Weni gadis 25 tahun, cantik dan periang serta Pekerja keras dan disiplin. Namun sampai saat ini tidak kunjung menikah dan sibuk dengan pekerjaannya. Ia juga baru menyelesaikan pendidikan S2 di luar negeri. Dan saat ini dirinya membantu Sang Papa menjalankan bisnis properti, ia juga mempunyai galeri. Karena memang melukis adalah hobinya.
Orang tuanya sudah mendesak agar segera menikah dengan kekasihnya. Namun, ia tetap tidak bergeming dan justru menyibukkan diri dengan pekerjaan dan hobinya.
“Weni kamu mau ke mana?” tanya Sang Mama saat ia sudah berdandan rapi dan membawa tas menuruni tangga.
“Mau ke galeri, Ma.”
“Sendiri?”
“Ada Mas Bian nunggu di sana!” terangnya.
“Bian sudah pulang dari Singapore?”
“Sudah. Makanya Weni sama Mas Bian janjian di galeri.”
“Ya sudah hati–hati, salam buat Bian,” pungkas Mila pada Sang Anak. Weni tersenyum kemudian berangkat menuju galeri dengan mengendarai mobilnya.
Sesampainya di galeri Weni di sambut pegawainya yang bernama Arin. Arin adalah pegawai kepercayaannya dari tiga tahun terakhir.
“Selamat pagi, Bu!”
“Pagi Rin. Oh ya, Mas Bian sudah datang?” tanyanya menanyakan sang kekasih.
“Tadi datang, tapi selesai terima telepon langsung pergi lagi.” Weni hanya menghela nafas pasrah dan tersenyum tipis.
“Ya sudah, terima kasih!” Weni kemudian masuk ke dalam ruangannya lalu menghubungi Bian, kekasihnya.
“Halo Mas! Mas di mana?”
“Maaf sayang, Mas mendadak ada urusan di kantor, masalah rapat di Singapore kemarin.”
“Ya sudah. Kalau begitu, aku ke kantor saja, masih ada pekerjaanku di sana yang belum selesai.”
“Iya, hati-hati.”
“Hem.” Keduanya pun memutuskan sambungan ponselnya masing-masing. Weni keluar dari ruangannya lalu menemui Arin.
“Rin. Aku mau ke kantor, kalau nanti ada yang mencariku, suruh saja menghubungiku.”
“Baik Bu, nanti saya sampaikan.” Weni mengangguk kemudian pergi dari galeri menuju kantor sang Papa.
Sesampainya di kantor, Weni tak lantas masuk ke dalam gedung, ia masih duduk di dalam mobil dan menyandarkan punggungnya sembari melihat lalu lalang karyawan yang keluar masuk sambil membawa beberapa berkas di tangannya.
Selang beberapa menit ia memutuskan untuk keluar dari mobil dan masuk ke gedung kantor. Weni masuk seperti biasa dan langsung menuju lift khususnya. Namun, saat memencet tombol lift rupanya tidak berfungsi. Tak lama ada satpam yang menghampirinya.
“Maaf Nona. Lift yang ini sedang rusak dan akan segera diperbaiki. Jika Nona tidak keberatan, Nona bisa menggunakan lift karyawan.”
Weni melihat satpam tersenyum ramah padanya, wajahnya begitu tampan tidak seperti satpam kebanyakan, bahkan aroma tubuhnya pun begitu wangi, kulitnya termasuk bersih. Mungkin dari segi wajah satpam tersebut lebih cocok menjadi artis atau model.
“Nona?” Weni sedikit tersentak dari keterpanaannya lalu sekilas tersenyum dan sedikit membuang pandangannya.
“Oh iya. Bisa temani saya di lift itu sampai ke lantai tujuan saya? Lantai 29,” ujar Weni tanpa sadar meminta untuk ditemani di lift karyawan.
“Baik. Mari saya antar,” balas Satpam tersebut mempersilahkan Weni masuk ke lift lebih dulu.
Wina kembali memperhatikan satpam tersebut dan melihat nama yang tertera di dadanya.
