"Natasya ... Bangun!" teriak perempuan dengan umur berkisar 40an.
"Mau jadi apa kamu! kalau jam segini belum bangun," omel sang bude lagi.
Natasya Ariani gadis (20). Dengan malas membuka mata saat sang bude membangunkannya, bukan karena malas namun ia terlalu lelah karena pulang dari bekerja dengan jam yang cukup larut.
Bukannya sang bude tidak tahu, sangat tahu akan pekerjaan ponakannya. Namun, terpaksa ia lakukan karena menurutnya seorang gadis tidak baik bangun kesiangan.
"Bude, Tasya masih ngantuk." Jawab Tasya dengan mata yang masih terpejam.
"Tidak bisa, kamu tahu ini sudah jam berapa? Ini sudah jam delapan. Mau jadi apa kamu kalau perempuan bangunnya sudah mau mendekati ba'da dhuhur," bude Rumi terus mengomel sampai keponakannya turun dari atas tempat tidur.
"Sekarang cepat bangun, atau tidak! Bude akan menyiram kamu dengan air satu ember." Bude Rumi mengancam Tasya agar cepat segera bangun.
Akhirnya Tasya atau Syah nama panggilannya. Kini, dia sudah bangun dan menuju kamar mandi untuk mencuci mukanya.
"Eh, ini kenapa baunya kok aneh ya?" ucap Tasya lirih.
"Sepertinya bukan sabun cuci muka ... Tapi baunya seperti shampo," gumam Tasya lagi.
Tasya membuka matanya dan membilasnya agar bisa tahu apa yang sudah digunakan untuk mencuci mukanya.
Benar saja. Shampo berwarna hitam dengan botol berwarna hijau yang telah digunakannya.
"Sial, kenapa aku bisa tidak tahu kalau yang aku pakai bukan wardani sih." Di dalam kamar mandi Tasya mengumpat karena sudah salah pakai sabun.
"Tasya, apa kau bertapa dulu di dalam. Sampai-sampai harus membuat Bude menunggu!" suara dari luar kamar mandi terdengar begitu menggema.
"Sebentar Bude, Ini Tasya beri Doa dulu airnya!" sahut Tasya dari dalam kamar mandi.
"Memangnya Doa apa yang kamu berikan," timpal bude Rumi dari arah luar.
"Doa tolak miskin." Jawab Tasya sembari mencuci ulang mukanya dan berganti sabun cuci, dengan merek wardani.
Sedangkan di luar terlihat sang bude menghembuskan nafas kasar karena kelakuan keponakannya.
Tidak berapa lama Tasya sudah keluar dari dalam kamar mandi, lalu menatap bude Rumi yang sedang bersendakap dada di tembok, sebelah pintu.
"Mau ngapain Bude, kok diem di situ?" tanya Tasya dengan tampang bodohnya.
"Mau lihat orkes di dalam," sungut sang bude dengan wajah judesnya.
Seketika Tasya mendelik kan matanya, akan ucapan konyol dari orang yang sudah merawat dan membesarkannya dengan cinta, serta kasih sayang yang ia terima.
Bude Rumi dengan suka rela mau merawat Tasya meski keadaan ekonomi yang sulit. Namun, beliau tidak merasa keberatan akan hal itu.
Sepasang suami istri yang tidak mempunyai keturunan, mungkin itu lah alasan utamanya untuk mengadopsi Tasya kecil yang sudah di tinggalkan oleh orang tuanya.
Waktu usia Tasya masih belasan ia harus di hadapkan dengan kenyataan, jika dirinya harus menjadi anak yatim karena sang ayah meninggal, akibat sakit parah dan tidak bisa tertolong lagi. Selang satu tahun ibunya menyusul sang ayah di surga dan hanya menyisakan sosok gadis kecil kala itu, hingga mejadi bocah yatim piatu.
Di saat kedua orang tua Tasya telah tiada dan tidak ada saudara yang mau merawatnya meski ... Keluarga dari ibu maupun ayahnya, semua orang mampu dan berada. Di saat itu juga bude Rumi beserta suami mengadopsi Tasya dan sudah di anggap layaknya anak kandung.
