Pagi hari disebuah pemakaman.
Seorang pria tampan bertubuh tinggi dengan mengenakan setelan jas kerjanya, terlihat baru saja turun dari dalam mobil dengan memegang sebuket bunga mawar putih ditangannya. Pria itu berjalan dengan perlahan menuju salah satu pemakaman yang ada disana.
Rian Abraham, 31 tahun. dia adalah seorang duda yang ditinggalkan oleh sang istri untuk selama-lamanya. 3 tahun lamanya ia hidup dalam kesendirian dengan rasa bersalah dan penyesalan akan meninggalnya sang istri yang ia anggap semua hal yang terjadi lantaran kesalahan yang pernah ia lakukan dimasa lalu.
Tahun ketiga setelah meninggalnya sang istri, Rian belum juga berkeinginan untuk menikah lagi. Meski banyak gosip yang muncul tentang kedekatannya dengan beberapa wanita diluar sana, namun hal itu nyatanya tidak bisa dibuktikan karena sampai saat ini Rian masih tetap sendiri.
Dan hari ini adalah hari yang sebenarnya adalah hari ulang tahun bagi mendiang sang istri. Rian sengaja datang lebih pagi dengan membawa sebuket bunga mawar putih untuk wanita yang sangat ia cintai itu.
Meski kenyataanya wanita yang ia cintai itu sudah pergi meninggalkannya untuk selamanya, namun Rian tetap tidak pernah lupa untuk selalu datang kepemakaman sang istri setiap tahunnya. Meski hanya sekedar mengucapkan selamat ulang tahun disana.
Dengan senyumannya pria itu kemudian duduk disamping makam sang istri lalu meletakkan bunga yang ia bawa sebelumnya diatas makam tersebut.
"Sayang... aku datang, selamat ulang tahun Namira. Ini adalah tahun ketiga kau meninggalkanku, dan sampai saat ini aku masih sangat mencintaimu." Ucap Rian seraya mengusap air matanya yang menetes dikedua pipinya.
"Jika kau masih hidup, aku yakin anak kita sudah pandai bicara sekarang Dan dia pasti akan memanggilku dengan sebutan ayah." Ucap Rian lagi dengan senyum miris dibibirnya.
"Kau tau Namira? Selama tiga tahun ini aku masih selalu menangis saat mengingat bagaimana jahatnya aku memperlakukanmu dulu, Jika waktu bisa diputar kembali maka aku akan--"
Tidak bisa lagi melanjutkan ucapannya, Rian semakin menangis dengan tersedu-sedu saat mengingat semua tentang Namira, sang istri yang sangat ia cintai dulu.
"Maafkan aku Namira, maaf..." Rian semakin menangis dengan memeluk makam Namira.
Sampai ketika tangisan itu terhenti saat tiba-tiba seseorang yang baru datang dengan meletakkan mawar putih dimakam yang sama, yaitu makam Namira.
"Sampai kapan kau akan terus seperti ini Rian?" Suara yang terdengar tidak asing bagi Rian itu seketika berhasil menghentikan tangisannya.
Rian mendongak keatas dan melihat sosok pria yang baru saja datang dengan meletakkan bunga yang sama dimakam istrinya. "Keynan..."
Keynan tersenyum lalu ia mengulurkan tangannya untuk Rian. "Ayo bangunlah jangan seperti ini." Rian memegang uluran tangan Keynan dan ia pun segera beranjak.
"Kau sengaja datang kesini juga apa karena kau masih menyukai Namira?" Tanya Rian seraya mengusap sisa air matanya.
Keynan menggeleng senyum. "Aku datang tidak hanya karena aku masih menyukainya tapi karena aku masih mencintainya juga."
"Key!" Sentak Rian yang mulai emosi dan Keynan tiba-tiba tertawa dihadapan sahabatnya yang terlihat marah setelah mendengar pernyataannya itu.
"Aku hanya bercanda Rian." Ucap Keynan dengan menepuk pundak Rian.
"Ayo tarik nafas panjang dan buang amarahmu itu, aku tidak mungkin masih mencintai Namira sedangkan kau juga tau aku baru saja menikah."
Seketika Rian pun langsung menghela nafas leganya dan tersenyum pada Keynan. Melihat senyum penuh luka dimata sahabatnya itu, Keynan pun langsung memeluknya dan seketika itu juga apa yang dilakukan Keynan justru membuat Rian kembali menangis.
"Rasanya aku tidak ingin hidup lagi Key, rasanya hidupku sudah benar-benar hancur."
Keynan melepas pelukannya dan memegang kuat kedua pundak Rian. "Apa yang kau bicarakan ini hah? Kau sudah melewati selama 3 tahun ini dan kau bilang kau tidak ingin hidup lagi?"