‘Bagas Sanjaya,’ batin Weni lalu melihat kembali wajahnya.
“Kamu satpam baru?” tanya Weni tiba-tiba, mengingat ia baru mengetahui Ada satpam bernama Bagas. Bagas menoleh ke arah Weni dan tersenyum sambil memencet tombol lift.
“Iya Nona. Saya baru dua hari bekerja menjadi satpam kantor di sini, sebelumnya saya di kantor cabang!” balas Bagas ramah.
“Oh, pantas saya baru melihatmu. Oh ya, tapi tadi saya tidak melihat kamu di depan?” tanya Weni melihat Bagas tersenyum ramah dan sedikit menunduk.
“Maaf Nona, tadi saya sedang mengambil buku catatan laporan.”
“Oh.” Weni tersenyum begitu juga Bagas. Namun Bagas langsung menundukkan pandangannya, karena menurutnya tidak sopan jika harus memandang gadis cantik di sampingnya terlalu lama.
Tiba-tiba lampu lift berkedip- kedip membuat keduanya serempak melihat ke arah lampu dan ‘Brakkk’ lift terhenti.
“Aaa!” jerit Weni melonjak memegang bahu Bagas.
“Tenang Nona, tidak apa-apa. Sebentar lagi juga hidup.” Baru saja Bagas selesai bicara lampu tiba-tiba padam membuat Weni menjerit kembali.
Weni semakin erat berpegangan di bahu Bagas, bahkan meraih lengannya untuk berpegangan. Namun Bagas diam tidak berani memegang tangan Weni walau hanya untuk menenangkannya.
“Sebentar Nona biar saya meminta bantuan.” Bagas kemudian mengambil walky talky lalu meminta bantuan rekan kerjanya.
Weni semakin erat memegang lengannya bahkan sampai menyembunyikan wajahnya di lengannya.
“Kamu jangan pergi, aku takut gelap,” lirih Weni.
“Jangan takut Nona, lampu darurat masih menyala jadi tidak terlalu gelap, buka mata Anda.” Weni justru menggelengkan kepalanya dan mengalungkan Kedua tangannya di leher Bagas dan terus memejamkan matanya.
Perlahan Bagas memberanikan diri untuk memegang pundak Weni, memberi tanda agar Weni jangan takut.
“Nona lampunya darurat masih lumayan terang, buka mata Anda.”
Weni perlahan membuka matanya dan mendongak melihat wajah tampan Bagas. Jantung keduanya juga tidak bisa diajak kompromi, seolah ingin keluar dari tempatnya masing-masing.
“Jadi ini tidak terlalu gelap?” tanya Weni yang masih memeluk Bagas.
“Iya Nona, masih terang, wajah Anda masih terlihat jelas.” Weni sontak melepaskan pelukannya lalu membenarkan bajunya. Begitu juga Bagas yang berusaha bersikap profesional.
“Maaf,” cicit Weni sekilas melihat Bagas malu.
“Tidak apa-apa, Nona!” balasnya.
Tak lama walky talky milik Bagas berbunyi dan mengatakan masih butuh waktu sedikit lama lagi untuk bisa memperbaiki lift karyawan yang sedang rusak. Weni yang mendengarnya pun langsung mencari tempat untuk duduk lalu memainkan ponselnya yang ternyata baterai ponselnya pun habis.
“Baterainya habis lagi,” Pekiknya sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam tasnya secara kasar lalu melihat Bagas yang masih berdiri sambil berbicara dengan Walky talky.
“Ini butuh berapa lama lagi?” tanya Weni.
“Sebentar lagi Nona, pihak perbaikan sedang memperbaikinya.
“Uh..., bisanya mati. Terus bagaimana dengan pekerjaanku yang belum selesai,” gumam Weni menyandarkan punggungnya di dinding Lift.
“Pak Bagas!” panggil Weni. Bagas menoleh ke arahnya.
“Ya Nona.”
“Duduk, Pak! Memangnya Bapak gak capek berdiri terus?”
”Tapi, Nona?”
