Malam itu hujan turun dengan derasnya, Kilatan petir saling bersahutan. Derayan air mata akan Rasa takut yang menyelimuti seluruh sanu bari. Sebuah Gubuk dengan berdindingkan Bilik bambu yang rapuh dan bolong di beberapa bagian. Atap Rumah yang sudah di penuhi dengan kebocoran.
Aku Duduk di sebuah Tikar dengan kasur lantai yang sudah sangat usang dan lepek.
Jangan kan untuk tidur, untuk duduk saja aku masih terganggu oleh tetesan air hujan yang jatuh membasahi pucuk kepala ku. Ada rasa lelah dan letih. karna seharian ini aku bekerja banting tulang demi mencari makan. dan berjuang melawan keras nya kehidupan.
tinggal seorang diri di sebuah gubuk tua, membuat ku kesulitan membetulkan atap yang sudah bocor banyak.
Jangan di tanya mengapa tidak berteduh, karna hampir semua bagian rumah bocor karna tidak ada yang bisa membetulkan...
karna kedua orang yang menjadi semangat dan penopang ku telah tiada.
"Aku Lea Patmawati, Aku terlahir dari keluarga yang jauh dari kata berkecukupan, Ayah ku bekerja sebagai tukang parkir. dan ibuku bekerja sebagai penjual rempeyek yang ia ambil dari orang lain.
Jangan kan untuk melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Pertama/SMP
untuk makan. sehari hari saja kita sudah sangat kesulitan.
Aku terlahir sebagai anak tunggal, Aku tidak begitu memiliki banyak teman. karna kehidupan ku yang menyedihkan rata rata dari mereka malas berteman denganku.
Kini Usiaku genap 14 tahun, Pada Anak anak seusiaku. mereka masih memakai seragam sekolah. belajar dan bermain bersama teman teman di sebuah gedung. yang menyimpan banyak sekali ilmu untuk menyongsong masa depan.
Sesekali ada rasa sakit dan iri. jika melihat anak sebaya ku sedang asik nya berlarian di sebuah sekolah.
Namun kerasnya kehidupan membuatku harus bisa menerima semua dengan lapang dada.
Ayah yang berusia hampir setengah abad itu.sejak pagi sekali sudah pergi kesebuah minimarket dimana tempat ia mengatur beberapa kendaraan. dan menjadi tempat ladang usahanya untuk menafkahi kami berdua.
Ibu setelah bergelut dengan pekerjaan dapur. dan melepas Ayah pergi lekas pergi untuk mengambil Rempeyek dan berjualan.
Tinggal di kota besar, tidak luluh membuat semua warga mendapat kan kehidupan yang bagus, Aku setelah menyantap nasi goreng yang hanya di bumbui dengan garam dan penyedap rasa. yang bahkan nasi nya begitu kering.karna kekurangan minyak.
Aku berjalan ke pasar, tempat ku mencari rupiah. untuk membantu kehidupan kami.
Bekerja sebagai penjual plastik keliling, hanya bisa membawa uang 2 sampai 3 ribu dalam sehari.
Tapi ibu selalu bersyukur akan rejeki yang telah Allah beri pada kami, walau tak jarang kita hanya makan di pagi hari. dan minum air putih untuk makan malam kami.
kelaparan bukan lagi hal yang aneh bagi kami bertiga. beberapa kali ku lihat Ayah mengusap air mata nya jika kami tidak ada makanan sama sekali untuk mengisi perut yang keroncongan.
Namun ketangguhan ibu selalu membuat kami kuat dan kuat.
Hari itu.......
Entah kenapa jantung ku berdetak begitu cepat nya. sejak semalam aku tidak bisa tidur dan hanya ingin menatap Ayah yang tengah tertidur dengan lelap nya.
Dengan menggunakan kaos atasan oblong yang bolong di beberapa bagian. dan celana pendek yang di kasih orang beberapa tahun yang lalu.