"Mana ada orkes, Bude?" Tasya mengerutkan keningnya saat bude Rum berkata.
"Berarti kamu nya saja yang bodoh," ucap bude Rumi dan setelah itu melenggang masuk, meninggalkan Tasya dengan sebuah pemikiran yang konyol.
Sesaat Tasya masuk ke dalam kamar dan sekilas melihat gawai nya menyala. Lalu dengan segera ia meraihnya dan melihat siapa yang mengirimkan pesan untuknya.
"Aldo ngajak ketemuan?" sekilas mata Tasya berbinar-binar karena kekasihnya mengajaknya untuk bertemu di suatu tempat.
Tasya keluar dari kamarnya dan menuju ke dapur untuk membantu bude Rumi menata kiriman untuk suaminya yang berada di ladang.
"Syah, ini sudah siap cepat kirim pade kamu di ladang. Takutnya nanti lemas akibat kelaparan!" seru bude Rumi pada Tasya.
"Iya Bude, nanti kalau lemas tinggal panggil bude kan beres." Jawab Tasya dengan senyuman yang terukir di sudut bibirnya.
"Eh, ini anak. Buruan berangkat," titah bude Rumi.
Setelah itu Tasya pergi ke ladang untuk membawakan pakde nya makanan untuk dibuat sarapan.
Lima belas menit kemudian, Natasya sudah sampai di ladang dan memanggil pakde Harun untuk sarapan.
"Pakde, buruan sarapan!" teriak Tasya pada sosok lelaki yang dengan ikhlas membiayai sekolahnya hingga bisa lulus SMA.
"Iya sebentar," sahut pakde Harun.
Tasya duduk di gubuk yang biasanya di jadikan tempat berteduh atau beristirahat untuk pakde Harun. Tidak berapa lama pakde Harun pun datang.
"Kamu belum berangkat Syah?" tanya pakde Harun.
"Sebentar lagi Pakde," jawab Tasya.
"Syah,"
"Iya Pakde," timpal Tasya.
"Hubungan kamu sudah berjalan berapa bulan dengan Aldo?" tanya sang pakde. Sedangkan Tasya mengernyitkan dahinya karena entah tiba-tiba saja, pakde Harun bertanya soal hubungannya dengan Aldo.
"Sudah dua tahun. Memangnya ada apa Pakde, kok tiba-tiba tanya soal Aldo." Jawab Tasya heran.
"Apa kamu tidak berniat untuk menikah."
Uhuk.
Uhuk.
Sontak Tasya pun tersedak teh yang ia minum saat ini.
"Kenapa pakde tiba-tiba berbicara seperti itu, atau memang pakde sudah tidak mau mengurusku?" dalam hati Tasya bertanya-tanya soal pakde nya yang menyuruh untuk menikah.
"Jangan berpikir jika kami sudah lelah untuk mengurus kamu." Pakde Harun berbicara dengan wajah teduhnya seakan-akan tidak merasa lelah sedikitpun.
"Lantas." Tasya menatap lekat wajah tua pakde Harun dengan guratan-guratan yang sudah terlihat di wajahnya.
"Umur kamu sudah cukup untuk menikah dan lagi pula tidak baik, kalau lama-lama berpacaran." Pakde Harun berujar dan menatap gadis kecil itu, yang kini tumbuh menjadi gadis yang cantik.
"Umurku masih muda Pakde, lagian aku masih ingin membahagiakan kalian. Jika saja, bukan karena kalian memungut aku mungkin saat ini posisiku sekarang adalah gelandangan.
"Jangan di ungkit soal masa lalu kamu, yang harus kamu lakukan terus berusaha dan tunjukkan pada keluarga orang tuamu jika kamu adalah sosok yang berguna." Pakde Harun menyela ucapan Tasya yang dianggapnya terlalu berlebihan.
"Jangan pikirkan kami karena kebahagiaan kamu jauh lebih penting. Kalau Aldo sosok lelaki yang baik maka ia akan meminang mu dan tidak akan menggantung mu, dengan status pacar!" cerca pakde Harun.
