MAROKO - PAGI HARI
Humaira Azkayra Azzahra seorang gadis cantik berusia 25 tahun. Dia baru saja menyelesaikan S1 nya di Australia dalam bidang kedokteran. Humaira adalah putri satu-satunya dari Walid R yang merupakan pelatih sepak bola timnas Maroko. Humaira menjadi dokter tim sepakbola yang dipegang ayahnya sendiri. Tidak heran jika sebagian tempat di dunia ini sudah dia kunjungi. Kemanapun timnya bertanding, Humaira selalu ikut serta sebagai dokter pribadi timnas ayahnya. Pagi itu, Humaira sedang sarapan bersama ayahnya.
"Bagaimana dengan pekerjaanmu sayang?" tanya sang ayah.
"Sangat baik, ayah."
Walid memberitahu putrinya jika piala dunia Qatar akan diadakan satu Minggu lagi. Humaira terlihat bahagia mendengarnya. Sudah tiga bulan belakangan ini dia berada di rumah dan sibuk dengan pekerjaannya. Tapi sekarang, dia akan terbang ke Qatar untuk menyaksikan pertandingan sepakbola terbesar sepanjang masa. Terlepas dari hal itu, Humaira sangat senang akhirnya dia bisa bertemu kembali dengan kekasihnya Hakim Ziyach, yang tidak lain adalah pemain dari timnas Maroko sendiri.
"Kenapa kau terlihat sangat bahagia?" tanya sang ayah. "Apa karena kau akan bertemu dengan Hakim?"
"Tepat sekali! Aku sangat merindukannya, ayah. Kau tahu kami terakhir bertemu di bandara saat aku akan terbang ke Australia untuk melanjutkan pendidikanku," ucap Humaira.
Walid sangat memahami perasaan putrinya itu. Baginya, Hakim adalah pria yang baik sekaligus pemain sepakbola yang sangat profesional dalam timnya. Dia seakan membawa energi bagi pemain lainnya. Walid yakin jika putrinya itu sudah tepat memilih Hakim sebagai kekasihnya. Setelah sarapan, Humaira pergi ke rumah sakit tempat dia bekerja. Menjadi putri dari seorang pelatih tidak membuat Humaira sombong. Sikapnya yang lemah lembut juga penuh pengertian membuat orang-orang yang ada didekatnya merasa nyaman. Humaira pergi dengan menggunakan taksi walaupun dia memiliki sopir untuk mengantarnya. Dia merasa jika hidup itu harus melihat ke bawah, bukan ke atas. Humaira selalu ingin merasakan setiap apa yang dirasakan orang yang ada dibawahnya. Apa yang dia punya saat ini bisa saja beralih pada orang lain saat dia tidak bisa mensyukurinya. Saat turun dari taksi, Humaira melihat seorang nenek tua yang kelelahan karena membawa barang belanjaan yang cukup banyak. Melihat hal itu, Humaira pergi untuk membantu si nenek membawa barang belanjaannya.
"Izinkan aku untuk membantumu, nek!" pinta Humaira.
"Terimakasih banyak, nak."
"Jika aku boleh tahu, dimana rumah nenek?" tanya Humaira.
"Rumahku di belakang rumah sakit itu!" jawab si nenek.
"Baiklah, kalau begitu nenek jalan saja lebih dulu biar semua barang ini aku yang bawakan," ucap Humaira.
Kurang lebih sepuluh menit, akhirnya Humaira sampai di depan rumah si nenek. Dia membawa semua barang belanjaannya ke dalam. Tidak lama si nenek datang dengan membawa segelas air.
"Minumlah dulu, nak!"
"Terimakasih, nek."
"Apa kau bekerja?" tanya si nenek.
Humaira mengangguk mengiyakan. Dia memberitahu si nenek jika dia bekerja di rumah sakit yang tidak jauh dari rumahnya.
"Apa kau ini seorang dokter?"
"Iya, nek." ucap Humaira lembut.
Humaira langsung pamit kepada si nenek karena dia memiliki jadwal praktek pagi ini. Sebelum pergi si nenek menyuruh Humaira untuk menunggunya. Saat datang si nenek memberikan sebuah gelang untuk Humaira. Dia langsung memasangkan gelang itu ditangannya.
"Gelang ini sangat indah nek, terimakasih."
Si nenek memberitahu Humaira jika gelang itu memiliki pasangannya. Hanya saja, gelang yang satunya sudah dimiliki oleh orang lain.
"Benarkah? Kedengarannya itu sangat menarik. Aku baru tahu ternyata gelang juga memiliki pasangannya, nek." ucap Humaira. "Lalu, darimana aku bisa tahu jika itu adalah pasangan dari gelang yang aku pakai ini?"
"Itu sangat mudah, nak. Gelang ini memiliki bentuk dan warna yang sama. Nenek pastikan jika tidak ada yang memiliki gelang seperti ini di kota."
"Jika aku sudah menemukan pasangan gelang ini, aku harus apa nek?" tanya Humaira penasaran.
"Itu berarti bukan hanya gelang itu yang menemukan pasangannya, tetapi juga pemiliknya. Dia bertemu dengan yang akan menjadi pasangan hidupnya," jawab si nenek.
