Gas Beracun
Lela, gadis bertubuh kurus kering dan berambut lurus sebahu itu berjalan mengendap-endap, ke arah semak belukar. Wajahnya kusam tapi memiliki penglihatan yang cukup tajam, saat ia melihat ular yang berjalan tak jauh dari dirinya. Ia berhenti di antara tanaman merambat yang tumbuh subur di belakang rumah kecil, yang dia gunakan untuk istirahat selama dalam masa pelarian.
Ia menempati gubuk para pekerja yang bekerja paruh waktu di kebun jeruk milik ibunya.
Tiba-tiba ular itu diam, membuat gadis itu merasa diuntungkan karena akan lebih mudah, untuk melenyapkan binatang berbahaya yang bisa saja membunuhnya.
Tak jauh dari Lela berdiri, ada seorang pria yang tengah diam di balik pohon besar dan memperhatikan gerak-geriknya. Pria itu bahkan, menahan napasnya agar tidak menarik perhatian kobra berbisa, yang dilihatnya berjalan mendekat. Namun, karena kedatangan gadis itu, perhatiannya sedikit teralihkan.
Saat itu Lexsi sedang tersesat dan tanpa sengaja menemukan sebuah rumah kecil. Ia berniat menanyakan arah jika dalam rumah itu ada penghuninya. Namun, ia justru bertemu ular kobra dan seorang gadis di hadapannya.
Pemandangan yang cukup langka, terjadi tanpa disengaja pula.
Lela seketika melemparkan batu yang cukup besar tepat di leher ular yang kini menggelepar.
“Kena kau ular! Aku sudah tahu, nasibmu ada di tanganku!” katanya lagi sambil mengeluarkan sebuha pisau kecil dari dalam tasnya. Lalu, memotong badan ular itu menjadi dua.
“Ah! Ternyata seperti ini saja kau sudah mati? Padahal kau disebut raja!" Lela berbicara pada dirinya sendiri.
Setelah selesai ia melemparkan tubuh ular yang sudah mati itu ke sembarang arah, lalu kembali memasukkan pisau ke dalam tasnya.
Namun, belum sempat ia melangkah, ada gerakan mencurigakan dari sebatang pohon besar, di belakangnya membuatnya menoleh dengan waspada.
Selama dalam pelariannya Lela hanya tinggal seorang diri, keberadaan orang lain tentu membuatnya sedikit takut. apalagi ia hanyalah seorang wanita.
“Sialan, kau!” pekik Lexsi, setelah keluar dari persembunyiannya.
Sontak saja gadis itu mengeluarkan pisaunya untuk berjaga-jaga jika ada pria jahat menganggunya.
Dia melihat seorang pria bertubuh kekar dan tinggi tengah mengibaskan ular yang sudah lemas dari tubuhnya. Rupanya, bangkai ular tadi mengenai pria itu. Lela pun mendekat sambil menahan tawa, dia meraih ular yang sudah tergeletak di tanah dan melemparkannya lebih jauh.
“Siapa kau? Apa kau takut? Kenapa kau ada di sini?" tanya Lela dengan tatapan menelisik dari ujung rambut sampai ujung kaki, tapi pria itu diam dan hanya menghunjamkan tatapannya ke arah Lela dengan begitu tajam.
Sejenak suasana hening.
“Kau tidak perlu takut, ular itu sudah lemas, jadi, tidak akan membuatmu mati!” kata Lela lagi, sambil membalikkan badan.
“Siapa kau?” tanya Lela lagi.
Pria yang memiliki nama lengkap Lexio Humaish itu balik bertanya, "Siapa, kau?"
Ia merasa begitu terhina di hadapan gadis kurus berkulit kusam di hadapannya.
“Hai! Harusnya, aku yang bertanya seperti itu padamu, karena ini adalah tanahku, daerah kekuasaanku, tahu!" tanya Lela sambil menunjuk Lexsi.
"Ini hutan, tidak ada orang yang berkuasa di sini!"