Sejujurnya apa yang dibilang pakde Harun ada benarnya. Namun, Tasya masih berusaha untuk bertahan karena kedua orang tua Aldo tidak setuju. Hanya karena Natasya adalah perempuan yang tidak memiliki orang tua.
Tasya kini sudah berada di rumah dan hendak akan berangkat kerja. Tidak lupa berpamitan dengan bude Rumi, yang sedang berada di halaman belakang menjemur pakaian.
"Bude, aku mau berangkat dulu." Tasya pun berpamitan tidak lupa mengecup punggung tangannya.
"Iya hati-hati," ucap bude Rumi.
Setelah berpamitan dan mengucap salam, Tasya keluar dari rumah dan langsung menaiki motor yang di belikan oleh pakde Harun.
Meski pak Harun Dan bu Rumi bukanlah keluarga Tasya. Namun, mereka menyayangi Tasya layaknya malika, eh kok jadi kecap bangau ya. Maksudnya seperti anak kandung mereka sendiri.
Tasya di akui sebagai keponakannya, agar semua orang tidak menganggap jika ia adalah pembawa sial karena memang, semua keluarga dari pihak ibu ataupun ayahnya tidak mau mengurusnya. Jadi, pak Harun beserta istrinya membawa Tasya pindah ke kampung sebelah agar hidupnya tenang dan tidak mendapat cemohan dari keluarganya.
"Berhenti, berhenti." Sosok perempuan menghadang motor Tasya dengan sebuah mobil berwarna putih.
Otomatis Tasya berhenti karena mobil menghimpit motornya.
"Apa mau kamu!" bentak Tasya yang sesungguhnya tidak mau meladeni perempuan tidak penting seperti Tia.
"Aku kan sopan bicaranya, kenapa kamu ngegas. Anak pembawa sial saja sudah belagu!" Tia menyerang balik dengan sebuah kalimat yang sering diucapkannya. Namun, Tasya tidak sekalipun terhasut oleh kata-katanya.
"Cepat pergi! Atau tidak akan ku pecahkan kaca mobil ini," suara lantang yang keluar dari mulut Tasya, mampu membuat Tia langsung pergi dengan hati yang dongkol.
Tia tidak mau kejadian waktu itu terulang lagi karena Tasya bukan lah sosok perempuan cengeng.
"Awas kau ya, Tasya. Aku akan membuat perhitungan denganmu!" ancam Tia sebelum dirinya benar-benar pergi dari hadapan Tasya.
"Mobil hasil menjual rumah saja sudah sombong dan belagu," gerutu Tasya sembari membenarkan motornya, lalu dengan cepat ia menaiki motor pemberian dari pak Harun.
Tidak berapa lama ia sudah sampai di toko roti, di mana dirinya bekerja untuk membantu memenuhi isi dapur.
"Pagi, Bu." Tasya menyapa sang pemilik toko terkenal di kotanya dan toko roti ini adalah salah satu, cabang di antara lainnya.
"Pagi juga, Syah." bu Lusi menimpali sapaan dari karyawan nya itu.
Setelah bertegur sapa Tasya mulai membersihkan etalase sebelum semua roti akan di letakkan untuk di jual.
Tidak berapa lama. Datang satu pelanggan yang masih melihat-lihat kira-kira roti apa yang akan dibelinya.
"Apa ada bisa saya bantu, Bu?" Tasya mulai mendekati satu pelanggan di hari yang sudah menjelang siang.
"Saya mau ini, ini, terus sama yang itu ya." Kata pelanggan pertama yang membeli empat macam kue.
"Baik Bu, silahkan di tunggu." Setelah Tasya berkata ia pun langsung membungkus roti itu, dengan kantung kresek yang sudah di beri lebel dengan merek toko roti tersebut.
"Ini Bu. Silahkan di bawa ke kasir sebelah sana," dengan ramah Tasya menunjuk ke arah kasir yang berada di sebelah kanan.
Di toko ada lima karyawan termasuk dirinya. Keadaan toko lumayan rame sehingga Tasya cukup di sibukkan dengan para pelanggan. Untuk sesaat keadaan cukup sepi jadi semuanya bisa beristirahat untuk makan siang. Untuk sesaat toko pun di tutup dan buka lagi nanti jam setengah dua.