“Tidak apa-apa.” Bagas melihat Wina sekali lagi untuk memastikan tidak apa-apa, lalu Weni mengangguk, baru ia duduk bersila di depannya.
“Pak Bagas sudah mempunyai istri?” tanya Weni.
“Belum Nona, siapa yang mau dengan satpam seperti saya!”
“Pasti ada, Pak.”
“Anda mau dengan saya,” Canda Bagas diiringi tawa keduanya.
“Boleh!” Canda Weni balik.
“Ok, Anda pacar saya sekarang.” Kedua tertawa, bercanda sampai lampu dan lift terbuka.
Mereka tidak menyadari jika ucapan adalah sebuah doa. Jika benar kelak mereka berjodoh apakah orang tua mereka menyetujui?
Mereka keluar beriringan kemudian Weni menuju ruangannya sedangkan Bagas menghampiri rekannya yang sedang berada di lantai yang sama.
Weni tersenyum sendiri saat berada di ruangannya hingga tidak menyadari jika Tiara berada di ruangannya.
“Astagfirullah!” seru Weni terkejut.
“Kau kenapa? Kau pikir aku hantu!” seru Tiara.
Weni tersenyum lalu di duduk di kursinya kemudian sejenak mengingat Bagas lalu ia membuka laptopnya.
Waktu terus berjalan, Weni akhirnya menyelesaikan pekerjaannya. Hari yang begitu melelahkan. Rasa jari jemarinya serta matanya begitu lelah.
“Mas Bian ngapain ya?” Weni memejamkan matanya. Memikirkan kekasihnya yang selalu sibuk dan susah diajak bertemu. Weni mengambil ponselnya lalu menghubungi Bian.
“Halo, Mas!” sapanya di balik sambungan ponselnya.
“Ya, sayang!”
“Masih sibuk?”
“Iya! Masih ada sedikit pekerjaan."
“Ya sudah, lain waktu ketamuan ya! Jaga kesehatan.” Weni kemudian memutuskan sambungan ponselnya.
Hari-hari Weni disibukkan dengan pekerjaannya, seperti saat ini. Ia pulang sedikit terlambat. Weni keluar dari lift Namun saat sampai lantai bawah, ia baru teringat jika mobilnya dipinjam asistennya, Tiara. Untuk pulang menemui ibunya yang sedang sakit.
“Suruh jemput siapa ini? Mas Bian bisa jemput aku tidak ya. Tapi tadi katanya belum selesai meeting. Meeting kok lama banget sih dari kemarin meeting terus.” Gumamnya di teras lobby.
“Naik taksi saja,” gumamnya sambil mengambil Ponsel di dalam tasnya lalu memesan taksi online. Namun, saat membuka dan memesan rupanya tidak ada satu pun sopir taksi online yang merespons pesannya. Sudah hampir setengah jam taksinya tak ada yang merespons. Akhirnya ia memesan jasa ojek online.
“Akhirnya ada yang merespons,” gumamnya saat salah satu ojek online merespons pesanannya. Tak begitu lama ojek yang ia pesan pun datang menghampirinya.
“Nona Weni?” panggil ojek tersebut sambil memastikan apakah benar yang memesan ojeknya yang bernama Weni.
“Ya saya!” Weni memperhatikan tukang ojek tersebut kemudian tertawa kecil.
“Kamu?”
“Nona! Jadi benar Nona yang pesan ojek saya?” tanya Bagas memastikan.
“Iya , terpaksa. Pesan taksi dari tadi gak ada yang merespons.”
“Baiklah Nona, ini helmnya.” Weni menerima helm tersebut dengan ragu, ia takut helm tersebut tidak higienis dan mungkin sudah banyak orang yang memakainya.
Bagas sadar dengan keraguan Weni menerima helmnya, ia pun turun lalu mengambil helm baru di dalam jok motornya. Helm yang baru saja ia beli untuk adiknya.
“Nona pakai ini saja, ini masih baru. Baru saja saya beli untuk adik saya.” Bagas memberikan helmnya.
“Terima kasih ya, kamu pengertian,” balas Weni lalu memakai helmnya.
