Seorang gadis cantik sedang berdiri di pinggir danau. Dia tengah menunggu seseorang.
Angin berhembus kencang di sore hari yang indah ini, sunset terlihat begitu cantik. Cahayanya yang menerpa wajah seorang gadis yang tengah tersenyum menunggu sang kekasih.
"Sayang!"
Gadis itu berbalik dan tersenyum, secepat kilat dia langsung memeluk sang kekasih.
"Aku merindukanmu," ujarnya.
"Aku juga."
"Bagaimana kabarmu?"
"Aku baik, tapi tidak seru karena gak ada kamu."
Laki-laki tersebut hanya tersenyum menanggapi ucapan sang kekasih.
"Kamu perginya lama!" keluhnya.
"Ya mau gimana lagi? Kerjaanku, 'kan ejen rahasia. Aku harus menyamar demi membuka kedok para pembisnis gelap, yang otomatis aku gak bisa berkomunikasi dengan orang luar selama itu."
Gadis itu hanya berdecak kesal, memang bukan hal yang mudah memiliki seorang kekasih yang punya kewajiban yang cukup rumit. Apa lagi harus berurusan dengan mafia, *******, dan hal-hal bahaya lainnya.
"Sayang!"
"Apa?"
"Kalo misalnya aku ikut kamu gimana?"
"Ikut maksudnya?"
"Iya, aku jadi ejen rahasia kaya kamu juga. Biar kita sama-sama bisa menyamar untuk membongkar kasus-kasus yang kamu tanganin."
"Alana, jadi ejen itu gak mudah. Resikonya tinggi apa lagi kalo harus berurusan dengan mafia dan *******, nyawa taruhannya jika kamu gagal dalam misi lalu ketahuan mereka gak akan lepasin kamu gitu aja."
"Iya aku tau, tapi aku pengen kaya kamu."
"Gak bisa, dengerin aku! Menjadi ejen rahasia seperti aku ini itu bukan main-main. Sekali kamu salah langkah dan ketahuan kamu bisa tinggal nama, dunia seperti itu kejam Al Mereka tidak akan mudah untuk percaya dengan orang asing."
"Jadi aku mohon! Jangan kamu berpikiran untuk mengikuti jejak aku. Karena kalo Tuhan tidak menolong aku dalam setiap misi. Aku pasti udah beda alam sama kamu sekarang."
Drett!
"Siapa?"
"Aku dapat SMS. Ada misi baru, aku harus pergi mungkin untuk tiga bulan."
"Apa tiga bulan? Lama banget!"
"Iya soalnya kali ini misinya membongkar bisnis gelap dari seorang mafia, dan itu tidak mudah ada resiko yang tinggi yang harus aku hadapi."
"Kalo gitu jangan! Kamu tolak aja."
"Gak bisa, ini perintah!"
"Tapi aku takut kau kenapa-kenapa."
"Selagi aku mengandalkan Tuhan. Kamu percaya bahwa aku akan baik-baik saja."
...----------------...
"King, pengiriman barang untuk Tuan Lu She Cheng sudah kami kirim."
"Bagus, ada lagi?" tanyanya cuek.
"Tidak hanya itu, permisi!"
"Hmmm"
Seorang pria yang akrab dipanggil King tersebut tengah duduk di kursi kebesarannya sambil melihat-lihat foto gadis-gadis yang akan dia jadikan barang berikutnya, barang apa? Itu rahasia.
Dia adalah, Levin Christensen berusia 30 tahun yang mendapat gelar king mafia. Bisnisnya di siang hari boleh santai-santai, tapi di malam hari bisnisnya ilegal. Soal kekayaan tidak perlu diragukan.
Apapun yang dia inginkan harus terjadi, tidak boleh ada kata tidak, Itu prinsipnya.
Dia memiliki dua orang adik perempuan, Alesha Christensen—Adik ketiga, Almahira Christensen —Adik keduanya, Melda Christensen —Ibunya, Zaida—Neneknya, Reno—Pamanya, dan Larasati—Bibinya. Mereka memiliki anak laki-laki bernama Raiden.
Mereka tinggal dalam satu rumah mewah, yang tentu saja rumah itu dibangun oleh Levin. Segala sesuatu yang terjadi di rumah itu hanya berlaku atas izin Levin.