Ayah tidur dengan lelap berselimutkan sebuah sarung yang penuh dengan tambalan.
seharian bekerja mencari rejeki pasti membuat tubuh nya yang sudah tidak muda lagi membuatnya lelah. sampai tidur begitu lelapnya.
Malam ini bintang begitu banyak di atas langit
Aku yang tidak bisa tidur karna rasa gelisah yang sedari siang melanda diriku
hanya duduk di sebuah sudut gubuk kami sambil terus menatap Ayah.
Sampai Pajar pun tiba aku masih tidak bisa tertidur.
Ayah menyeruput kopi tanpa gula yang di buatkan ibu setiap pagi.
Hari ini kami tidak sarapan. hanya bisa meminum air hangat sebagai pengganjal perut di pagi hari. dan berharap akan ada rejeki di siang hari agar kami bisa makan nasi.
"Ayah pamit dulu ya Bu, Lea Ayah pergi dulu jaga ibumu bapak titip dia ya, Ayah sayang kalian berdua" ucap Ayah seraya berjalan pergi meninggalkan gubuk kami.
Entah kenapa ada rasa berat di dada kala melihat langkah Ayah yang meninggalkan rumah. padahal setiap hari Ayah memang pergi bekerja.
Sudah hampir satu bulan ini Ayah selalu berpamitan dan menyuruhku menjaga ibu?
Ibu pun sudah bersiap untuk pergi berjualan. Aku dan ibu berpisah di sebuah persimpangan jalan. aku berjalan menuju pasar tempat ku mendapat rejeki.
Hari ini aku merasa begitu lemas. sampai harus beberapa kali duduk untuk memulihkan tenaga. Mungkin karna pagi ini aku tidak sarapan jadi badan tidak memiliki tenaga untuk berjalan mengitari pasar.
Sore itu langit begitu gelap. awan hitam mulai nampak nya sudah tidak sabar untuk membasahi bumi. lekas aku bergegas berjalan untuk pulang. hari ini aku mendapat rejeki karna membantu seorang ibu yang membawa banyak belanjaan. aku di berikan upah 15 ribu. di tambah dengan hasil berjualan plastik 2 ribu. jadi totalnya ada 17rb.
Sebelum pulang aku membeli beras satu liter. dari hasil kerjaku hari ini. aku juga membeli mie instan untuk lauk makan.
Rasa senang begitu menyelimuti hatiku saat ini. akhirnya setelah seharian menahan lapar. kami bisa makan nasi dan lauknya.
Aku berjalan setengah berlari tak sabar rasanya ingin segera berjumpa Ayah dan Ibu di rumah. Ku tatap langit sudah semakin gelap.
"Bu, ibu Lea bawa beras Bu. ayo di masak Lea sudah lapar" ucapku seraya masuk rumah.
"Alhamdulilah Nak, kamu dapat rejeki hari ini. Sini ibu masak nanti kita makan bareng Ayah ya" jawabnya seraya menyambut beras di tanganku.
Aku pun bergegas mandi untuk membersihkan tubuhku yang sudah sangat lengket karna seharian ini berjibaku di pasar.
Hujan sudah mulai turun. dan meninggalkan suara gemuruh yang mulai bersahutan. namun Ayah masih belum kunjung pulang.
Aku dan ibu yang setia menunggu nya. dan menatap sebuah baskom yang berisikan nasi yang telah matang. tak sabar rasanya ingin segera menyantap nasi di hadapanku.
"Tot,Tok,Tok .....
Suara pintu yang terbuat dari triplek pun di ketuk dari luar, namun aku mendengar ada beberapa orang di balik pintu tersebut.
.Apa Ayah membawa teman nya ke rumah?
Ibu segera membuka pintu yang hanya di kunci menggunakan sebuah kayu sebagai penyangga.
Jantung ku mulai berdetak kencang. tak sabar rasanya melihat senyum Ayah kala melihat ada nasi untuk kami makan malam ini,
Saat pintu di buka sempurna. beberapa orang lekas masuk dan membaringkan Ayah yang mereka bawa. Ada rasa sesak di dada. jantungku rasanya seperti tersambar petir di luar.