“Ini bagaimana?” cicit Weni kesulitan memasang kunci tali helmnya.
“Mari saya bantu Nona, maaf.” Bagas membantu mengenakan helmnya kemudian keduanya naik di atas motor.
“Selain jadi Satpam di kantor, kamu juga jadi tukang ojek?” tanya Weni.
“Apa saja saya kerjakan Non, kalau hari libur saya bantu Ayah saya jualan bakso sama mie ayam di pasar induk. Kalau tidak ya bantu ibu di rumah jualan bakso juga.”
“Oh, orang tuanya pengusaha mie Ayam bakso?” Bagas tertawa saat Weni mengatakan Ayahnya pengusaha.
“Sekarang orang tuanya jualan?” tanya Weni lagi
“Iya, Non.”
“Saya mau dong! Mau cobain baksonya. Bawa saya ke rumah kamu.”
“Yakin … Nona mau ke warung bakso orang tua saya?”
“Yakin! Bukanya seminggu lalu kamu bilang kalau saya ini pacar kamu! Ya di ajak makan dong pacarnya!” Bagas terkekeh begitu juga Weni.
“Baiklah Nona, saya akan mengajak Anda ke tempat pertama kita berkencan.”
Mereka tertawa dan bercanda layaknya sepasang kekasih. Weni sangat menikmati pemandangan sore hari. Rupanya ia merasakan perbedaan antara naik mobil dan motor, Menaiki motor ternyata memiliki kesan tersendiri baginya, yang memang ia tidak pernah naik motor.
Bagas membawa Weni ke rumahnya sesuai permintaannya. Rumah Bagas begitu sederhana dan memiliki halaman yang tampak begitu luas dan di depan rumahnya terdapat warung bakso milik orang tuanya.
“Assalamualaikum…!” salam Bagas pada ibunya yang sedang mengelap mangkuk.
“Heh...! Anak Ibu yang ganteng sudah pulang?” Bagas masuk di ikuti Wina lalu Weni mengikuti Bagas menyalami Mira. Mira memperhatikan Weni yang berdiri di samping Bagas.
“Ibu, ini kenalin...,”
“Pacar Mas Bagas!” potong Weni tiba-tiba membuat Bu Mila terbengong melihat anaknya yang hanya garuk-garuk kepala.
“Bukan Bu! Ini...,”
“Mas kok Begitu! Kan, seminggu lalu kita jadian di lift,” potong Weni lagi membuat Bagas melebarkan matanya dan melihat sang Ibu yang begitu senang melihat pacar anaknya yang begitu cantik dan juga ramah.
“Iya..., iya...! Pacar Bagas, Bu!”
Bagas tidak bisa berkata apa-apa lagi terlebih melihat Ibunya senang melihat Weni. Weni dan Mira kemudian membuat bakso bersama. Setelah itu Weni membawakannya untuk Bagas yang duduk memperhatikan dirinya.
“Nah...! Bakso Nona Weni sudah jadi!” seru Weni lalu duduk di samping Bagas.
“Ibu tinggal sebentar ya. Kayaknya Adikmu baru pulang kuliah,” pamit Bu Mira pada keduanya.
“Iya, Bu. Biar baksonya Bagas yang jaga!” Mira tersenyum kemudian keluar dari warungnya.
“Nona! Kenapa Nona bilang kalau Nona pacar saya?” tanya Bagas saat Ibunya sudah keluar dari warung.
“Kamu gak mau jadi pacarku?” Bagas terdiam tidak tahu menjawab apa. Walau ia tahu ucapan Weni sudah pasti hanya bercanda. Tapi bagaimana dengan anggapan Ibunya.
“Nona pasti bercanda!”
“Kalau tidak bercanda bagaimana?”
“Nona! Please, jangan membuat Ibu saya ke-ge-eran.” Weni menatap Bagas lalu meraih jemarinya.
“Tidak! Aku serius, kita pacaran!” tegas Weni. Bagas melihat Weni penuh arti, apa maksud kata serius yang ia ucapkan.
