Hujan turun begitu deras, mengguyur kota kecil di wilayah Jawa Tengah,
Sasa, gadis cantik yang masih duduk di kelas dua SMA itu tampak berlari sekuat tenaga dari sekolahnya menuju ke rumah sakit yang jaraknya cukup jauh,
Ia berlari seperti orang kesetanan, begitu mendengar kabar tentang Bundanya yang baru saja kecelakaan dan kini sudah berada di Rumah Sakit,
"Bunda... Bunda... jangan kenapa-kenapa... Sasa mohon, Sasa mohon..."
Gadis bernama Sasa itu berlari sembari menangis di tengah guyuran hujan yang membasahi seluruh tubuhnya,
Ia tak sempat berpikir meminta tolong diantar orang, tak sempat berpikir untuk menunggu angkutan,
Sasa hanya ingin cepat bertemu Bundanya...
Ya Bunda, yang pagi tadi sebelum Sasa berangkat sempat Sasa marahi hanya karena Bunda masak nasi goreng terlalu asin dan kesiangan sampai Sasa nyaris telat berangkat ke sekolah,
Bunda yang kemarin malam juga Sasa omeli karena Bunda meminta Sasa jangan pulang larut karena Sasa adalah anak gadis,
Bunda yang selalu Sasa anggap kolot, Bunda yang selalu Sasa anggap ketinggalan jaman dibandingkan Ibu-ibu lain, Bunda yang Sasa anggap selalu saja cerewet dan terlalu mengatur bahkan saat Sasa memiliki teman,
Sasa terus berlari, hingga seluruh seragamnya basah,
Sekitar hampir dua puluh menit berlari, Sasa akhirnya sampai di pelataran depan rumah sakit terbesar di kota kecil di mana Sasa tinggal,
Sasa mempercepat larinya dan begitu sampai di depan pintu masuk, seorang satpam tampak menghentikan Sasa,
"Nona, mau ke mana?"
Sasa menatap dengan kesal satpam muda yang kini berdiri di depannya,
"Minggir! Aku ingin bertemu Bunda!"
Teriak Sasa sembari mendorong satpam yang berdiri di depannya itu,
Satpam yang di seragamnya tertulis nama "Amar" itupun tampak tak bergeming dari tempatnya, meski Sasa berusaha mendorong, tubuh tinggi tegapnya tentu tak mudah bagi Sasa yang berbadan mungil mampu menyingkirkannya,
"Nona, seluruh tubuhmu basah kuyup, kamu tidak boleh masuk,"
Kata si satpam,
Sasa memukul dada si satpam dengan sangat kesal, baginya satu detik, dua detik, tiga detik yang berlalu saat ini tentu sangat berarti,
Bagaimana jika ternyata Bundanya tidak bisa selamat, sementara ia sendiri tertahan di depan rumah sakit,
Ah' tidak! Tidak!
Sasa ingin Bunda tidak kenapa-kenapa, Sasa ingin Bunda akan selamat dan bisa pulang bersamanya,
Sasa pun menangis memohon agar diijinkan masuk, ia harus bisa bertemu bundanya, ia harus melihat Bundanya,
Hingga kemudian tampak seorang laki-laki berkumis keluar dari dalam rumah sakit, ia tengah berusaha menelfon, saat kemudian ia melihat Sasa yang tengah menangis di depan satpam, si laki-laki itupun menghampiri Sasa,
"Sasa..."
Panggil laki-laki itu,
Melihat laki-laki berkumis yang memanggilnya mendekat, Sasa pun langsung menghambur ke arahnya,
"Ayah... Ayah... Bunda... Mana Bunda Yaaah... Mana Bunda..."
Sasa terus menangis, jelas sekali ada banyak ketakutan yang ada pada dirinya,
Takut akan kehilangan, takut akan menyesal,
Laki-laki berkumis yang tak lain adalah Ayah Sasa itu tampak matanya berkaca-kaca, ia tak mampu menyembunyikan kesedihan,
Yang ia lakukan kemudian hanyalah meraih Sasa dalam pelukannya, dan menepuk-nepuk lembut punggung anaknya itu,
"Sabar, kita harus sabar, Tuhan lebih menyayangi Bunda, kita harus yakin dan percaya jika tempat paling membahagiakan adalah di sisi Nya,"
Ujar Ayah, mengisyaratkan satu jawaban atas pertanyaan Sasa, jika Bunda telah tiada.
...****************...