"Baiklah, kalau begitu aku permisi dulu nek!"
Saat berjalan ke arah rumah sakit, Humaira melihat seseorang yang berdiri di seberang jalan. Matanya langsung berbinar-binar saat tahu jika laki-laki itu adalah Hakim. Dari jauh, Hakim sudah melebarkan tangannya seakan tahu jika Humaira akan berlari untuk memeluknya. Benar saja, saat melihat dirinya Humaira berlari dan memeluknya.
"Aku sangat merindukanmu," ucap Humaira.
"Aku juga sangat merindukanmu," ucap Hakim. "Apa kabar?"
"Aku baik," jawab Humaira singkat.
"Maaf karena aku baru bisa menemuimu, jadwal latihanku sangat padat." ucap Hakim.
"Tidak apa-apa, yang penting sekarang kau sudah bersamaku," ucap Humaira girang.
Humaira mengajak Hakim ke ruang kerjanya. Dia menyuruhnya untuk menunggu disana. Hari ini Humaira harus menangani beberapa pasien yang akan menjalankan operasi. Saat akan pergi, Hakim bangkit dari tempat duduknya.
"Kau mau kemana?" tanya Humaira.
"Aku akan ikut bersamamu," jawabnya.
"Kau ini pemain sepakbola, bukan dokter. Jadi, tunggu saja aku disini!"
"Jika aku bukan dokter, biarkan aku menjadi asisten dokter yang cantik ini," ucap Hakim penuh canda.
"Baiklah, kau boleh ikut. Tapi ingat, hanya untuk hari ini saja!" ucap Humaira.
"Siap dokter!"
\*\*\*
Siang itu, Walid pergi ke tempat latihan. Disana dia tidak mendapati Hakim.
"Dimana Hakim?" tanya Walid pada pemain lain.
"Dia pergi sejak tadi, mungkin sebentar lagi juga akan kembali." Walid merasa heran karena tidak biasanya Hakim absen saat latihan. Dia mencoba menghubungi ponselnya tapi Hakim tidak mengangkatnya. Sementara itu, Humaira baru saja menyelesaikan tugasnya. Dia pergi untuk menemui kepala rumah sakit. Sedangkan Hakim, dia menunggu dibawah. Saat Humaira datang Hakim langsung membukakan pintu mobilnya.
"Silahkan masuk tuan putri!" ucap hakim penuh perhatian.
"Terimakasih pangeranku yang tampan," ucap Humaira tersenyum lebar.
Di dalam perjalanan, Humaira sempat melihat ponsel Hakim. Dia terkejut saat tahu ada satu panggilan yang tidak terjawab.
"Untuk apa ayah menghubungimu?" ucap Humaira.
"Ada apa?" tanya Hakim.
"Tadi ayah menghubungimu," jawab Humaira.
"Ya ampun, kenapa aku bisa lupa jika siang ini aku memiliki jadwal latihan?" ucap Hakim.
"Kau ini sangat ceroboh! Jika sudah seperti itu pasti ayah akan menghukum mu," ucap Humaira.
"Dia tidak bisa melakukan apapun saat tahu jika aku menemui putri cantiknya ini." ucap Hakim.
"Kau ini... sudahlah fokus saja menyetir!"
Hari mulai sore. Hakim dan Humaira baru sampai di tempat latihan. Saat masuk ke lapangan, semua mata tertuju pada Hakim. "Kau darimana saja? Apa kau sudah lupa jika hari ini kau harus berlatih?" ucap Walid yang berjalan ke arah Hakim.
"Kenapa kau diam saja?"
"Aduh!" Walid mengalihkan pandangannya pada seseorang yang berada di belakang Hakim.
"Humaira? Kau disini sayang?"
"Kenapa ayah memarahi Hakim seperti itu?" tanya Humaira. "Dia tadi menemuiku di rumah sakit."
"Sudahlah, cepat ganti pakaianmu! Sebagai hukumannya, kau harus mengitari lapangan ini sebanyak 10 kali!"
Walaupun Hakim kekasih dari putri pelatihnya, hukuman tetap hukuman baginya. Tidak pernah Hakim membantah sedikitpun perkataan pelatihnya itu. Baginya, di lapangan Torres adalah pelatihnya. Tapi di luar, dia sudah menganggapnya seperti ayahnya sendiri. Humaira pergi menemui pemain lainnya.
"Selamat datang!" ucap salah satu pemain.
"Terimakasih," jawab Humaira.
Setiap Hakim berlatih, Humaira selalu menyempatkan waktu untuk bisa menemani kekasihnya itu. Saat semua pemain sedang beristirahat, Humaira datang dengan membawa banyak makanan untuk para pemain. Dia memanggil Hakim untuk makan bersamanya.
"Apa kau yang membeli semua makanan ini?" tanya Hakim.
"Iya, aku tahu jika kau juga yang lain belum makan." jawab Humaira.
Dengan manjanya, Hakim meminta Humaira untuk menyuapinya. "Makanannya sangat enak, berbeda dari makanan yang sering dipesan dari biasanya," ucap Hakim.
