Cahaya matahari pagi yang menelusup diantara tirai jendela pagi di kamar ini membuat Vivi terganggu dari tidurnya.
Matanya memicing meski terpejam, rupanya dia bangun kesiangan.
"Hah? Sudah siang?" kata Vivi terkejut.
Dan hal paling mengejutkan selanjutnya adalah keadaannya yang hanya terbalut selimut tanpa busana.
"Loh kok?" kagetnya saat melihat seseorang juga terbaring di sebelahnya, segera dia menarik selimut itu semakin ke atas, menutupi seluruh tubuhnya.
"Abang? Kok abang bisa tidur disini sih?" teriak Vivi, membuat Vicky yang disebutnya abang itupun juga terganggu tidurnya.
"Ehm, ada apa sayang?" tanya Vicky seolah tak sadar.
Saat Vivi menggerakkan tubuhnya untuk turun dari kasur, seketika bibirnya meringis menahan rasa sakit di bagian inti tubuhnya.
Tulangnya juga terasa remuk, badannya gemetaran.
"Aduh, sakit" perkataan Vivi membuat Vicky terjaga dari tidurnya dan memandang ke arah kekasihnya yang sedang kesakitan itu.
"Kenapa sayang?" tanya Vicky khawatir, dia sampai duduk untuk memastikan kondisi kekasihnya.
"Abang kok juga nggak pakai baju, sih? Kenapa badan aku sakit semua bang?" tanya Vivi sambil berusaha mengingat semua kejadian semalam.
Vicky masih terdiam, sekarang dia mulai sadar dengan kesalahan yang sudah mereka lakukan semalam.
Vivi mulai menangis, meratapi kesalahan terbesarnya yang sudah merelakan mahkotanya untuk sang kekasih.
Ya, semalam kedua sejoli ini telah melakukan sebuah kesalahan fatal karena tak bisa menahan nafsunya.
"Sudah ya sayang, jangan nangis lagi. Abang janji nggak akan ninggalin kamu. Apapun yang akan terjadi nanti, abang pastikan kalau akan bertanggung jawab dengan semua yang sudah abang perbuat sama kamu. Abang janji" ucap Vicky sambil memeluk kekasihnya yang sesenggukan dibawah gulungan selimut.
"Kalau aku hamil bagaimana, bang? Aku kan masih mau kuliah" kata Vivi di sela tangisnya.
"Nggak akan sayang, meskipun nanti kamu hamil pasti abang akan bertanggung jawab. Karena abang cinta sama kamu" Vicky masih meyakinkan Vivi yang masih tidak mau menghentikan tangisnya.
"Sudah ya sayang, jangan nangis lagi" ucap Vicky sambil mengusap air mata Vivi yang meleleh di wajah cantiknya.
Menangkup wajah Vivi dengan kedua tangannya, Vicky memberikan kecupan lembut di bibir sang kekasih untuk menenangkannya.
Tapi kecupan itu terasa semakin lama saat Vicky malah me.***** bibir Vivi yang terasa asin karena air mata.
Vivi yang masih syok hanya membiarkan ulah Vicky yang semakin terasa panas. Bahkan tangan Vicky terasa kembali menjamahi setiap inci tubuh Viviane yang polos.
"Buram amat muka lo, Vi. Ujiannya sudah kelar, nggak udah pusing lagi" ucapan Vera membuyarkan lamunan Viviane yang sejak tadi terlihat mengaduk minumannya dengan sedotan.
"Tau nih, mending sekarang kita belajar buat tes mahasiswa baru di kampus incaran kita" ujar Sisil kali ini, siswi terpintar di SMA mereka.
Viviane, Sisil dan Vera adalah sahabat karib sejak SD. Viviane si cewek paling cantik di sekolahnya, Sisil si anak broken home yang paling pintar, dan Vera si penyuka film dewasa tapi tak berani mempraktekkannya.
Ketiganya sedang berada di dalam kantin sekolah setelah tiga hari yang lalu mereka resmi lulus dari sekolah ini, dan sekarang mereka sedang cap tiga jari untuk keperluan ijazahnya.
"Itu lagi, kenapa leher lo merah-merah gitu? Digigit serangga?" tanya Sisil sembari membenarkan letak kacamatanya.