Siapapun yang tinggal di rumah itu harus mengikuti segala peraturan yang dibuat oleh Levin. Termasuk keluarganya sendiri, jika ada yang melanggar? Maka. Siap-siaplah masuk ke dalam rumah peliharaan kesayangannya, kandang harimau sumatera yang sangat buas.
Apa ada yang berani menentang? Tentu tidak ada.
Levin tidak mengenal kata keluarga jika sudah berurusan dengan bisnisnya.
Apapun akan dia lakukan, bahaya sudah sering dia hadapi.
...----------------...
Sudah tiga bulan lamanya Devano—Kekasih Alana, menjalankan misi menjadi ejen rahasia untuk membongkar kedok bisnis gelap seorang mafia.
Tak ada kabar atau berita tentangnya. Selama itu Alana terus dirundung rasa khawatir, yang dia tau mafia yang satu ini sangat berbahaya. Dia takut Devano kenapa-kenapa.
Pada akhirnya Alana memberanikan diri untuk mendatangi sebuah gedung, di sanalah tempatnya para ejen rahasia berkumpul dan diawasi oleh ketua-ketua serta pelatih, di sana juga tempat pelatihan ejen-ejen baru dengan segala ujian-ujian yang harus mereka lewati agar bisa menjadi ejen rahasia profesional.
Alana datang ke sana seorang diri, dia benar-benar khawatir dengan Devano. Firasatnya mengatakan telah terjadi sesuatu dengan sang kekasih.
"Tempatnya begitu seram," ujarnya.
Gedung yang menjulang tinggi di tengah-tengah hutan benar-benar mengerikan, di sana banyak orang lalu-lalang dengan pakaian serba hitam. Kebanyakan orang-orang di sana adalah laki-laki, mungkin karena misi ejen rahasia ini berkaitan dengan bahaya. Ada beberapa wanita juga. Namun, tak sebanyak laki-lakinya.
"Tunggu!"
"I--iya?"
"Ada keperluan apa, anda datang kemari?"
"S--saya mau mencari komandan Kim."
"Kenapa anda mencarinya?"
"Ada keperluan."
"Baik, mari ikut saya! Tapi anda tidak membawa orang lain, 'kan?"
"Apakah bapak melihat orang lain di belakang saya?"
"Tidak."
"Itu artinya saya sendiri."
"Hmmm"
'Menyebalkan!'
Alana berjalan menyusuri lorong-lorong yang gelap, cahayanya hanya dari lampu-lampu kecil saja, Yang tidak terlalu terang.
Setelah berjalan cukup jauh akhirnya mereka tiba di depan sebuah ruangan.
"Masuklah! Komandan ada di dalam, Tapi jangan macam-macam! Karena disetiap penjuru ruangan ini ada kamera pemindai, kalo kamu berani melakukan sesuatu maka akibatnya akan sangat buruk!"
Alana menelan ludahnya, tempat ini benar-benar menyeramkan. "I--iya."
Alana dengan perlahan-lahan membuka pintu yang cukup besar itu.
"Ada keperluan apa?"
Deg.
Alana benar-benar terkejut mendengar suara berat itu.
"Ma--maaf komandan. S--saya datang kemari ingin menanyakan sesuatu." Alana benar-benar gugup berhadapan dengan sosok bertopeng ini.
Dia membalikkan badannya. "Pasti yang ingin kamu tanyakan hal yang sangat penting, karena tidak mungkin kamu memiliki nyali datang ke sini jika bukan karena hal penting, bukan?" tanya komandan Kim—Atasan Devano.
"Betul."
"Apa yang ingin kamu tanyakan?"
"Soal Devano?"
"Devano?"
"Iya."
"Kenapa dengan dia?"
"Saya kekasihnya, tiga bulan lalu dia izin ingin pergi untuk menjalankan misi yang diberikan oleh komandan. Tapi ini sudah hampir lebih dari waktu tiga bulan, kenapa Devano belum kembali?"
Komandan Kim memalingkan wajahnya yang semakin membuat Alana yakin pasti ada sesuatu yang membuat Davano sampai saat ini belum kembali.
"Dia, 'kan sedang menjalankan misi dan butuh waktu lama, tidak bisa sebentar."