Rian menggelengkan kepalanya dengan terus menangis hingga terisak dihadapan Keynan.
"Namira sudah tenang disana, dia sudah memaafkanmu dan kau masih saja hidup dengan rasa bersalahmu? Mau sampai kapan Rian?" Keynan semakin mengeratkan pegangannya pada pundak Rian seraya menatap sahabatnya itu dengan bendungan air mata yang ia tahan.
"Tapi aku belum sempat mengatakan apapun padanya Key, dan jika dulu aku lebih percaya dengannya mungkin saat ini dia tidak akan pergi bersama anak kami." Ucap Rian yang semakin menangis sejadi-jadinya.
Greb.
Keynan kembali memeluk sahabatnya itu dengan lebih erat. Bermaksud untuk menguatkannya namun Keynan justru ikut hanyut dalam tangisannya.
"Katakan padaku Key, apa yang harus aku lakukan sekarang?" Tidak juga bisa menjawabnya, Keynan yang masih menangis itu mencoba menahan suara tangisannya agar tidak didengar oleh Rian.
Sampai akhirnya sudah tidak terdengar lagi isak tangis dari Rian, dengan cepat Keynan segera mengusap kering air matanya lalu perlahan melepas pelukannya dari Rian.
"Sudah merasa tenang?" Tanya Keynan kemudian Rian pun menjawab dengan anggukan kepala.
"Hey, pria macam apa kau ini? Kenapa isak tangismu seolah terdengar seperti anak-anak hah?" Kata Keynan seraya menepuk pundak Rian.
Rian mengusap sisa air matanya dengan menunduk senyum dihadapan Keynan. "Kau juga menangis brengsek." Rian memukul ringan dada Keynan seraya tertawa kecil.
"Apa kau masih ingat kalau kita ada pertemuan dengan klien baru kita diresto pagi ini?" Rian terdiam sembari mengingat apa memang dia ada meeting pagi ini. Saat ia mengingatnya ia kembali menunduk dengan senyum miris dibibirnya.
"Aku hampir lupa Key, karena dulu setiap kali ada meeting Namira selalu mengingatkanku lewat pesan singkat yang ia kirim padaku, namun semua perhatian yang ia berikan selalu aku abaikan sampai akhirnya--"
Keynan memotong ucapan Rian dengan menepuk dada sahabatnya itu. "Ayolah jangan bahas hal itu lagi." Rian pun kembali tersenyum seraya menggelengkan kepalanya.
Tidak ingin terus membicarakan hal yang kemungkinan akan membuat Rian kembali mengingat rasa bersalahnya pada mendiang Namira, akhirnya dengan berusaha menunjukkan rasa semangatnya Keynan merangkul pundak Rian dan segera mengajaknya pergi.
Keduanya pun pergi meninggalkan pemakaman dan bergegas untuk menuju keresto guna melakukan meeting disana. Sesampainya diresto, Keynan dan Rian masuk kedalam resto tersebut dan duduk meja kursi yang sudah dipesan oleh klien mereka berdua sebelumnya.
"Selamat datang presdir Key dan presdir Rian, silahkan duduk." Ucap louis, si klien baru Keynan dan Rian.
"Rasanya senang sekali karena perusahaan kita akan segera melakukan kerja sama ini." Kata Louis.
"Kau benar presdir louis, kami juga sangat senang bisa melakukan kerja sama dengan anda." Ujar Keynan pada Louis.
Ketiga CEO tampan itu pun mulai untuk melakukan meeting santai mereka diresto tersebut. Sampai 2 jam berlalu meeting pun selesai dan ketiga CEO tersebut saling berjabat tangan atas kesepatan kerja sama yang mereka jalin.
"Sudah 2 jam kita melakukan meeting, jadi aku harap presdir Keynan dan presdir Rian harus minum dan makan siang diresto ini dulu, aku akan mentraktir kalian." Kata Louis.
Rian dan Keynan saling menatap satu sama lain dan kemudian keduanya pun mengangguk senyum. Setelah melihat persetujuan dari Rian dan Keynan akhirnya Lowyis segera memesan beberapa menu makan siang untuk mereka.
Sembari menunggu pesanan datang, ketiga CEO itu pun melakulan sedikit obrolan. "Presdir Rian ini sangat tampan ya, aku yakin wanitanya pun pasti sangat cantik dan tergila-gila padanya. Bukankah begitu presdir?" Dengan senyum tipisnya Rian pun hanya mengangguk ragu seraya menatap kearah Keynan.
"Permisi, ini pesanan anda tuan." Ucap seorang pelayan resto seraya meletakkan menu pesanan tersebut.
