"Bodoh! Kenapa kamu lakukan ini Sila!" Seseorng menangkap tangan Sila. Tubuh wanita itu menggantung, sudah tinggal jatuh ke bawah sana. Arus air sungai itu sangat deras. Jika ia terjatuh, selesai sudah. Sila tidak akan selamat lagi dan tinggal nama.
"Lepas! Biarkan aku mati! Aku tidak ingin hidup lagi! Aku hanya ingin bersama Andra!" Sila berucap dengan lantang di sela ketakutannya saat melihat ke bawah. Di mana ia melihat air yang begitu deras mengalir.
"Bodoh! Pikirkan anakmu, mereka masih bayi. Mereka membutuhkanmu sebagai ibunya. Apa kamu tega membiarkan mereka berdua hidup tanpa ayah dan ibu?"Kalimat yang di ucapkan pria itu membuat Sila trrsadar dan teringat akan Alana dan Alandra. Ia mengeratkan genggaman tangannya.
"Aku akan membantumu, bertahanlah!" Beberapa orang berusaha untuk menyelamatkan Sila.
Setelah memakan waktu cukup lama, akhirnya Sila dapat di selamatkan meskipun dalam keadaan tidak sadarkan diri. Ia di bawa ke rumah sakit terdekat dari tempat kejadian.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
3 tahun kemudian...
"Ayah...!" Alana dan Alandra memanggil riang sosok yang baru saja keluar dari mobil. Pria itu jongkok menyambut dua bocah kembar itu.
"Apa kabar sayang, Ayah merindukan kalian. Maaf beberapa hari ayah tidak bisa menemui kalian karena ayah sibuk," Pria itu menggendong Alana dan Alandra kiri dan kanan lalu masuk ke dalam rumah.
"Baik ayah, ayah apa kabar?" Tanya Alandra dengan lincah. Sementara Alana hanya diam sambil memperhatikan wajah pria yang mereka panggil ayah itu.
"Ayah sangat baik sayang, mana bunda kalian?" Pria itu memandang kedua bocah kembar tak identik it bergantian.
"Bunda ada di kamar ayah," Kini giliran Alana yang menjawab pertanyaan lelaki itu.
"Ya sudah, ayo sini duduk di kursi, kita main bersama," Pria itu menurunkan Alana dan Alandra ke sofa. Ia duduk dengan begitu dengan ke sisi dua balita itu.
Tuk..tuk..ruk..
Suara sepatu Sila terdengar nyaring saat menuruni tangga. Ia telah bersiap untuk datang ke Panti sekaligus mengontrol ke perusahaan Andra.
Semenjak kehilangan Andra, Sila menjadi orang tua tangguh untuk Alana dan Alandra.Tidak hanya seorang ibu, tapi dia juga menjadi ayah. Ia juga mengurus semuanya, termasuk pekerjaan Andra.
"Alana dan Alandra sudah ada pengasuh. Seharusnya kakak tidak perlu datang kemari lagi," Sila ketus terhadap pria yang ia sangat kenali itu. Ia adalah Andre.
Kedua pengasuh Alana dan alandra segera mengambil kedua balita itu. Mereka tahu, setiap Sila dan Andre bertemu mereka pasti keduanya berseteru. Padahal kedua pengasuh itu yakin bahwa tujuan Andre baik.
Semenjak hilangnya Andra, sampai hari ini, Andre selalu berusaha menjadi sosok Ayah untuk anak kembarnya. Andre selalu datang hanya untuk.melihat anak-anak. Ia tidak pernah ikut campur urusan Sila.
Andre merasa bertanggung jawab atas kehidupan kedua bocah yang sedang lucu-lucunya itu. Terkadang, seharian Andre bermain dengan mereka. Tanpa peduli sikap yang di tunjukkan Sila padanya.
"Aku sudah menganggap mereka seperti anakku sendiri, Aku tidak perlu persetujuanmu! Aku akan merawat mereka dengan baik, dengan atau tanpa restumu." Andre menatap Sila tajam. Selama ini ia sering kontra dengan Sila perihal ia yang suka datang dan bermain dengan Si Kembar.