Humaira sedikit tertawa, dia memberitahu Hakim jika makanan itu dibuat khusus untuknya. Sementara itu, semua makanan untuk pemain lainnya dia pesan dari salah satu restoran.
"Apa kau sendiri yang membuatnya?" tanya Hakim.
"Tentu saja, lagi pula selain aku tidak ada orang lain yang tahu makanan kesukaanmu ini," ucap Humaira.
Saat sedang makan, ponsel Humaira berbunyi. Dia pergi untuk mengangkatnya. Di luar, sudah ada sang ayah yang sedang mengobrol dengan temannya.
"Ada apa?" tanya sang ayah.
"Tidak ada, hanya dari pihak rumah sakit saja." Humaira memberitahu ayahnya jika dia meminta cuti selama satu bulan. Kepala rumah sakit langsung menyetujui dan menandatangani surat permohonan itu. Humaira memberitahu sang ayah jika dia akan ikut ke Qatar bersama timnya. Torres merasa lega karena putrinya sudah mendapat izin dari pihak rumah sakit itu berarti selama satu bulan ke depan dia bebas dari tanggung jawabnya sebagai seorang dokter di kotanya.
\*\*\*
Setelah selesai latihan, Hakim membawa Humaira berkeliling sambil menikmati udara malam.
"Kita akan pergi kemana?" tanya Humaira.
"Kau lihat saja nanti!"
Tidak berselang lama, akhirnya mobil Hakim berhenti di perbukitan yang cukup luas. Di sana mereka bisa melihat keindahan kota dari atas. Hakim membawa Humaira naik ke atas bukit itu.
"Subhanallah... indah sekali pemandangan kota. Maha suci Allah yang telah menciptakan semua ini," ucap Humaira memuji kebesaran tuhannya.
"Hanya milik Allah semua yang ada di langit dan bumi," ucap Hakim.
Udara malam itu sangat dingin. "Pakailah jaket ini, jangan sampai kau kedinginan!" ucap hakim sambil memasangkan jaket miliknya pada Humaira.
"Terimakasih sudah menemaniku selama lima tahun ini. Tidak ada yang bisa memahami diriku sebaik kau juga ibuku," ucap Hakim. "Jika tidak pernah mengenalmu sebelumnya, mungkin saat ini aku masih sendiri. Sejak kau datang, disitulah aku benar-benar merasakan apa itu cinta."
"Apa sebelumnya kau tidak pernah berpacaran?" tanya Humaira. "Tapi rasanya itu tidak mungkin! Di luar sana pasti banyak perempuan yang menyukaimu dan ingin menjadi kekasihmu."
"Kau benar! Tapi, sayangnya mereka semua hanya menginginkan popularitas saja. Mereka tidak bisa menerima diriku seperti kau menerimaku sekarang ini. Berjanjilah jika kau tidak akan meninggalkanku!" ucap Hakim menatap Humaira dalam.
"Aku berjanji! Dimana pun kita berada, aku akan selalu menjagamu dalam hatiku, kau tidak akan pernah tergantikan oleh siapapun!"
Hakim memegang tangan Humaira erat. Dia berjanji padanya jika setelah selesai piala dunia nanti, dia akan langsung melamarnya. Mendengar hal itu Humaira sempat meneteskan air mata. "Baiklah, aku akan menunggu saat itu tiba," ucapnya.
Sean Barra Jeevan sering kali dipanggil Sean, dia adalah seorang CEO sekaligus mafia yang terkenal kejam di kotanya. Dia adalah putra dari Nasreen dan Emir, sekaligus cucu tertua keluarga Jeevan. Sean seorang pria yang dingin juga ambisius. Apapun yang dia inginkan harus dia dapatkan. Sean memiliki seorang adik perempuan yang bernama Zurafa Nasreen. Selama kurang lebih tiga tahun dia sekolah di luar negeri. Keluarga Jeevan adalah keluarga besar yang sangat berpengaruh di kotanya.
QATAR - PAGI HARI
Pagi itu, tirai kamar Sean masih tertutup rapat. Tidak lama datang seorang perempuan dan membuka tirai itu. Sean merasa silau karena pantulan sinar mentari yang mengenai wajahnya. Perempuan itu mengelus wajah Sean lembut. Sentuhan itu membuat Sean terbangun.
"Selamat pagi!" ucap Sean.
"Selamat pagi sayang," jawab perempuan itu manis. Sean menarik perempuan itu dalam pelukannya.
"Lepaskan aku!" pinta perempuan itu.
"Tidak! Aku tidak akan melepaskan mu. Aku sangat merindukanmu," ucap Sean. Perempuan itu langsung menyingkirkan tangan kekar itu dari tubuhnya. "Cepatlah bersiap! Kita harus segera turun untuk sarapan." Sean masih menggeliat malas di tempat tidurnya.
"Ayolah, cepat! Tunggu apa lagi?"
"Baiklah, aku akan segera bersiap."