“Nona. Ayolah..., siapa pun pasti tahu kalau Anda seorang pimpinan di perusahaan tempat saya bekerja!”
“Iya … semua orang tahu itu.”
“Nona pasti bercanda!” Bagas masih tidak percaya dengan ucapannya.
“Aku tidak bercanda!” tegas Weni lagi.
Bagas terdiam dan memperhatikan Weni, siapa yang tidak tertarik dengan Weni. Cantik, pintar, Ramah dan sopan. Akan tetapi, Bagas tidak langsung senang atau mengambil kesempatan. Ia juga takut dan mana mungkin seorang Weni Wijaya menyukai dirinya yang hanya seorang satpam dan anak pedagang bakso dan mie ayam, sedangkan dirinya anak seorang pengusaha terkenal.
“Ayo dong … di makan baksonya, ini aku yang racik loh!” Weni tersenyum lalu mengusap pipi Bagas, sedangkan Bagas hanya mengangguk dengan rasa bingungnya.
“Mas Bagas...!” seru adiknya tiba-tiba. Bagas menoleh ke arah sumber suara.
“Nindy … Pelankan suara kamu!”
“He..., Maaf.” Nindy kemudian duduk di samping Bagas dan melihat Weni yang tersenyum padanya.
“Hai kak! Kenalin saya adiknya Mas Bagas, Nindi Sanjaya. Kakak pacarnya Mas Bagas ya?” Nindi mengulurkan tangannya ke arah Weni. Weni dengan senang hati membalas uluran tangannya.
“Weni Wijaya.”
“Kakak Manis banget. Cantik! Mas Bagas pintar cari pacar! Pacar atau calon istri?” Seketika Bagas tersedak mendengar ucapan adiknya yang baru 20 tahun itu. Weni refleks mengambilkan air minum untuk Bagas dan membantunya minum.
“Pelan-pelan, Mas!”
“Terima kasih.”
Nindi menatap mereka yang sedang saling pandang penuh arti. Ia pun tersenyum senang sepertinya mereka berdua saling jatuh cinta, namun terlihat jelas Bagas masih malu-malu.
“Ya sudah kak. Nindi tinggal ya, mau mandi.”
“Ok!” balas Weni lalu tersenyum.
“Oh ya kak, helmku mana?” tanya Nindi menanyakan Helmnya.
“Besok ya! Kakak lupa.”
“Ya sudah, besok ya.”
“Hem.”
“Kak Weni! Nindi masuk dulu ya!” Weni hanya mengangguk dan tersenyum kemudian Nindi berjalan ke arah belakang.
“Adik kamu orangnya asyik ya!”
“Asyik apa? Nyebelin iya!” Weni terkekeh melihat Bagas yang sedari tadi malu di buat Nindi, yang bertanya jika dirinya calon istrinya.
“Ya sudah, habiskan bakso Anda Nona, selesai ini saya antar pulang.” Weni mengangguk kemudian melanjutkan makannya.
Weni mungkin tanpa sadar sudah memberi harapan palsu pada Bagas. Mungkin ia juga lupa sudah mempunyai seorang kekasih.
Weni berjalan bersama asistennya, Tiara. Mereka baru saja selesai meeting disalah satu restoran yang ada di Mall. Pandangan Tiara tidak sengaja melihat ke salah satu toko perhiasan dan tercengang melihat seseorang pria yang sangat ia kenal sedang bersama wanita lain dan tampak begitu mesra.
“Weni, itu bukanya cowok kamu ya!” seru Tiara sambil menarik Weni agar berhenti dari jalannya. Weni melihat apa yang dilihat Tiara, ia hanya tersenyum karena wanita itu adalah sekretarisnya.
“Sudah biarin.”
“Gak bisa gitu dong. Mending Kamu samperin minta kejelasan dia aja. Putus-putus aja deh, dari pada mesra sama orang lain di belakang kamu.”
“Heh! Itu sekretarisnya!” Weni terkekeh melihat Tiara malu dengan ucapannya. Weni kemudian melangkah ke toko perhiasan di ikuti Tiara, sang asisten.