"Saya tau, tapi seberbahaya apapun misi itu. Jika Davano pamit untuk pergi tiga bulan atau dua bulan. Dia pasti akan pulang tempat waktu, tapi ini sudah lewat dari tiga bulan."
"Jadi mau kamu apa?"
"Kasih tau saya yang sebenernya, apa yang terjadi dengan Devano? Pasti ada sesuatu. Firasat saya tidak akan pernah salah."
"Yakin kamu ingin tau?"
"Yakin!"
"Denger ini baik-baik! Tiga bulan lalu kami mengirim Devano untuk pergi menjadi mata-mata rahasia ke sebuah tempat yang berbahaya, satu bulan pertama kami masih berkomunikasi dengannya. Dia juga sudah berhasil memberi beberapa bukti tentang bisnis gelap sang mafia, tapi masuk bulan kedua. Kami tidak lagi menerima laporan atau berkomunikasi dengannya, Kami mencoba untuk menghubunginya, tapi tak bisa, Beberapa hari kemudian, kami mendapatkan pesan kecemasan yang dipasang di alat komunikasi dengan Devano. Setelah itu ada suara misterius yang terekam, yang bunyinya adalah 'Hidup atau mati, kau akan tetap berada di sini' disitu kami berpikir mungkin saja Devano ketahuan dan berada di penjara mafia," jelasnya.
Alana membekap mulutnya tak percaya. "Apa! Kenapa komandan tidak berusaha untuk menyelamatkan Devano jika itu benar."
"Kami sudah berusaha, tapi sayangnya kami tidak bisa masuk ke dalam lingkungan mafia itu. Karena keamanan yang sangat ketat, dan kami pun tidak tahu di mana Devano berada."
Alana rasanya benar-benar sedih, sudah dia katakan. Jangan pergi! Tapi kenapa Devano tetap pergi.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?"
"Hanya ada dua pilihan, mengirim orang lain datang ke sana dan mencari keberadaan Devano dengan risiko yang sama, atau kita terima apa yang terjadi dengan Devano, Mungkin saja saat ini Devano sudah tewas."
"Tidak! Devano pasti baik-baik aja, komandan. Kita pilih yang pertama."
"Gila kamu! Siapa yang mau datang ke sana mengorbankan nyawanya hanya untuk Devano, Kami tahu Devano itu anggota kami yang terbaik, tapi kami tidak mungkin mengorbankan nyawa yang lain demi satu nyawa. Syukur-syukur kalo Devano hanya disiksa dan masih hidup, kalo tidak? Ejen selanjutnya ketahuan disiksa pula, ini perangkap mafia risikonya tinggi!" bentak komandan Kim.
"Apa-apaan Alana ini? Dia pikir berurusan dengan mafia mudah apa." batin komandan Kim dalam hati.
"Kalo gitu, kirim Alana saja."
Komandan Kim melototkan matanya mendengar penuturan Alana.
BERTEMBUNG....
"Jangan gila kamu Alana, misi ini bukan main-main!"
"Alana tau, tapi kenapa kita gak coba? Siapa tau, 'kan kalo Alana yang pergi mereka gak curiga," ujarnya memohon.
Komandan Kim benar-benar bingung memikirkannya, memang tidak ada salahnya jika dicoba. Tapi masalahnya tidak semudah itu, apa lagi Alana tidak ada pengalaman sama sekali. Yang punya banyak pengalaman seperti Devano saja bisa tertangkap apa lagi Alana yang tidak ada pengalaman dan pengetahuan yang cukup dalam hal ini.
"Alana...."
"Please! Kasih Alana waktu sebulan, kalo Alana berhasil ngasih informasi. Komandan bisa percayakan semuanya sama Alana."
"Jika dalam sebulan kamu tidak berhasil memberi info?"
"Alana akan mundur, dan tidak akan melanjutkan misi ini."
"Baiklah, jika itu maumu, lalu bagaimana dengan orang tuamu? Apa yang mau kamu katakan pada mereka? Karena misi ini tidak bisa sehari dua hari, bisa berbulan-bulan bahkan mungkin bertahun-tahun."
"Kalo soal itu komandan tenang! Alana akan katakan pada mereka. Alana akan nge-kost dekat kampus karena Alana masih semester satu jadi Alana bisa bikin alasan untuk itu."