"Apa kakak lupa? Mereka anak-anakku, darah dagingku, kakak sama sekali tidak mempunyai hak untuk bersama dengan mereka." Ujar Sila sinis.
"Sila, mereka juga butuh sosok ayah. Mereka berhak merasakan bagaimana hangatnya pelukan ayah, Andra adalah adik kandung sekaligus saudara kembarku, jadi, apa aku bersalah jika melakukan ini pada mereka berdua?!" Andre bangkit dan mendatangi Sila yang masih berdiri tidak jauh darinya.
"Kak, aku lelah Setiap bertemu denganmu selalu berantem karena masalah ini!. Aku hanya mau kamu jauhi anak-anak. Jangan mengusik hidup mereka," Omel Sila.
"Kenapa aku harus menjauhi mereka? Apa alasannya? Selama ini kamu hanya memberikanku penegasan tanpa alasan. Hari ini, aku mau dengar dari mulutmu, apa alasanmu melarangku dekat dengan Alana dan Alandra?!" Lagi-lagi Andre menatap tajam ibu dua anak itu, Sila pun sama, menatap kakak iparnya itu dengan tatapan benci.
"Kakak benar-benar ingin tahu, kenapa aku tidak suka kakak mendekati anakku?!" Sila melontarkan pertanyaan yang tengah di pertanyakan oleh Andre. Ia menatap pria itu dengan penuh amarah. Matanya memerah, menahan air mata kekecewaan.
"Katakanlah," Andre menunggu kalimat apa yang akan keluar dari bibur Sila. Ia merasa kesal karena Sila selalu melarangnya untuk dekat dengan keponakannya sendiri.
"Karena kakak saudara kembar Andra! Setiap.melihat kakak, aku merasa perih. Aku merasa terkhianati. Dia pergi membawa janji yang ia ingkari sendiri. Aku benci mengingatnya, aku benci setiap melihatmu aku selalu ingat juga padanya! Aku sakit kak, aku tidak ingin melihat kakak lagi."
"Dia membiarkan aku berjuang sendirian, membesarkan Alana dan Alandra. Membiarkan aku menangis setiap malam selama tiga tahun ini hanya karena meratapinya. Tidak pulas tidurku karena mimpi buruk tentangnya, itu sangat tidak nyaman. Di tambah lagi aku harus melihatmu, itu sangat menyiksa batinku,"
"Aku sangat mencintainya, kak. Aku merasa separuh jiwaku telah mati. Hidupku sangat hampa dan aku melewatinya dengan penuh kerapuhan. Aku merindukan pelukannya, candanya, senyumannya, dan tatapan matanya yang teduh. Aku tidak sanggup untuk melihatmu, Kak. Tolong hargai keputusanku." Sila tidak mampu lagi untuk menahan airmatanya agar tidak jatuh. Kedua belah pipinya telah basah, ia bahkan sampai histeris.
Andre iba melihat Sila yang begitu rapuh. Ia berusaha mwnarik wanita itu ke dalam pelukannya, tapi wanita itu menolak dan mendorong Andre untuk.menjauh.
Lelaki itu tetap bersikeras untuk meraih Sila ke pelukannya. Lelah melawan dan rasa sedih yang semakin menyeruak, membuat Sila diam sesaat di.dalam pelukan kakak iparnya itu.
"Jangan kamu anggap aku siapapun. Menangislah sepuasmu, Sila. Aku minta maaf, kalau kehadiranku justru membuatmu tidak nyaman, tapi maaf, aku tidak bisa berhenti. Tujuanku hanya si kembar, aku tidak ada niat mengganggumu," Andre memberikan penegasan bahwa ia sudah tidak perduli pada Sila. Andre mengatakan dengan benar, ia melakukan ini hanya untuk Alana dan Alandra. Perasaannya pada wanita itu telah lama luntur.
" Terima kasih atas kebaikan kakak, sepertinya aku harus segera pergi!" Sila menjauh dari Andre, menghapus air matanya dan berjalan ke arah luar. Ia tiba-tiba ingin mampir ke jembatan tempat mobil Andra di temukan.