“Mas!” sapa Weni. Sejenak Bian terdiam begitu juga sekretarisnya lalu menoleh ke belakang.
“Weni? Sayang. Kamu ada di sini juga?”
“Ngikutin, Mas!” Canda Weni membuat Bian sedikit salah tingkah lalu melihat Rara, sekretarisnya yang kini sedikit menjauh darinya.
Weni tertawa lalu memeluk Bian. “Gak kok. Tadi habis meeting sama klien di sekitar sini,” terang Weni.
“Oh! Oh iya. Mas lagi cari cincin buat kamu. Dan kebetulan kamu ada di sini kamu pilih sendiri saja ya. Tadinya aku mau minta tolong Rara buat milih cincin untuk kamu.” Bian kemudian merangkul Weni agar memilih cincin sendiri.
Sementara itu Tiara melihat Rara penuh selidik, karena ekspresinya begitu cemburu terhadap Weni. Rara menduga sudah pasti Bian dan Rara mempunyai hubungan khusus.
“Mencurigakan,” gumam Tiara.
Tiara terus melihat gelagat Bian dan sekretarisnya. Ada yang tidak wajar antara keduanya. Apa lagi Bian sesekali mengetik sebuah pesan di ponselnya lalu sekilas melihat Rara. Tak lama Rara tersenyum tipis lalu menghampirinya.
“Permisi, Pak! Kalau begitu saya pamit kembali ke kantor lebih dulu,” pamit Rara.
“Oh, iya. Nanti kamu letakkan hasil meeting tadi di meja ruangan saya.”
“Baik, Pak. Permisi Bu Weni.” Weni hanya tersenyum ramah begitu juga Rara, lalu Rara keluar dari toko perhiasan.
Setelah Rara pergi Weni mengurungkan niatnya untuk memilih perhiasan, lantaran tiba-tiba ia teringat Bagas.
“Mas, aku gak ada yang suka!”
“Ya sudah. Kalau begitu tolong kamu pilihkan kalung untuk Mama. Mama hari ini ulang tahun.”
“Astaga. Aku lupa, Mas. Kalau begitu aku juga mau beli satu buat Mama.” Bian tersenyum tipis sambil melihat ponselnya. Akhirnya ia mempunyai alasan agar secepatnya menyusul sang sekretaris.
Hubungan gelap Bian dan sekretarisnya memang sudah terjalin cukup lama. Ia begitu pandai menyimpan rapat-rapat dari Weni. Bodohnya Weni selalu percaya apa yang dilakukan Bian di luar sana.
Weni kemudian memilih gelang untuk ia berikan pada Orang tua Bian sementara itu Bian memilih kalung.
Setelah membeli kalungnya Weni dan Bian serta Tiara keluar dari toko. Saat menelusuri mall Bian merangkul Weni begitu posesif. Sedangkan Tiara hanya mengekori mereka di belakang. Tiara menatap Bian penuh curiga.
“Dasar laki-laki, sok mesra buat ngilangin jejak kalau sudah selingkuh. Eh, Weni juga sama saja. Tapi Weni begitu karena Tuan Bian sok sibuk. Padahal sibuk dengan sekretarisnya,” batin Tiara.
“Tiara, kita langsung balik ke kantor ya.” Tiara mengangguk dan tersenyum.
“Mas … aku langsung ke kantor ya.”
“Iya! Aku antar ya.”
“Gak usah, Mas. Aku bawa mobil,” balas Weni lalu mencium pipi Bian. Bian hanya bisa mengangguk dan tersenyum melihat Weni dan Tiara menuju parkiran.
“Wen … kau tidak curiga dengan sikap Tuan Bian yang tiba-tiba romantis seperti tadi. Setahuku dia cuek!” Weni tersenyum sambil menyalakan mobilnya.
“Bagus dong ada perubahan.”
“Terus! Bagaimana dengan gebetan kamu si satpam itu?”
“Masih lancar. Lebih memberi warna di hari-hariku dan hatiku,” balas Weni penuh semangat sambil mengemudikan mobilnya.