"Wah, jangan-jangan lo semalam melakukan hal yang iya-iya sama bang Vicky ya? Secara kan kemarin kalian dinner romantis di villanya bang Vicky. Hayo, jujur deh Vi sama kita" cerca Vera yang sangat peka dengan hal yang begituan.
"Ih, mana ada. Sisil tuh yang benar, gue digigit serangga" sanggah Vivi dengan cepat. Malas sekali kalau sampai Vera heboh.
"Iya deh, percaya. By the way, lo pulang sendiri apa di jemput nih Vi? Soalnya gue masih mau ke toko buku kalau lo mau ikut" ucap Sisil, karena memang tadi pagi Vivi datang ke sekolah bersamanya.
"Dijemput, nah kan si abang sudah nunggu di luar. Gue balik duluan deh" kata Viviane, karena memang Vicky sudah menunggunya di luar sekolah.
"Yaudah, hati-hati. Jangan belok kemana-mana ya" pesan Vera.
Viviane hanya diam dan segera beranjak dari kantin, meninggalkan kedua sahabatnya yang juga sudah bersiap untuk pulang.
"Habis telfonan sama siapa bang?" tanya Viviane setelah memasuki mobil kekasihnya dan memasang seat belt.
"Ruby, dia minta pendapat abang buat milihin baju sopan karena mau bimbingan skripsi sama dosennya, sayang" kata Vicky sambil mengelus sayang pada pucuk kepala Vivi.
"Oh" ucap Viviane. Yang dia tahu memang Ruby adalah sahabat Vicky sejak kecil. Dan melalui Ruby lah, awalnya dia bisa bertemu dengan Vicky.
Ruby yang sangat terpengaruh oleh budaya barat dan suka sekali dengan pakaian seksi, jadi bingung saat harus bertemu dengan dosennya.
Yang Viviane tahu, Vicky dan Ruby memang sedang sibuk menyiapkan skripsi. Dan bulan depan mereka akan sidang sebelum resmi menjadi sarjana.
Sedangkan skripsi milik Vicky sudah siap, tinggal menunggu jadwal sidangnya saja.
Satu bulan berlalu.
Sejak subuh, perut Viviane terasa penuh. Kepalanya juga terasa pusing, padahal dia tidak demam.
Rencananya siang ini dia akan ke sekolah untuk mengambil ijazahnya setelah kemarin melakukan acara wisuda yang ditemani keluarga dan juga Vicky tentunya.
Meski harus menahan mual, Viviane tetap pergi hari ini. Katanya Vicky akan mengantarnya karena dia kuliah agak siang.
"Kamu pucat sekali sayang, sakit?"tanya Vicky.
"Nggak tahu nih bang, sejak tadi pagi kok mual banget, pusing juga" keluhnya sambil memejamkan mata.
"Sudah sarapan?"tanya Vicky.
Viviane hanya menggeleng, bau nasi saja mau muntah, apalagi makan. Dia tidak sanggup.
"Yasudah, habis dari sekolah langsung makan ya" kata Vicky. Viviane hanya bisa mengangguk pelan.
Sampai di sekolah, Vicky tak lantas meninggalkan Viviane. Pria itu tetap menunggunya hingga selesai dengan urusannya yang hanya mengambil ijazah saja.
"Hati-hati ya Vi, lo bunting kali sampai mual begitu" canda Vera yang mendapat sikutan maut dari Sisil.
"Becanda doang, Vi" kata Vera yang jadi canggung karena Viviane yang manyun.
"Yaudah lo hati-hati ya. Besok kita ketemu buat daftar bareng ke universitas incaran kita" kata Sisil sambil menarik paksa lengan Vera, takut saja kalau sampai temannya itu salah bicara lagi.
Viviane jadi terdiam setelah mendengar ucapan Vera, suasana di dalam mobil Vicky jadi sangat hening. Tak seperti biasanya karena Viviane yang suka sekali bercerita.
"Masak sih aku hamil, bang?"tanya Viviane yang sejak tadi terdiam karena kepikiran ucapan Vera.
"Nggak mungkin deh, sayang. Memangnya kamu kapan terakhir mens?"tanya Vicky yang jadi ikut khawatir.
"Harusnya sih sudah dari seminggu yang lalu, bang" jawab Viviane.
Tanpa banyak kata, Vicky membelokkan mobilnya ke apotik terdekat. Diapun membeli beberapa tespek dari beberapa merk dan menyuruh Viviane mengetes urine nya di spbu terdekat.
