai situasi berbeda ini? Mengerikan, ini sungguh menakutkan. Aku tidak kuat lagi menghadapi hal-hal ambigu ini.
Penglihatanku tidak bisa dapat fokus sama sekali seperti sebelumnya, seperti potongan film yang sedang dibakar, lalu hangus dalam sekejap. Kemudian, terdengar suara percikan dan tetesan air di mana-mana.
Terdapat seorang wanita berteriak di dekat telingaku. Namun, aku tidak sempat menggubris perkataannya sebelum kakiku mulai terkulai lemas dan kehilangan keseimbangan. Baru tersadar bahwa di tanganku sedang memegangi payung kecil yang bertanda hujan sedang turun. Tidak lama tangan ini telah melepaskan genggamannya hingga akhirnya tubuhku terbasahi oleh air hujan. Kepala terasa berat dan menjadi kekurangan keseimbangan.
Perlahan semuanya berubah menjadi gelap hingga tersadar jika semua kejadian aneh ini telah berhenti seperti yang kutunggu sedari awal.
- ♧ -
SECARA perlahan, aku membuka mata dan menerima sebuah cahaya yang kini menandakan bahwa kesadaran telah pulih dari kejadian sebelumnya. Apakah aku pingsan atau tertidur?
"Akhirnya lo bangun."
Terdengar suara pria yang sedang mendekat dengan ukiran senyum manis di wajahnya, seakan-akan sudah menunggu lamanya kesadaranku. Wajahnya yang tampak ramah, seperti selalu menampilkan keceriaan dalam hidupnya. Sikapnya seperti manusia hiperaktif dan asik terhadap semua orang. Rambut bermodel 'coma Hair' yang lebat dan hitam pekat. Tinggi dan berdada bidang seperti tubuh para cowok atletis.
Tapi, siapa dirinya?
Aku pun memicingkan mata dalam menatapnya yang kini berdiri di sebelah ranjangku. Ah, rupanya aku berada di rumah sakit. Selimut tipis dan ruangan putih yang menandakan bahwa ini benar-benar ruang rawat inal. Apakah aku ketika kehilangan kesadaran saat di bawah hujan langsung dilarikan ke rumah sakit?
"Kata dokter, lo kelelahan akibatnya pingsan di jalan," ucap pria tersebut dengan nada prihatin. "Lain kali, jangan terlalu maksain diri untuk ngerjain tugas kampus."
Apakah aku adalah anak kuliahan? Ah, aku tidak dapat mengingat apa pun. Apakah aku telah mengidap serangan hilang ingatan? Sepertinya, aku terlalu banyak memikirkan pertanyaan yang tidak bisa dilemparkan pada siapa pun, atau bahkan dijawab oleh orang yang berada di hadapanku.
Oh tidak, apakah aku amnesia?
Pria yang sedang berbicara padaku sangatlah terlihat asing di mata. Namun, tingkahnya begitu santai dan terasa sangat mengenalku dengan akrab. Apakah dia ayahku? Sepertinya tidak, tampangnya terlalu muda untuk memilki anak yang sebesar tubuhku.
Mata ini melirik jam digital yang berada di meja nakas sebelahku. Terlihatlah tampilan jam 18.00 tanggal 20 juli. Aku pun mengembalikkan pandangan pada pria tadi dan mendapati wajahnya yang kebingungan dalam menatap diriku.
"Capek banget ya? Bahkan, lo nggak mau ngobrol sama gue?" ucapnya seraya memiringkan kepala.
Rasanya begitu membingungkan. Apakah harus mengakui jika aku saja tidak mengenalnya?
Mendadak, pria itu menyodorkan ponsel ber-chassing merah muda kepadaku sebelum berkata, "Nih, gue bawa tadi buat ngehubungin manajer lo untuk izin beberapa hari."