\*\*\*
Saffiya Maira dia adalah sahabat kecil sekaligus istri dari Sean. Mereka menikah karena rasa cinta yang ada diantara keduanya. Kedua orang tua mereka adalah teman baik. Saffiya sendiri adalah putri dari perdana menteri Qatar. Dia dalah wanita impian para lelaki, namun sayang hanya tuan Sean lah yang bisa memilikinya. Bukan hanya cantik, Saffiya juga seorang model sekaligus aktris ternama yang banyak membintangi sebuah film. Keberuntungan terbesar dalam hidupnya karena dia istri dari Sean sekaligus menantu keluarga besar Jeevan. Semua orang sangat mencintainya apapun yang dia inginkan bisa langsung dia dapatkan.
Pagi itu semua orang sudah berkumpul di meja makan. Tidak lama Sean dan Saffiya datang.
"Selamat pagi!" ucap Saffiya.
"Selamat pagi!" jawab Nasreen. "Silahkan duduk, nak!"
"Terimakasih, ibu."
Pelayan mulai menghidangkan makanannya di atas piring semua orang. Saat pelayan menghidangkan makanan ke piring Sean, Saffiya langsung menyingkirkannya. "Ambilkan makanan lain!" pintanya. Semua orang menatap Saffiya heran.
"Kenapa kau menyuruh pelayan untuk menyingkirkan makanannya?" tanya Ulya, selaku bibi dari Sean.
"Sean tidak menyukai makanan yang terlalu banyak mengandung minyak, karena itu aku menyuruh pelayan untuk mengambil makanan yang lain," ucap Saffiya.
"Benarkah?" tanya Ulya tidak percaya.
"Kenapa kau meragukannya? Saffiya adalah sahabat Sean dari kecil. Dia sudah mengenal Sean dengan baik. Tentu saja dia tahu apa yang Sean sukai dan tidak," sambung Nasreen.
Saat sedang makan, ponsel Sean berbunyi. Dia pergi untuk mengangkatnya. Saffiya menyudahi makannya dan menyusul Sean. Tanpa Sean ketahui, Saffiya berada di belakangnya dan mendengar semua pembicaraannya di telepon. Setelah Sean menutup teleponnya, Saffiya muncul.
"Ada apa?" tanya Saffiya.
"Hanya masalah pekerjaan saja," jawab Sean singkat. "Baiklah, aku akan pergi ke kantor sekarang."
"Aku mendengar semuanya, kau akan pergi untuk melakukan pekerjaan kotor mu itu, bukan? Berapa banyak nyawa yang sudah kau habisi?" Sean menatap Saffiya tajam. Senyum nampak dari bibirnya, dia mendekat dan mengelus rambut Saffiya lembut. "Jika saja orang lain yang mengatakan semua itu, pasti sudah aku bungkam mulutnya. Tapi, sayang perkataan itu keluar dari mulut istri yang sangat aku cintai. Kau tahu? Aku sangat mencintaimu dan tidak bisa menyakiti perasaanmu, apalagi sampai harus membentak mu."
Sean langsung pergi dari hadapan Saffiya tanpa menghiraukan perasaannya sedikitpun.
Aaaa...
"Kenapa kau selalu pergi seperti ini?" Saffiya tidak bisa menahan air matanya lagi, dia pergi ke kamar untuk menenangkan diri. Sementara itu, Nasreen masih berada di meja makan. "Dimana Sean dan Saffiya? Kenapa mereka belum juga kembali?" Nasreen menyuruh pelayan untuk mencarinya. Tidak lama pelayan datang.
"Maaf nyonya, baru saja tuan muda pergi," ucapnya.
"Apa dia pergi dengan istrinya?"
"Tidak nyonya, tuan muda pergi sendiri." Pelayan itu langsung kembali ke dapur untuk meneruskan pekerjaannya.
"Kenapa kau merasa heran kakak? Bukankah putramu itu selalu bersikap seperti itu? Mentang-mentang dia itu cucu tertua keluarga ini, seenaknya saja dia bersikap. Jika dia menghormati kalian sebagai orang tuanya, setidaknya dia bilang jika akan pergi," ucap Ulya sambil meninggalkan meja makan. Nasreen melihat dengan jelas dari cara Ulya bicara, jika dia sangat tidak menyukai Sean. Tapi sikap adiknya itu tidak terlalu Nasreen pikirkan, sekarang ini dia hanya ingin tahu keberadaan Saffiya.
Sementara itu, Saffiya masih terlihat sedih di kamarnya. Sudah dua tahun mereka menikah, tapi Sean tidak pernah melibatkan Saffiya dalam setiap masalahnya. Dia selalu mengambil keputusannya sendiri tanpa ingin tahu apa pendapat Saffiya mengenai hal itu. Saffiya terbayang dengan wajah Sean tadi pagi. Terlihat sangat jelas di wajahnya jika dia mencoba untuk menahan amarahnya. Saffiya merasa sangat bersalah karena sudah mengatakan semua itu pada suami tercintanya. Tiba-tiba ponsel Saffiya berdering. Dia langsung mengangkat teleponnya saat tahu ibunya yang menghubunginya.
"Halo ibu!"
"Halo, sayang! Apa nanti malam kau sibuk?"
"Tidak, memangnya ada apa?"
"Ibu hanya ingin memberitahumu jika ayahmu mengundang keluarga besar Jeevan untuk makan malam dirumahnya. Kau harus datang bersama Sean. Ayahmu ingin membicarakan hal penting pada kalian."