"Gimana hasilnya sayang?"tanya Vicky yang sudah tak sabar, ragu antara senang atau takut.
Viviane hanya memberikan beberapa tespek yang sudah dia pakai kepada Vicky tanpa banyak kata. Terlihat sekali jika Vivi sangat kacau.
"Ya Tuhan, kamu beneran hamil sayang?"tanya Vicky yang terkejut, kini dia sudah sangat takut pada masa depannya. Bingung antara harus senang atau sedih.
"Terus bagaimana ini bang?"tanya Viviane yang mulai menangis.
"Kamu jangan takut ya sayang. Aku pasti akan bertanggung jawab. Kita hadapi ini sama-sama ya. Nanti kita bicara sama orang tua kita masing-masing terlebih dahulu, terus aku temani kamu untuk menemui orang tua kamu. Ya sayang, kamu jangan takut ya" kata Vicky berusaha menenangkan kekasih yang sedang menangis sesenggukan di pelukannya.
Padahal sesungguhnya di dalam hatinya, Vicky sangat takut jika orang tuanya akan melarang hubungan mereka.
Tapi tekadnya sebagai lelaki yang bertanggung jawab harus berani dengan segala resiko dari perbuatan yang sudah mereka lakukan.
Padahal baru juga Vicky menjadi sarjana dan Viviane baru lulus SMA. Kini keduanya masih terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Viviane dan Vicky hanya bisa menunduk dalam setelah keduanya memutuskan untuk sama-sama jujur pada orang tua Vivi terlebih dahulu, rencananya setelah ini mereka akan menemui orang tua Vicky.
Ditemui oleh ayah, ibu dan kakak laki-lakinya, Viviane sudah sedikit lega karena Minggu pagi ini dia sudah jujur mengenai kehamilannya dandan mengutarakan rencana untuk meresmikan hubungannya.
"Ayah sangat kecewa sama kamu, Vi. Anak gadis ayah yang sangat ayah banggakan ternyata sudah mencoreng wajah ayah. Bukan hanya wajah ayah yang malu, Vi, tapi hati ayah sangat sakit" ucap lelaki paruh baya yang bahkan sampai meneteskan air matanya sesaat setelah kedua sejoli ini mengakui perbuatannya.
"Bahkan ibu sudah mendidik kamu dan kakak kamu dengan sangat ketat, Vi. Lihatlah kakakmu, dia adalah lelaki. Tapi tidak pernah sekalipun dia terjerumus ke hal-hal menjijikkan seperti yang sudah kalian perbuat" kali ini sang ibu yang berbicara sambil mengelus-elus dadanya karena terasa sangat sakit.
"Jujur kakak tidak tahu harus bersikap bagaimana, Vi. Yang jelas kakak sangat kecewa dengan kalian berdua. Kepercayaan yang sudah kami berikan ternyata sudah kalian manfaatkan dengan sangat baik, KAKAK KECEWA VI" bentak sang kakak di akhir penuturannya.
Tanpa banyak kata, pria yang dua tahun lebih tua daripada Vicky itu melayangkan tonjokan maut ke wajah tampan Vicky hingga ujung bibirnya berdarah, dan membuatnya tersungkur di lantai.
"Kak, sudah kak. Jangan begini. Kasihan bang Vicky. Lagipula semua ini bukan sepenuhnya salah bang Vicky. Kami berdua bersalah, kak" ucap Viviane sambil membantu Vicky bangun, dengan air mata yang sudah berlinang.
Vicky menyadari kesalahannya sudah sangat fatal. Dia pantas menerima yang lebih buruk daripada itu jika keluarga Viviane harus membalasnya.
"Sekarang, lebih baik kita temui orang tua kamu, Vik. Ayah tidak mau kalau sampai kamu cuma mempermainkan anak saya. Buktikan tanggungjawab kamu sebagai seorang lelaki sejati" kata ayah Viviane.
"Iya, om. Vicky akan mengajak om, tante dan kak Brian untuk ke rumah saya sekarang juga. Karena memang rencana saya setelah dari sini adalah ke rumah saya untuk mengatakan semuanya pada orang tua saya" ajak Vicky tanpa berani menatap keluarga Vivi yabg sedang marah.