“Pantes! Mau diantar tadi gak mau,” ledek Tiara.
“Bagaimana ya, Ra. Aku jatuh cinta sama satpam itu, tapi aku juga gak bisa lepas dari Mas Bian. Karena menyangkut perusahaan.” Weni menghela nafas panjang.
Weni bingung harus berbuat apa. Disisi lain ia begitu menyukai Bagas yang selalu meluangkan waktu untuknya walau perkenalan mereka baru beberapa minggu, sedangkan Bian terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Ingin melepaskan Bian, tetapi bagaimana dengan perusahaannya. Sungguh pilihan yang sulit.
“Kau aneh, Wen! Cinta tulus Bagas kau permainkan. Sedangkan dirimu sendiri dipermainkan.”
“Maksud kamu?”
“Kau gak curiga sama sekretaris tuan Bian. Kayaknya mereka punya hubungan khusus.” Weni hanya tersenyum membayangkan Bian.
”Gak! Namanya juga laki-laki tebar pesona, masih wajar. Asal gak tidur bareng saja. Aku akan memilih Mas Bian. Walau aku cinta sama Satpam itu. Karena demi kelangsungan perusahaan, demi kamu juga.”
“Kok Aku?”
“Kalau perusahaan Papaku terjadi sesuatu, kamu mau kerja di mana? Gak Cuma kamu, tapi demi orang banyak.”
“Gila kau! Gila.” Tiara menggelengkan kepalanya melihat Weni yang hanya tersenyum tipis. Jika harus memilih sesuai hatinya, Weni akan memilih Bagas.
Sesampainya di kantor. Tiara lebih dulu ke ruangannya. Sementara Weni menemui Bagas di lobby.
“Mas!” sapa Weni. Bagas melirik kanan dan kiri di sekitarnya.
Bagas tersenyum canggung di depan orang yang ia cintai. Pasalnya beberapa rekan kerjanya melihatnya.
“Kenapa panggil, Mas?” cicit Bagas dan tetap bersikap sopan.
“Gak apa-apa, yuk ikut sebentar.” Weni menarik pergelangan tangan Bagas menuju lift.
“Pak Ahmad. Pinjam Mas Bagas sebentar ya. Mau minta tolong!” seru Weni pada kepala Satpam sebelum sampai di lift khususnya.
“Silakan, Nona!” Weni tersenyum kemudian masuk ke dalam lift bersama Bagas. Saat pintu lift tertutup dan Weni menekan tombolnya. Weni langsung memeluk Bagas.
“Weni, ini kantor. Nanti kelihatan dari CCTV.”
“CCTV nya masih rusak.” Weni menangkup pipi Bagas lalu mencium bibirnya.
Bagas tersenyum saat Weni melepas ciumannya. Bagas Meraih pinggang Weni dan menyatukan keningnya.
“Perlakuanmu membuatku semakin jatuh hati, sayang!” ujar Bagas.
“Gombal!”
“Hm!” Bagas mengecup kening Weni, lalu memeluknya.
“Mas sudah makan?”
“Sudah tadi di kantin. Kenapa kamu mau masakin.” Keduanya tertawa dan menyatukan keningnya.
“Nanti pulang ke rumah kamu ya. Aku masakin.”
“Ke rumah Ibu?”
“Bukan Mas ... tapi ke rumah Mas sendiri. Bukannya sudah jadi rumahnya.”
“Iya … tapi peralatan masaknya belum lengkap.” Bagas melirik tombol lift dan rupanya baru sampai lantai 25.
“Gak apa-apa. Aku masak telur ceplok, mau?” Keduanya tertawa sambil berpelukan.
“Sudah ya. Sebentar lagi sampai,” ucap Bagas melepas pelukannya.
“Ikut sebentar ke ruanganku!”
“Gak sayang! Sebentar lagi jam pulang kerja. Mas harus serah terima pergantian Shift.”
“Ya sudah! Pulang nanti tunggu aku di tempat biasa ya. Di halte.”