Ibu ber hambur memeluk Ayah yang terbaring tak bernyawa. darah segar masih keluar di leher nya yang banyak sekali lubang bekas benda tajam. bahkan ada luka di bagian dada ayah yang ikut mengeluarkan darah.
Wajah Ayah yang begitu ceria dan selalu menyayangiku. kini hanya terpejam dengan wajah yang sangat pucat pasi. Aku menghampiri Ayah yang memang sudah terbaring di depan ku.
Ku pegang tangan nya yang begitu dingin. ku goyangkan beberapa kali berharap ada sebuah keajaiban yang bisa membangunkan Ayah kembali..
Namun semua nya Nihil, Ayah masih tetap tidur lelap tanpa menoleh dan melihat ku.
"Yah, bangun Lea bawa Nasi untuk kita makan. malam ini kita bisa makan nasi Yah, kita gak akan kelaparan karna hanya minum air putih"
Ucapku seraya berbisik di telinga Ayah ku, berharap dia menyahut dan menyambut penuh senang karna kita bisa makan nasi.
"Yah, ayo bangun...."
beberapa kali aku berusaha membangunkan Ayah, namun Nihil dia masih tetap tidak bangun.
ku pegang Dada nya yang mengeluarkan darah,
ku lihat leher nya yang begitu banyak lupa sayatan. Sesakit apakah rasanya?
sampai Ayah tidak bisa mengatakan pada kami.
Rupanya ucapan Ayah tadi pagi adalah ucapan terakhirnya.
mengapa hidupku begitu mengenaskan. sampai di saat hari terakhir Ayah ku. dia harus pergi dalam keadaan perut yang
kosong tanpa makanan.
dan mengapa Ayah harus pergi dengan jalan seperti ini?
"Kenapa Ayah saya pak?" tanya ku pada salah satu bapak yang hendak menyusul rekannya yang sudah pulang.
"Kalian yang sabar ya!" jawabnya.
"Kenapa Ayah saya bisa begini pak? siapa yang tega melakukannya" tanyaku
"Ayah mu di tusuk oleh seorang preman. saat preman tersebut hendak memalak ayah mu, namun Ayah mu enggan memberikan semua uang nya karna ingin membeli beras, namun dengan ganasnya preman tersebut memukuli ayah mu. dan dia menusuk dada Ayah mu sampai tersungkur, tak cukup disitu. ia menghujam beberapa kali pisau ke leher Ayahmu. sampai Ayah mu meninggal di tempat" jawabnya sambil tertunduk.
"Siapa preman itu pak" tanyaku penuh sesak di dada.
"Si Jalu yang biasa ada di lampu merah" jawabnya.
preman bernama Jalu itu memang terkenal kejam dan buas, dia tak segan melukai orang yang berani melawannya.
dia beberapa kali masuk penjara. namun saat keluar dia akan semakin jahat dan merajalela. entah kenapa tidak pernah dia mendapat hukuman mati dari kepolisian. padahal beberapa kali dia melukai orang . dan bahkan sampai ada yang meninggal. dan sekarang salah satunya adalah Ayahku.
"Kenapa tidak ada yang menolong Ayah? apa preman itu sudah di bawa ke kantor polisi!" tanyaku sambil menahan tangis.
"Kamu jangan bodoh, siapa yang berani melawannya. kalau kami membantu Ayah mu. maka kami juga akan menjadi korban berikutnya. dari pada banyak korban karna amarah si Jalu. lebih baik hanya satu korban saja" jawabnya
Bapak itu pergi meninggalkan kami bertiga. ibu masih memeluk tubuh Ayah. aku berdiri tak sanggup rasanya melihat semua ini.
sebegitu di segani nya kah preman itu? sampai orang orang tak ada yang berniat menolong Ayahku?
apa karna kami orang susah. jadi nyawa kami tidak begitu penting?
Kenapa kehidupan begitu keras bagi kami?
kenapa tuhan tak adil. mengapa dia memberikan ujian melebihi batas kemampuan kami!