Suara sirine ambulance terdengar begitu menyayat hati, Sasa yang berada di dalam mobil bersama sang Ayah tampak masih terus menangis sembari menatap ambulance yang membawa jenazah sang Bunda,
Usia, sungguh sesuatu yang begitu penuh misteri, benar-benar tak pernah terbayangkan jika Bunda akan pergi secepat ini, bahkan tadi pagi saja ia masih memasak nasi goreng untuk Sasa,
"Sudah Sasa, jangan terus menangis, Bunda akan sedih jika melihatmu menangisinya seperti itu,"
Kata Ayah,
Tapi manalah Ayah tahu apa yang dirasakan Sasa saat ini, yang mana bukan hanya ia sedih Bunda meninggalkan dunia tiba-tiba, tapi juga Sasa menyesal karena pagi tadi ia baru saja marah-marah pada Bunda dan ia sama sekali tak memiliki kesempatan untuk minta maaf,
Sasa sesenggukan dengan air mata yang terus saja bercucuran,
Hingga kemudian mobil Ayah Sasa dan juga ambulance yang membawa jenazah Bunda akhirnya sampai di depan rumah mereka,
Tampak di rumah sudah dipenuhi tetangga yang melayat, dan juga keluarga Ayah dan Bunda yang membantu Ayah mempersiapkan rumah untuk para pelayat dan juga untuk kedatangan jenazah Bunda,
Beberapa perempuan tampak berjalan mendekat ke arah mobil yang ada Ayah dan Sasa,
Sedangkan para laki-laki kebanyakan adalah ke arah ambulance,
Ayah turun dari mobil dengan raut wajah sedih, tampak ia berjalan menuju ambulance yang ada di belakang mobilnya,
Bersama para saudara laki-lakinya dan juga saudara laki-laki iparnya, pun juga tetangga, Ayah menerima jenazah Bunda yang diserahkan oleh pengantar jenazah dari pihak Rumah Sakit,
Sasa sendiri begitu turun dari mobil tampak langsung disambut para perempuan yang tak lain adalah saudara dari Ayahnya,
Sasa wajahnya begitu pucat, dan begitu ia baru saja tiga langkah menjauh dari mobil, tiba-tiba Sasa tampak terhuyung hingga beberapa perempuan yang merupakan Bibiknya cepat meraih tubuh Sasa agar tak sampai jatuh ke tanah,
Sasa ambruk tak sadarkan diri karena saking sedihnya, jelas ia begitu terpukul dengan kepergian Bunda nya yang begitu mendadak,
Semua pun jadi menangis melihat Sasa sampai pingsan karena kehilangan sang Bunda,
Sasa digotong ke dalam rumah dan langsung menuju kamar, sementara Ayah yang dibantu saudara serta tetangga, membawa jenazah Bunda juga ke dalam rumah lalu dibaringkan di ruang tamu yang telah dikosongkan,
Aroma khas bunga-bunga orang meninggal dan juga daun pandan tercium memenuhi ruangan rumah, Ayah terduduk lemas di samping jenazah Bunda,
Perempuan ayu yang begitu pendiam selama menemaninya selama ini kini telah memejamkan matanya untuk selama-lamanya,
Ayah menatapnya dengan segenap perasaan yang bercampur aduk, seolah ingin memintanya kembali namun ia tahu jika orang baik akan lebih bahagia berada di sisi pencipta Nya,
Ayah menangis tersedu, yang kemudian saudaranya terlihat mencoba membuatnya tenang,
"Sabarlah Bang... Sabarlah..."
Begitu suara yang bisa terdengar oleh Ayah,
Sebagaimana juga yang Sasa dengar dari Bibik-bibiknya, pun juga Ibu tetangga yang membantunya siuman,
"Sabar sayang, sabar dan ikhlaskan Bunda pergi, mungkin syurga sudah merindukannya, kamu harus ikhlas karena Bunda pasti lebih bahagia di sana,"
Begitu kata Bibik, yang kemudian membuat Sasa malah semakin menangis pilu, karena merasa jika kalimat itu diteruskan maka akan ditambahi sebuah kalimat lain,
Daripada Bunda tetap hidup di dunia dan hanya mengurus anak seperti mu yang manja dan menyebalkan, yang berani melawan Bunda dan malah sering membenci Bunda.
Sasa pun terisak lirih,
"Bunda... Bunda... Sasa ingin minta maaf,"
...****************...