"Syah, kamu bawa bekal apa?" tanya temannya yang bernama Sonia.
"Tadi bude Rum, membuatkan aku ati mercon. Kamu mau," tawar Tasya pada temannya meski mereka tidak bersahabat. Namun, keduanya lumayan deket.
"Boleh bagi dikit," ujar Sonia.
"Nih, makan lah. Tadi bude masaknya lumayan banyak," ucap Tasya sambil menyodorkan ati mercon. Makanan favoritnya selain soto.
Mereka berdua akhirnya makan di pantry, sedangkan yang lain makan di luar karena hanya Tasya dan Sonia saja yang membawa bekal, untuk menghemat supaya uangnya bisa terkumpul banyak.
Beberapa saat kemudian. Jam istirahat sudah habis dan toko pun telah di buka kembali, bagi para pelanggan.
Sore hari pukul empat sore. Tasya bisa bernafas lega karena dirinya akan segera pulang. Namun, bukan kembali ke rumah melainkan durinya kembali bekerja lagi, untuk mencari tambahan.
Tasya kembali bekerja membantu pak Sobri penjual lesehan aneka menu bakaran. Jadi, setelah keluar dari toko roti maka Tasya berpindah tempat jualan pak Sobri. Jam jualannya sore hari maka dari itu Tasya mengambil dua pekerjaan sekaligus.
Sebelum ke tempat pak Sobri, Tasya akan bertemu dengan Aldo. Kekasih dari Natasya yang berusia (25). Selisih lima tahun dengan umur Tasya.
Di cafe. Saat ini Tasya sedang menunggu kedatangan Aldo yang memintanya langsung ke tempat, di mana mereka mengadakan pertemuan.
Tidak terlalu lama, tapi membuat Tasya sedikit menunggu karena sang kekasih belum juga datang.
Beberapa detik berikutnya. Terlihat sosok pria yang cukup tampan, bagi siapapun yang melihat bisa di pastikan akan jatuh hati terhadap Aldo.
"Maaf ya lama menunggu," ujar Aldo pada Tasya meminta maaf karena datang terlambat.
"Tak apa." Jawab Tasya datar.
"Tadi jalanan rame. Makanya aku tadi sempat terjebak macet," jelas Aldo dan Tasya pun mengangguk dengan diiringi senyuman.
"Sayang, aku mau pamit sama kamu untuk keluar kota beberapa minggu ke depan." Ternyata pertemuannya dengan Tasya hanya ingin membahas soal dirinya, yang akan berangkat ke luar kota.
"Jadi kamu pamit buat kerja di luar kota?" Tasya pun menatap wajah Aldo dengan nanar.
"Iya, ada pekerjaan yang di selesaikan di sana. Setelah pekerjaan selesai aku akan segera pulang, untuk mempertemukan kamu dengan mama." Jawab Aldo dengan tangan memegang erat jemari-jemari lentik milik Tasya.
Senyuman yang ia coba untuk di paksakan. Namun, sekarang harus berubah dengan senyuman kecut. Tidak ada raut kebahagiaan yang terlihat di wajah cantik Tasya.
"Syah, kamu kok diam. Apa kamu tidak mau bertemu dengan mama," ucap Aldo dengan tatapan penuh selidik.
"Bu-kan begitu, Al." Tasya mencoba menyela ucapan Aldo.
"Lantas,"
"Aku hanya belum siap," ujar Tasya.
"Apa aku harus berkata jujur dengan Aldo soal mamanya, apa dia nanti akan percaya dengan apa yang aku katakan. Secara yang Aldo tahu antara aku dan mamanya tidak pernah bertemu," dalam hati Tasya terus berbicara seakan-akan dirinya ragu untuk di pertemukan oleh orang tua dari kekasihnya itu tersebut.
"Hanya perkenalan saja, toh aku juga belum ada keinginan untuk menikah muda." Saat Aldo berkata seperti itu. Seketika runtuh dunia Tasya, berharap jika kekasihnya mau memperjuangkannya tapi apa! Yang ada kekecewaan yang ia terima.
Harapan Tasya pada Aldo, ialah bisa menyakinkan mamanya. Akan tetapi, jika Aldo pun masih belum siap apa boleh di kata.