Beberapa menu pesanan sudah dihidangkan dimeja oleh pelayan wanita tersebut. Namun saat pelayan itu akan meletakkan kopi panas dihadapan Rian, tiba-tiba seseorang yang melintas dibelakang pelayan itu tanpa sengaja menyenggolnya hingga kopi yang belum sempat diletakkan dimeja justru tumpah tepat dicelana Rian.
"Akhh... maaf tuan aku tidak sengaja." Ucap pelayan wanita itu dengan rasa takutnya karna kopi panas itu tumpah tepat dipaha Rian.
"Rian kau tidak apa-apa?" Keynan langsung berdiri dan mengambil tissu lalu mengusap pada bagian yang terkena tumpahan kopi tersebut.
"Kau ini bagaimana hah! Apa kau tidak bisa bekerja! Apa kau tau jika itu kopi panas! Panggil managermu kesini!" Sentak Louis pada pelayan tersebut.
"Maaf tuan aku benar-benar tidak sengaja, sungguh." Ujar gadis itu dengan suara bergetar.
"Tidak apa-apa tuan Louis, ini hanya terkena tumpahan sedikit" Kata Rian.
"Tapi ini akan melukai pahamu presdir." Ucap Louis dengan cemas. Louis benar-benar merasa bersalah akan apa yang terjadi. Pria itu takut jika jamuannya untuk Rian akan dianggap buruk karena ulah ceroboh pelayan resto yang dianggap Louis tidak becus itu.
"Maaf tuan aku akan membersihkannya." Pelayan itu mengambil beberapa tissu dan berniat untuk membersihkan tumpahan kopi panas tersebut.
"Tidak usah, tidak apa-apa." Tanpa melihat wajah pelayan yang ada dihadapannya, Rian berusaha menjauh dari pelayan tersebut.
"Maaf tuan ini salahku jadi biarkan aku ber--"
"Aku bilang tidak usah!" Sentak Rian yang seketika membuat pelayan itu terdiam dan menjauh dari Rian.
Degh.
Rian yang awalnya terlihat sangat marah tiba-tiba seketika terdiam. Jantungnya seolah berhenti berdetak dan kedua matanya seolah langsung berkaca-kaca saat melihat pelayan yang tengah berdiri dihadapannya.
"Namira..." Lirih Rian dengan tatapan yang masih tidak percaya melihat apa yang ada dihadapannya.
Tidak hanya Rian, Keynan pun seolah menjadi tertegun saat melihat apa yang juga dilihat oleh Rian. "Namira, benarkah itu kau?" Gumam lirih Keynan.
"Ada apa ini?" Ucap seorang pria yang datang kemeja tiga CEO tersebut lalu berdiri tepat disamping pelayan yang sudah menumpahkan kopi panas dicelana Rian.
"Apa kau manager disini!" Pekik Louis pada pria yang tengah berdiri didekat pelayannya itu.
"Benar tuan, aku adalah manager disini."
"Lihatlah apa yang sudah dilakukan oleh pelayan bodohmu ini! Dia sudah menumpahkan kopi panas di paha klienku!" Ucap Louis dengan nada tingginya.
Manager itu pun menatap pada pelayannya. "Ziva, benarkah apa yang tuan ini katakan?" Tanya Manager itu pada pelayan yang ternyata bernama Ziva.
Ziva pun mengangguk dengan menundukkan kepalanya. "Iya benar manager Han, tapi sungguh aku tidak sengaja melakukannya Karena tadi ada seseorang yang tiba-tiba da--"
"Sudah cukup tidak apa-apa, ini hanya ketidak sengajaan jadi tidak perlu diperpanjang masalah ini." Ucap Rian yang langsung memotong ucapan Ziva.
"Maafkan pegawai saya ini tuan, kebetulan dia masih baru 1 minggu bekerja disini, Jadi mohon dimaafkan atas ketledorannya." Jelas sang manager tersebut pada Rian.
Rian pun mengangguk senyum dengan tatapan yang mengarah pada Ziva. Sadar jika sahabatnya itu terus menatap pada gadis pelayan itu, Keynan pun dengan sengaja menginjak kaki Rian hingga membuatnya berteriak kesakitan.
Dugh.
"Awwww... sshhh..." Teriak Rian seraya menoleh pada Keynan yang berdiri santai disampingnya.
"Tuan apa sangat sakit bekas tumpahan kopi panasnya? Tanya manager itu dengan mendekat pada Rian. "Tidak apa-apa, ini hanya--"
"Ziva, karena ini adalah kesalahanmu maka kau harus bertanggung jawab untuk menyembuhkan luka pada tuan itu." Ujar manager itu pada Ziva dan Ziva pun hanya mengangguk patuh.