"Ada! aku buktinya." Lela berkata sambil berkacak pinggang, "Ini tanah dan gubukku, di sekitar sini ada kebun jerukku! Kau punya apa di sini?"
Sekali lagi, Lexsi merasa lebih di rendahkan lagi. Ia sebenarnya seorang tuan muda kaya raya, tapi memilih hidup sendiri, bebas tanpa peraturan kedua orang tuanya. Dari kecil ia terbiasa dimanja dan selalu dituruti kemauannya.
Ah! Gara-gara dia terpisah dari rombongannya berburu, hingga berada di tempat itu. Nasibnya benar-benar sial sudah bertemu seorang wanita seperti Lela.
“Apa kau bilang? Kau, kurang ajar ... apa kau tahu siapa aku?” tanya Lexi, justru membuat Lela tertawa.
“Memangnya siapa dirimu? Dengar ...! Siapa pun dirimu di sini, tidak penting karena yang penting di sini, siapa pemilik tanah sebenarnya!”
“Tidak ada hubungannya denganku!”
“Terserah! Kau juga tidak penting bagiku!”
Setelah berkata begitu, Lela melirik saja pada Lexsi yang melangkah menjauh, mendahuluinya, dia ingin tahu ke mana arahnya. Demi melihat Lexsi yang berjalan semakin ke arah barat, gadis itu mengikutinya.
“Hai! Orang Asing! Sebenarnya kamu mau ke mana? Jangan ke arah itu kalau kau masih sayang nyawa!"
Ucapan Lela spontan membuat Lexsi menoleh sambil mendengus kesal. Dia tampak bodoh di hadapan wanita yang baginya sangat menyebalkan itu.
“Kalau kau memang mau bunuh diri, silakan terus jalan ke sana, ada sesuatu yang berbahaya kalau kau percaya padaku, tapi kalau tidak, kau boleh mencobanya!"” kata Lela.
“Apa itu?” Lexsi tampak mulai tertarik, dia membalikkan badan sambil melangkahkan kaki mendekati Lela.
“Masyarakat di sini, menamai tempat itu Umbut, itu—sumur berisi gas beracun yang kalau kau menghirup udara di sekitarnya maka kau bisa dipastikan mati hanya dalam dua jam!”
Lexsi mengerutkan alisnya, tetap tidak percaya, sebab selama ini, dialah yang harus dipercaya, dan tidak perlu percaya pada orang lain. Lalu, dia mengabaikan Lela dan berjalan, hingga beberapa langkah kemudian, dia mencium sesuatu yang aneh.
Lexsi segera menahan napas dan berbalik. Aroma gas itu sangat menyengat, seketika membuatnya pusing.
“Tutup hidungmu dengan ini!” kata Lela, tiba-tiba sudah berada di samping Lexsi dan menutup hidung pria itu dengan kain syal yang sengaja dibawanya.
Dua manusia berlawanan jenis itu kemudian tergeletak lemas di tanah, setelah berlari cukup jauh dari kawasan sumur gas beracun.
“Apa kau sekarang percaya padaku?” Lela bertanya sambil mengatur nafas yang terengah-engah dia menoleh pada Lexi yang tergeletak di sampingnya.
Lexsi tak merespon apa pun, hingga beberapa saat kemudian dia menoleh dan mencebikkan bibirnya.
“Dulu pernah ada usaha pengeboran minyak di desa ini, tapi gagal karena ternyata ada gas beracun keluar setelah tanah dibor dan di gali oleh perusahaan itu.” Lela bercerita tanpa diminta, membuat Lexsi berpikir logis, kalau dia pun pernah mendengar kisah yang sama, beberapa tahun lalu. Bahkan, setelah pengeboran yang gagal itu, muncul gas beracun lain di beberapa lokasi di sekitarnya, membuat desa itu akhirnya ditinggalkan penduduknya.
“Terserah kalau kau mau percaya atau tidak dan mau tetap di sini atau tidak! Lihat sebentar lagi hujan!”