"Berhati-hatilah. Aku di sini selalu setia meski seandainya tak ada yang setuju akan hubungan kita," ucap Tasya dengan wajah tanpa ekspresi sama sekali.
"Harus dong, kamu harus setia denganku karena aku pun juga seperti itu." Kata-kata Aldo sedikit membuat tenang hati Tasya.
"Ya sudah, lebih baik kita segera makan karena setelah ini. Aku akan mempersiapkan kebutuhanku selama di luar kota," jelas Aldo pada Tasya untuk segera memakan makanan yang sudah mereka pesan baru saja.
Akhirnya keadaan sedikit hening karena mereka berdua sedang menikmati sepiring stik dengan segelas jus jeruk sebagai pelancar makanan.
Tidak berapa lama kemudian, Tasya harus pamit untuk kembali bekerja demi sesuap nasi.
"Do, aku balik lagi ya. Sudah di tunggu karena ini sudah jam lima," pamit Tasya pada Aldo.
"Iya sayang semangat dan jangan lupa juga, doain aku supaya pekerjaanku lancar ya." Mereka saling berpelukan menumpahkan akan kerinduan, yang akan tertahan untuk sementara waktu.
Pada akhirnya mereka pun berpisah. Dengan hati yang sedih Tasya pun melenggang menuju motornya berada.
Sesampainya Tasya berada di warung lesehan milk pak Sobri, Ia hari ini nampak tidak semangat dan itu di ketahui oleh sang pemilik.
"Tumben gak semangat bakar ayamnya?" pak Sobri yang melihat Tasya sedikit melamun memilih bertanya.
"Eh Pak, mungkin sedikit capek makanya tidak semangat." Jawab Tasya dengan sedikit senyuman yang di paksakan.
"Kalau capek pulang saja, kasian itu badan di ajak kerja mulu." Dengan senyuman pak Sobri sengaja mengajak, Tasya untuk bercanda.
"Tidak kok Pak, lelahnya hanya sedikit. Jadi, Pak Sobri jangan kuatir."
"Ya sudah kalau kamu merasa tidak enak badan. Lebih baik kamu pulang saja," ucap pak Sobri.
"Iya Pak." Jawab Tasya pada pak Sobri.
Akhirnya tasya membakar ikan dengan penuh hati-hati karena dirinya, tidak mau ikan-ikan itu sampai gosong dan mengakibatkan kerugian.
Tidak terasa jam sudah menunjukkan sudah pukul sepuluh, di mana waktunya Tasya untuk pulang. Dagangan pak Sobri sudah habis, sebelum pulang Tasya harus mencuci semua peralatan yang habis di pakai.
"Syah, ini ada sisa ayam. Kamu bawa pulang ya," ujar pak Sobri pada Tasya.
"Tapi Pak...."
"Sudah jangan banyak bicara bawa saja," ucap pak Sobri yang memotong perkataan Tasya.
"Kalau masih ada lagi boleh deh pak, aku bawa pulang lagi." Sambil cengengesan Tasya berkata.
"Itu mah mau kamu," celetuk pak Sobri.
"Kali saja masi ada kan lumayan. Jadi kan, besok aku tidak perlu masak." Dengan diiringi sebuah tawa Tasya berujar.
"Enak di kamu gak enak di saya dong," kata pak Sobri dengan wajah memelas.
"Bercanda pak, itu muka jangan di miripin sama kanebo kering."
Hahahaha.
Tasya tertawa terpingkal-pingkal karena merasa lucu dengan wajah pak sobri.
"Kamu itu suka sekali bikin orang gedeg," ujar pak sobri.
"Ya sudah kalau begitu aku pamit pulang ya, Pak." Tasya pun segera berpamitan dengan sang pemilik arung lesehan untuk segera pulang.
Pukul setengah sebelas malam, Tasya baru sampai di rumah. Rasa lelah seharian karena sudah berkutat dengan pekerjaan, membuat dirinya merasa damai saat melihat bude Rumi tengah tertidur di sofa ruang tamu.