"Wanita malang. Meskipun dia pernah membuatku berada dalam posisi yang sama sepertinya saat ini, tetap saja aku merasa tidak sampai hati melihatnya rapuh seperti itu. Semoga kamu segera menemukan seseorang yang pantas untuk kamu cintai, Sila." Andre berbicara seorang diri. Ia melangkah ke luar sambil.merogoh ponselnya dan menelepon seseorang.
"Awasi mobil Sila. Baru saja ia keluar rumah. Pastikan ia aman sampai kembali. Jika tergores sedikit saja atau dia dalam masalah, aku tidak akan segan-segan untuk menembakmu!"
Sila menapakkan kakinya dan melangkah ke jembatan tempat mobil Andra di temukan 3 tahun yang lalu. Sebelum ke sana, ia sudah meyakinkan pak Budi bahwa dia tidak akan berbuat macam-macam, seperti percobaan bunuh diri, seperti saat itu.
Ibu dua anak itu memandang air sungai yang mengalir deras dari pinggir jembatan yang terhalangi pagar rendah. Perlahan, air mata Sila jatuh tanpa komando. Kerinduan yang ia rasakan sangat mendalam pada sosok suaminya itu.
Sila sebenarnya telah mencoba untuk merelakan kepergian Andra yang menurutnya sangat misterius. Jika ia meninggal, seharusnya tidak lama setelah itu ia bisa melihat jasad suaminya.
Polisi bahkan menutup kasusnya karena tidak dapat menemukan pelaku dan korban dalam kejadian itu. Hingga ia melewati 3 tahun ini dengan kepahitan, dalam kehancuran hati yang tidak bisa di gambarkan.
"Seharusnya aku melupakanmu mas, tapi entah mengapa aku yakin kamu masih hidup. Aku percaya kamu masih ada di sebuah tempat yang aku tidak tahu itu di mana. Mas... di manapun kamu berada, cepatlah kembali, aku dan anak-anak menantikan kehadiranmu. Aku kangen kamu, mas..." Air mata Sila mengalir dengan deras mewakili perasaannya yang sedang tidak menentu saat ini. Beban kerinduan yang lama ia pendam membuatnya rapuh.
"Berhentilah menangis, jika seseorang yang kamu tangisi itu telah tiada, ia akan sedih memandangmu dari atas sana," Sila mendengar suara seseorang. Ia menengok ke arah sumber suara dan mendapati seorang laki-laki yang memandang ke arahnya.
"Aku tidak percaya dia telah meninggal, aku merasa dia akan kembali dalam kehidupanku suatu saat nanti," Sila mencoba menjawab lelaki itu sambil menyeka air matanya.
"Sebelumnya, perkenalkan namaku Robby, kalau kamu tidak nyaman, tidak perlu menyebutkan siapa namamu. Aku mengalami hal yang sama denganmu. 4 tahun yang lalu, istriku hanyut di sungai ini dan hilang," Pria yang mengaku bernama Robby itu memulai ceritanya yang berhasil sedikit menarik perhatian Sila untuk mendengarkannya.

Visual Robby (by: Google.Com)
"Aku Sila. Berbeda dengan istri anda, suamiku hilang tanpa penjelasan. Tidak ada bukti yang menguatkan bahwa ia telah hanyut di sungai ini. Hanya saja, tepat di sini, mobil dan barang-barang suamiku di temukan." Sila menunjuk tempat yang tidak jauh dari tempatnya berdiri untuk menunjukkan tempat di temukannya mobil suaminya pada pria asing itu.
"Menurutku, tidak menutup kemungkinan suamimu di bunuh oleh musuhnya dan bisa jadi jasadnya juga di hanyutkan di sungai ini," Robby memberikan pendapat tentang cerita Sila.
Wanita itu berpikir, siapa orang yang menjadi musuh Andra. Selama ini ia tidak pernah melihat suaminya punya masalah dengan siapapun.