Apakah aku harus percaya pada gadis itu karena apa yang dikatakannya benar? Kata hati Lexsi.
Lela berdiri dari posisi terbaring, lalu, membersihkan tanah yang melekat dia pakaiannya dengan menepuk-nepukkan tangan. Gadis itu meninggalkan Lexsi yang sama sekali tidak banyak merespon ucapannya.
Namun, Lexsi mengikuti Lela yang melangkah kembali ke rumah kecil itu. Benar saja, tak lama setelah mereka berada di dalam, hujan pun turun dengan lebatnya.
“Kau tinggal di sini?” tanya Lexsi penasaran, dia melihat isi rumah itu lengkap, walaupun terbatas, semua kebutuhan dasar untuk hidup tersedia di sana.
Lela terus menyalakan perapian agar hangat dan dia merebus air di atasnya, untuk menyeduh dua gelas coklat.
“Tidak,” kata Lela sambil menyodorkan secangkir coklat hangat itu pada Lexsi, “ini rumah pelarianku dari penjara!”
“Apa?” kata Lexsi dengan ekspresi wajah heran, ia hampir saja mempercayai gadis ini, tapi ia menolak percaya kalau ternyata Lela baru saja keluar dari penjara.
Lela terbahak melihatnya lalu, dia duduk di hadapan Lexsi dan meneguk coklat hangat dengan santai.
“Apa kau sekarang percaya padaku?” tanya Lela sambil menaikturunkan alisnya. Dia menyimpulkan jika Lexi adalah orang yang sangat mahal kepercayaannya.
“Hai, Lex! Kau tidak perlu takut, aku bukan binatang buas yang bisa menggigit! Aerrggk!” Lela menirukan suara harimau.
“Dari mana kau tahu namaku?” kata Lexsi datar.
“Aku hanya menebak, kulihat ada inisial LX di senapan anginmu! Aku pikir namamu Luxi atau Alex atau Lux, ya, seperti itulah!” Lela berkata sambil mengangkat bahunya.
Lexsi memang membawa senapan angin yang menyilang di punggungnya, pada gagang senapan itu memang ada inisial dirinya. Berburu adalah kesuksesannya dan tadi, dia melihat ada seekor burung yang terbang ke arah di mana dirinya melihat ular. Lalu, dia memilih diam, karena sudah tahu bagaimana bersikap, jika berhadapan dengan binatang buas seperti ular. Diam itu lebih baik agar binatang mengira dirinya bukan sesuatu yang berbahaya.
Namun, Lela datang dan membunuh ular itu dengan cepat, mau tidak mau dia harus mengakui kalau gadis itu telah memudahkan urusannya secara tidak langsung karena harus segera mencari teman-temannya sebelum hari mulai gelap.
“Namaku Lela,” kata Lela sambil mengulurkan tangannya, “Lela Leana, panggil saja Lela!”
Dia berinisiatif memperkenalkan dirinya sendiri karena akan lebih baik saling mengenal, apalagi mereka sekarang terjebak hujan entah sampai kapan.
Lexsi menyambut uluran tangan gadis itu sambil berpikir tentang namanya yang sepertinya tidak asing.
Benarkah dia seorang residivis? Batinnya.
❤️❤️❤️
Terima kasih sudah membaca cerita baruku, yang akan aku buat pendek juga seperti novel sebelumnya, jangan lupa like! 🥰
Tembak Bius
Maksud Lela bukan penjara yang sesungguhnya, melainkan penjara di rumah yang kini ditempati Bibi dan Pamannya. Dua orang itu yang selalu mengancam dan memperlakukannya dengan buruk. Lalu, dia bersembunyi di gubuk yang biasa di pakai istirahat oleh para pekerja kebun jeruk milik ibunya.
Lela diancam oleh Lein dan Landu, akan diadukan ke polisi, karena mencuri harta kekayaan mereka. Padahal ia sama sekali tidak melakukannya, dan sepasang suami istri itu adalah paman dan bibinya sendiri. Karena warisan tanah membuat dua orang itu gelap mata dan ingin menguasainya.