"Hmm..."
"Jadi untuk tahap pertama apa yang harus kita lakukan?" tanya Alana, tekadnya sudah bulat sekarang. Dia akan menyelamatkan Devano apapun yang terjadi, dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan komandan Kim yang dia bujuk susah payah.
"Pertama "
.
.
.
.
"Bun, Dad. Ada yang mau Alana omongin," ujarnya ditengah-tengah makan malam.
Ayana dan Arif saling pandang. "Apa, sayang?" tanya Ayana.
Alana jadi gugup, bagaimana jika Arif tidak mengizinkannya?
"I--itu ... itu ...?"
"Itu apa Alana?" kini Arif bersuara dengan nada dingin membuat Alana tidak yakin untuk mengatakannya.
Ayana yang melihat ketakutan Alana pun memegang tangan putri satu-satunya itu.
"Bilang aja, gak papa."
"Tapi Bunda sama Daddy jangan marah, ya?"
"Apa dulu? Kalo bukan hal yang aneh-aneh bunda sama Daddy gak akan marah, kok."
"Bun, Dad. Jarak dari rumah ke kampus, 'kan jauh. Alana mau minta izin nge-kost di dekat kampus supaya Alana gak terlalu jauh pulang-perginya," ujarnya memberanikan diri.
Ayana dan Arif kembali saling pandang. "Alana,kan punya mobil sendiri buat pulang pergi. Ngapain harus nge-kost?"
"Bunda tau, 'kan Alana sering kesiangan dan selalu ketinggalan pelajaran, kalo nge-kost dekat kampus Alana jadi gak telat terus. Walaupun berangkatnya siang."
"Gimana, ya?"
"Bolehlah, Bun. Katanya Daddy sama bunda mau Alana fokus kuliah, tapi kalo Alana telat terus kapan selesainya."
Alana masih terus berusaha untuk membujuk kedua orang tuanya agar mengizinkan dirinya untuk nge-kost.
"Nge-kost di mana? Keamananya gimana?" tanya Arif.
Alana melebarkan senyumnya. "Di kos-kosan dekat kampus sebrang jalan itu, dan kost-kostannya juga khusus cewek, ada CCTV yang pastinya menjamin keamanan."
Arif berpikir sejenak, apa iya dia harus memberi izin putri kesayangannya nge-kost di luar?
Tapi benar juga yang dikatakan Alana. Jika dia sering terlambat bagaimana dia bisa cepat-cepat menyelesaikan kuliahnya.
"Oke, Daddy kasih izin. Tapi dengan satu syarat."
"Apa?"
"Kamu harus sering-sering komunikasi sama Daddy atau Bunda, dan harus jaga diri baik-baik. Karena dunia luar itu kejam."
"Iya, Daddyku sayang. Tenang aja! Ini juga bagus untuk melatih kemandirian Alana, iyakan, Bun?"
"Iya, sayang. Yang terpenting kamu harus belajar yang bener! Jangan aneh-aneh!"
"Siap."
Alana memeluk kedua orang yang paling berharga dalam hidupnya.
'Maaf, Bun, Dad. Alana untuk pertama kalinya bohong sama kalian, tapi Alana gak ada pilihan lain!' tangis Alana dalam hati.
Ini untuk pertama kalinya dia berbohong kepada kedua orang tuanya.
----------------
"King, pesta pertemuan sudah siap. Apa ada yang perlu kami tambahkan?"
"Tidak, cukup pastikan saja semua berjalan dengan lancar. Saya tidak mau ada kekacauan."
"Baik."
Malam ini adalah malam pesta pertemuannya dengan Klien-klien penting. Setiap tahun dirinya memang sering mengadakan pesta pertemuan seperti ini, teman bisnisnya dari berbagai negara datang untuk menghadiri undangan sang king.
"Alana, malam ini dia akan melaksanakan pesta pertemuan dengan seluruh klien pentingnya. Kamu harus bisa masuk ke sana sebagai perancang pesta."
"Hati-hatilah! Karena keamanan yang sangat ketat. Jika kamu salah langkah maka kamu akan tertangkap, jika kamu ingin memberi informasi atau berkomunikasi cukup aktifkan tombol yang ada dibalik kalung hati yang kamu pakai ini. Saya akan mendengar apa yang kamu katakan."