"Suamiku bukan orang jahat, mana mungkin ia memiliki musuh," Sila coba menyangkal pendapat dari lelaki yang ada di sampingnya dengan jarak beberapa meter itu.
"Musuh tidak selalu datang karena kita jahat, tetapi juga karena orang iri. Bisa jadi, musuh suamimu adalah rekan bisnis yang merasa tersaingi, lalu menghabisi nyawanya agar tidak ada lagi saingan yang menjatuhkan bisnis mereka." Pendapat Robby kali ini dapat di terima oleh Sila. Bisa jadi ada orang yang tidak suka dengan kesuksesan Andra lalu nekat menghabisi nyawa suaminya.
"Mungkin untuk kali ini Pendapatmu cukup masuk akal, Rob. Tapi kenapa harus suamiku? Ia mempunyai dua anak balita, yang sangat butuh perhatian, dan aku, aku menangisinya setiap malam dan berharap semuanya hanya mimpi. Saat terbangun, aku tetap mendapati kenyataan pahit bahwa apa yang terjadi dalam hidupku adalah sebuah kenyataan." Air mata Sila kembali berderai.Ia mengambil tissu dari tas kecilnya dan menghapus air matanya sendiri.
"Kehilangan memang menyakitkan. Tapi kamu harus menyikapinya dengan positif. Perbanyak pergaulan agar kamu dapat terhibur, juga banyak mensyukuri apa yang kamu miliki saat ini. Lakukan banyak aktivitas yang bisa membuat kamu merasa bahagia," Robby yang suka membaca buku tentang psikologis itu mencoba memberikan motivasi untuk Sila.
"Terima kasih untuk saranmu, Robby. Sepertinya aku harus segera pergi." Sila melangkahkan kakinya dengan langkah panjang. Ia tidak menyadari bahwa lelaki yang bernama Robby itu menatap kepergiannya dengan senyuman.
"Cantik sekali wanita itu, meskipun telah beranak dua, ia masih tampak begitu anggun. Seandainya aku bisa memilikinya. Ah sepertinya otakku mulai rusak, sebaiknya aku bersiap ke kantor sekarang," Robby meninggalkan tempat itu.
Di kantor Sila...
"Ibu Sila, hari ini kita ada meeting dengan Robin Group. Apa ibu akan menggadirinya?" Seorang wanita yang berdandan layaknya sekertaris sedang memberitahukan jadwal Sila hari ini.
"Terima kasih atas infonya. Segera siapkan berkas, saya akan menghadirinya," Ujar Sila dengan semangat. Ia setiap hari selalu seperti itu. Penyemangatnya saat ini adalah Alana dan Alandra. Kedua balita itu membuat Sila merasa tetap harus bertahan hidup.
Sila memandang foto pernikahannya dengan Andra yang terpampang di mejanya. Ia hanya bisa mengelus gambar wajah Andra. Sila menghembuskan nafas panjang sambil memejamkan mata, sesaat... ia mengenang semua kenangan manis saat bersama Andra terutama di ruang kantornya itu.
#Flashback On...
"Sayang...!" Aku memanggil Andra dengan suara lantang. Berlari ke arahnya dan memeluknya dari belakang. Aku menjadikan bahunya sebagai topangan kepalaku.
"Cup" Aku mengecup sekilas pipi suamiku yang lembut.
"Mas, aku kangen banget tau sama kamu, sampai aku ngerasa perjalaman kesini jauh banget, loh." Celotehku. Andra tersenyum sambil menumpuk map yang ada di hadapannya, tanda ia ingin konsentrasi bicara denganku.
"Kamu memang manja, sayang. Hari ini beda, sikap manjamu itu berlebihan, sampai seperti bukan kamu. Tapi mas malah seneng banget kamu manja gini," Andra menarikku kepangkuannya, melingkarkan tangannya di pinggangku.
"Syukur deh, kalau mas nggak ngerasa terganggu. Bukannya bantuin kerja, malah ganggu gini. Tapi memang pengennya deket mas terus," Aku menegakkan posisi dudukku. Memiringkan badanku sedikit agar aku bisa menikmati pemandangan wajah tampan suamiku ini.
