Paras yang cantik, tatapannya tajam. Dengan tubuh tinggi proposional. Satu kata untuk mendeskripsikannya, sempurna. Dia adalah kebanggan keluarga Lawrence. Lulusan termuda universitas ternama dengan
berbagai prestasi. Pewaris tunggal real estate yang begitu disegani. Namanya sudah banyak diperbincangkan dan muncul dalam sampul majalah bisnis.
Roxena Lawrence, itulah nama dari pemilik bola mata hazel itu. Yang kini menjabat sebagai wakil presdir perusahaan keluarganya.
Parasnya yang cantik dan kemampuannya yang mumpuni, membuatnya dipuja oleh banyak anak para pengusaha ataupun pengusaha muda.
*
*
*
Aroma asap dan alhokol yang pekat langsung tercium kala memasuki sebuah kamar. Pencahayaan remang yang hanya berasal dari lampu tidur. Tiga orang, dengan satu orang menggunakan blazer, sementara dua orang
lagi menggunakan seragam pelayan masuk. Gerakan mereka cekatan. Membuka tirai jendela. Membiarkan cahaya masuk. Lampu kamar dimatikan.
Yang menggunakan blazer membuka selimut. Sementara yang lain membersihkan kamar. Membuang penghuni asbak rokok, menyemprotkan pewangi mengusir aroma alcohol, dan membereskan botol minuman yang ada.
Saat selimut dibuka, tampaklah seorang wanita yang masih menutup mata. Terganggu dengan cahaya yang masuk.
“Nona.”
Wanita itu adalah majikan dari mereka.
Wanita itu bangun. Begitu membuka mata, sorot mata tajam yang dingin langsung terpancar. Seketika membuat suasana kamar berubah. Kecuali yang membuka selimut tadi, semuanya bergidik ngeri. Menunduk serentak.
“Sialan! Tutup tirai itu!”
Wanita itu mengumpat. Aroma alcohol dan rokok bersatu di mulutnya. Matanya yang dingin itu merah. Dingin sedingin es, dan tampak tidak bersemangat. Rambutnya berantakan namun tidak mengurangi kadar kecantikannya.
“Kau sengaja, Erin?”
“Anda akan berada dalam masalah jika terlambat, Nona!” Wanita yang bernama Erin itu menjawab dengan tenang. Telunjuknya kemudian bergerak, memerintahkan para pelayan Wanita di belakangnya untuk maju. Sembari menelan ludah, mereka maju.
“Sophia, urus pakaian Nona. Lily, siapkan air mandi!”
Wanita itu bangkit. Mendekati jendela. “Kau menyebalkan, Erin. Aku benci cahaya!”
“Tapi, Anda tidak bisa menghindarinya, Nona.”
Wanita itu tidak menjawabnya. Menutup tirai jendela. Pencahayaan kamar kembali remang. Erin dengan santai menghidupkan lampu kamar.
“Mari, Nona. Hari ini adalah hari special Anda.”
*
*
*
SELAMAT DAN SUKSES ATAS PELANTIKAN ROXENA LAWRENCE SEBAGAI WAKIL PRESIDEN LAWRENCE GROUP.
Spanduk besar itu dipajang di dinding panggung aula Lawrence Group. Di dalam aula itu, terdapat banyak orang. Mereka berkumpul untuk menyaksikan pelantikan itu.
“Nona, apa Anda sudah hafal teksnya?”tanya Erin, sebentar lagi majikannya, atau lebih tepatnya Roxena Lawrence akan naik ke atas panggung untuk dilantik secara resmi. Akan tetapi, Roxena tidak menjawab. Ekspresinya menggambarkan kebosanan.
Tidak ada yang menarik baginya. Acara formal dengan rangkaian acara yang sungguh membuatnya muak. Belum lagi menanggapi basa basi yang terasa menyebalkan. Lebih baik bercengkrama dengan tumpukan berkas dan
juga …. Ah … Roxena sedikit menyeringai. Erin tidak menyadarinya karena sibuk melihat situasi.