"Baiklah, nanti aku akan memberitahu Sean."
\*\*\*
Sebelum pergi ke kantor, Sean mengunjungi markas persembunyian. Di sana sudah ada Edgar selaku kaki tangan Sean.
"Informasi apa yang kau dapatkan?" tanya Sean.
"Aku sudah menyuruh anak buah kita untuk mencaritahu keberadaan orang itu,"
"Lalu?"
"Dia sedang berada di kota ini,"
"Baguslah, tugasmu sekarang ini hanya mencaritahu dimana keberadaan orang itu. Jika sudah dapat, langsung kabari aku!"
"Baik, tuan muda."
Di satu sisi, Nasreen melihat Saffiya yang tengah berada di ruang tengah.
"Apa yang sedang kau pikirkan, sayang?" Saffiya langsung tersadar dari lamunannya.
"Tentang Sean ibu..."
"Kenapa dengan Sean? Apa kalian bertengkar?"
Saffiya memberitahu Nasreen jika tadi pagi dia sempat mendengar semua pembicaraan Sean ditelepon. Dua tahun sudah mereka menikah tapi rasanya belum pernah Sean berbagai masalah dengannya. Dia selalu mengambil keputusannya sendiri tanpa ingin tahu pendapatnya. Nasreen melihat air mata yang terjatuh dari kelopak mata Saffiya. Dia mendekat dan memeluknya.
"Maafkan putraku, jika dia telah melukai perasaanmu. Tapi menurutku itu hal wajar. Kau tahu bukan, pekerjaan Sean seperti apa? Dia tidak ingin menceritakan setiap masalahnya padamu karena takut kau akan selalu mengkhawatirkan keselamatannya. Percayalah padaku, nak! Sean melakukan semua itu karena dia sangat mencintaimu. Dia selalu menjagamu dari siapapun yang ingin mencelakainya, termasuk dari musuh-musuhnya. Sudahlah, hapus air mata itu! Jangan sampai air mata itu terlihat oleh orang tuamu, nanti mereka mengira jika kau tidak bahagia tinggal disini," ucap Nasreen.
"Itu sama sekali tidak benar! Aku merasa aku adalah wanita paling bahagia di dunia ini karena menjadi menantu keluarga ini, sekaligus istri dari Sean," ucap Saffiya. Dia langsung menghapus air matanya. Dia berjanji tidak akan bersedih lagi karena hal itu. Dia percaya pada Sean apapun yang dia lakukan adalah untuk kebaikannya. Dia harus terus berada didekat suaminya dan mendukung segala keputusannya tanpa ragu. Saffiya memberitahu Nasreen jika nanti malam sang ayah mengundang keluarga besarnya untuk makan malam.
"Apa ibuku sudah menghubungimu tentang hal itu?" tanya Saffiya.
"Kami sudah mendapatkan undangan makan malamnya. Coba bicara dengan Sean sekarang! Minta dia agar bisa meluangkan waktunya untuk pergi menemui ayahmu," pinta Nasreen.
"Aku baru saja ingin menghubunginya, ibu. Aku akan pergi ke kamarku dulu, nanti aku beritahu ibu kembali tentang ini," ucap Saffiya.
"Baiklah, beritahu ibu secepatnya!"
\*\*\*
SIANG HARI - MAROKO
Siang itu, Humaira baru selesai dari pekerjaannya. Seperti biasa dia pergi ke tempat latihan untuk melihat Hakim berlatih. Tiba disana, Humaira tidak mendapati Hakim. Dia pergi menemui sang ayah untuk menanyakan keberadaan Hakim.
"Permisi, ayah! Apa aku boleh bicara sebentar?"
"Ada apa, sayang?"
"Aku tidak melihat Hakim hari ini, apa dia absen?"
"Tadi dia sempat berlatih beberapa menit, hanya saja dia meminta izin untuk pulang lebih dulu."
"Apa ayah tahu kenapa dia pulang lebih awal?"
"Tidak, nak. Tapi ayah dengar dari pemain lain jika saat latihan Hakim sempat menerima telepon dari seseorang. Setelah itu dia pergi," jawab sang ayah.
"Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu ayah."
Siang itu Humaira pergi ke rumah Hakim. Tiba di depan rumahnya, dia melihat ada sebuah mobil hitam yang terparkir. "Mobil siapa itu? Apa hakim sedang menerima tamu di rumahnya saat ini?" ucapnya. Humaira tidak langsung turun, dia sempat menunggu di dalam taksi dan terus memantau mobil itu. Kurang lebih satu jam, akhirnya pemilik mobil itu keluar dan pergi.
"Siapa mereka? Dari cara mereka berpakaian, mereka sepertinya berasal dari kalangan atas. Seperti... Ah, tidak mungkin!" Humaira menyingkirkan semua pikiran buruknya. Dia turun dan langsung menemui Hakim. Saat tiba di pintu masuk, Humaira sempat mendengar percakapan Hakim dengan ibunya.
"Bagaimana ini, nak? Dia memintamu untuk segera menikahi putrinya!"
Mendengar hal itu, Humaira menutup mulutnya tidak percaya.