"Kalau seperti ini, mas jadi pengen cepet-cepet pulang. Mas makin sayang sama kamu, jangan pernah tinggalin mas, ya." Andra mengelus pipiku sekilas. Perlakuannya ku balas dengan menggigitnya pelan dan sekilas karena gemas.
"Auh, sakit Sila..." Keluhnya, aku hanya tertawa.
"Dih, kenapa gitu pengen cepet pulang?" Aku menggodanya dan pura-pura tidak tahu apa yang dia inginkan.
"Pengen itu..." Andra memberiku kode. Bukan kode morse ya, kalau itu sih saat kita pramuka.
"Itu apa? Hayooo..." Aku meledek Andra, ia tersipu malu.
"Nanti, tunggu di rumah, aku langsung minta jatahku," ia menyeringai. huh, aku jadi makin gemas sama dia.
"Mas, diem dulu sebentar..." Pintaku padanya.
"Ada apa?" Andra tampak penasaran. Lalu mengikuti instruksiku untuk diam. Aku segera memanfaatkan kesempatan ini untuk meng-kiss bibirnya yang merah alami itu. Aku tidak perduli apa pendapatnya tentangku hari ini.
Sampai beberapa menit aku tidak melepaskan kiss-ku. Tentu saja dia membalas perlakuanku dengan penuh semangat. Sampai akhirnya aku puas melakukannya. kulepaskan kiss-ku perlahan.
"Sayang, kamu benar-benar nakal," Bisik Andra. Aku bisa merasakan miliknya terbangun di bawah sana. Mungkin nanti sampai di rumah, dia akan membalas kejahilanku ini.
"Maaf, mas. aku kelepasan. Habisnya kamu gemesin. imut, ganteng, huh! Sepertinya aku menggilaimu, mas," Aku salah tingkah sendiri di hadapannya. Sejak kami menikah hampir satu tahun, aku baru sekali ini bertindak agresif padanya.
"Bisa aja, istriku, pulang yuk.." Ajaknya tiba-tiba. Aku melirik kerjaannya yang masih menumpuk. pasti karena kelakuan nakalku, Andra jadi ingin pulang. Aku seketika jadi merasa bersalah.
"Aku lihat kerjaan mas masih numpuk, pulangnya nanti aja. Gimana kalai aku bantuin mas ngerjain semuanya? Aku nggak akan nakal lagi, kok." Aku mencoba bernegoisasi. Semoga Andra mau menunda niatnya untuk pulang.
"Baiklah, tapi nanti di rumah, jangan lupa jatahku ya," Godanya dengan senyuman mesum.
"Iya deh, iya. Nanti aku kasih. Sekarag, mas kerja dulu, aku bantuin, ya..." Aku mengambil beberapa berkas dan aku bawa ke mejaku. Andra diam-diam melirikku, aku pura-pura serius.
#Flashback Off..
"Mas, ingatkah kamu semua itu? Apa kamu benar-benar sudah meninggal? Kenapa aku masih ragu untuk mempercayai kenyataan ini, kamu terlalu sulit untuk aku lupakan mas, kamu terlalu membekas di hatiku," Titik-titik airmata berjatuhan dari mata wanita cantik itu. Andra, kamu di mana?
Sila menyiapkan berkas untuk meeting outdoor
dengan CEO Robin Group. Semenjak Andra tidak ada Sila menggantikan posisi suaminya. Ia bertanggung jawab penuh untuk kemajuan perusahaan.
Meskipun ia pernah terpuruk sampai titik terendah di dalam hidupnya karena kehilangan Andra, ia berusaha bangkit untuk masa depan dirinya dan juga anak- anak.
Sila memilih untuk datang terlebih dahulu ke lokasi meeting. Ia tidak ingin membiarkan orang lain menunggu.
Ia sengaja memilih tempat yang agak sunyi agar obrolan bisnisnya nyaman dan tidak terganggu oleh prngunjung kafe yang lain.