"Tapi Brian tidak bisa menemani ayah dan ibu, hari ini juga Brian harus pergi dinas ke Kalimantan kan, yah" ujar Brian, kakak Viviane yang anggota TNI.
"Berangkatlah, nak. Doa kami senantiasa bersamamu. Semoga kamu lancar di dalam tugasmu. Dan percayakan urusan ini pada ayah dan ibu" ucap sang ayah memberi restu.
Karena memang rencananya hari ini mereka semua akan mengantarkan Brian ke markasnya untuk melepas kepergian dinasnya selama tiga tahun ke depan.
Kini, keluarga itu berjalan terpisah. Vicky, Viviane, ayah dan ibunya pergi mengendarai mobil Vicky ke rumahnya. Sedangkan Brian memilih untuk menggunakan jasa taksi online untuk pergi dinas.
Perjalanan yang mereka lalui hanya dalam keadaan hening. Tak satupun dari mereka bersuara. Amarah masih terlihat nyata di wajah sang ayah. Sedangkan ibu Vivi masih berusaha meredamnya.
Sampai di pelataran rumah mewah milik keluarga Alexander, ayah dan ibu Viviane sedikit kagum. Tapi hal itu tak serta merta membuat amarahnya mereda, bahkan beliau harus bersiap dengan hal seburuk apapun nanti yang akan terjadi.
"Papa ada, bik?" tanya Vicky saat menuruni mobil dan mempersilahkan keluarga Viviane masuk.
"Oh, ada den. Tuan dan Nyonya sedang di halaman belakang. Biar bibik panggilkan ya den?" tanya sang bibik yang mengetahui jika ada rombongan datang.
"Iya, tolong ya bik" kata Vicky sopan.
Art itu pun undur diri dan segera menyampaikan pesan Vicky pada tuannya.
Tak berapa lama, tampak sepasang suami istri datang. Wajah berwibawa dari keduanya menyiratkan orang yang sangat terpandang dan berpengaruh.
"Pa, ma. Kenalkan ini Viviane dan orang tuanya" kata Vicky sedikit kikuk, kini dia merasa sangat takut pada papanya.
"Oh, Viviane yang katanya kekasih kamu itu ya Vik?" tanya papanya sedikit bercanda, raut wajah takut anaknya membuat beliau merasa bahwa ada hal tak baik yang sedang terjadi.
"Bibir kamu kenapa, Vik? Kenapa jontor begitu?" tanya mama Vicky saat menyadari wajah tampan anaknya sedikit terluka.
"Nggak apa-apa kok, ma" ucap Vicky sambil menunduk.
"Jadi, ada keperluan apa sampai orang tua Viviane datang ke rumah kami? Ayo, silahkan duduk dan silahkan dinikmati juga hidangannya" ucap papa Vicky santai, tapi aura keangkuhan sangat terlihat dari cara beliau duduk.
"Baiklah, saya tidak mau berbasa-basi lagi pak, Bu" ucap ayah Vivi, membuat papa dan mama Vicky memperhatikan beliau dengan seksama.
"Baiklah, silahkan utarakan maksud kedatangan anda berdua" kata papa Vicky.
"Anak gadis saya ini hamil pak, bu. Dan Vicky adalah pria yang harus bertanggung jawab atas kehamilan anak saya" kata ayah Vivi to the poin.
Dan benar saja, papa dan mama Vicky langsung menatap tajam pada sang anak. Anak tunggalnya yang baru saja menjadi sarjana itu sudah berbuat hal yang memalukan bagi keluarga.
"Apa benar yang bapak ini sampaikan, Vicky?" tanya Papanya penuh tekanan, nyali Vicky semakin menciut kali ini.
Belum lagi sempat menjawab, tanpa permisi dan penuh linangan air mata, Ruby datang dan langsung berlutut di pangkuan mama Vicky. Memang hubungan keluarga Ruby dan Vicky sudah terjalin sejak bertahun-tahun silam.
"Tante, jangan percaya pada mereka. Karena sebenarnya Ruby lah yang sedang hamil anaknya Vicky, dan anak kecil ini malah ingin merebut Vicky agar tidak mau bertanggung jawab atas kehamilan Ruby, Tante" ucap Ruby sambil sesenggukan.
Bagai tersambar petir di siang bolong, Vicky dan Viviane kini terpaku di tempatnya setelah mendengar pengakuan Ruby.