Lela tidak mau menyerahkan warisan bagian ibunya begitu saja, tapi, karena takut dengan ancaman mereka, membuatnya kabur dari rumahnya sendiri, tepat sepekan yang lalu. Saat itulah kemudian ia bertemu dengan Lexsi.
Dia gadis sederhana yang belum punya banyak pengetahuan tentang hukum, dengan diancam seperti itu, tentu saja dia takut. Ibunya baru meninggal karena terserang virus mematikan yang mewabah di seluruh negeri, dan dia terjebak dengan situasi saat ini.
“Apa kau senang berburu?" tanya Lela mencoba mengenal Lexsi lebih jauh lagi, "Aku tidak!”
Namun, gadis itu terkesan memberi jarak yang jelas di antara mereka sebab dia melihat Lexsi, selalu memberikan tatapan menelisik, membuatnya tidak nyaman, seolah dirinya orang aneh dan mencurigakan.
“Ya. Sekedar hobi!” kata Lexi bangga, dia menyunggingkan senyum saat bicara.
“Rupanya kau bisa tersenyum juga, aku pikir tidak!”
Lexsi tiba-tiba kesal dengan gadis yang terkesan blak-blakkan, kalau saja Lexsi tidak merasa sudah berhutang budi padanya, sudah pasti gadis itu babak belur di tangannya.
Dua orang itu melempar tatapan saling menilai satu sama lain, walaupun mereka sudah saling menyebutkan nama, tetap saja mereka orang asing. Suasana kaku dan pikiran buruk, mengalir di antara suara kayu yang terbakar api di tengah rumah itu.
Sementara di luar, hujan masih deras dan suara petir terdengar masih bersahutan.
“Kau di sini sendirian?” tanya Lexsi sambil mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Ia masih tak percaya kalau gadis seperti Lela, tinggal sendiri dalam gubuk itu.
“Aku selalu sendiri setiap hari, sejak Ibuku pergi.”
“Maaf, kalau aku mengingatkanmu."
"Tidak masalah!"
"Lalu, kau tinggal dengan ayahmu, di sini?”
“Tidak! Aku tidak tahu di mana laki-laki itu! Aku tidak peduli, toh tidak ada orang itu juga aku tetap bisa hidup!”
Tiba-tiba Lela teringat akan ayahnya yang pergi saat dirinya masih kecil, tapi sang ibu tidak pernah menjelaskan mengapa pria itu pergi, sampai saat ini.
“Kau tidak takut, tinggal sendiri?”
“Untuk apa takut, aku bilang, kan? Aku sudah biasa sendiri sejak Ibuku meninggal!”
Ucapan Lela, menarik kekaguman secara tidak sengaja di hati Lexsi. Ia belum pernah menyimak ucapan seorang wanita sampai seserius ini.
“Kenapa kau bisa dipenjara?” tanya Lexsi lagi menyiratkan rasa penasarannya.
Lela mengerutkan alis dan ingin rasanya dia tertawa, karena ternyata Lexsi percaya jika dirinya adalah narapidana yang sedang dalam pencarian. Meskipun, dia bagaikan orang yang lari dari penjara, tapi, dia bingung memikirkan alasannya ditahan.
“Aku ... maaf, aku tidak bisa mengatakan alasannya, itu terlalu memalukan!” kata Lela, “Aku bukan orang yang baik! Jadi, segeralah pergi dari sini setelah hujan berhenti!”
Lexsi ingin menertawakan dirinya sendiri yang dengan mudahnya percaya pada Lela. Padahal, gadis itu jauh dari kata menarik, selain tubuhnya yang kurus dan kulitnya kusam, wajahnya juga tidak cantik bahkan, seperti orang yang tidak mandi selama berhari-hari. Cuma satu yang menjadikannya cukup enak dipandang, yaitu, bibirnya sensual.