Itulah pesan-pesan komandan Kim sebelum mengirim Alana pergi untuk menjalankan misi menyelamatkan Devano.
"Aku datang Dev"
Secara perlahan Alana mulai memasuki area rumah mewah yang sudah dihias dengan begitu mewahnya.
Banyak penjaga yang ada di sana. Di mulai dari bodyguard laki-laki dan perempuan yang memeriksa setiap tamu yang datang, karena tidak bisa sembarang orang masuk apa lagi yang tidak memiliki kepentingan. Ditakutkan dia adalah penyusup atau mata-mata.
"Maaf berikan kartu tanda pengenal anda," ujar seorang wanita yang bertugas memeriksa setiap tamu yang datang.
"Iya, ini!" Alana menyerahkan kartu tanda pengenal yang palsu, komandan Kim sebelum Alana pergi dia lebih dulu membuatkan kartu tanda pengenal palsu karena sudah pasti setiap yang mau masuk harus menunjukkannya.
"Jadi kamu ini perancang pesta tambahan?"
"Iya, saya perancang pesta tambahan."
"Baik, silakan lewat sini! Kami harus memastikan Anda tidak membawa barang-barang yang dilarang. Seperti korek api, pist0l dan senjata tajam lainnya."
Alana dengan perlahan memasuki sebuah alat deteksi bahaya yang disediakan.
Tiiiit!
Deg!
Astaga! Kenapa saat Alana melewatinya malah berbunyi.
"Tangkap dia!"
"A--apa ini? Sa--saya tidak membawa senjata tajam!" panik Alana.
"Kalo kamu tidak membawa senjata tajam atau yang lainnya. Kenapa alat ini berbunyi?!" bentak wanita tadi.
"Sa--saya tidak tahu, tolong jangan apa-apakan saya!"
"Bawa!"
"Ayo!"
"Lepas! Tolong, saya tidak membawa apapun."
Kedua bodyguard tadi membawa Alana kesebuah ruangan yang gelap.
Brak!
"Kenapa saya dibawa ke sini?"
"Diam!"
Alana benar-benar ketakutan, kenapa mereka membawanya keruangan gelap seperti ini? Tuhan. Semoga tidak terjadi apapun.
"Dev, aku takut!"
Alana berkeringat dingin. Ini benar-benar menakutkan, pantas saja seorang Devano yang profesional sampai kalang kabut saat berada di sini ternyata memang menyeramkan.
Apa yang akan terjadi dengannya? Apa mafia itu akan menghabisi nyawanya?
Tidak-tidak!
Siapapun tolong!
"Tenang Alana, tenang! Kamu harus tenang!" Alana mengusap keringat di dahinya, ini benar-benar menakutkan.
"Dia ada di dalam."
Alana membekap mulutnya. Kedua bodyguard tadi memberi tahu siapa bahwa dirinya ada di dalam? Apakah itu mafia yang ....
"A--astaga! Bagaimana jika dia ...? Tidak-tidak! Dia tidak akan menghabisiku." Alana benar-benar panik setengah mati apa lagi mendengar derap langkah besar mendekatinya.
"A--astaga! Bagaimana jika dia ...? Tidak-tidak! Dia tidak akan ." Alana benar-benar panik setengah mati apa lagi mendengar derap langkah besar mendekatinya.
Alana secara perlahan memundurkan langkahnya. Dia benar-benar takut, apakah dirinya akan habis hari ini juga? Apa dia akan menghabisi nyawanya?
"Hufttt! Tenang Alana, ingat pesan komandan dia bisa menc1um ketakutan. Kamu gak boleh takut bersikaplah seperti biasa! Jangan sampai tujuanmu datang ke sini ketahuan."
Alana lagi-lagi mengusap keringat di dahinya, tangannya sendiri terasa dingin. Seolah-olah maut di depan mata.
Alana memejamkan matanya saat sosok itu berada tepat di depannya.
"Apa yang kau bawa?" tanyanya.
"T--tidak! Aku tidak membawa a--apapun," jawab Alana. Dia benar-benar takut jangan sampai karena dia ketakutan dia membongkar rahasianya sendiri.
"Benarkah? Kau tidak membawa sesuatu yang mencurigakan?"