"Kamu jangan mengada-ada ya, Ruby. Kita berdua hanya sebatas sahabat sejak kita masih kecil. Jangan rusak persahabatan kita dengan kebohongan kamu yang seperti ini, By" kata Vicky yang masih syok.
"Jadi kamu mau mengelak, Vic? Aku ada buktinya. Semua foto ini adalah bukti kebersamaan kita waktu itu di hotel" kata Ruby sambil memperlihatkan beberapa lembar foto pada semua orang.
"Vicky, anak kurang ajar" ucap ayah Vivi sambil kembali memberi bogem mentah di wajah tampan Vicky.
"Jaga kelakuan bapak, ya. Jangan berbuat onar di rumah saya" teriak mama Vicky sambil merangkul anaknya.
"Ma, tolong percaya sama aku. Aku nggak pernah melakukan itu selain sama Viviane, ma. Sumpah, cuma Viviane yang sedang mengandung anakku" kata Vicky berusaha menjelaskan.
"Jadi, kamu mau berkilah untuk tak bertanggung jawab terhadapku, Vik? Aku tahu kita sahabat, tapi saat ini keadaannya lain, Vik. Memang kita melakukannya saat sama-sama mabuk setelah sidang skripsiku lulus waktu itu" ucap Ruby yang masih berair mata.
Sedangkan Viviane yang sudah terlalu syok, sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Hatinya terlalu terluka menghadapi semua hal yang menimpanya.
"Baiklah, jika memang kamu tidak mau bertanggung jawab, biar aku bilang sama papa aku saja. Biar urusan ini menjadi urusan papaku dan papamu" ancam Ruby yang mengetahui hubungan bisnis serius antara papanya dan papa Vicky.
"Kamu tenang ya, Ruby. Om pastikan jika Vicky pasti akan bertanggung jawab sama kamu. Dan untuk kamu Viviane, sebutkan berapa nominal yang harus saya keluarkan untuk membungkam mulut keluarga kamu.
Dan jangan sampai masalah ini diketahui publik karena saya tidak mau nama baik keluarga saya tercoreng" ucapan papa Vicky membuat ayah Vivi naik pitam.
Wajah ayah Vivi memerah dan harga dirinya seolah terinjak-injak. Sebagai seorang ASN yang dikenal berwibawa di tempat tinggalnya, tentu ayah Vivi tidak terima dengan penuturan papa Vicky.
"Bapak tidak perlu repot-repot, karena kami bukanlah orang miskin yang memerlukan kucuran dana dari keluarga sombong ini. Kami hanya meminta pertanggung jawaban yang ternyata hanyalah sebuah hal remeh menurut keluarga bapak" ucap ayah Vivi yang sudah marah.
"Saya tidak menyangka keluarga yang katanya terpandang dan berjiwa sosial tinggi seperti keluarga Alexander ini ternyata tidak lebih dari keluarga penghancur. Ingat pak, suatu saat nanti, saat karma menghampiri keluarga bapak, maka kalian akan mengingat kami yang telah kalian sakiti" lanjut ayah Vivi yang masih emosi.
"Ayo kita pulang, Bu. Percuma kita kesini kalau hanya dipermalukan" kata ayah Vivi sambil menarik tangan istri dan anaknya.
"Om, tunggu om. Tolong jangan bawa Vivi pergi, saya akan bertanggung jawab padanya, om" kata Vicky memelas, memegangi tangan ayah Vivi yang ternyata dihempasnya.
"Pengawal, bawa Vicky ke kamarnya. Kunci pintunya dan jangan biarkan dia keluar. Karena besok dia akan saya nikahkan dengan Ruby" teriak Papa Vicky yang membuat langkah ayah Vivi terhenti sesaat.
Namun, tanpa menoleh beliau kembali menarik tangan kedua wanitanya dan segera menghentikan taksi yang kebetulan lewat di depan rumah mewah keluarga Alexander.
Tak ada obrolan apapun di dalam taksi yang mereka tumpangi sampai mereka sampai di rumahnya.
"Vi, mulai sekarang kamu bukan lagi anak ayah. Segera kemasi barang-barang kamu dan pergi dari rumah ini sebelum perut kamu semakin membesar dan mempermalukan ayah dan ibumu. Pergi hari ini juga atau ayah yang akan membuangmu".