“Nona Roxena Lawrence, silahkan naik ke panggung untuk serah terima jabatan.”
“Nona, sudah waktunya,” bisik Erin, menyadarkan Roxena dari kebosanan. Roxena berdiri dan melangkah tegas, sorot matanya tajam. Meskipun ia bosan, harus tetap menunjukkan wibawanya
Suasana hening. Sungguh, rasanya mencekam saat Roxena mengedarkan pandangannya.
“Selamat!”
“SELAMAT!”
Tepuk tangan langsung pecah begitu Roxena resmi dilantik.
“Wakil Presdir, silahkan menyampaikan kata sambutan.”
Erin berkeringat dingin. Wajahnya tegang. Ia harap Nonanya melakukan apa yang telah ia katakana sebelumnya. Kata sambutan telah disiapkan, Roxena hanya tinggal menghafalnya.
Nona, saya mohon….
Roxena kembali mengedarkan pandangannya. Kemudian merogoh saku kemejanya. Mengeluarkan secarik kertas. Erin membulatkan matanya. Itu adalah kertas yang berisi kata sambutan yang telah Erin siapkan. Roxena
melebarkan kertas itu. Wajahnya begitu serius. Sementara yang menyaksikan acara itu, termasuk Presdir Lawrence Group kebingungan.
“Kata-kata ini terlalu bertele-tele. Akan aku singkat saja. Jangan mengusikku dan segera kembali bekerja!”
Singkat. Roxena langsung turun dari panggung dan meninggalkan aula.
Tercengang. Erin sampai menjatuhkan rahangnya. Berantakan sudah. Lihatlah wajah-wajah yang terkejut dengan sambutan itu.
“Nona! Tunggu saya!” Tersadar. Erin langsung menyusul Nonanya.
“Hahaha … begitulah Xena. Tidak suka basa-basi.” Tuan Lawrence tertawa canggung pada dewan direksi.
“Hahaha … kami suka semangatnya.”
*
*
*
“Nona … apa yang Anda lakukan? Mengapa tidak seperti yang saya katakan?”omel Erin. Saat ini sudah tiba di ruangan Roxena.
Erin menatap punggung Roxena yang tampaknya tengah menilik ruangan kerja baru. Dan fokusnya adalah jendela dan tirai. “Dekorasi ini memuakkan.”
Roxena menunjuk beberapa barang. “ Erin, buang barang-barang tidak berguna itu!”
“Nona ….”
“Pekerjaanku banyak. Kau jangan ribut lagi. Kerjakan saja apa yang aku suruh. Dan jangan lupa ganti gorden itu. Aku benci warna putih!”
Setelah mengatakan hal itu, Roxena membuka laptop dan mulai bekerja. Erin menggeleng pelan. Mengapa ia punya Nona seperti ini? Acara pelantikan yang penting pun tidak berkesan di matanya. Dan bagaimana bisa ia
bertahan begitu lama di sisi Roxena?
Tapi, tunggu ….
“Nona, meskipun Anda membenci warna putih, Anda akan menggunakan gaun berwarna putih saat menikah nanti,” ujar Erin.
“Tidak. Aku suka warna hitam.”
“NONA?!”
“Berisik. Pergi bawakan aku wine!”
Erin menggeleng pelan. Ia sungguh tidak mengerti dengan pola pikir Nonanya ini. Tidak suka cahaya, tidak suka warna putih, mengapa suram sekali?
“Pernikahan?”
Roxena bergumam.
Seharusnya kau bisa naik menggantikanku. Akan tetapi, tidak bisa karena kau belum menikah.
“Menyebalkan! Dasar Tua Bangka Sialan!”