Aku duduk dan melihat Ayah. beberapa saat setelah kami berhambur dan meluapkan segala sesak di dada.
"Bu, ayo kita urus bapak. kasihan dia Bu" ucapku pada ibu.
karna pakaian bapak bukan hanya penuh dengan darah. melainkan basah karna terkena air hujan.
Rasa senang yang sebelumnya ku harapkan. karna kami bisa makan dan imbalan nya aku akan melihat senyum bahagia di wajah Ayah dan Ibu.
.nyatanya semua tidak sesuai yang ku harapkan.
Aku dan ibu membuka pakaian terakhir yang di kenakan Ayah. dan menjadi saksi bisu kala kekejaman itu berhasil merenggut nyawanya.
Ada rasa tak kuat, kala melihat dada Ayah bukan hanya luka. melainkan robek dan bolong. mataku benar benar melihat sesuatu yang menakutkan. darah segar yang keluar dan daging di bagian dada ayah begitu jelas terlihat.
Aku dan Ibu membungkus Ayah menggunakan sebuah kain jarik yang kami miliki, kain yang sangat sudah usang. karna kami tidak memiliki uang untuk membeli kain kafan.
Sebelum ku bungkus tubuh ayah, aku dan ibu memandikan nya terlebih dahulu, dan ku balut beberapa Luka di tubuhnya. untuk menutup darah terus keluar.
Sepanjang malam aku dan ibu duduk di hadapan Ayah.
sampai pagi pun menampakan dirinya......
Jam menunjukan pukul tujuh pagi, namun belum ada satu wargapun yang melayat atau ber bela sungkawa.
Aku dan ibu saling tatap. melihat kondisi jenazah Ayah yang sangat memprihatinkan.
Apakah mereka memang tidak berniat datang. walau sekedar membantu mengurus pemakaman Ayah ku?
Se'perih inikah rasanya menjadi orang susah? sampai saat kematian melanda pun orang orang enggan membantu?
Karna hari semakin siang, dan masih tidak ada satupun warga yang datang. aku memutuskan untuk memakamkan Ayah di belakang rumah. karna tidak memungkinkan untuk mengebumikan Ayah di pemakaman umum,
Jika mereka mendadak tuli setelah mengetahui kematian Ayah, apa mereka akan mudah mengijinkan Ayah di kebumikan di pemakaman umum yang memiliki biaya sewa yang tidak sedikit.
Dengan hati yang terasa di cambuk, aku terus menggali pekarangan belakang rumah. yang ada beberapa tanaman singkong yang sengaja di tanam Ayah.
Aku terus menggali menggunakan cangkul milik Ayah yang sudah mulai tumpul.
keringat membasahi tubuh, rasa sakit karna kepergian Ayah, kebencian pada pembunuh Ayah, dan kecewa pada warga yang seolah mendadak tuli dan buta. semua rasa bercampur jadi satu.
Tak terasa liang lahat untuk Ayah pun telah siap. dengan pakaian yang penuh dengan tanah basah, karna semalaman hujan turun. membuat tanah yang ku gali begitu lengket.
"Bu...." ucapku kala ibu masih setia memeluk tubuh Ayah yang sudah tidak bernyawa.
"Bu, Sudah ayo kita makamkan Ayah, kasihan jika terus menunda nya" ucapku berusaha tabah. walau sejujurnya hati ku sakit. sakit sekali.
Ku hampiri Ibu dan jenazah Ayah. yang hanya terbungkus sebuah kain usang.
Ku lihat ke arah pintu depan. masih tidak ada orang yang datang.
"Ayo Bu.." Ucapku mengajak ibu membawa Ayah.
Aku mengangkat bagian kaki Ayah, dan ibu mengangkat bagian kepala Ayah, tubuh Ayah yang memang sangat kurus membuat kami tidak kerepotan Kala menggotong tubuhnya.
Bagaimana tidak kurus, jika kami jarang sekali makan nasi.
Jikapun ada keberuntungan. pagi kita bisa makan nasi, dan malam hanya minum air putih untuk mengganjal perut.