"T--tidak, a--aku bersumpah demi Tuhan. A--aku tidak membawa senjata tajam."
"Kenapa kau ketakutan? Harusnya jika kau tidak membawa senjata tajam atau barang mencurigakan lainnya. Kau tidak perlu takut seperti ini," ujarnya mendekati Alana.
"A--aku baru di sini. A--aku tidak terbiasa dengan l--lingkungan s--seperti ini, jadi aku mohon jangan sakiti aku!"
"Hei, Nona. Siapa yang mau menyakitimu? Kau baru berhadapan denganku saja sudah ketakutan. Apa lagi jika kau berhadapan dengan Kak Levin , kurasa kau akan pingsan."
Jadi dia ini bukan Levin, syukurlah.
"Ka--kau bu--bukan Levin?"
"Iya, kenalkan aku. Rendra anak dari paman dan bibi kak Levin."
Alana berusaha menetralkan ketakutannya. Dia tidak boleh curiga, walaupun dia ini bukan Levin yang dimaksud tapi kalo dirinya ketahuan sudah pasti dirinya akan habis.
"Ma--maaf, aku tidak tahu."
"Tidak masalah, ngomong-ngomong apa kau membawa ponsel?"
"I--iya."
"Berikan!"
"A--apa! Kenapa a--aku harus memberikan p--ponselku?"
"Kau ini, 'kan perancang pesta apa atasanmu tidak memberitahu, kalo selama kau di sini ponsel tidak diperkenankan, itu yang membuat saat kau melewati alat deteksi berbunyi, berikan!"
Alana dengan ragu menyerahkan ponsel miliknya, tapi bagaimana dia menghubungi kedua orang tuanya nanti? Sudahlah dia pikirkan nanti saja yang terpenting dia bisa lolos.
"Untuk sementara ponselmu aku berikan kepada staf. Nanti setelah acara ini selesai kau bisa mengambilnya."
"Baik."
Pria yang bernama Rendra tadi akhirnya pergi meninggalkan dirinya, Alana bisa menarik nafas lega.
"Syukurlah, aku pikir dia akan tahu kalo kalung yang kupakai ini ada alat komunikasi dengan dunia luar. Aku harus memberi tahu komandan bahwa aku sudah masuk ke dalam rumah milik Levin."
Alana dengan segera menekan tombol merah dibalik kalung hati yang dia pakai, kalung hati itu menyala itu artinya dia sudah terhubung.
"Komandan aku sudah masuk ke dalam, nanti aku akan pergi ke beberapa tempat untuk mencari tahu Devano berada di mana."
Tiit!
"Kau hebat Alana. Kau bisa masuk ke rumah milik mafia itu tanpa ketahuan."
"Apa komandan yakin Alana bisa kita percaya?" tanya rekannya.
"Hanya waktu yang akan menjawab."
Alana mulai merapikan penampilannya. Dia harus bersikap normal.
Alana dengan hati-hati mulai memasuki area pesta, banyak sekali orang dan wanita-wanita cantik di sini. Ini bukan pesta pertemuan biasa.
"Aku harus mencari Devano di mana? Tempat ini begitu luas."
Saat Alana sibuk celingak-celinguk mencari sesuatu yang bisa membantunya menemukan Devano. Dikagetkan dengan kehadiran Rendrai tiba-tiba.
"Apa yang kau cari?"
"Ah!"—Alana lagi-lagi mengusap wajahnya. "Tidak, tidak ada. Sudah kubilang aku baru di tempat seperti ini, jadi sedikit bingung," jawabnya berusaha senormal mungkin.
"Apa kau mau aku membantumu?" tanyanya dengan nada yang aneh di telinga Alana.
"Ti--tidak! Aku bisa ...."
"Benarkah?"
Happ.
Rendra menarik pinggang Alana. Alana berusaha untuk mendorong tubuh besar milik Rendra, tapi sayangnya tenaganya tak sekuat itu.
"Aku mohon, le--lepas! Banyak orang yang melihat. A--apa kau tidak malu?" Alana masih berusaha melepaskan tangan Rendra.
"Untuk apa aku malu. Aku sudah terbiasa dengan ini, kau mau menjadi temanku malam ini?"
"Teman apa?" dengan tangan yang masih berusaha melepaskan tangan Rendra darinya Alana bertanya.