Lagi, kesialan kembali menimpa Viviane. Setelah mendengar penolakan keluarga Vicky, sekarang ayahnya yang mengusirnya dari rumah. Sedangkan sang ibu hanyalah wanita yang terlalu patuh pada suaminya.
Dengan langkah gontai, Viviane memasuki kamarnya dan mengemasi pakaiannya. Dia sudah tak bisa lagi bersedih. Air matanya sudah tak lagi turun.
Menggunakan koper kecilnya, Viviane sudah bertekad untuk pergi. Dan kini, tujuannya ada Sisil dan Vera. Semoga kedua sahabatnya bisa memberinya solusi saat semua orang menjauhinya.
"Hah, lo serius mau pindah?" tanya Sisil kembali meyakinkan Viviane.
"Iya, gue cuma mau membuka lembaran baru di tempat baru, dimana tidak ada bayang-bayang masa lalu yang membuat gue ingat pada orang-orang yang sudah membuang gue dan anak gue, Sil" kata Viviane.
Sedangkan Vera masih belum bisa menghentikan air matanya yang terus mengalir.
"Nasib lo begini amat Vi. Gue nggak nyangka kalau bang Vicky sekejam itu sama lo" kata Vera.
"Makanya Ver. Gue mau pergi saja dari kota ini, dan membuka lembaran baru di kota yang jauh yang tak ada satu orangpun kenal sama gue. Dan gue rasa, Jakarta adalah tempat yang tepat" kata Viviane penuh keyakinan.
"Sebenarnya gue punya satu saudara di Jakarta sana Vi. Nasibnya nggak jauh beda sama lo. Cuma dia memilih untuk menggugurkan kandungannya setelah pergi jauh. Apa lo mau kalau gue titipin sama saudara gue itu?" Saran Vera.
"Gue rasa Vera kali ini benar, Vi. Secara lo kan cantik. Gue khawatir kalau lo sendirian di tempat yang baru, malah membuat lo semakin frustasi karena nggak punya teman. Dan jangan lupakan banyaknya orang jahat di jalanan sana, Vi. Kalau memang lo sayang sama bayi lo, pikir saja hal itu" ujar Sisil.
"Tapi, apa saudara lo mau nampung gue Ver? Gue takut malah menjadi beban dia doang" kata Viviane.
"Gue yakin dia bakalan mau nolongin lo. Karena dia itu orangnya baik banget meski kelihatannya sangat judes" kata Vera.
"Sebentar gue telepon dia dulu ya" kata Vera lagi.
Dan Viviane hanya bisa mengangguk karena memang pikirannya sudah buntu.
Vera sedikit menjauh dari kedua sahabatnya, mungkin ada beberapa hal yang akan dibuatnya sedikit berlebihan agar saudaranya itu mau menerima Viviane di rumahnya.
Cukup lama Vera berhubungan dengan saudaranya melalui telepon. Sekitar lima belas menit barulah Vera kembali menemui kedua sahabatnya.
"Bagaimana Ver?" tanya Sisil sedikit antusias.
Vera melengkungkan bibirnya, "Tuh kan, apa gue bilang. Saudara gue mau nerima lo di tempat tinggalnya.
"Beneran Ver?" tanya Viviane senang.
"Iya benar. Lo yang kuat ya Vi. Semoga masa depan lo memang lebih baik di tempat yang baru. Kita selalu mendoakan yang terbaik untuk lo dan calon keponakan kita, iya kan Sil?" kata Vera yang untuk malam ini terlihat lebih dewasa.
Sisil hanya mengangguk, lantas memeluk kedua sahabatnya sekaligus. Pelukan ala Teletubbies yang mungkin akan menjadi pelukan terakhir bagi mereka bertiga.
Malam ini juga Viviane pergi, dengan bekal seadanya dan sebuah koper kecil di tangannya. Menggunakan kereta api terakhir menuju Jakarta.
Air matanya terus saja turun, sejak tadi dia menahan agar cairan bening itu tidak sampai jatuh saat kedua sahabatnya masih bersama.
Tapi sekarang, saat dia sudah sendirian di jalur kereta malam yang cukup sepi, Viviane sudah tak bisa menahan semuanya.