*
*
*
Hari telah gelap. Karyawan Lawrence Group sudah berpulangan. Hanya lampu ruangan wakil presdir yang masih menyala. Erin setia di mejanya, di mana Roxena masih sibuk pada pekerjaannya. Waktu menunjukkan pukul 21.00.
Aku sangat mengantuk.
Erin menutup matanya. Hari ini sangat melelahkan. Padahal ia kira sebelumnya akan ada pengurangan jam kerja, meskipun hanya sehari. Nyatanya, malah lembur.
Tak…
Tak…
Erin membuka matanya yang berat saat mendengar langkah kaki.
“Nona!”
Langsung bangun.
“Dua minggu lagi, atur perjalanan ke Luxemburg,” titah Roxena, seraya memberikan sebuah map pada Erin.
“Baik, Nona.” Erin menjawab dengan mengikuti langkah Roxena.
“Kita makan malam dulu,” ucap Roxena tak kala suda berada di dalam mobil.
“Baik, Nona.”
“Nona, Tuan Besar menghubungi saya tadi,” ucap Erin. Ia melirik Roxena di bangku belakang sedang ia mengemudi.
“Hal apa?”tanya Roxena seraya melepas blaszernya.
“Tuan Besar bertanya apakah ada pria yang dekat dengan Anda atau tidak, dan akhirnya Tuan Besar meminta saya menyampaikan pada Anda, agar Anda segera mencari pasangan dan menikah. Tuan Besar berkata Anda harus
memiliki pasangan saat merayakan ulang tahun beliau ke-50 di kediaman utama,” jelas Erin, kembali melirik ekspresi Roxena.
Roxena berdecak sebal. “Aku tidak akan datang, atur perjalanan di tanggal sehari sebelum tanggal itu,” ucap Roxena.
“Tapi, Nona ….”
“Kau orangku, bukan?”tanya Roxena dingin. Erin menelan ludahnya kasar.
“Tuan Besar berkata bahwa adik Anda akan kembali dari luar negeri pada saat itu,” ucap Erin. Erin bergidik, merasa atmosfer di belakangnya semakin tidak menentu.
“Dia … sudah selesai? Heh?”
“Hah!” Roxena menghela nafasnya, mengambil minum yang tersedia di mobil.
Pantas pria tua itu mendesakku untuk menikah. Ternyata dia, atau haruskah aku memanggilnya Ayah?
Roxena tersenyum sinis. “Rasa laparku hilang, langsung ke apartemen saja,” titah Roxena.
“Tapi, Nona, Anda ….”
“Apartemen!”tegas Roxena. Erin hanya bisa mengangguk pasrah.
Menikah ya?
Selang beberapa menit, Erin kembali melirik ke belakang. Roxena menutup mata, tampaknya tertidur.
Erin kemudian menepikan mobilnya dan turun menuju sebuah minimarket. Membeli beberapa barang dan segera kembali ke mobil. Roxena tampaknya benar-benar lelap.
“Meskipun rasa lapar Anda hilang, saya tidak bisa membiarkan Anda kelaparan, Nona,” gumam Erin.
“Pasien tersebut adalah putri bungsu Walikota Kota Bright. Kita tidak bisa menolaknya!”ucap seorang dokter berkacamata.
“Tapi, dokter Nathan, kita juga tidak bisa menanggung resiko. Pasien tersebut menderita penyakit jantung bawaan kronis. Sudah menjalani 3 kali operasi. Jika terjadi sesuatu pada putri bungsu walikota Bright, kita tidak bisa menanggung akibatnya,” bantah dokter lainnya.
Suasana ruang rapat tegang. Bukan hanya perbedaan pendapat namun juga kekhawatiran. Di ruangan itu terdapat 5 orang dokter. Mereka semua saling lirik dengan ekspresi diburu waktu. “Terlambat untuk menolaknya. Pasien
sudah berada di ruang rawat. Walikota Bright juga berharap besar pada kita.” Dari tag name yang tergantung di lehernya, yang berbicara tadi adalah kepala departemen.