Lalu, gadis itu mengusirnya setelah tadi, dia menawari untuk tetap tinggal, sebelum hujan. Seketika Lexsi merasa bagaikan pria bodoh yang dipermainkan seorang wanita jelek.
Sial sekali aku! Katanya dalam hati.
Tiba-tiba Lexsi ingin sekali menculik gadis ini untuk balas dendam, karena merasa sudah dipermainkan. Dia pun berpikir untuk menggunakan satu saja peluru yang mengandung obat bius, dia biasa memakai peluru itu untuk ditembakkan pada binatang yang akan diburu.
Lexsi menyeringai dan mengusap-usap senapannya sambil meneguk coklat panas. Dia akan melancarkan serangan setelah keluar dari rumah itu dan berada pada jarak aman, untuk menembak wanita incaran.
“Aku tidak mendapatkan binatang buruan, tapi aku tetap punya target yang bisa kujadikan sasaran!” bisik hatinya sendiri.
“Apa kau punya ponsel? Ponselku hilang!” tanya Lexsi sambil melihat isi dalam tas pinggangnya, untuk membuat Lela percaya.
“Ini kebun, yang masuk wilayah hutan, kadang sinyal bisa muncul kadang hilang, jadi percuma saja punya benda seperti itu!” kata Lela sambil memalingkan wajahnya.
“Kau punya punya telepon biasa?”
Lela diam untuk berpikir apa maksud pria itu.
“Aku tidak punya telepon, aku kan buronan, lagipula di sini hutan, tidak mungkin ada benda seperti itu, bodoh!”
“Kau yang buronan bodoh!”
“Terserah! Kau pikir dirimu pandai? Hah! Bisa-bisanya bilang aku bodoh?"
“Seharusnya kau tidak membiarkan orang lain mengetahui tempat persembunyianmu! Kalau kau memang residivis." Lexsi berkata sambil tertawa keras, dia pikir sudah bisa membuka kedok wanita di hadapannya.
“Kau mau mengadukanku pada polisi setelah keluar dari sini? Cih! Kau ternyata orang yang tidak tahu balas jasa!”
“Kau?” Lexsi geram.
“Apa? Dasar anak manja! Kau pasti laki-laki yang hanya bisa bersenang-senang dengan kekayaan orang tua dan menghamburkan uang mereka sesuka hati, iya, kan?”
“Bukan! Akulah polisinya!”
Lela kembali menilai penampilan Lexsi yang tidak tampak seperti seorang penegak hukum. Dia menilai pria itu sebagai orang biasa pada umunya yang bekerja jadi pegawai atau guru honorer di kampung. Lelaki itu memang punya postur tubuh yang tinggi, tapi di tidak mungkin seorang polisi berambut gondrong sampai ke leher, berkumis dan berjenggot tebal, bahkan cambang yang hampir memenuhi pipinya.
“Apa kau mencoba menipuku?” Lela tertawa, “Polisi tidak ada yang gondrong dan berjenggot setebal itu! Dasar! Kalau mau bohong itu mikir!” Lela tertawa keras setelah itu sampai dia puas.
Lexsi diam dan mereka tidak lagi bicara untuk waktu yang cukup lama dan hanya menikmati coklat panas mereka.
“Lihat, sekarang hujan sudah berhenti! Pergilah!” Kata Lela saat melihat keluar jendela sedangkan minumannya sudah habis.
Lexsi ikut melihat keluar jendela lalu, pergi keluar begitu saja, setelah melirik Lela sekilas, tanpa mengucapkan terima kasih. Gadis itu hanya tersenyum tipis dan memalingkan pandangan.
Dia tetap berada di sana sampai beberapa waktu melihat ke arah langit memastikan apakah akan pergi, untuk membeli keperluannya atau tidak. Banyak kebutuhan sehari-hari yang sudah habis, sedangkan uang pun menipis.