Ia tahu jika sang bude sedang menunggunya karena setiap hari, sang bude akan melakukan hal yang sama. Meski, Tasya sudah melarangnya dengan alasan jika tidur di kamar lebih enak. Namun bude Rumi selalu menolak dengan berbagai alasan.
Dengan pelan Tasya membangunkan bude Rumi agar beliau, pindah di kamar dan tidur lebih nyenyak.
"Bude bangun," suara lirih dan sebuah tepukan di bahu. Membuat bude Rumi sedikit demi sedikit membuka matanya.
"Syah, baru pulang?" tanya sang bude dengan keadaan masih lesu.
"Iya bude, sekarang Bude bangun lalu pindah di kamar ya. Udara malam tidak baik baik bagi kesehatan," ucap Tasya dengan menyuruh bude Rumi untuk segera pindah dari kamar.
Akhirnya bude Rumi pun pindah dan Tasya juga sudah berada di dalam kamar mandi, untuk segera mandi dan lekas tidur.
Air dingin yang ia siramkan ke seluruh tubuhnya, sedikit membuatnya terasa segar dan merasa jika otaknya sedikit encer.
"Enaknya, andai aku orang kaya mungkin diriku ini akan mandi dengan air hangat." Dalam keadaan yang masih menggosok sabun ke seluruh tubuhnya, Tasya masih sempat untuk berkhayal.
Acara mandi pun sudah ia sudahi karena dirinya cukup kedinginan.
Setelah itu dirinya masuk ke dalam kamar dan akan langsung tidur tanpa mengecek gawai yang berada di nakas.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Keesokan paginya.
"tasya bangun!" lagi-lagi suara indah dari bude Rumi sudah memenuhi isi di dalam kamar.
"Hem, jangan ganggu aku dulu Bude, nanti aku lupa lho ngitung uangnya." Dengan keadaan mata terpejam, Tasya berbicara.
"Uang dari hongkong, buruan bangun," sergah bude Rumi pada Tasya lagi.
"Bude. Lihatlah uangku banyak kan, nanti kalau aku udah kaya mandi pun aku mau pakai shower." Lagi-lagi tingkat kehaluan Tasya makin bertambah meski dengan keadaan tidur.
"Haduh, ini anak rupanya lagi ngigau. Kasihan kamu saking pengennya jadi orang kaya sampai segitunya," gumam bude Rumi sembari menggelengkan kepala ke sana dan kemari.
"Apa tidak bisa di tunda itu mimpinya," ujar bude Rumi yang masih setia menanggapi Tasya.
"Nanti kalau di tunda kapan aku kayanya," ternyata Tasya masih menyahuti perkataan sang bude, entah di sini siapa yang salah karena mereka berdua sama-sama konyol.
"Memang berapa uang yang kamu hitung sekarang?" tanya bude Rumi dengan menopangkan kedua tangannya di dagu.
"Ada satu M, karena aku bodoh makanya harus hati-hati ngitungnya." Jawab tasya dengan jemari layaknya alat penghitung untuk anak TK.
"Dari mana kau dapatkan uang segitu banyaknya. Sehingga mencapai puluhan juta?" bude Rumi masih setia menunggui Tasya yang sedang halu di dunia mimpi.
"Aku kan kaya, usahaku di mana-mana. Anak buahku juga banyak jadi aku ini adalah orang terkaya se--asia," ujar Tasya dengan kedua tangan yang di rentangkan.
"Duh kasihan kamu Tasya, sampai ke bawa mimpi halunya." Bude Rumi membatin sesekali menggelengkan kepalanya lagi.
"Sejak kapan kamu jadi orang kaya," ujar bude Rumi.
"Dari kemarin malam." Jawab Tasya dengan tangan kembali seperti semua yang sedang terlihat berhitung.
"Memangnya kalau kamu banyak uang, itu uang mau kau ke mana kan?" tanya bude Rumi.
"Akan aku berikan pada orang yang selalu mengganggu kenyamanan tidurku," Tasya berkata seolah-olah dirinya dengan keadaan sadar.
"Memangnya siapa orang itu?"
"Bude Rumi, di saat aku sedang tidur pulas dia selalu mengganggu...."
"TASYAAAA!!"
GUBRAK.
Auh.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!