"Aku tidak bisa, ibu. Aku sangat mencintai Humaira. Aku sudah berjanji padanya setelah piala dunia nanti, aku akan melamarnya," ucap Hakim. "Kenapa ibu terus memaksaku untuk menikahi putri dari pria itu? Apa kita memiliki hutang pada mereka? Katakan berapa hutang itu! Aku akan langsung melunasinya sekarang juga," ucap Hakim.
Tangis sang ibu pecah. Dia memberitahu Hakim jika ayahnya masih hidup. Dia menjadi tahanan pria tadi. Untuk menebus ayahnya Hakim harus menikahi putri dari pria itu. Hakim merasa kesal karena ibunya sudah menyembunyikan kebenaran ini darinya. Sejak dulu, Hakim tahu jika sang ayah sudah meninggal karena setiap Minggu ibunya selalu membawa dia ke makam ayahnya.
"Lalu, makam itu?" tanya Hakim.
"Makam itu kosong, nak. Aku membuat makam itu agar kau percaya akan kematian ayahmu," jawab si ibu.
"Kenapa ibu menyembunyikan semua ini dariku?" tanya Hakim.
Sang ibu sangat menyesal dan meminta maaf pada Hakim. Dulu, usianya masih terlalu muda untuk mengetahui semua kebenarannya, sang ibu tidak ingin semua itu menjadi beban dan penghalang untuk Hakim menggapai impiannya menjadi pemain sepakbola dunia.
"Kenapa ayah ditahan?" tanya Hakim.
"Dia sudah berkhianat pada tuan Mehmet Omar," jawab sang ibu.
"Siapa dia?"
"Seorang mafia kejam dan bengis. Bisa dibilang ayahmu adalah kaki tangan tuan Omar."
"Jadi... maksud ibu ayah seorang kaki tangan mafia?"
"Kau benar!" Sang ibu memohon pada Hakim untuk memikirkan keputusannya kembali. Kebebasan ayahnya berada ditangannya. Humaira langsung pergi dari tempat itu sebelum Hakim mengetahuinya.
QATAR - SIANG HARI
Siang itu Saffiya pergi ke perusahaan suaminya. Tiba disana, dia bertemu dengan sekretarisnya yang bernama Shofiya.
"Selamat siang, nona. Apa ada yang bisa aku bantu?"
"Apa Sean ada di ruangannya?" tanya Saffiya.
"Tuan pergi sejak tadi, nona." jawab Shofiya.
"Apa dia meeting di luar?"
"Hari ini jadwal tuan Sean kosong, dia pergi bersama tuan Edgar."
"Baiklah, terimakasih."
Saffiya langsung menghubungi ponsel Sean. Di satu sisi, Sean dan Edgar sedang bermain golf. Ponselnya tidak lama berdering. Sean menyuruh Edgar untuk mengambil ponselnya.
"Siapa yang meneleponku?" tanya Sean.
"Nona Saffiya." Sean langsung mengangkat teleponnya.
"Halo! Ada apa?"
"Kenapa suaramu terdengar seperti itu? Apa kau masih marah dengan perkataanku tadi pagi? Aku benar-benar minta maaf," ucap Saffiya.
"Sudahlah, jangan membahas soal tadi pagi. Apa kau membutuhkan sesuatu?"
Saffiya memberitahu Sean jika ayahnya mengundang dia untuk makan malam. Saffiya meminta suaminya supaya dia bisa memenuhi undangannya. Mendengar permintaan Saffiya rasanya dia ingin menolaknya. Dia sangat tidak suka dengan pertemuan semacam itu ataupun makan malam keluarga. Edgar sempat berbisik pelan di telinga Sean, dia menyarankan agar dirinya ikut dalam jamuan makan malam itu. Di sana akan banyak reporter yang meliput, jika mereka tahu Sean tidak datang, akan banyak pertanyaan yang muncul. Sementara itu, dia adalah menantu dari Perdana Menteri Qatar tidak seharusnya dia membawa masalah bagi keluarganya sendiri.
"Bagaimana? Apa kau bisa datang?" tanya Saffiya.
"Baiklah, aku akan datang," jawab Sean.
Selesai bermain golf, Sean meminta Edgar untuk memperketat penjagaan. Dia takut sewaktu-waktu musuhnya datang dan mengacaukan semuanya. Tiba di rumah, Saffiya memberitahu ibunya jika Sean akan datang untuk memenuhi undangan ayahnya. Saffiya harus terlihat cantik nanti malam. Dia meminta ibunya untuk menemaninya berbelanja lepas itu pergi ke salon kecantikan. Dia harus terlihat cantik di depan Sean. Saat dalam perjalanan pulang, Edgar mendapat kabar dari anak buahnya jika target sedang berada di sebuah hotel. Sean meminta Edgar untuk membawanya kesana. Di luar sudah ada beberapa anak buah Sean yang sedang memantau keadaan sekitar. Sean dan Edgar masuk ke dalam hotel.
"Dimana dia bersembunyi?" tanya Sean.
"Di lantai 20, dengan nomor kamar 201," jawab Edgar.