"Hati-hati ya Vi, ingat untuk kabari kita kalau sudah sampai" ucap Sisil sambil berlinang air mata saat melepas kepergiannya tadi.
"Lo hubungi nomor tante gue ya kalau sudah sampai. Dia pasti bakalan terima lo dengan baik disana. Semoga lo dan kandungan lo selalu sehat ya Vi" ucap Vera tak kalah sendu.
"Makasih ya Sil, Ver. Cuma kalian berdua yang tetap ada di samping gue saat semua pergi. Gue nggak bakalan pernah lupain kebaikan lo berdua" kata Viviane seraya memasuki gerbong lebih dalam.
Kini dia sudah disini, perjalanan panjang yang akan dia lalui membuatnya bisa beristirahat barang sejenak.
Pagi menjelang, Viviane dibangunkan oleh kondektur yang mengingatkan jika stasiun sudah dekat.
Turun dari kereta, Viviane segera menghubungi nomor ponsel yang Vera bilang adalah milik tante Prita.
"Iya hallo, kamu Viviane ya?" sapa orang dari seberang sana, rupanya Vera sudah memperkenalkannya.
"Iya, kak. Saya sudah turun dari kereta, sekarang saya harus kemana?" tanya Viviane bingung, karena memang ini perjalanan pertamanya.
"Kamu tunggu disitu ya, ehm... Maksudku tunggu diluar stasiun, aku sudah dekat dengan lokasimu" kata tantenya Vera.
"Iya, saya tunggu diluar stasiun" jawab Viviane menurut.
"Huft, semoga keputusanku sudah benar, selamat tinggal masa lalu. Semoga di masa depan semua akan jauh lebih baik. Hanya ada kita berdua ya sayang, mama dan kamu" ucap Viviane sambil mengusap perutnya yang masih rata.
Tak butuh waktu lama, sebuah city car sederhana berwarna merah berhenti di depan Viviane. Seorang wanita cantik terlihat melongok dari jendelanya.
"Kamu Viviane?" tanya wanita itu.
Viviane tersenyum sambil mengangguk ramah, "Iya saya Viviane" jawabnya, tak ada lagi pembicaraan antara keduanya. Mereka masih sama-sama merasa canggung.
"Ayo masuk" kata wanita itu mempersilahkan Viviane masuk ke dalam mobilnya.
"Nama saya Prita, terserah kamu mau panggil apa. Setelah saya antar kamu pulang, kamu istirahat saja ya. Karena saya harus segera ke kantor" ucap Prita, wanita ini terlihat sangat sibuk.
"Iya, maafkan saya sudah merepotkan kakak" kata Viviane yang tak enak hati.
"Hei, tenang saja. Saya paham tentang kondisi kamu. Saat orang lain bertanya, bilang saja kamu saudara saya dari kampung dan baru saja menjanda karena suami kamu meninggal. Ok?" kata Prita.
"Iya kak. Sekali lagi terimakasih, dan maafkan saya yang sudah merepotkan kakak" kata Viviane.
Prita menoleh sejenak, dia jadi teringat masa lalunya yang hampir mirip dengan Viviane. Tapi bodohnya dia malah menggugurkan bayinya setelah lari ke kota ini.
"Nah, kita sudah sampai. Ini rumah kontrakan saya. Ada dua kamar di dalamnya, kamu boleh menempati kamar yang tidak dikunci ya. Ada sarapan diatas meja makan, hanya nasi bungkus. Kamu jangan lupa makan ya. Nanti sore saya baru pulang. Anggap saja rumah sendiri. Sekarang saya harus pergi" Prita berucap tanpa spasi, Viviane jadi sedikit pusing dibuatnya, wanita ini memang sangat tegas.
"Iya, terimakasih kak" jawab Viviane.
"Cukup nyaman" gumam Viviane setelah memasuki rumah sederhana ini.
"Setelah ini, rencana kamu apa Vi? tanya Prita, karena bagaimanapun tidak mungkin baginya untuk membiayai Viviane, tapi untuk mengabaikannya, dia juga tidak tega.
"Saya ingin kerja kak, tapi harus kerja dimana ya kak?" tanya Viviane bingung.
"Sebenarnya ada lowongan sebagai BA di perusahaan aku. Sepertinya kamu cocok, kan kamu dasarnya sudah sangat cantik. Diberi sedikit make up pasti lebih cantik. Kamu bisa kan pakai make up?" tanya Prita.