Izin kepada manager? Apakah aku mahasiswi sekaligus pekerja kantoran? Itu adalah hal yang tidak mungkin. Walaupun ingatanku hilang, sepertinya logikaku tidak ikut pergi. Tanpa bicara, aku menerima ponsel tersebut dan dalam seketika muncul notifikasi pesan teks yang tampil otomatis di layar.
Reflek jariku menyentuh touchscreen untuk membuka pesan teks tersebut.
Inbox || [Unknown number]: Jangan beri tahu siapa-siapa perihal kehilangan ingatan.
Mengapa ada orang asing yang mengetahui nomer teleponku dan mengirim pesan seperti ini? Dari mana dia tahu bahwa aku telah kehilangan ingatan? Apakah dia seorang dukun yang mencabut ingatanku, lalu mengirim pesan teks dengan gaya memerintah secara halus?
TLING!
Bunyi notifikasi lagi dengan pengirim yang sama.
Inbox || [Unknown number]: Jika kamu terlalu lama terrawat di rumah sakit. Maka, kamu akan sedikit berinteraksi di dunia luar hingga lupa tentang sekitaran, tentang dirimu sendiri, caranya berjalan, cara berekspresi. Bahkan paling parahnya adalah melupakan cara bernapas.
Mengerikan, seperti ada benarnya. Mungkin, aku harus menuruti kemauan pengirim pesan ini, kemudian berpura-pura menghadapi dunia dengan normal. Seiring berjalannya waktu, aku pasti mengingat sedikit demi sedikit. Pasti dan pasti!
"Emm ... aku bisa pulang hari ini?" tanyaku kepada pria tadi dengan nada rendah. Sepertinya pertanyaanku menimbulkan kecurigaan kepadanya.
"Aku? Gaya bicara lo kok formal begitu? Apa BF lo ini kurang manis ya, sampai lo begini?" balasnya sembari mencubit-cubit dagu dengan kedua jari.
Apa itu BF? Apakah maksudnya adalah Boyfriend? Dia pacarku?
"Kepalaku ... gue masih sedikit pusing. Jadi agak ngeblank," kataku terburu-buru.
Pria tersebut duduk di kursi sebelah ranjangku. "Astaga Ley, kalau masih pusing ya, di sini aja dulu."
Siapa namaku yang sebenarnya hingga menyebutku dengan kata 'Ley'? Dia memanggilku dengan panggilan yang setengah-setengah, sehingga membuatku semakin penasaran.
"G-gue nggak betah di sini, pengin pulang," ucapku dengan memelas. "Boleh, ya?"
Pria itu menggeleng pelan. "Ya sudah, tapi besok tetap jangan masuk ke kampus sama kerja, ya?"
"Oke," balasku singkat.
Selama beberapa saat, aku bersiap untuk keluar dari rumah sakit dengan dibantu pria tadi bersama satu suster. Aku mencoba memeriksa papan nama diagnosis yang berada diujung kasurku. Tertera nama "LILIAN ASHLEY" yang membuatku tersenyum tipis. Rupanya, itulah namaku. Jadi, pria tadi yang memanggil sepotong namaku dengan kata "Ley" adalah Ashley. Namaku Ashley.
"Perlu kursi roda? Atau gue gendong aja? Lo bener-bener masih pusing, 'kan? Mending lo duduk dulu aja deh."
Pertanyaan beruntun dari pria tadi telah membuatku bingung untuk menjawabnya. Sikap khawatirnya terlalu berlebihan. Tapi, wajar saja baginya peduli padaku sebaga kekasih, bukan sebatas teman.
"Nggak perlu. Kita Langsung pulang aja."
"Oke deh, ayo cap-cus."
Kami melangkah ke luar dari rumah sakit dan aku mendapati pria tersebut membukakan pintu mobil pada bagian penumpang sebelah pengemudi.
Ingin sekali aku berterima kasih seraya memanggil namanya. Tapi, bagaimana caranya aku memanggilnya?