Tubuh Ayah pun sudah berada di dalam Liang lahat, ibu menangis terisak.
sejujurnya aku pun ingin sekali berteriak. tak tega rasanya melihat kondisi Ayah, dia di masukan ke dalam sebuah Liang yang sangat sempit, gelap dan pengap.
Ku lihat ibu menangis tersedu sambil terus memegang Ayah dengan duduk di antara tumpukan tanah.
Tak terasa Air mataku pun mengalir.
Tak kuasa aku melihat semua kekejaman ini.
apakah nyawa dan kematian orang susah seperti kami sangat tidak penting?
Jika Uang memang yang mengukur segalanya? lantas mengapa Tuhan tidak mau memberi kami sedikit rejeki untuk bisa di lihat oleh sebagian orang disini?
Aku pun membujuk ibu. dan mengubur Ayah secara perlahan. Kami membacakan doa terakhir untuk Ayah..
Ibu masih setia duduk di samping makam Ayah. Ku tahu Ibu pasti lebih terpukul dari pada aku?
Ibu telah melalui hidup bersama Ayah bahkan sampai Maut yang memisahkan mereka berdua. tak pernah ku dengar pertengkaran di antara mereka. mereka selalu bisa menguatkan satu sama lain.
jika Ayah mulai rapuh. ibu akan memberikan sebuah senyuman dan semangat untuk hari esok. dan jika ibu mulai rapuh. ayah akan memberikan pundak nya untuk tempat ibu bersandar.
Kisah cinta di antara keduanya. membuat kami masih bisa bertahan dari kelaparan yang melanda.
Aku telah berganti pakaian. ku rapihkan dan ku bersihkan karpet yang terdapat noda darah Ayah, .
"Bu... " ucapku menghampiri ibu, yang masih duduk dan memeluk sebuah kayu sebesar pergelangan tangan sebagai pengganti batu nisan.
"Bu, sudah ayo kita masuk. ibu belum makan dari semalam? ibu makan dulu ya walau sedikit jangan tangisi Ayah terus Bu, kasihan biarkan Ayah tenang" ucapku memegang pundak ibu.
"Kamu makan duluan saja Nak, ibu masih mau disini. ibu masih mau menemani Ayah," jawab ibu sambil terus memeluk kayu.
"Lea tahu ibu sangat bersedih. Lea pun sama Ayah adalah penopang bagi kita berdua. Ayah adalah kekuatan untuk kita. tapi jika kita terus begini? apa Ayah akan bahagia di alam sana? Sekarang Ayah sudah tidak kelaparan lagi Bu, dan tidak lagi cape karna harus bekerja seharian sambil menahan perut yang kosong" ucapku berusaha meyakinkan.
Ibu melihat ke arahku sejenak. dan dia kembali memeluk nisan Ayah.
"Nak, kamu makan duluan nanti ibu menyusul. ibu masih betah disini" jawab nya
Aku pun tak bisa terlalu memaksakan ibu. Ku tahu saat ini dia tengah hancur. aku harus menguatkan ibu dan tetap berusaha tegar. agar kesedihan ibu tidak semakin bertambah.
************
Tak terasa Ayah telah meninggalkan ku dan ibu selama Tujuh hari.
Ibu masih bersedih. dia tidak banyak bicara bahkan sering kali ku dapati ibu duduk dan memeluk nisan Ayah.
Malam itu....
Langit begitu gelap. pertanda ia akan membasahi bumi dengan Air yang ia tampung.
Aku yang baru pulang dari pasar karna bekerja ekstra..
Ya, semenjak meninggalnya Ayah, ibu tidak lagi berjualan malah dia sama sekali tidak keluar rumah. dia lebih sering berada di makan Ayah..
Saat itu aku masih memaklumi. karna ibu pasti sangat bersedih. dan aku harus bekerja keras untuk menutupi kebutuhan kami berdua. jika hanya mengandalkan berjualan plastik tentulah tidak cukup.
aku pun memutuskan untuk menjadi kuli angkat barang di pasar.
pelanggan ku adalah para ibu ibu yang belanjaan nya banyak. dan dalam sehari aku bisa membawa uang 10 sampai 20 ribu dalam sehari.
karna aku memang tidak menargetkan biaya. biarlah mereka yang memberikan upah sesuai dengan keikhlasan mereka.