"Bisa kak, aku sering kok pakai make up. Jadi, kapan aku ngelamar di kantornya kakak?" tanya Viviane antusias.
"Besok ke kantor bareng sama aku ya? Tapi penempatannya di mall gitu. Kamu nggak keberatan kan?" tanya Prita.
"Sama sekali enggak kak, aku juga pakai make up diajari sama BA waktu beli kosmetik gitu. Pasti sangat menyenangkan bisa jadi penjualnya sekarang" kata Viviane.
"Baiklah, Viviane. Habis makan, kamu bikin CV ya. Pakai laptop aku aja nggak apa-apa. Besok tinggal interview saja" kata Prita sambil tersenyum, seandainya dulu dia sekuat Viviane, mungkin anaknya sudah cukup besar sekarang.
"Terimakasih banyak ya kak. Mulai sekarang, nama aku Ane. Karena Viviane sudah mati, tinggal Ane dan calon bayiku. Ehm, tapi bagaimana dengan kehamilan aku kak?" Ane mulai meragu.
"Kamu tenang saja, bilang saja kalau suami kamu baru saja meninggal karena kecelakaan padahal kalian masih menikah siri. Jadi, di surat identitas kamu masih lajang" kata Prita.
"Iya kak, sekali lagi terimakasih ya kak. Aku nggak tahu gimana jadinya kalau nggak bertemu sama kak Prita" kata Ane yang sudah menyajikan hasil masakannya diatas meja.
Prita tersenyum, wanita itu melihat potensi dalam diri Viviane. Semoga masa depannya bisa secantik wajahnya.
Dan kini, sudah dua minggu berlalu. Dengan bantuan Prita tentu Ane bisa langsung diterima di tempat kerjanya.
Berdandan sedikit dengan seragam yang cukup sopan, Ane ditempatkan sebagai BA di sebuah mall yang tidak jauh dari kantor Prita.
Ane bekerja dengan sangat baik. Rekan kerjanya sangat welcome dengan kehadiran Ane yang cantik dan ringan tangan. Apalagi mendengar kisah hidupnya yang ditinggal mati oleh sang suami membuat teman-temannya merasa iba dan sangat perhatian padanya.
"Nanti pulang bareng gue saja ya, An" seperti biasanya, Aldo, SPB dari salah satu brand peralatan rumah tangga yang juga ditugaskan di mall yang sama dengan Ane mengajaknya pulang bareng.
"Oke boss, makasih loh ya. Berkat lo, pengeluaran gue jadi hemat sampai setidaknya saat nanti gue dapat gaji" kata Ane yang sudah sangat akrab dengan Aldo yang selisih dua tahun dengannya. Aldo masih belum tamat kuliah sembari bekerja.
"Nyantai saja, lagian juga searah" jawab Aldo enteng.
Mereka berdua dan juga beberapa temannya sedang nikmati makan siang di pujasera di dalam mall itu.
"Iya, An. Nyantai saja, Aldo kan jomblo karatan. Jadi lo nggak usah sungkan-sungkan" ejek temannya mengundang gelak tawa dari yang lain.
Dalam hati Ane sangat bersyukur karena mendapatkan teman yang baik seperti mereka. Meski dia harus sedikit berbohong tentang status kehamilannya.
Ternyata Jakarta tak semenyeramkan yang dia fikir selama ini. Nyatanya masih banyak orang baik yang mau menerimanya dengan tangan terbuka.
Dan perlu diketahui, jika anak dalam kandungannya juga sangat pengertian. Tidak ada kerewelan meski terkadang Ane diharuskan untuk sedikit bekerja keras saat ada barang datang dalam jumlah yang cukup banyak.
Ane ditugaskan dengan seorang temannya di mall itu, bergantian jaga sesuai shift yang sudah dijadwalkan. Rekan seniornya yang sudah menjadi seorang ibu muda dengan dua anak balita. Ane biasa memanggilnya mbak Intan.
Rekannya itu juga baik meski kadang sedikit rewel, maklum lah namanya juga ibu-ibu. Tapi Intan sering membawakan Ane masakannya. Intan bilang kalau cita-citanya dulu ingin menjadi seorang chef terkenal, tapi karena kendala biaya malah membuatnya harus rela menjadi seorang BA profesional.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!