Kepala departemen itu menghela nafas berat. “Tapi, siapa yang berani mengambil tanggung jawab itu?”tanya dokter yang membantah tadi. Kembali semuanya saling lirik. Tidak ada yang menjawab ataupun mengacungkan
tangan.
Tidak ada yang berani.
Operasi itu akan sulit dan sangat menantang. Apalagi sangat mudah untuk kambuh. Bahkan dokter yang sudah senior saja tidak berani, begitu juga dengan kepala departemen.
“Professor Gerald!”
Tiba-tiba, salah seorang dokter berseru dan berdiri. Ia menatap serius kumpulan dokter itu. “Professor Gerald pasti bisa. Beliau pernah menangani kasus yang lebih sulit dari ini dan operasinya berhasil!”ucapnya dengan terengah, seperti mendapatkan air di tengah kegersangan.
“Kita tidak bisa menolak pasien. Selagi masih harapan, kita tidak bisa menyerah tanpa perjuangan. Kita adalah dokter!!”ucapnya lagi, lantang dan terengah.
“Tapi, Professor Gerald tidak di tempat, beliau….” Yang membantah tadi kembali kontra.
“Anda benar, dokter Ardiel. Hubungi professor Gerald. Dalam dua jam kita akan melakukan operasi!!”potong kepala departemen.
“Baik, Pak!”
Dokter-dokter itu adalah dokter dari departemen bedah kardiovaskular. Departemen yang terkenal sulit karena berhubungan dengan organ di dalam dada.
*
*
*
“Aku senang akhirnya kita menikah.” Seorang pria memeluk seorang Wanita dengan penuh kelembutan. Pria itu meletakkan rahangnya di Pundak sang Wanita.
“Hanya senang saja? Aku kecewa.” Wanita merajuk.
“Tidak. Jangan salah begitu. Aku sangat-sangat senang. Hari ini adalah hari terbaik dalam hidupku.” Pria itu menjelaskan dengan penuh ketulusan.
Wanita itu membalikkan tubuhnya. Mengalungkan tangannya pada leher pria itu, yang tak lain adalah suaminya. Tatapan matanya sayu. Dibalas dengan tatapan yang sama pula oleh sang pria.
“Hari ini juga hari terbaik dalam hidupku. Terima kasih untuk 15 tahun pacaran kita, pernikahan kita, dan masa depan kita. Aku mencintaimu, Gerald!”ucap Wanita itu. Matanya memancarkan ketulusan yang dalam.
“Aku juga mencintaimu, Elisa,” balas Gerald, mencium bibir Wanita yang telah sah menjadi istrinya.
Perlahan, mereka berpindah ke ranjang. Hiasan berbentuk hati yang terbuat dari mawar merah itu berantakan seketika. Suasana kamar dingin. Namun, bagi keduanya itu sangat panas.
“Aku akan melakukannya.”
Elisa mengangguk. Ia mengigit bibirnya gugup.
Namun, sebelum Gerald melakukan apa yang ia katakan, terdengar kebisingan dari arah nakas. Ada panggilan masuk pada ponsel Gerald.
“Kau tidak menonaktifkan ponselmu, Sayang?”tanya Elisa, ia merasa kesal dan terganggu. Ini malam sakral mereka!
“Maaf-maaf. Ini kebiasaan. Abaikan saja,” jawab Gerald.
Namun, ponsel itu tidak berhenti berdering. Itu sangat mengganggu. Elisa menarik dirinya. “Lihatlah, aku rasa itu penting.”
Gerald menghembuskan nafas kesal.
“Kepala departemen,” ucap Gerald, menatap Elisa.
“Pak tua itu menganggu saja.”
“Ya, halo, Pak.”
“Ada apa, Sayang?”tanya Elisa, melihat Gerald yang mengeryit. Pasti ada masalah.
“Baik, saya akan segera ke sana!”