Kalau bukan karena Lein dan Landu, saat ini dia masih menjadi seorang guru dan dia menyukai pekerjaannya itu. Namun, ancaman demi ancaman yang dilakukan paman dan bibinya, membuatnya enggan tinggal bersama lagi.
Sejak ibunya meninggal tiga tahun yang lalu paman dan bibinya berinisiatif untuk mengurus dan mengajaknya tinggal bersama. Lela pun setuju karena merasa keputusan itu lebih baik. Apalagi dia tinggal seorang diri di rumahnya.
Saat itu Lela sedang sedih karena kehilangan ibunya dan senang ketika saudara ibunya bersikap sangat manis. Dia tidak menyangka, setelah semakin lama sikap dari paman dan bibinya berubah aneh. Mereka menuntutnya untuk menjual rumah dan juga kebun jeruk yang menjadi warisannya. Padahal Lein dan Landu sudah memiliki rumah dan juga kebun lainnya, mereka petani yang hidup berkecukupan.
Lela tidak tahu apa yang menyebabkan paman dan bibinya berubah sikap bahkan, mengancamnya dengan sesuatu yang tidak masuk akal. Dia pernah diancam akan dijadikan istri simpanan seorang konglomerat, dan dia menjanjikan kebahagiaan serta kekayaan yang jauh lebih banyak dari harta warisan yang dimilikinya.
Sebenarnya dia senang tinggal di rumah bersama Lein dan Landu yang memiliki empat orang anak yang semuanya bersikap baik kepadanya.
Oleh karena itu dia bertahan dan mencoba untuk meyakinkan bibinya bahwa, berapa pun hasil dari kebunnya akan mereka bagi dua, tetapi, mungkin Lain dan Landu kurang puas sehingga menuntut lebih. Mereka menjadi terlena, setelah mendapatkan bagian dari kebun jeruk saudaranya, kehidupan keluarganya semakin lebih baik.
“Aahk!” teriak Lela, tiba-tiba dia melihat bagian pundaknya seperti tersengat sesuatu, setelah itu dia tidak bisa melihat apa-apa, semua menjadi gelap, dan kakinya lemas tak mampu menahan berat badannya sendiri, seketika dia terkulai di lantai.
❤️❤️❤️
Terima kasih sudah membaca
Disekap
Lexsi membawa tubuh Lela yang sudah lemas dalam gendongannya, sedangkan gadis itu masih berada antara sadar dan tidak, ketika ia merasakan dirinya melayang dan bergerak. Setelah itu ia benar-benar tidak tahu lagi apa yang terjadi
Dalam suasana hutan yang tidak terlalu lebat itu, Lexsi berjalan mengikuti instingnya seperti saat ia berjalan ke sembarang arah, dan akhirnya menemukan sebuah rumah kecil. Ia berniat untuk meminta pertolongan untuk menunjukkan arah apabila di dalam rumah itu ada seseorang. Namun, ia justru melihat ular dan juga bertemu dengan Lela hampir dalam waktu yang bersamaan.
Lexsi adalah seorang tuan muda dari keluarga kaya raya dan terpandang di pusat kota, tetapi ia lebih memilih berada di pinggiran desa dan menggeluti pekerjaan kasar. Berburu adalah kesukaannya yang sering ia lakukan, ketika mengisi waktu senggang di sela-sela kesibukannya mengurus kebun dan peternakan.
Semua kebun dan kandang sapi yang dimilikinya, berdiri di tanah seluas puluhan hektar miliknya. Semua hasil dari peternakan serta pertanian itu pun dikelola pula oleh perusahaannya sendiri.
Beberapa hari yang lalu, ia kedatangan beberapa tamu yang tidak diundang, dari beberapa kerabatnya. Padahal Ia sendiri tengah bersenang-senang dengan sahabatnya, Lido dan Loran.
Para kerabatnya itu sengaja mengajak teman-teman mereka, hingga suasana rumah pribadinya yang sederhana pun menjadi begitu ramai. Mereka yang berniat mengajaknya untuk berpetualang dan mendirikan tenda, karena rumah milik Lexsi tidak akan cukup, untuk menampung jumlah total mereka yang lebih dari sepuluh orang.