Akhirnya, perjalanan dimulai tanpa menghabiskan waktu lama. Pria yang belum kuketahui namanya tersebut selalu berbicara dengan berbagai topik yang tidak bisa dimengerti. Dari membahas soal gaji, peliharaannya, wanita asing yang meminta nomor terhadapnya dan seorang pria tua yang berusaha menyalip mobil ketika dia sedang menyebut. Andai saja aku tidak kehilangan ingatan, pasti bisa dimengerti apa yang dia bahas tentang kesehariannya.
Mobil pun telah berhenti pada lapangan parkir di depan gedung apartemen yang kisaran bertingkat lima. Kami keluar dan melangkah masuk menuju lobi, lalu pergi ke lantai tiga.
Benar-benar asing. Aku benar-benar tidak bisa mengingat kenangan semua ini. Semua terasa hampa dan kosong. Omong-omong, dia membawaku ke apartemen siapa? Apakah kami hidup secara bersamaan?
"Hei, lo mau ke mana?"
Sedari tadi, aku hanya melamun dan tidak sadar bahwa sudah berjalan melewati pria itu. Dia sudah memberhentikan langkahnya pada salah satu kamar di koridor ini. Aku mulai uring-uringan. Dengan cepat aku berbalik dan berjalan untuk berdiri di sampingnya.
"Ayo masuk ke apartemen lo," ajaknya.
Sepertinya ini adalah apartemen pribadiku dan dia menungguku untuk membukakan pintu.
Tanganku merogoh-rogoh tas selempang berwarna putih tanpa tertera branded terkenal yang sedari tadi kukenakan. Akan tetapi, usahaku nihil untuk mendapati sebuah kunci.
"Hilang, ya, kuncinya?" tanya pria itu dengan khawatir. "Tenang aja. Cadangannya ada di gue."
Dia menggantungkan kunci pada jarinya tepat di depan mataku. Rasanya aneh, mengapa aku bisa memberi sebuah kunci apartemen pribadi pada seorang pria? Bukankah itu sedikit berbahaya? Sudahlah, aku tidak paham dengan jalan pikiranku saat dulu masih normal.
Kami memasuki apartemen atau lebih tepatnya, apartemenku. Ruangan yang kecil tapi tidak sekecil ruang rawat inap tadi. Hanya terdapat televisi, satu paket sofa tamu yang saling berhadapan dengan meja panjang berisikan vas bunga. Aku bertanya-tanya, apakah aku memiliki teman yang begitu banyak dalam berkunjung hingga memiliki sofa yang memuat banyak tamu?
Selanjutnya, terdapat balkon yang terlihat dari pintu kacanya. Satu kamar tidur dan kamar mandi yang tertutup, sekaligus kitchen set yang sangat rapi. Terlihat begitu bersih dan rapi.
"Gue bersih-bersih apartemen saat lo masih dirawat dirumah sakit." Oh, ternyata dia yang membersihkan. "Apa kepala lo masih sakit?"
Dia bertanya ketika aku sedang memegangi kepalaku. Tentu saja bukan karena sakit, tetapi karena aku berusaha mengingat-ingat hal yang menyangkut pautkan ruangan ini.
"Gue nggak apa-apa kok."
"Kalau masih sakit, gue gendong ke kamar. Kalau bisa, kita balik ke rumah sakit."
Oh tidak, aku tidak ingin dirawat di rumah sakit sendirian hingga tidak dapat berinteraksi pada dunia luar. Hasilnya, lupa akan segala hal, hingga nama, orang-orang terdekat, bahkan lupa kebiasaan manusiawi sehari-hari. Aku tidak ingin seperti itu. Syukurlah seseorang dengan nomor tidak dikenal berhasil memperingatiku akan hal tersebut.
"Nggak perlu. Aku ... gue baik-baik aja," dustaku dengan senyum keki.
"Oke. kalau udah baikan, gue mau kopi," ucap cowok tersebut dengan bersemangat. "Ayo buatin gue."
Merepotkan wanita yang baru saja sembuh. Tidak apa, lagi pula dia pasti banyak membantu ketika aku dirawat inap.