Mata Elisa membulat. “S-Sayang?”
“Maafkan aku, Sayang.” Gerald kembali memakai pakaiannya.
“S-Sayang? Kau akan meninggalkanku?”tanya Elisa. Tidak lucu! Ini malam pernikahan mereka. Namun, suaminya akan pergi ke rumah sakit.
“Maafkan aku, Sayang. Aku tidak bisa mengabaikan panggilan jiwa. Aku janji secepatnya akan kembali.” Gerald mencium kening Elisa sebelum pergi meninggalkan kamar.
Elisa menarik selimut menutupi dirinya. Kecewa dan sedih bercampur menjadi satu. “Aku pikir aku akan jadi prioritas. Hehe … lucu sekali. Desainer ternama ditinggal pada malam pernikahan,” gumam Elisa.
*
*
“Maafkan kami, Professor Gerald. Tapi, pasien tidak bisa menunggu lagi. Tidak ada yang berani mengambil tindakan selain Anda,” ujar kepala departemen, mengejar Langkah Gerald. Berkata dengan was-was. Ekspresi Gerald sungguh datar.
“Sudahlah, Pak.”
Gerald sudah memakai pakaian operasinya. Di depan pintu operasi, orang tua dari pasien menunggu di depan ruangan operasi.
“Anda dokter yang akan menangani putri saya?”tanya pria paru baya. Sosok yang berwibawa itu tampak begitu frustasi. Gerald mengangguk.
“Tolong selamatkan putri saya,” ucapnya penuh pinta, memegang tangan Gerald.
“Saya akan berusaha semaksimal mungkin,” jawab Gerald, menepis tangan itu kemudian masuk ke dalam ruang operasi.
“Anda jangan terlalu cemas, Pak Walikota. Professor Gerald adalah dokter terbaik di depertemen kami. Putri Anda akan baik-baik saja,” ujar kepala departemen. Walikota Bright mengangguk. Ia duduk dengan meramalkan doa. Kepala departemen masuk ke ruang operasi. Namun, tidak ikut melakukan operasi. Ia dan beberapa dokter lainnya akan melihat Gerald melakukan operasi.
Persiapan Gerald sudah selesai. Sebelum melakukan operasi, terlebih dahulu melakukan perenggangan pada pergelangan tangannya. Ia akan melakukan operasi dengan tiga dokter sebagai asisten.
Manik matanya yang berwarna biru menatap sejenak layar monitor detak jantung pasien. Pasien kali ini, masih berusia remaja.
“Mengapa para magang itu di sini?”tanya Gerald, melihat di bilik terpisah dengan dinding kaca, tempat kepala departemen dan dokter lainnya, termasuk para magang di bidang kardiovaskular ini berada.
“Operasi Anda adalah pelajaran terbaik, Professor,” jawab dokter Ardiel.
“Apa yang dilihat? Operasi ini setiap hari aku lakukan!”ucap Gerald. Dokter Ardiel hanya tersenyum di balik maskernya.
“Kita mulai! Seperti yang ku dengar, ini adalah operasi keempatnya, benar?”
“Benar, Professor,” jawab dokter Ardiel.
“Hati-hati saat membuka rongga dadanya. Aku akan mulai, pisau bedah!”
Operasi dimulai. Gerald mulai membelah rongga dada pasien. Ketiga dokter sebagai asisten sigap melakukan tugasnya. Ada yang mengambilkan alat yang dibutuhkan, ada pula yang menyedot darah yang keluar.
Semua dilakukan dengan focus dan serius.
“Professor, tekanan darah pasien menurun!”ucap dokter Ardiel. Ketiga dokter kecuali Gerald mulai panik. Ini adalah operasi yang berisiko. Kesalahan sedikit saja akibatnya akan fatal.
“Denyut nadi pasien meningkat, ada pendarahan, Professor!”
“Tetap tenang!”