Malam itu tak ku dapati ibu berada di rumah. ku cari cari sampai ke dapur namun tidak ku temukan. kemana ibu pergi dalam keadaan gerimis begini?
Hingga mataku tertuju pada pintu belakang terbuka. lekas ku langkahkan kaki berjalan ke arah belakang.
dan ku dapati ibu tengah duduk di samping makam Ayah sambil berusaha menutup kuburan Ayah dengan sebuah kain yang biasa di pakai ayah tidur.
Ya Allah, cobaan apalagi ini? aku tidak bisa merasakan kesakitan yang di rasakan oleh ibuku? sesakit apa sebenarnya ibu.
"Bu..." ucapku kala telah berdiri di samping nya.
"Iya Nak," jawabnya tanpa menoleh yang terus berusaha menutup gundukan tanah yang mengubur Ayah. karna angin berulang kali meniup kain yang di pasangkan Ibu.
"Ibu sedang apa?" tanyaku karna tak tahu apa yang ibu lakukan.
"Nak, sini bantu ibu sebentar lagi hujan deras. kasihan Ayah pasti kedinginan. Ayo bantu ibu untuk menyelimuti Ayah mu nak" jawab ibu. yang seketika menjadi cambuk untuk diriku.
Tanpa membantah perintah ibu. aku membantu memasangkan sebuah kain yang biasa di pakai Ayah saat tidur. ku tancapkan tiap sisinya menggunakan ranting kayu.
Kain ini masih tercium aroma Ayah. tak terasa Air mataku mengalir. untung nya malam ini tengah mendung. jadi ibu pasti tidak akan melihat air mataku.
"Bu, Ayah sudah kita selimuti. sekarang kita masuk yu. ibu juga harus ganti pakaian karna sudah basah terkena air hujan." ucapku seraya mengajak ibu masuk.
Awalnya ibu masih menolak. dia khawatir jika kain yang menutupi makam ayah terbang karna angin memang lumayan kencang.
Setelah ibu dan aku selesai berganti pakaian. Aku membawa nasi pagi yang sebelumnya ku hangatkan.
"Bu, ibu makan dulu ya. Lea suapi. Lea ada bawa gorengan kesukaan ibu" ucapku sambil menyendok nasi ke piring.
"Kamu juga makan Nak, biar ibu makan sendiri saja" jawabnya seraya mengambil nasi dan melahapnya.
(Ya Allah, jika memang tidak ada sedikit celah bagi kami untuk merasakan Nikmatnya dunia. maka tolonglah berikan kami sebuah kekuatan untuk menerima semua pahitnya kehidupan..)
Tak kuasa aku melihat kondisi ibu sekarang, dia semakin kurus semenjak di tinggal Ayah.
Ia lebih banyak menghabiskan waktu di makam Ayah...
Hari demi Hari ibu terus menutup diri hingga jatuh sakit,
"Bu, Lea kerja dulu. ibu gak apa apa Lea tinggal di rumah sendiri?" tanyaku pada wanita yang telah melahirkan ku.
Sejujurnya aku tak tega jika harus pergi meninggalkan ibu dalam kondisi sakit, terlebih perubahan ibu sangat drastis.
semenjak kepergian Ayah. ibu menutup diri dari dunia luar. dia hanya di rumah seharian. dan lebih banyak menghabiskan waktu di makam Ayah.
"Iya gak apa apa Nak" jawabnya lemas.
"Lea pamit ya Bu, nanti siang Lea usahakan pulang" ucapku sambil mengusap pucuk kepala ibu.
Tak tega sekali aku melihat tubuh ibu semakin kurus,
Ku langkahkan kaki menuju pasar, tempatku mencari rupiah. Aku segera berkeliling pasar. siapa tahu ada yang sedang membutuhkan bantuan ku.