Saat sedang menunggu mendirikan tenda, Lexsi dan teman-teman yang lain memasak. Namun, ia tidak tahu mengapa tiba-tiba tertidur padahal tidak terlalu lelah.
Saat terbangun, iya tidak menyadari jika ponsel dan GPS manual miliknya yang sering ia gunakan jika tidak ada sinyal, sudah tidak ada di dalam tasnya. Lalu, tanpa Lexsi sadari ia berjalan hingga sampai ke tengah hutan sendiri. Ia terpisah dari rombongan dan juga dua orang sahabatnya.
Ketika ia memeriksa isi tasnya, ternyata ponselnya sudah tidak ada bukan hanya itu, dompet dan seluruh isinya pun raib. Ia belum bisa menemukan tentang siapa yang mengambil di antara saudaranya itu. Tidak mungkin benda itu akan hilang atau keluar dari dalam tas dengan sendirinya.
Sesampainya di alam terbuka, Lexsi merebahkan Lela di atas rumput, ia akan membawa gadis itu pulang biar bagaimanapun caranya. Ia melihat sekitar untuk meminta bantuan atau orang yang bisa memberi pertolongan, hingga tak lama setelah dirinya diam saja, terdengar suara seorang memanggil namanya.
“Lexi! Di mana kau?” kata suara itu dari jauh dan terdengar berulang-ulang.
Lexi hanya mengeluarkan senapan anginnya dan menembakkannya ke udara, mewakili suaranya, yang sepertinya terlalu sayang untuk bicara.
“Jadi, kau dari tadi di sini?” Loran bertanya dengan suara tersengal dan nafas yang terengah-engah. Ia setengah berlari menghampiri lokasi di mana tembakan itu berasal. Keringat panas membanjiri keningnya dan ia begitu kesal melihat Lexsi di hadapannya. Pria itu terlihat tenang-tenang saja, padahal ia sudah setengah mati serta bingung mencarinya.
Lexsi hanya mengangguk tidak mengucapkan sepatah kata pun.
“Sialan kau, Lex! Ah, kami dari tadi mencarimu dan kau hanya tenang-tenang saja di sini?”
“Kau yang sialan! Aku tidak tenang tahu!” tapi ucapan itu hanya keluar dari dalam benaknya tidak dari bibir Lexsi yang sepertinya sulit untuk terbuka.
“Siapa dia?” tanya loran melihat Lela yang tergeletak di dekat kaki Lexsi.
Lagi-lagi pria itu tidak menjawab dan melirik Lela sekilas, ia hanya mengisyaratkan dengan mengangkat kedua bahunya tanpa bicara.
“Kau akan membawanya pulang bukan?” Loren bertanya lagi, karena penasaran. Ia berjongkok untuk meneliti wajah Lela sambil mengerutkan kening. Dia pikir kenapa wanita seperti itu akan dibawa sahabatnya pulang, dia bahkan tidak enak dipandang apalagi untuk dimakan.
Namun, kali ini Lexsi mengangguk. Dia pun berkata, “Bawa kendaraanku kemari!”
“Cih! Kau ini bicara saat pemerintah saja, tapi, baguslah daripada kau memerintah dengan isyarat ataupun dengan tanganmu itu lebih menyakitkan, tahu! Kau kira aku ini bisu?”
Loran segera pergi tanpa menunggu perintah dua kali dan meninggalkan Lexsi serta Lela, sementara teman-teman lainnya mulai mendekat ke arahnya.
“Katakan padaku, siapa yang sudah mengambil ponsel dari dalam tasku!” Lexi berkata, setelah sepuluh orang berkumpul termasuk sahabatnya Lido.
Semua orang menatap Lexsi heran, tidak ada yang tahu di mana ponsel itu berada.