Mengingat waktu pertemuan masih lama, Sila memesan sebuah minuman coklat dingin. Ia butuh relaksasi, pikirannya terlalu lelah karena memikirkan banyak hal.
Dulu, saat Andra masih ada, ia tidak sesibuk saat ini. Dia bisa santai di rumah, tanpa meninggalkan Alandra dan Alana, tidak seperti sekarang. Sila terpaksa harus meninggalkan kedua buah hatinya untuk bekerja.
"Selamat siang, dengan nyonya Sila?" Sebuah suara membuyarkan lamunan Sila. Terlebih suara itu tidak asing baginya. Meskipun telah lama tidak mendengarnya, Sila yakin, itu adalah suara milik...
"Andra..." Mata Sila membulat saat melihat wajah orang yang baru saja menyapanya. Pria itu justru tampak bingung.
"Maaf, nama saya Dewa, bukan Andra. Mungkin Nyonya Sila salah orang," Pria yang menyebut dirinya dengan nama Dewa itu menarik kursi di hadapan Sila dan Duduk. Kalimat yang ia ucapkan sangat dingin, jauh berbeda dengan Andra.
Wajah lelaki itu sama persis dengan Andra, hanya saja di pipi kananya ada sebuah codet yang panjang, seperti bekas goresan sebuah benda tajam. Sila yakin, orang yang ada di hadapannya itu Andra.
"Baiklah An.. e.. Tuan Dewa, apakah anda CEO Robin Group?" Sila sedikit kikuk. Ia tidak mungkin memakasa orang itu untuk mengaku bahwa dia adalah Andra. Bisa jadi penglihatannya salah. Ia teringat tujuannya, datang untuk bisnis, bukan untuk membicarakan hal pribadi.
"Benar. Saya Dewa Robinson. CEO Robin Grup. Mohon maaf kalau kehadiran saya membuat nyonya tidak nyaman atau membuat salah paham,"
Sila ingin menolak, jika yang ada di hadapannya itu bukan Dewa, tapi Andra. Tapi apa yang bisa di lakukannya, ketika ia tidak di indahkan oleh lelaki yang ada di hadapannya. Ia hanya bisa meyakinkan dirimya bahwa yang ada di hadapannya itu adalah orang asing.
"Tidak apa-apa, saya yang salah. Saya minta maaf. Salam kenal Tuan Dewa, Anda.tidak perlu memanggil saya dengan sebutan Nyonya. Ini di luar Kantor, jadi santai saja, panggil saya Sila saja." Sila mencoba mencairkan suasana yang sedikit beku diantara mereka berdua.
"Baiklah, kalau begitu, panggil saya Dewa saja," Dewa kali ini mau memberikan senyumannya meskipun hanya tipis.
"Baiklah, Dewa. Jadi apa kita bisa memulai diskusi kita sekarang?" Sila berusaha bersikap profesional, meskipun di kepalanya di penuhi banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada lelaki yang ada di hadapannya itu, agar ia yakin yang ada di hadapannya bukan Andra.
Tentu saja Sila berpikir ulang untuk menanyakan itu. Mereka baru saja bertemu, bisa saja Dewa akan merasa tidak nyaman jika ia menanyakan banyak hal yang sangat pribadi. Sila merasa dirinya harus lebih bersabar sekarang. Ia harus memanfaatkan kerjasama perusahaan untuk menyelidiki siapa Dewa sebenarnya.
"Bisa-bisa, mari kita bahas,"
Mereka berdua akhirnya membahas masalah kerjasama yang akan mereka jalin, seperti apa prospeknya, keuntungan dan lain sebagainya. Hingga akhirnya Robin Group bersedia untuk bekerja sama dengan perusahaan Sila.
"Terima kasih atas kerjasamanya Dewa, untuk lebih lanjut, nanti aku hubungu via telepon."
"Sama-sama, Sila. Semoga kerjasama kita berjalan dengan baik,"
"Semoga saja. Baiklah, saya duluan Dewa,"
"Baiklah, hati-hati di jalan, Sila."