"Tapi ini tidak ap--"
Dugh.
"Awww...." Lagi-lagi Rian berteriak karena ulah Keynan yang kembali menginjak kaki Rian.
"Ziva cepat bawa tuan itu keruang istirahat dan obati dia! Kalau tidak aku akan memecatmu!" Sentak manager itu pada Ziva.
"Ba-baiklah manager Han." Dengan cepat Ziva menarik tangan Rian dan membawanya keruang istirahat.
"Ta-tapi aku tidak--" Ucap Rian seraya mencoba meraih tangan Keynan saat dirinya ditarik oleh Ziva. Dan Keynan justru mengedipkan satu matanya seraya melontarkan senyuman pada Rian.
Setelah Rian dibawa pergi oleh Ziva untuk diobati, Keynan mempersilahkan Lowyis untuk duduk dan menikmati makan siang mereka. "Ayo presdir Louis kita nikmati hidangan ini." Kata Keynan.
"Tapi bagaimana dengan presdir Rian?" Tanya Louis.
"Jangan pikirkan dia, aku yakin dia akan makan dengan kenyang nantinya." Kata Keynan seraya melontarkan senyum smirknya. Louis pun mengangguk dan keduanya kini menikmati hidangan makan siang mereka tanpa adanya Rian.
...****************...
Sementara itu sesampainya diruang istirahat, Ziva menekan kedua pundak Rian untuk duduk. "Duduklah tuan aku akan mengobati lukamu." Ziva mengambil kotak obat lalu duduk tepat dihadapan Rian.
"Buka tuan, aku akan mengoleskan obat ini dipahamu agar tidak melepuh."
Rian terdiam dengan menaikkan alisnya. Saat Rian tidak juga melakukan apa yang diminta oleh Ziva, kemudian Ziva pun meletakkan kotak obat itu disampingnya lalu berdiri dihadapan Rian. "Kenapa diam saja? Ayo buka." Kata Ziva.
"Apa yang harus dibuka?" Tanya Rian dengan tatapan yang mendongak pada wajah Ziva.
"Tentu saja celanamu, kan aku sudah bilang mau mengobati pahamu yang tersiram kopi tadi, jadi cepat buka ce--" Ziva menghentikan ucapannya.
"Tunggu tadi aku bilang apa?" Tanya Ziva yang justru terlihat bingung.
"Kau ingin aku membuka celanaku." Kata Rian dengan mangangkat satu alisnya.
"Hah... benarkah?" Ziva langsung memutar tubuhnya membelakangi Rian. Gadis itu benar-benar merasa malu saat mengingat ucapannya barusan. Bagaimana bisa dengan entengnya ia bicara bahwa Rian harus membuka celana dihadapannya.
"Mati aku bagaimana ini?" Guman Ziva dalam hati seraya menahan rasa malu dan takutnya.
Bruk.
"Akh..." Ziva terjatuh dipangkuan Rian saat dengan sengaja Rian menarik tangan Ziva kepangkuannya.
Dengan terlihat jelas Rian menatap wajah Ziva yang sangat mirip dengan mendiang Namira. Sampai tatapan Rian itu terlihat semakin intens kemudian Ziva yang awalnya juga menatap wajah Rian, kini dengan cepat ia segera menundukkan pandangannya dari pria tampan yang sedang memangkunya itu.
"Tuan maaf aku--" Lagi-lagi Ziva tidak bisa berucap saat ia akan bangun dari pangkuan Rian namun justru ditariknya kembali tangan Ziva oleh Rian.
"Mau kemana kau? Bukankah kau bilang kau akan mengobati lukaku?" Ucap Rian tepat Ditelinga Ziva. Terdengar begitu serak suara Rian dan terasa begitu hangatnya hembusan nafasnya saat bicara didekat telinga Ziva sampai membuat gadis yang berkerja sebagai pelayan Resto itu seketika bergedik merinding.
"Iya tapi--"
Bruk.
Ucapan Ziva terpotong saat dengan tiba-tiba Rian mendorong kuat tubuh Ziva dari pangkuannya sampai membuat gadis itu tersungkur dilantai.
"Apa sudah selesai mengobatinya? Kalau sudah ayo kita pulang." Ucap Keynan yang tiba-tiba masuk kedalam ruang istirahat sampai membuat Rian menjatuhkan Ziva begitu saja dari pangkuannya.
"E-em... i-iya sudah selesai, ayo kita pulang Key." Rian dengan gugupnya kemudian langsung berdiri dan beranjak pergi mendahului Keynan tanpa menatap Ziva yang tengah tersungkur dilantai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!