Sekitar satu jam berkeliling ada seorang ibu ibu yang tengah kerepotan membawa belanjaan nya.
Aku pun membantunya dan mengantarnya ke angkutan umum.
"Berapa upah nya dek?" tanya ibu tersebut setelah sampai dan hendak menaiki angkot.
"Seikhlasnya saja Bu" jawabku.
"Ini, makasih ya" ucap ibu tersebut.
Ibu tersebut memberikan uang 3rb, baiklah ini baru formula'an. aku masih punya banyak waktu jika sampai siang, Aku pun terus mengelilingi pasar, hingga cahaya matahari berhasil menembus kepala ku,
Ku lihat ke atas langit, rupanya hari sudah siang, uang yang ku dapat baru 15rb.
Aku pun memutuskan untuk pulang. karna pikiran ku terganggu akan ibu yang tengah sakit.
sebelum pulang, aku mampir membeli beras satu liter, telur dan obat untuk ibu.
sisa uang ku hanya tinggal seribu rupiah,
Ada rasa senang, karna aku bisa membeli beras untuk makan. walau se liter dalam 2 hari, tak apa yang terpenting kami bisa merasakan makan nasi baru,
Dalam perjalanan pulang, aku melihat si Jalu!
Dia tengah duduk bersantai sambil meminum sebuah kopi di pinggir jalan. ku lihat sekeliling rupanya dia tengah mengawasi anak anak yang dia pekerjakan untuk memenuhi isi kantong dan perut nya.
dasar manusia durjana! dada ku terasa bergemuruh hebat, luka di hati setelah mengetahui dia lah pelaku pembunuh Ayah ku, ingin rasanya ku balaskan detik ini juga.
tak terasa Kaki ku melangkah menghampiri lelaki dengan tato memenuhi seluruh tubuh dan wajah nya. dengan hiasan berbentuk tengkorak di telinga dan kalung nya. dan pakaian yang seperti berandalan. membuat ku semakin jijik melihat lelaki itu.
"Jalu!" ucapku tepat di samping nya.
Tangan ku telah mengepal sempurna. nafas ku semakin berat. ingin rasanya aku mencabik cabik lelaki di hadapan ku ini.
Dia menatapku lekat, ingin rasanya ku congkel kedua matanya itu,
"Siapa lu!" jawabnya dengan suara keras.
ku tampar dia, dengan di iringi nafas yang terus tersengal. dan mata yang tak lepas menatap nya.
"Berani Lu, cari mati lu!" ucapnya sambil marah.
Aku terus menatapnya kesal, namun tiba tiba dia mengeluarkan sebuah pisau, Aku yang tak menyangka sebelumnya takut luar biasa, aku pun berlari sekuat tenaga, namun rupanya lelaki itu masih terus mengejarku.
Aku semakin takut, jika lelaki itu membunuhku sekarang, bagaimana dengan nasib ibu?
aku terus berlari sambil berteriak minta tolong, namun sial nya tidak ada satu orang pun yang bersedia membantuku.
Hingga kaki ku malah tersandung sebuah batu di pinggir jalan, kali ini lutut ku sakit sekali, sedangkan lelaki itu berjalan ke arahku, dia masih memegang sebuah pisau di tangannya. dan menatapku dengan tatapan yang menakutkan,
"Tolong, Tolong..."
Teriakku di pinggir jalan, Namun entah mengapa orang orang di sekitar sini seolah Tuli dan buta. mana mungkin Meraka tak mendengar dan melihat ku yang hendak di tikam lelaki biadab ini...
"Teriak sesuka lu, gak bakal ada yang nolongin elu!" ucapnya saat tengah berdiri di hadapanku.
Tanpa di duga, dia memukul wajah ku beberapa kali, tendangan demi tendangan yang dia layangkan di perut dan dada ku membuatku semakin tak berdaya.
Sekujur tubuh ku rasanya sakit dan lemas.
saat ku lihat dia hendak melukai ku dengan pisau nya. tiba tiba sebuah peluit terdengar,. membuat lelaki yang memiliki nama Jalu itu berlari kencang meninggalkan ku.