“Sedot!”perintah Gerald. Dokter Ardiel melakukan tugasnya. Meskipun Gerald tampak tenang, keringat memenuhi dahinya.
Gerald sesekali melihat layar monitor. Ia focus menghentikan pendarahan.
Gerald menutup matanya sejenak. “Tekanan darah pasien mulai stabil. Organ vitalnya juga baik. Operasi berhasil, Professor,” ucap dokter Ardiel.
“Kau, jahit!”ucap Gerald pada dokter Ardiel.
Operasi sulit dan menegangkan itu sudah selesai dan sukses. Para dokter yang menonton jalannya operasi bertepuk tangan.
Gerald meninggalkan ruang operasi tugasnya sudah selesai.
“Bagus! Itu hebat, Professor!”
Gerald menatap datar para magang itu. “Kalau begitu, kalian akan ikut dalam operasi mulai besok. Pak Kepala tolong dibuat jadwalnya.”
“Jangan terlalu keras, Professor,” sahut kepala departemen.
"Hmm."
“Maafkan saya mengganggu waktu cuti Anda. Jika Anda ingin kembali, saya tidak akan melarang dan menganggu lagi.” Kepala departemen itu membungkuk. Tatapan Gerald tadi sangat mengerikan.
“Aku akan pulang setelah pasien sadar.”
Kepala departemen menelan ludah kasar. Ia tahu sudah salah mengganggu Gerald. Padahal Gerald sudah mendapatkan cuti pernikahan selama tiga hari. Jika sesudah malam pertama mungkin dapat dimaklumi. Namun, jika seperti ini?
Bersyukur Gerald adalah orang yang berdedikasi tinggi pada pekerjaannya.
“T-terima kasih, dokter.” Walikota yang menunggu resah akhirnya bisa bernafas lega.
“Mintalah apa saja. Saya akan memberikannya.” Walikota itu kembali memegang tangan Gerald.
“Tidak perlu.” Dan Gerald kembali menepisnya kemudian melangkah pergi.
Kepala departemen menyeka dahinya. “Hari ini dia sangat mengerikan.”
Erin menunjukkan wajah dingin saat melihat dua orang pria keluar dari apartemen sang Nona. “Good morning, Asisten Erin,” sapa kedua pria itu, yang satu berambut gondrong dan berkulit coklat, membuatnya tampak eksotis. Dan yang satu lagi tubuhnya lebih pendek dari pria berambut gondrong dan berkulit putih, sekilas pria itu tampak menggemaskan. Apalagi di bawah rangkulan pria berambut gondrong itu.
“Mengapa kalian di sini sepagi ini?”tanya Erin dingin. Erin tampak tidak suka dengan kedua pria itu.
“Nona meminta kami datang, kami mana bisa menolak,” jawab pria berkulit putih itu.
“Benar, Asisten Erin. Jangan berekspresi seolah kami melakukan suatu hal yang buruk, Asisten Erin. Anda terlihat lebih cantik saat tersenyum,” imbuh pria berkulit coklat, tersenyum manis pada Erin.
"Keluar sebelum aku menendang kalian keluar!”
“Astaga, menyeramkan sekali!” Kedua pria itu bergegas keluar.
Erin menghela nafas kasar. Pagi-pagi ia sudah dibuat emosi. “Asisten Erin, Anda sudah datang.” Lily dan Sophia muncul dari arah dapur. Lily membawa nampan, air minum dan juga vitamin yang ditujukan untuk Roxena.
"Sophia, kamu siapkan barang-barang Nona untuk 2 hari ke depan!”titah Erin. Sophia segera bergegas menuju walk in closet Roxena.
Erin menemukan sang Nona tengah duduk di depan kaca rias, masih menggunakan piyama tidur, ekspresinya dingin. Entah apa yang Roxena pikirkan.
“Nona,” sapa Erin sembari melangkah membuka gorden kamar. Roxena menyipitkan matanya. Sejenak, ia tampak melamun.