Sebenarnya, apa yang terjadi padaku hingga semua ingatan ini terhempas begitu saja? Apakah aku terbentur dan mempengaruhi saraf otakku? Benar-benar sulit untuk ditebak. Jika saja benar, mengapa dokter tidak bisa menyadari akan penyakit yang menimpaku?
"Hei, mau ngapain?"
Aku tersentak ketika pria itu bertanya saat aku sudah membuka salah satu laci untuk mengambil bubuk kopi.
"Lo beneran mau buatin gue kopi?"
"Iya, lo kan minta kopi?" tanyaku dengan polos.
"Gue nggak suka kopi, dan lo tau itu," timpalnya sembari menatapku lekat-lekat.
Apakah dia bercanda padaku? Sepertinya dia akan memberiku cap sebagai tukang pikun. Sebaiknya aku berpura-pura menyetujui ucapanya, dari pada dia sampai mengetahui akan hilangnya ingatanku dan melemparku ke rumah sakit, itu akan lebih bahaya.
"Jadi, lo mau minum apa?" tanyaku. Semoga saja dia tidak mengetes ingatanku lagi.
"Seperti biasanya dong, Sprite!"
Secepatnya aku membuka kulkas dan mendapati tiga botol besar minuman merk sprite, lalu mengambilnya satu untuk dituangkan pada gelas. Mungkin, aku benar-benar memperhatikannya hingga minuman saja sudah tersedia tiga botol.
Aku menuangkan minuman tersebut pada gelas kaca dan meletakkan di meja depan TV untuk mempersilahkan pria itu alias kekasihku menikmatinya.
Kepalaku menoleh padanya dan mendapati dirinya tertegun tidak jelas.
"Gue, pulang dulu deh. Lo istirahat ya."
Tunggu dulu, bagaimana dengan minumannya? Sepertinya dia dapat membaca pikiranku sebelum berkata, "Minum aja sprite yang udah lo tuangin." Kemudian, dia melanjutkan kalimatnya sebelum aku menyela. "Lagi pula, lo juga suka sprite. Sebenarnya, gue memang suka kopi. Cuma, tingkah lo sedikit aneh tadi."
Ya ampun, aku masih sulit untuk menyesuaikan diri. Baru awal-awal saja sudah dicurigai seperti ini.
"See you, gue pergi ya. Night," pamitnya sembari pergi meninggalkan apartemenku.
Tanpa berpikir macam-macam lagi, aku memasuki kamar tidur dan membuka lemari kayu yang memiliki tiga pintu. Lalu, mendapati baju tidur untuk kupakai malam ini.
Kurebahkan tubuh hingga menatap langit-langit. Apa yang harus aku lakukan esok hari? Kata pria tadi, aku harus beristirahat sehari lagi untuk memulihkan diri. Pada esok hari, aku harus menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasa. Aku tidak bisa menjalani hal tersebut tanpa bimbingan orang. Ini sulit, apakah aku harus mengungkapkan kejadian ini dan memohon-mohon agar tidak didepak ke rumah sakit?
TLING!
Muncul notifikasi pesan teks baru dari nomer yang sama saat di rumah sakit.
Inbox || [Unknown number]: Untuk pagi hari, pergilah ke kampus. setelah pulang, masuk kerja di kafe dekat lampu merah yang bernama 'Caffe Clair de lune'.
TLING!
Pesan baru seketika terkirim lagi saat aku baru membuka pesan pertama.
Inbox || [Unknown number]: Tak perlu dijabarkan lebih jelas. Semua akan mudah dipahami ketika mendatangi tempat-tempat itu.
Aku merasa super ingin tahu pada orang yang sedang mengirimkan aku pesan seperti ini. Dari ketikannya saja sudah dapat mengartikan bahwa dia tahu bahwa aku telah kehilangan ingatan. Tanpa ba-bi-bu lagi, aku membalas pesan tersebut.
Resent: Kamu siapa?