Sila beranjak dari tempatnya saat ini, di depan Resto tempat mereka berbincang sekaligus makan siang bersama.
Ada rasa bahagia yang tersirat di dalam hati Sila. Ia seperti memiliki sebuah harapan , bahwa lelaki yang tadi ada di hadapannya itu adalah Andra. Tapi, sejurus kemudian, ia merasa dirinya bodoh. Bagaimana bisa ia meyakini orang yang baru saja di temui sebagai Andra. Kalau sampai ia salah, ia pasti akan kembali kecewa.
Sesampainya di rumah...
Lagi-lagi, Sila melihat Andre sedang bermain denga Alana dan Alandra. Ia melihat kebahagiaan terpancar dengan jelaa dari wajah kedua anaknya. Rasanya, ia tidak tega untuk mengusir Andra pergi dari rumahnya.
lagipula, meskipun di usir, Andre tidak akan pergi begitu saja. Sejak bayi, Alana dan alandra memang sudah sangat sering di gendong, di timang, di ajak bermain oleh Andre. Ia menunjukkan bahwa dirinya bisa menjadi ayah yang baik untuk Si Kembar.
"Sila!" Andre memanggil Sila.yang akan menaiki tangga menuju kamarnya.
"Ada apa kak?" Sila berbalik dan menatap datar ke arah Andre.
"Aku ingin bicara denganmu. Jika ada waktu, izinkan aku untuk berbicara denganmu berdua saja," Andre berharap kali ini Sila mau mendengarkannya. Meskipun bicara dengan wanita itu sedikit agak susah.
"Baiklah kak. Ayo naik. Tunggu aku di balkon. Aku mau ganti baju." Pesan Sila sambil melenggangkan kakinya naik ke atas tangga dan Andre mengikuti langkah wanita itu.
Silla masuk ke dalam kamarnya untuk mengganti baju, sedangkan Andra, ia menunggu Sila di kursi dekat balkon.
Andre memandang taman dan sebagian halaman rumah Sila yang luas.Di dalam pikiran Andre, ia berharap Andra masih ada dan menjaga Sila dan kedua anak mereka.
"Jadi apa yang mau kakak omongin, sepertinya penting," Sila menyodorkan sekaleng minuman soda pada kakak iparnya itu, lalu Andre pun menerimanya. Ia lalu membuka dan meneguknya beberapa teguk.
"Apa yang akan aku sampaikan menyangkut masalah pribadi, meskipun kamu mungkin tidak menyukainya aku harap, kamu mau mempertimbangkan untuk menerimanya," Andre kembali meneguk minumannya sambil menunggu respon dari Sila.
"Baiklah, aku tidak akan memutuskan dengan cepat dan akan memikirkannya, Kak. Katakan saja apa yang ingin kakak katakan . Sila ikut-ikut, melihat ke arah taman dan halaman rumahnya yang luas.
"Sila, kamu tahu kan, Kalau Alana dan Alandra itu butuh figur seorang ayah. Aku merasa mereka pantas untuk mendapatkannya," Sila tersentak mendengar kalimat yang meluncur dari bibir Andre.
"Maksud kakak? Aku tidak paham," Sila menatap wajah kakak iparnya itu dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Menikahlah denganku, Sila. Izinkan aku menjadi ayah dari Alana dan Alandra," Andre tampak sangat serius. Sebaliknya, Sila membuang pandangannya ke arah lain. Entah kenapa hatinya sangat kesal.mendengar permintaan Andre.
Ia tahu, Alana dan Alandra memang sangat dekat dengan Andre, tapi ini masalah hati. Sila tidak yakin bisa menjalin hubungan dengan orang lain di saat hatinya masih sangat kacau.
"Kak, aku tahu, saat ini mereka memang sangat membutuhkan sosok ayah, tapi aku belum siap untuk menjalin hubungan dengan orang lain dulu, apa lagi orang itu kakak,"
**NB: Jangan lupa mampir ke karya baruku
My Workaholic Husband
Handsome Ghost My Love
Follow IG @Ratuasmara_06**
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!