Meskipun ini hangat, mengapa hatiku terus mendingin?
“Nona, Anda harus segera bersiap. Penerbangan ke Luxembourg 3 jam dari sekarang,” ucap Erin, berbalik, memecah lamunan Roxena.
“Oh, baiklah.” Jawaban singkat. Setelah minum vitamin, Roxena bergegas untuk bersiap. Hari ini ia akan terbang ke Luksemburg untuk urusan bisnis selama 2 hari ke depan. Dan Erin, ia pasrah dengan mengatur perjalanan
bisnis sehari sebelum acara ulang tahun Tuan Lawrence. Kepalanya berdenyut memikirkan kekesalan Tuan Lawrence nanti.
*
*
*
Nona, kami menemukannya.
Roxena menghentikan langkahnya. Menatap lurus pesan di layar ponselnya itu. Erin sedikit memiringkan kepalanya. Sepertinya ada hal penting. “Nona, di sini terlalu ramai,” bisik Erin. Ya, mereka baru saja keluar dari pesawat.
Roxena berdehem pelan dan melanjutkan langkahnya. Bibirnya sedikit tertarik ke atas, menyeringai.
Ternyata di sini …
Setelah keluar dari bandara, Roxena dan Erin langsung menuju perusahaan mitra untuk membahas hal-hal penting dan juga menandatangi kerja sama yang telah disepakati. Dan itu berlangsung sangat lama.
“Semua berkas sudah saya rapikan, Nona. Dan untuk besok, Anda hanya ada jadwal makan siang dengan Presdir Draco, setelahnya kita kembali ke Spanyol. Anda ada jadwal penting lusa,” jelas Erin, sesaat setelah
mereka keluar dari restoran. Roxena hanya mengangguk paham. Kini mereka dalam perjalanan menuju kamar hotel. Dan restoran dan hotel ini berada dalam satu bangunan.
“Nona, harap Anda istirahat setelah tiba di kamar. Jadwal Anda sangat padat untuk ke depannya,” ujar Erin lagi, memberi peringatan.
“Kau cerewet,” ketus Roxena.
“Anda harus mendengarkan saya, Nona. Ada banyak orang yang mengincar posisi Anda, termasuk adik Anda,” ucap Erin lagi, dan tidak digubris oleh Roxena.
“Nona, Jika kita lengah, kita akan terancam, saya mohon tolong dengarkan saya, Nona. Anda juga harus segera menikah untuk mendapatkan posisi Presdir,” harap dan tegas Erin, kemudian menghela nafas, bersiap untuk
jawaban Roxena. Roxena menghentikan langkahnya, bukan hanya karena ucapan Erin namun juga karena sudah tiba di depan kamarnya.
“Apa kau lupa siapa aku, Erin?”tanya Roxena dengan menaikkan alisnya. Sesaat kemudian, Roxena mendekatkan wajahnya pada Erin, tersenyum. “Urusanku di sini bukan hanya bisnis. Hidupku bukan hanya untuk bekerja dan Lawrence Group. Dan untuk mereka, ambil saja kalau bisa. Selain itu, Lawrence Group tidak akan bisa berpindah tangan selain padaku, sekalipun mereka menginginkannya!”
Setelah mengatakannya, Roxena masuk ke dalam kamar.
“Nona, Anda mengejutkan saya,” gumam Erin seraya mengusap dahinya. Bertatapan langsung dengan mata hazel Roxena membuat jantungnya berdetak lebih kencang dan juga berkeringat dingin.
“Iya sih tidak ada yang bisa. Tapi, bukankah Anda terlalu santai pada hal tersebut? Nona … tidak, Nonaku hebat. Aku percaya padanya!”