“Kenapa kalian tidak bicara jujur aku tidak akan membunuh, kalau kalian memang menginginkannya, ambillah! Tapi, jangan kalian ambil kartu identitasnya juga!” ujar Lexsi, sambil menatap semua orang yang ada di sekitarnya satu persatu.
Di antara sepuluh orang itu belum ada yang mau mengakui apa pun, dan hanya berpandangan satu sama lain dengan wajah penuh tanda tanya. Saat itu pula, mobil Jeep yang diminta oleh Lexsi sudah berhenti di hadapan mereka.
Tanpa menunggu jawaban, Lexsi segera mengangkat kembali tubuh Lela dan mendudukkannya di atas salah satu kursi mobil, lalu meningkatkan sabuk pengaman padanya. Setelah itu ia pun duduk pula di sebelah Lela, menjaga agar saat kendaraan bergerak, gadis itu tetap nyaman berada di tempatnya.
Lido pun menyusul naik ke atas mobil Jeep, karena memang kendaraan itulah yang digunakan oleh mereka bertiga, sedangkan sepuluh orang lain dari kerabat Lexsi, mengendarai mobil yang berbeda.
“Akan kau jadikan apa gadis itu setelah sampai di rumah, Lex?” Tanya Loran, saat di tengah-tengah perjalanan mereka, “Jadi, kuda tunggangan atau daging panggang?”
Loran da Lido tertawa bersama, tapi tidak dengan Lexsi.
“Apa seperti ini seleramu Lex?" tanya Lido sambil melirik Lexsi.yang duduk di samping gadis tidak berdaya itu.
Sementara orang yang ditanya hanya menatap lurus ke depan tidak merespon ataupun menanggapi. Ia seolah tidak mendengar apa pun yang dibicarakan kedua sahabat yang duduk berdampingan di kursi depan, termasuk beberapa komentar menggelikan yang mereka lontarkan sepanjang perjalanan.
“Kau tahu, Lid, dia tidak akan mencincang daging buruan tapi mencicipi kenikmatan daging di antara dua paha manusia!”
“Kau akan beradu dengan tulang, bukan dengan dagingnya, Loran, aku berani pastikan itu!”
“Jangan bercanda Lido, daging beradu daging tidak membutuhkan tulang, hanya membutuhkan darah segar!”
“Apa kau butuh cinta untuk darah yang mengalir hingga mengeraskan milikmu, Lor?”
“Tidak Lido ... aku hanya butuh hasrat membara yang bisa memanaskan tungku diotak lalu, aku bisa melakukannya sambil terpejam!”
“Sudahlah Lor!” kata Lido sambil menahan perutnya karena sedari tadi ia terus tergelak dengan lelucon yang mengocok perutnya, tapi orang yang jadikan bahan bercanda tetap saja diam.
“Kau tidak akan membuat telinga Lexsi panas walaupun kau berubah menjadi Mr Bean, lihat dia tersenyum saja tidak! Tapi kau malah membuatku sakit perut!”
“Kau terlalu keras berpikir Lido, siapa menggoda Lexsi? Aku justru menggoda dirimu, siapa tahu kau akan memanfaatkan gadis itu nanti kalau kita sudah sampai di rumah, bagaimana?” kata Loran sambil menyeringai dan melirik Lexsi.
“Kalau kalian menyentuh gadis itu seujung rambut saja aku tidak akan segan-segan membunuh kalian semua!” akhirnya orang yang digoda pun mengeluarkan suara. Namun, ucapannya sungguh membuat dua orang sahabatnya tertegun.
“Kau dengar itu Lor? Jadi ingat jangan menyentuhnya kau hanya boleh mencandainya saja!” kata Lido.
“Cih kau tidak perlu ikut bicara, setelah Lexsi selesai dengan dirimu, Aku yang akan meneruskan untuk memutilasi tubuhmu, kau harus tahu itu, Lor!”
Setelah mobil merapat di tempat parkir, Lexsi segera membawa Lela ke kamarnya dan menutup pintu kamarnya rapat-rapat.
❤️❤️❤️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!