“Iya! Jangan lama-lama ya! Karena habis ini aku serah terima.” Weni mengangguk dan tersenyum, mereka seketika bersikap biasa ketika pintu lift terbuka. Weni keluar dari lift di ikuti Bagas. Weni berjalan ke arah ruangannya. Sedangkan Bagas berpindah lift karyawan.
Bagas tersenyum sendiri saat di dalam lift, hatinya begitu berbunga-bunga bisa berpacaran dengan atasannya yang begitu cantik. Sedangkan Weni seolah mendapat perhatian yang tidak pernah didapatkan dari kekasihnya, Bian.
Waktu terus berjalan, Bagas sudah menunggu Weni di halte. Dengan sabar ia menunggu Weni. Sesekali ia melihat jam tangannya. Namun, Weni tak kunjung datang. Kemudian ia memutuskan untuk menghubungi Weni.
Bagas mengambil ponselnya, tetapi saat hendak menghubungi ponsel Weni. Rupanya Weni justru menghubungi dirinya lebih dulu. Bagas tersenyum kemudian meletakkan ponsel di telinganya.
“Ya sayang.”
“Mas … maaf ya! Sepertinya aku gak jadi ikut pulang sama Mas. Aku mau ketemu klien,” ujar Weni. Bagas tersenyum dan mengerti posisi Weni.
“Iya, gak apa-apa!” Bagas kemudian memutuskan sambungan ponselnya begitu juga Weni. Bagas kemudian memutuskan untuk pulang.
Sementara itu Weni yang sedari tadi melihat Bagas dari kejauhan dari dalam mobil, ia begitu merasa bersalah sudah membohonginya, membohongi ketulusan cinta seorang satpam. Weni mempunyai alasan tersendiri mengapa dirinya membatalkan untuk pulang bersama Bagas, lantaran ia ingin bertemu dengan Bian. Sedikit banyaknya Weni teringat dengan ucapan Tiara, yang mencurigai Bian mempunyai hubungan khusus dengan sekretarisnya.
Weni melajukan mobilnya saat motor Bagas sudah melaju jauh. Kemudian ia menuju apartemen kekasihnya.
Sesampainya di apartemen dan ketika membuka pintu kamar Bian. Weni begitu terkejut dan merasa tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Weni melihat Bagas sedang menggagahi sekretarisnya, Rara. Weni berdiri mematung dan masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Suaranya tertahan di tenggorokan dan hanya air matanya yang menetes di pipinya.
“Weni!” pekik Bian lalu meriah celananya, sedangkan Rara menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
Weni membalikkan badannya dan menangis tanpa suara. Jalannya sedikit terhuyung.
“Weni!” panggil Bian sambil mengejarnya. Weni berpegang tembok dan tetap masih menangis.
“Weni!” Bagas Meraih tangannya.
“Aku bisa jelaskan!” terang Bian. Weni menatap Bian kemudian menamparnya.
“Cukup!” teriak Weni di depan wajah Bian.
“Sudah cukup! Apa yang mau Mas jelaskan. Semua sudah jelas. Selama ini aku terus memaafkan kesibukan Mas, yang jarang mempunyai waktu untukku dan aku memakluminya. Tapi untuk hal ini, aku sudah tidak mau mentolerir lagi, Mas! Kesalahan yang satu ini begitu fatal.” Weni mendorong Bian.
“Hubungan kita selesai!” Weni melepaskan cincinnya lalu melemparkannya ke wajah Bian.
Weni berjalan keluar dari apartemen di ikuti Bian. Bian meraih lengan Weni sebelum Weni menekan knop pintu.
“Sayang! maafkan aku! Kita tidak mungkin putus begitu saja. Bagaimana dengan kerja sama perusahaan kita?”
“Aku tidak peduli!” Weni mengibaskan tangannya lalu berlari keluar.
Bian mengusap kasar wajahnya dan melihat Weni berlari. Ia tidak menyangka hubungannya dengan Weni hancur begitu saja hanya karena ulah isengnya pada sekretarisnya, Rara. Bagaimana ia akan menjelaskan kepada orang tuanya dan orang tua Weni.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!