Tiba di kamar itu, Sean hanya mendapati seorang perempuan. "Siapa kalian?" tanya perempuan itu bingung.
Edgar menelusuri kamar itu, dan tidak menemukan target. Saat berdiri di dekat jendela, Edgar melihat jika target sudah pergi. Dia sepertinya tahu akan kedatangan mereka.
"Dimana dia?" tanya Sean.
"Target sudah pergi, tuan. "
"Bagaimana bisa? Apa ada seseorang yang memberitahu kedatangan kita padanya?"
"Entahlah, tapi ini aneh. Dia mudah sekali lolos sedangkan di bawah sudah ada beberapa anak buah kita yang berjaga."
"Cari tahu semua ini! Aku akan melenyapkan siapapun yang berusaha mengkhianati ku dari belakang!"
\*\*\*
MAROKO - SORE HARI
Sore itu, Walid baru saja tiba di rumah. Dia pergi ke kamar putrinya. Tiba disana, dia melihat putrinya duduk termenung di dekat jendela kamarnya. Saat mengetahui kedatangan ayahnya, Humaira segera menghapus air matanya.
"Apa kau sudah bicara dengan Hakim?" tanya Walid.
"Belum ayah, baru saja aku akan menghubunginya." Walid melihat mata putrinya sebam.
"Apa kau menangis? Ada apa? Ceritakan pada ayah!"
"Tidak ada, mataku hanya kemasukan debu saja," ucap Humaira. "Apa Hakim pernah bercerita tentang orang tuanya pada ayah?"
Walid memberitahu putrinya jika Hakim hanya tinggal bersama ibunya. Ayahnya sudah meninggal sejak lama. Sejak pertama dia menjadi pelatih timnas Maroko, Hakim yang pertama menyambutnya. Dia sangat terbuka dengannya. Sampai hari ini, Hakim sudah menganggapnya sebagai ayah kandungnya sendiri. Dia pernah mengatakan jika dia terlahir sangat buruk. Dia tidak bisa sedikitpun merasakan cinta juga kasih sayang seorang ayah. Mendengar hal itu, Humaira tidak bisa menahan air matanya lagi.
"Kenapa kau menangis?" tanya sang ayah.
"Aku hanya terharu mendengar ceritamu ayah," jawab Humaira.
Setelah selesai makan malam, Hakim datang menemui Humaira. Dia terlihat begitu pendiam hari ini. Humaira tahu saat kekasihnya itu dihadapkan dengan sebuah masalah, dia selalu datang padanya untuk membicarakan masalahnya itu. Tapi tidak malam itu, Hakim datang hanya ingin menghabiskan waktu dengan Humaira tanpa mengatakan apapun. Humaira membawa Hakim ke teras atas. Pemandangan disana sangat indah. Mereka dapat menikmati keindahan kota juga menatap ribuan bintang yang ada di langit.
"Apa kau sedang dalam masalah?" tanya Humaira.
"Bagaimana bisa aku menceritakan semua masalahku padamu, sementara kau akan terluka dengan semua itu," ucap Hakim dalam hati.
"Kenapa kau diam saja? Ayo katakan semuanya! Apa kau tidak percaya padaku?" ucap Humaira dalam hati.
"Tidak ada! Aku datang untuk menemuimu, aku sangat merindukanmu!" ucap Hakim.
Humaira sangat sedih karena Hakim tidak bicara jujur padanya. Dia lebih memilih menyimpan masalahnya itu sendiri dari pada harus menceritakannya. Humaira menggenggam tangan Hakim erat. Dia menatap wajahnya dengan penuh kepercayaan.
"Jika kau harus memilih diantara aku dan ibumu, siapa yang akan kau pilih?" tanya Humaira.
"Kalian berdua sangat berarti dalam hidupku, tidak bisa jika aku harus memilih diantara kalian berdua," jawab Hakim.
"Itu sangat mudah, kau akan memilih ibumu dan pergi meninggalkan aku."
Humaira memberitahu Hakim betapa seorang ibu sangat penting di dalam kehidupan putranya dibandingkan dengan hal apapun yang ada di dunia ini. Sebagai seorang anak alangkah mulianya saat kita bisa berbakti dan taat akan semua perintahnya. Di saat kita tidak bisa memberikan apapun, setidaknya kita bisa mewujudkan apa yang menjadi keinginan seorang ibu.
"Bagaimana jika keinginan dari si ibu itu membuat hatiku juga hati orang lain terluka?" tanya Hakim.
"Luka itu tidak seberapa jika dibandingkan dengan rasa sakit yang seorang ibu alami saat melahirkan putranya sendiri. Ingat ini! Walaupun kau dan aku tidak lagi bersama suatu hari nanti, aku harap diriku masih ada dalam benakmu," ucap Humaira sambil meletakkan tangannya di dada Hakim.
"Kenapa kau mengatakan hal itu? Apa kau akan membiarkan hubungan ini berakhir begitu saja?" tanya Hakim.
"Jika aku boleh jujur, aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu, tapi apa boleh buat jika takdir berkata lain," ucap Humaira.
"Apa kau sudah makan?" tanya Humaira mengalihkan topik pembicaraan.
"Belum," jawab Hakim singkat.