Aku mengirim pesan dan seketika mendapat balasan.
Inbox || [Unknown number]: Tebaklah
Ya ampun, di situasi seperti ini saja manusia ini masih bermain tebak-tebakan bersamaku. Tidak aku balas pesan tersebut dan sebaiknya mulai beristirahat sejenak.
Tiba-tiba, perutku berbunyi. Aku baru ingat jika perut ini belum diisi oleh sesuatu sejak tadi. Aku langsung beranjak dari kasur dan segera ngacir ke dapur, lalu memeriksa apakah ada makanan yang bisa dimakan untuk saat ini.
Ternyata ada banyak frozen food dan mi instan. Sebaiknya aku memakan mi instan saja, karena terlalu ribet untuk memasak frozen food. Atau sebaliknya.
Aku melihat tata cara masak mi instan di balik kemasannya. Hanya untuk berjaga-jaga, siapa tahu saja aku melupakan sesuatu hingga ngestuck di tengah proses masak.
TLING!
Terdengar bunyi notifikasi pesan lagi. Aku pun kembali pada kamar tidur dan langsung memeriksa ponsel.
Inbox || [Unknown Number]: Good night. I'll see u letter.
Aku menjadi terus bertanya-tanya, siapa manusia yang sangat mengenalku ini?
- ♧ -
CAHAYA ruangan yang terlihat begitu remang-remang oleh sinar mentari telah muncul dengan terselip melalui tirai jendela. Aku bangkit dari singgasana nyaman ini dan membuka jendela hingga cahaya pagi yang mengandung vitamin D menyeruak masuk agar memberi sebuah manfaatnya.
Jadi, apa yang harus aku lakukan sekarang? Membangun rutinitas baru? Tentunya mandi dan sarapan adalah hal wajib. Tapi, setelah itu aku harus melakukan apa? Menuruti pria yang mengaku sebagai kekasihku, aku diperintahkan untuk beristirahat di rumah sambil ongkang-ongkang kaki. Atau menuruti si pengirim pesan teks, aku langsung ngibrit menuju kampus? Namun, aku tidak tahu kapan jadwal masukku atau lebih tepatnya jurusan apa yang aku pilih.
Sepertinya diriku harus memilih option pertama.
Aku pun membersihkan diri dengan mandi menggunakan shower pada tempratur hangat. Ternyata mandi adalah solusi yang tepat untuk menyegarkan akalku dari semua mimpi buruk yang telah menghantuiku sebelum berada di rumah sakit.
Setelah itu, aku mengeringkan diri dan memakai pakaian kaos lengan pendek sekaligus celana tiga perempat. Untuk pagi hari, pilihan sarapan adalah roti panggang dengan mentega yang telah kutemukan pada rak dapur. Terlihat ada beberapa kopi susu instan yang begitu banyak seperti persediaan sebulan dan snack yang lumayan banyak. Oh ya, aku juga sempat melihat laci di bawah washtafel kamar mandi yang terdapat banyak stok sikat gigi, pasta gigi sekaligus sabun-sabunan. Rupanya, aku benar-benar perhatian sekali pada persiapan.
Terdengar sebuah ketukan pelan dari pintu keluar. Dengan cepat tanganku mengambil roti panggang terlebih dahulu—aku tidak ingin mendapati roti tersebut dalam keadaan gosong jika tidak secepatnya diambil— lalu membukakan pintu sebelum mengintip melalui lubang pengintai yang terbuat dari kaca cembung di pintu hingga melihat pria kemarin sedang berdiri di depan pintu seraya memeriksa jam tangannya.
"Kok lama banget?" tanyanya seraya masuk ke apartemenku begitu saja. Sepertinya hal ini sudah biasa baginya, tapi tidak bagiku. "Gile, bau roti bakar. Padahal gue baru aja beliin lo sarapan."