Jenazah Bunda dimakamkan sore hari itu juga, karena terlalu bersedih, Sasa pun akhirnya tak sanggup ikut mengantar ke tempat peristirahatan Bunda yang terakhir,
Sasa ditinggal keluarganya yang semuanya pergi ke pemakaman, ditemani hanya oleh satu Bibik yang sedang berhalangan datang bulan, Sasa tetap di rumah dan berbaring di kamarnya,
"Sasa, makan dulu Sa, nanti kamu malah sakit,"
Kata Bibik pada Sasa,
Bibik Tuti, adik bungsu Ayahnya yang hanya selisih dua tahun saja di atas Sasa itu tampak berdiri di dekat pintu masuk kamar Sasa sambil memandangi keponakannya yang masih saja menangis,
Karena Sasa sama sekali tak menyahut, Bibik Tuti pun akhirnya memilih pergi dari sana dan menuju ruang makan saja untuk makan sendirian,
Suasana rumah begitu sepi, aroma bunga orang meninggal dan juga daun pandan masih tercium memenuhi ruangan,
Bibik Tuti duduk di ruang makan sendirian, perutnya sungguh lapar karena saat pertama diberitahu kakak iparnya meninggal, ia langsung tancap gas dari kampus menuju rumah kakaknya ini untuk membantu menyiapkan banyak hal dengan saudara yang lain,
Bibik Tuti baru akan menyendok nasi, saat tiba-tiba...
Krieeeet...
Terdengar sayup-sayup suara seperti pintu terbuka, suaranya seperti dari lantai atas rumah kakaknya,
Sejenak Bibik Tuti terdiam, ia tak berani bergerak untuk beberapa saat,
Hingga kemudian...
Tuk... tuk... tuk...
Kali ini yang terdengar seperti suara langkah kaki di lantai atas,
Langkah kaki yang entah milik siapa karena seingat Bibik Tuti semua orang yang ada di sana tengah pergi ke pemakaman kakak iparnya, dan hanya dirinya serta sang keponakan saja yang tinggal di rumah,
Tapi...
Tuk... tuk... tuk...
Kembali terdengar suara langkah kaki di lantai atas yang kali ini tepat di atasnya Bibik Tuti,
Sambil gemetaran karena takut, Bibik Tuti pun meletakan sendok nasi dan kemudian pergi dari ruangan makan rumah kakaknya itu,
Dengan langkah cepat, Bibik Tuti tampak menuju kamar Sasa yang di mana kini di sana tak ada suara,"
"Saaa... saa..Sasaaa... Kamu di mana sih?"
Bibik Tuti pun seketika jadi kalang kabut mencari Sasa yang tadi sedang meringkuk sendirian di kamar namun kini tiba-tiba saja sudah tidak ada,
Tuk... tuk... tuk...
Suara langkah kaki di lantai atas kembali terdengar, membuat Bibik Tuti pun makin gemetaran karena bertambah takut,
Ya tentu saja, bagaimana ia tidak takut, karena ternyata ia sendirian di rumah kakaknya itu,
Bibik Tuti pun bersiap angkat kaki melarikan diri dari rumah itu, saat kemudian ia berbalik dan...
"Aww!!"
"Aduh,"
Bibik Tuti melompat saking kagetnya, pun juga sosok yang ia tabrak tanpa sengaja saat akan melarikan diri,
"Kenapa sih Bik?"
Sosok yang bukan lain adalah Sasa itu pun mengusap-usap keningnya yang sakit karena bertabrakan dengan sang Bibik,
"Haiiis, kamu dari mana? Aku cari-cari juga!"
Omel Bibik Tuti akhirnya,
Sasa menatap Bibiknya heran,
Kenapa dia? Bukannya tadi dia sendiri yang menarik Sasa keluar? Bukannya dia yang memaksa Sasa keluar?
"Apa? Kenapa? Kenapa kamu menatap aku begitu?"
Bibik Tuti mengomel lagi,
Sasa yang matanya sembab dan masih agak pedas karena terlalu banyak menangis terus memandangi Bibiknya, lalu...
"Harusnya aku yang tanya Bibik kenapa? Aku tadi dibangunkan sampai ditarik-tarik, begitu sampai di depan, Bibik malah pergi tidak balik-balik, tahu-tahu sudah di sini dan malah menabrak aku,"
Kata Sasa,
Mendengarnya Bibik Tuti pun membulatkan matanya,
"Apa kamu bilang? Aku membangunkanmu sampai menarik-narik kamu?"
Sasa mengangguk mengiyakan,
Bibik Tuti pun menggelengkan kepalanya seolah tak mau percaya,
"Tidak mungkin, itu tidak mungkin, aku tadi baru akan makan, aku membangunkanmu tapi hanya dari ambang pintu, sama sekali tidak menarikmu keluar dari kamar."
Kata Bibik Tuti.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!