"Baiklah, tunggu disini! Aku akan pergi untuk membuatkan makanan untukmu," ucap Humaira.
\*\*\*
QATAR - MALAM HARI
Malam itu, keluarga besar Jeevan sudah sampai di rumah perdana menteri. Mereka disambut sangat mewah. Saat turun dari mobil, Sean melihat banyak sekali media yang memotretnya dengan sang istri.
"Ternyata benar apa kata Edgar, disini banyak sekali media massa," ucapnya dalam hati.
"Selamat datang putriku," ucap perdana menteri sambil memeluk Saffiya.
"Apa kabar sayang?" sambung sang ibu.
"Aku baik, aku sangat merindukan ibu dan ayah," ucap Saffiya.
Perdana menteri mempersilahkan mereka masuk dan langsung membawanya pergi ke meja makan. Di sana sudah banyak pelayan yang berjajar di dekat meja makan.
"Hidangkan makanannya!" pinta perdana menteri pada semua pelayan.
Ulya sedikit terkejut saat tahu jika semua peralatan yang ada di atas meja makan semua itu terbuat dari emas.
Saat makan, perdana menteri sempat menanyakan tentang Nyonya Zeynep, selaku nyonya besar keluarga Jeevan dan Zura, adik dari Sean. Emir memberitahu perdana menteri jika ibunya juga putrinya masih berada di Swiss. Mendengar kabar yang didapat mereka akan kembali satu Minggu lagi. Perdana Menteri sangat mengharapkan kehadiran mereka berdua di rumahnya. Ulya terlihat sangat kesal. Mereka hanya membicarakan tentang ibunya juga Zura. Sementara putranya, Alman mereka bahkan tidak menyebutnya sama sekali. "Kalian bisa tertawa seperti sekarang ini, tapi saat putraku kembali nanti, akan aku pastikan tawa itu tidak akan pernah terlihat lagi di wajah kalian semua," ucap Ulya dalam hati.
Selesai makan malam, perdana menteri mengumpulkan semua orang di ruang keluarga. Dia memberitahu semua orang jika piala dunia Qatar sudah semakin dekat. Mereka akan menjadi tuan rumah, perdana menteri meminta dua keluarga besarnya untuk ikut dalam menyambut kedatangan tamu dari berbagai negara. Perdana Menteri meminta Sean dan Saffiya untuk mengurus semuanya termasuk memastikan lapangan yang akan menjadi tempat bertanding beberapa negara aman dan tidak ada masalah apapun.
"Apa kau siap dengan tugas yang diberikan ayah?" bisik Saffiya pelan. "Jika tidak bisa, aku akan bicara padanya."
"Tidak perlu, aku bisa mengatur waktu untuk semua itu." jawab Sean.
"Bagaimana? Apa kalian berdua siap?" tanya perdana menteri pada Sean dan putrinya.
"Kami siap ayah," ucap Saffiya.
Perdana menteri menyuruh orang untuk membawa Sean dan Saffiya ke ruangan dimana disana sudah terpasang banyak bendera dari berbagai negara yang akan mengikuti piala dunia Qatar tahun ini.
"Kau pasti pecinta sepakbola bukan? Negara apa yang kau pegang untuk menjadi juara?" tanya Saffiya.
"Aku tidak terlalu menyukainya, tapi jika aku harus memilih... aku akan memilih Prince," ucap Sean.
"Mmm cukup meyakinkan," Di sudut paling kanan, Saffiya melihat sebuah bendera yang cukup asing baginya.
"Bendera apa itu?" tanya Saffiya.
"Itu bendera Morocco," jawab Sean. Saat Sean memegang bendera itu, gelang miliknya tersangkut pada bendera itu. Saat akan melepasnya, angin bertiup sangat kencang membuat pintu ruangan itu terbuka.
Deg... Deg... Deg...
"Ada apa dengan hatiku? Kenapa jatungku berdetak sangat cepat?" ucap Sean dalam hati. Sean menutup matanya perlahan. Bendera itu mengingatkan Sean kepada sosok wanita tua yang dia temui saat di Morocco. Dia yang sudah memberikan gelang itu padanya mungkin karena itu gelang dan bendera itu saling terikat.
"Gelang ini memiliki pasangannya, nak. Jika suatu hari kau menemukan pasangan dari gelang yang kau pakai itu, jagalah pemiliknya, dia adalah dunia baru juga cinta sejatimu," perkataan si nenek kembali terlintas dalam pikiran Sean. Dia langsung membuka matanya. Dia melihat Saffiya sedang berusaha untuk melepas gelang suaminya dari bendera itu.
"Kenapa sulit sekali?" ucap Saffiya.
"Biar aku saja yang melepasnya," ucap Sean.
Tidak lama seorang datang dan meminta mereka untuk kembali menemui perdana menteri. Saffiya berjalan di depan Sean.
"Apa maksud dari perkataan si nenek? Apa perempuan yang berada di depanku bukanlah cinta sejatiku?" tanya Sean pada dirinya sendiri. Dia menatap gelang yang ada di tangannya. Dia berjanji akan menjaga gelang itu sampai bertemu dengan pemilik gelang yang satunya lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!