Dia meletakkan sebuah bungkusan putih di meja dekat TV dan mengeluarkan isinya dengan cepat. Terdapat empat kotak pizza mini dan dua kaleng susu. Baguslah, kukira dia akan memberikan makanan berat di saat pagi begini. Di saat itu juga, aku duduk di sampingnya dan ikut menyantap pizza tersebut secara bersamaan.
"Lo kagak usah ngampus hari ini. Tapi, kalau mau kerja, bakal gue temenin," ucapnya dengan mulut penuh. "Gue tahu kalau lo tuh workholic dan butuh duit banget. Apalagi gajinya harian juga dapet, jadinya terasa rugi kalau nggak sikat duit jatah itu."
Oh, ternyata aku pekerja keras dan haus akan kertas-kertas bernominal. Syukurlah, setidaknya aku bukanlah pemalas dan dianggap sampah masyarakat. Ini adalah kesempatan yang bagus untuk mengumpulkan informasi perihal ingatanku yang hilang di saat bekerja. Aku harus memasang tampang bersemangat dan berusaha mengenali sekitar dengan sebisa mungkin.
"Ley, kok lo diem melulu sih?"
Astaga, aku terlalu sibuk memikirkan segalanya hingga tak sadar jika pria ini memerhatikan gelagatku.
"H-hanya mikirin pekerjaan. Gue memang harus berangkat kerja hari ini," kataku buru-buru tanpa berkontak mata dengannya dan berharap semoga pria ini tidak mencurigai sikap anehku.
"Oh gitu, okelah," jawabnya sembari menepuk-nepuk tangannya dari remah-remah pizza. "Gue cabut untuk ngampus dulu. Entar siang bakal gue jemput ke tempat kerja, ya?"
Wajahku berubah memerah saat cowok ini mengelus-elus pipiku dengan punggung tangan. Untung saja saat dia memakan pizza telah menggunakan tisu agar tangannya tidak tercemar minyak.
"Biar gue aja yang beresin ini."
Tidak kusangka-sangka bahwa sikapnya cukup peduli dan manis padaku. Hanya sarapan saja dia harus ke apartemenku dan makan bersama seperti ini.
Setelah dia berpamitan dan pergi, aku membereskan bagian dapur dengan menyimpan roti panggangku tadi pada oven agar terlindungi dari segala macam serangga yang kelaparan.
Aku tahu bahwa saat ini telah diperintahkan untuk beristirahat agar memulihkan tubuhku di saat bekerja nanti. Tapi, apa daya rasa ingin tahuku melonjak tinggi terhadap informasi kehidupanku sendiri. Dengan cepat tanganku meraih ponsel dan laptop, kemudian meletakkannya pada kasur. Apakah aku hobi melakukan kegiatan memelototi layar di atas kasur? Jika tidak, sepertinya aku harus meminta maaf pada diri sendiri.
Aku menghidupkan daya ponsel dan membuka beberapa media sosial yang cukup sedikit dalam daftar pertemanan. Algoritma internet hanya berisikan tentang berita-berita lokal dan dunia musik asia sekaligus western. Ternyata aku pecinta musik. Jadi, apakah aku hobi bernyanyi? Bisa jadi. Setelah membuka media sosial yang tidak begitu penting, aku membuka bagian gallery yang terlihat begitu banyak sekali swafoto dari kekasihku dan foto kami bersama di beberapa tempat.
Beberapa terdapat foto kafe dan sederet orang yang memakai seragam seiras. Kurasa mereka adalah pekerja pada kafe tersebut dan betapa terkejutnya adanya aku di antara mereka Ya ampun. Tampangku tidak cupu-cupu sekali saat menggunakan seragam kerja. Kemeja putih dengan apron hitam, rok kembang se-batas lutut, rambut terurai berbandana putih di atasnya. Kurasa bandana tersebut adalah seragam juga, karena terlihat bahwa selain diriku, ternyata wanita lainnya menggunakannya juga. Terdapat dua wanita di sebelah kiriku dan satu cowok di sebelah kananku. Di tengah-tengah deretan tersebut telah terdapat cowok yang menggunakan setelan berbeda dari semuanya. Kurasa dialah maitre D'Caffe. Atau mungkin manajer? Atau dia lupa membawa seragam?