Aku mencari telak suara tersebut, rupanya itu seorang polisi. kini dia sudah berdiri di hadapan ku.
"Cepat bangun dan pergilah" ucapnya .
Ya, aku tahu dia telah menolongku dari kematian, namun percayalah dia pasti jijik melihat orang susah sepertiku.
sampai dalam keadaan terbaring dengan beberapa luka pun dia tak berusaha membantuku untuk bangun.
Lekas ku ambil plastik berisikan belanjaan ku tadi, beras ku berserakan di jalanan. dan telur satu biji yang ku beli untuk ibu sudah pecah.
Tak terasa air mataku menetes. aku pun memunguti beras yang masih bisa ku ambil. dan lekas bangkit dengan sekuat tenaga,
"Terima kasih," ucapku pada polisi yang berada di belakang ku.
sepanjang perjalanan tak ada satu manusia pun yang menolong atau sekedar bertanya kenapa aku sampai berdarah darah,. mereka seperti menutup mata mereka.
Lihat lah Tuhan, Entah dari apa engkau menciptakan aku dan kedua orang tuaku? sampai kami nampak menjijikan di mata mereka!
Jangan kan terlihat mulia di hadapanmu, di mata makhluk ciptaan mu saja kami sangat buruk!..
Ucapku dalam hati, air mata terus menetes sepanjang jalan. bukan hanya rasa sakit di beberapa bagian tubuhku. namun sakit saat melihat sebuah kenyataan bahwa masyarakat disini seperti tak pernah menganggap kami ada!
"Bu, Lea pulang" ucapku kala memasuki gubug yang jauh dari kata layak.
lagi lagi, tak ku temui ibu berada di tempat tidur, Lekas aku berjalan ke pintu belakang. dan benar saja ibu tengah duduk di samping makam Ayah,
"Bu, ibu sedang apa? ibu kan harusnya istirahat biar cepat sembuh" ucapku pada ibu.
"Ibu lagi mencabuti rumput di makam Ayah mu, takutnya dia terganggu" jawabnya.
"Ya sudah, sekarang ibu masuk ya" ucapku
"Kamu kenapa Nak? kok luka luka begini?" jawab ibu setelah berdiri dan menghadap ke arah ku.
"Ah, tidak apa apa Bu, tadi Lea jatuh pas lagi jalan, terus wajah Lea kena trotoar jalan, jadi gini" ucapku berbohong, tidak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya pada ibu, apalagi bahwa tadi aku hampir saja di bunuh lelaki setan itu.
Kami pun berjalan masuk, lekas aku memberi makan ibu, walau dengan nasi putih Saja. karna telur yang ku beli tadi pecah saat terjatuh.
Dasar bodoh, kenapa aku sampai tidak bisa berhati hati dan menahan diri, kalau aku tidak se ceroboh tadi pasti ibu bisa makan dengan lauk nya,
"Maaf ya Bu, ibu cuma makan dengan nasi saja, tadi telur yang Lea beli pecah saat Lea jatuh" ucapku tak enak hati
"Tidak apa Nak," jawab ibu.
Ibu banyak sekali berubah, tak banyak bicara walau dengan ku.
tidak seperti dulu. dia selalu menjadi penyemangat bagi ku dan Ayah. walau kami jarang sekali bisa makan nasi tapi kami selalu bisa melaluinya dengan kekuatan yang selalu ibu berikan pada ku dan Ayah,
Sekarang tidak ku temukan sosok ibu yang dulu, dia tidak banyak bicara. lebih sering menghabiskan waktu di makam ayah.
tidak pernah keluar rumah. dan selalu menutup diri.
Entah kenapa? aku merindukan sosok ibu yang dulu,
Ayah, rupanya kepergian Ayah bukan hanya meninggalkan luka dan dendam dalam diriku.
tapi Ayah juga membawa sebagian dari ibu,
sampai kini ibu sangat berubah. tidak seperti yang aku kenal dan lihat dulu....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!