*
*
*
Roxena, Wanita itu masih menggunakan kimono mandinya, duduk di kursi menghadap jendela kamar. Gorden yang terbuka, membuat pemandangan malam kota terhampar di depannya. Sayang, Wanita itu tidak focus pada pemandangan melainkan pada layar tablet di tangannya. Mata hazel itu focus pada layar, sementara tangan kanannya menggoyahkan gelas berisi minuman beralkohol.
Tatapannya begitu tajam.
Hah …. Hahaha
Beberapa saat kemudian terdengar tawa. Awalnya lirih namun bertambah keras beberapa detik kemudian.
HAHAHAHA
Bahkan air matanya sampai keluar. “HAHAHA …. Beraninya! Beraninya dia!”tawa Roxena diikuti dengan suara dinginnya.
“Menikah? Haha … ini lucu. Aku bahkan tidak pernah memikirkannya. Satu langkah, apakah kita seri, hahaha….”
Roxena kembali tertawa. Dan beberapa saat kemudian, ia berhenti tertawa. “Tidak, tidak, kita tidak seri. Kau menang, aku kalah dua kali darimu. Tidak, aku akan menang. Aku akan menang. Kau, aku akan membalas
semuanya!” Berkata dingin dengan menatap sebuah foto. Tatapan dingin itu … perlahan berubah menjadi sebuah tatapan yang penuh kesedihan dan kehampaan.
“Apakah ini yang terakhir? Apakah ini akhir pencarian dan penderitaan ini? Nama yang sama, negara yang sama, ya … ya, ini akan menjadi akhirnya.” Tersenyum, dan menyeringai.
Pyarrr
Krak
Terdengar suara barang yang jatuh dan pecak. Itu adalah gelas yang di tangan Roxena tadi. Pecah berhamburan setelah dibantingkan. “Kau akan jadi seperti itu!”
*
*
*
Pagi telah datang.
Saat sarapan, Erin mengingatkan Roxena untuk jadwal hari ini. Setelah makan siang dengan Presdir Draco, mereka akan langsung kembali ke Spanyol. Seperti biasa, ditanggapi acuh oleh Roxena. Wanita itu asyik menikmati sarapannya dengan senyum yang sukar Erin artikan.
Senyum itu, jarang sekali Erin lihat. Erin mengusap tengkuknya. Tampaknya ada hal menarik yang membuat Roxena senang.
“Benar, Nona. Tuan Besar kembali menghubungi saya, beliau mengundur acara ulang tahun beliau, memastikan Anda untuk datang ke pesta ulang tahun beliau. Adik Anda juga mengontak saya, mengharapkan kehadiran Anda,”
ungkap Erin.
“Sungguh?” Roxena terhenyak. “Sungguh mengharapkan kedatanganku atau ada hal yang sangat penting sampai harus mengundurnya?”
“Eh?”
Tidak seperti dugaan Erin.
“Jika begitu … aku harus datang, bukan?”tanya Roxena dengan senyum yang semakin lebar. Erin menengguk ludah kasar.
Eh?
Bukankah Roxena keras kepala tidak mau datang? Bahkan sampai berdalih dengan perjalanan bisnis.
“Tapi, Nona … pasangan Anda? Acaranya dua minggu lagi,” ucap Erin cemas.
“Erin oh Erin. Mengapa kau begitu cemas? Andai kata itu esok, aku bisa mendapatkan pasangan dalam sekali kedip,” tawa Roxena.
Dengan paras dan kedudukan Roxena, itu bukan hal mustahil. Roxena adalah single yang diincar banyak pria dari berbagai kalangan. Ia hanya kalah satu tinggal dengan keluarga Royal kerajaan.
“Nona … Anda tidak akan membawa Roti Kukus atau Roti Gosong itu, kan?”tanya Erin horror. Roxena tertawa lepas, kemudian menyentil dahu Erin.
“Berhenti berpikiran yang aneh-aneh. Ayo, temani aku ke suatu tempat,” ajak Roxena. Mereka sudah selesai sarapan. Erin gegas mengejar langkah Roxena.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!