Beberapa foto lainnya yang begitu banyak bertempatan pada area kampus. Ada juga fotoku yang sedang berdiri di depan gedung bertuliskan 'ekonomi'. Rupanya, aku mengambil jurusan ekonomi.
Mengubek-ubek ponsel ada gunanya juga. Bosan, ah iya ... aku bosan sekali.. Aku harus melakukan apa, sekarang? Jalan-jalan ke luar? Jangan, kemungkinan aku akan nyasar dan tidak dapat kembali pulang. Masak-memasak? Tidak, bisa-bisa aku menghabiskan semua bahan makanan dalam sekejap dan akan menjadi sia-sia. Lalu, apa ya?
Seketika, mataku melirik ke arah kalender yang berada di meja belajar. Kalender yang berwarna violet dan diterangi oleh lampu belajar. Omong-omong, mengapa lampu itu hidup saat awal aku memasuki ruangan ini? Aku sadar jika lampu itu selalu menyala, tapi aku tidak terlalu memerhatikannya. Mencoba untuk duduk pada kursi dan aku langsung berhadapan dengan meja yang berisikan deretan buku tebal dan peralatan tulis. Serta merta aku meraih kalender cantik tersebut yang telah dicorat-coret oleh tinta.
Tanggal 02: Waktu gajian!
Tanggal 23: Tour karyawan, jangan lupa.
Oh, dua hari lagi akan ada tour karyawan. Syukurlah aku melihat hal ini. Sepertinya kegiatan tersebut akan menjadi tempat yang tepat untuk menyegarkan pikiranku. Namun, apakah kekasihku akan ikut? Sepertinya itu tidak usah dipikirkan.
Aku yakin teman-teman tempat kerjaku cukup baik dan bisa membantuku untuk mengingat kembali kenangan bersama.
Tepat di jam dua belas tepat, pintu apartemenku terketuk beberapa kali. Aku sudah bisa menebak bahwa orang itu adalah kekasihlu, tetali tetap saja aku harus mengintip lobang pintu yang bercermin cebung untuk berjaga-jaga.
Mengejutkan, ada dua orang dan salah-satunya adalah kekasihku.
"Udah siap?" tanya cowok asing di sebelah kekasihku saat pintu telah terbuka. "Apa nggak usah kerja hari ini?"
Ya ampun, ternyata mereka ingin menjemputku dalam bekerja.
Aku mengatakan bahwa akan berangkat bekerja sebentar lagi. Sialnya, aku belum bersiap-siap sedikit pun. Dengan cepat aku mempersilahkan mereka masuk dan menderap masuk ke kamar tidur untuk bersiap-siap.
Mengapa di lemari tidak ada seragam kerja yang sama seperti di foto? Apakah di mesin cuci? Tapi, kurasa mesin cuci benar-benar kosong. Astaga, aku kehilangan seragam!
"Maaf, gue kehilangan seragam kerja," ucapku pada kedua cowok itu saat ke luar dari kamar tidur.
"Kok bisa, Ley?" tanya kekasihku dengan terperangah. "Bukannya lo letakkan di loker kerja? Atau lo laundry akhir-akhir ini?"
Ah iya juga, teringat olehku pada pria di sebelah kekasihku itu adalah teman sepekerjaanku yang terlihat di foto. Dia juga tidak memakai seragam kerja, pastinya sudah tersedia pada loker kerja. Ini benar-benar memalukan dan dapat dicurigai bahwa ada yang salah dengan ingatanku.
"Oh iya, di loker," ucapku seraya mengurut dahi. "Maaf."
"Dasar pelupa, baru juga umur segini," sahut pria sebelah pacarku dengan wajah datar dan berbicara nada ketus. "Ya sudah ayo jalan."
- ♧ -
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!