"Teman tidur."
"Jangan kau berpikir aku orang baru dan tidak tau apa-apa. Sesukamu kau bisa merayuku dan mengajakku melakukan hal-hal bodoh itu!"
"Hal bodoh katamu? Tapi itu menyenangkan."
"Menyenangkan hanya bagi mereka yang tidak tau aturan dalam berteman atau berhubungan tanpa adanya ikatan sah, apakah kau seperti itu?"
"Iya, aku memang seperti itu."
"Itu artinya kau bodoh!"
"Kau!"
Rendra semakin mencengkram kuat pinggang Alana, apa katanya tadi? Dia bodoh. Berani-beraninya dia. Dia tidak tahu saja siapa dirinya.
"Kau memang bodoh karena mencari kesenangan dunia dengan paksaan."
"Aku tidak pernah memaksa mereka. Mereka sendiri yang mau tidur denganku."
"Hem, itu artinya kau meniduri wanita murahan dan tidak berkelas."
"Apa maksudmu?"
"Karena wanita yang mahal dan berkelas tidak akan mau diajak berbuat zina, yang kau lakukan selama ini adalah perbuatan buruk. Mungkin di mata orang-orang di sekitarmu perbuatanmu berkelas, tapi di mataku kau rendahan!" ujar Alana penuh penekanan.
"Jangan pernah kau memancing emosi seorang Rendra!"
"Memangnya apa yang bisa orang rendahan sepertimu lakukan, hah?!"
Rendra mencengkeram kuat-kuat pinggang Alana. Alana berusaha melepaskan cengkraman tangannya.
"Aku bilang lepaskan!"
"Kau tidak akan aku lepaskan sebelum kau bertekuk lutut di hadapanku."
"Tidak akan pernah!"
Semakin kuat cengkramannya semakin kuat pula Alana berusaha melepaskannya.
"Lepaskan dia. Rendra!"
"Tidak akan."
"Rendra, kuperintahkan lepaskan dia!"
Rendra dengan terpaksa melepaskan cengkraman pinggang Alana, setelah itu dia pergi meninggalkan Alana.
"Siapa kau?" tanyanya pria tersebut.
"Apa dia Le-Levin?' batin Alana saat menangkap sosok Pria bertubuh kekar di depannya yang melihat dirinya dengan tatapan dingin.
"Kalo memang benar aku harus hati-hati, tatapannya menjelaskan dia orang yang berbahaya."
"Aku tidak suka mengulangi pertanyaannyaku," ujarnya.
Alana dibuat gelagapan, lagi-lagi keringat dingin membasahi tangan dan dahinya.
"A--aku perancang pesta."
"Kau perancang pesta, tapi kenapa kau berkeringat?"
Alana mengusap dahinya. Dia benar-benar teliti.
"A--aku baru menangani pesta seperti ini, jadi aku sedikit gugup."
"Pastikan pesta ini berjalan dengan lancar, karena aku tidak suka sesuatu yang merusak keindahan."
"I--iya."
Levin pergi meninggalkan Alana yang sudah hampir pingsan rasanya, berhadapan dengan orang seperti Levin ini memang menegangkan. Lebih menegangkan dari pada masuk kandang harimau.
"Hampir saja ...." Alana menarik nafas panjang-panjang. Dia harus melanjutkan misinya.
Alana mulai berjalan ke beberapa sudut ruangan yang ada di rumah mewah ini.
"Di rumah miliknya dia memiliki pintu rahasia, cari pintu itu! Karena aku yakin Devano ada di sana."
Alana terus beraba-raba setiap tembok, yang namanya pintu rahasia pasti tidak akan mudah ditemukan.
"Aku harus cepat, sebelum ada yang melihat." Batinnya.
"Sedang apa kau?"
Deg.
Astaga! Bagaimana ini?
"A--aku ...."—Alana membalikkan badannya. "A--aku sedang ...?"
"Sedang apa?"
"Eehh ...? Aku?"
Bagaimana ini? Apa yang harus dia katakan.
"Aku tahu kau sedang apa."
"Apa dia tahu kalo aku sedang mencari pintu rahasia?"
Alana kembali mengusap keringat di dahinya, habislah.
BERTEMBUNG.....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!